Flash back 2
'Pras, adikku Sayang, sebelumnya aku minta maaf atas segala kesalahan yang telah aku lakukan selama ini. Aku tahu saat ini kamu sedang sangat marah dan pasti akan sangat sulit membuka pintu maafmu. Namun aku akan tetap bersabar menanti jawaban atas permohonan maafku ini karena aku tahu, Pras adalah seorang pemaaf.'
Pras, adikku Sayang, sebenarnya aku sendiri pesimis. Apakah kamu akan membaca surat ini sampai tuntas atau tidak. Namun aku yakin kamu bukanlah lelaki yang mudah puas dengan segala hal tanpa ada penjelasan yang bisa diterima logikamu. Jadi aku memutuskan untuk menulis surat ini agar kamu bisa mendapat penjelasan tentang segala yang terjadi antara aku, kamu dan ayahmu.
Sebenarnya aku juga tidak perlu membuat surat ini, karena semua telah aku ceritakan pada mamamu dan aku meminta beliau untuk menceritakan padamu. Jika saat ini mamamu masih belum mau bercerita, aku yakin suatu saat dia akan menjelaskannya hingga kamu benar-benar memahaminya.
Apa yang terjadi antara aku dengan ayah Pram, sesungguhnya tidak terlalu rumit. Namun juga tidak sesederhana yang dibayangkan orang. Untuk itulah aku meminta mamamu yang telah aku anggap kakakku sendiri itu untuk menjelaskannya sama kamu. Aku percaya Mama Aisyah jauh lebih bijak dari kita semua.
Namun demikian, tak ada salahnya jika aku pun menjelaskan melalui surat ini, tentang apa yang terjadi tadi malam antara aku dan kamu.
Aku yakin, saat ini kamu sedang menilaiku sebagai seorang wanita jalang, murahan dan mungkin juga wanita durhaka. Calon istri laknat yang dengan suka rela menyerahkan kesuciannya pada lelaki yang hampir bisa dipastikan tidak akan menjadi suamiku. Terlebih lagi lelaki itu calon anak tiriku sendiri.
Pras, adikku, semua yang terjadi tadi malam, itu benar-benar telah aku rencanakan dan dengan sangat sadar, bahagia dan senang melakukannya karena aku telah usai menunaikan sumpah dan janjiku yang tidak pernah aku ucapkan pada siapapun.
Ketika kamu hampir saja mengorbankan jiwamu membela dan menyelamatkan aku dari kejahatan kelompoknya si Kenz, aku bersumpah untuk menyerahkan sesuatu yang paling berharga dalam diriku untukmu. Bertahun-tahun aku menjaga kesucianku itu dan betapa bahagianya ketika tadi malam aku bisa menyerahkannya pada seseorang yang telah menjadi pahlawanku.
Adel gila! Mungkin itu yang saat ini sedang kamu pikirkan. Ya, apapun penilaianmu aku terima dengan lapang dhada. Dan aku bersumpah untuk tidak lagi menganggu kehidupanmu dan keluargamu.
Setelah menikah nanti, kami akan tinggal di tempat yang jauh darimu. Mungkin di dalam atau di luar negeri.
Aku hanya meminta, jaga dirimu baik-baik, jaga Mama, Prili juga Patri. Percayalah bahwa pernikahanku dengan Om Pram, sudah mendapat restu dari Mama, Prili juga seluruh keluarga besar Om Pram di Jogja.
Sekarang aku mohon restu dari kamu. Doakan kami agar bisa membina rumah tangga yang sakinah, mawadah warohmah.
Tetaplah menjadi anak kebanggaan ayahmu, mamamu, Prili juga Patria.
Nanti jika Pras sudah siap menerima aku dan ayah Pram, maka aku akan datang untuk menemuimu secara baik-baik. Tetapi untuk saat ini aku sendiri belum siap.
I Love You, Pras.
Adelia.
Tanpa dilipat lagi, apalagi dimasukan kembali dalam amplopnya, kertas hvs itu aku serahkan kembali pada Mama. Sepertinya Adel telah mempersiapkan segalanya dengan matang, hingga surat itu pun sudah dia ketik dan dicetaknya dengan rapi.
Menurut Mama, surat itu diserahkan Adel tadi subuh sebelum dia meninggalkan hotel dan kembali ke Jakarta dengan mobil carteran.
"Mama yakin, keluarga besar di Jogja sudah tahu rencana pernikahan ayah Pram dengan si Adel?" tanyaku dengan suara pelan namun masih bisa didengar oleh Mama yang duduk merapat di sampingku.
Mama mengelus-elus pundak dan juga punggungku tersenyum manis lalu mengangguk pelan.
"Yakin?" tanyaku lagi. Mama kembali mengangguk meyakinkan.
"Jadi Bude Ines dan seluruh keluarga besar di Jogja itu, kemarin semuanya bohong sama Aa. Mereka mengatakan sayang sama kita dan bahkan ingin Mama kembali bersatu dengan ayah. Tapi nyatanya mereka merestui pernikahan ayah dengan si Adel? Bude Ines bahkan dari dulu sudah tahu siapa sesungguhnya si Adel." Aku sedikit melepaskan pelukan Mama di pinggangku.
"Sebenarnya Bude Ines atau siapapun gak pernah bohong sama Aa. Mereka tetap berharap mama kembali pada ayah, namun kan tidak mungkin. Ketika ayah menyampaikan rencananya untuk menikahi Adel, Bude Ines awalnya menolak dan dia langsung menghubungi mama. Tapi mama bersikeras untuk tidak kembali dengan ayah Pram. Bahkan jika suatu saat nanti sudah tidak dengan ayah Ardi sekalipun," ucap Mama kalem.
"Mama trauma dengan ayah Pram?" tanyaku memastikan.
Mama kembali tersenyum dan mengelus-elus rambut di kepalaku. "Mama tidak pernah trauma dengan pernikahan, tetapi ini semua demi kebaikan Ayah Pram dan kita semua," jawab Mama
"Kebaikan kita semua gimana? Ini hanya demi syahwat ayah belaka, Ma?" tanya dengan nada yang sedikit naik kembali.
"Sepertinya begitu. Namun setelah mama bicara panjang lebar dengan Bude Ines dan mama sendiri merenungkan secara mendalam, kami sepakat jika ini bisa menjadi akhir dari petualangan ayah Pram dan awal kebaikan hidupnya. Jika Ayah Pram sudah menjalani kehidupan dengan baik, maka kita semua, terutama anak-anak mama akan ikut baik juga."
"Hah, awal dari kebaikan atau justru awal dari kehancuran ayah, Ma?"
"Hust tidak boleh menyumpahi orang tua. Biar bagaimanapun, adanya Aa di muka bumi ini, karena adanya ayah Pram juga. Mama meyakini jika Adel adalah wanita kedua setelah mama, yang benar-benar dicintai ayah Pram dan dinikahinya." Mama masih tetap berusaha menenangkanku dan membela mantan suaminya.
"Masalahnya si Adelnya cinta gak sama ayah?" tanyaku masih belum puas dengan jawaban Mama yang sangat bijaksana.
"Aa pasti jauh lebih tahu, kalau Adel itu orang yang tidak mudah dipaksa oleh siapapun. Dia seorang lajang dan merdeka. Bahkan pacar pun tidak punya. Bebas untuk menolak atau menerima pinangan siapapun termasuk ayahmu. Adel wanita muda dari keluarga kaya raya dan mau menjadi istri seorang lelaki yang tidak memiliki apa-apa. Apakah itu masih diragukan cintanya? Mama rasa Adel mau menerima ayah semata-mata karena cinta."
Mama terus berusaha memberikan pemahaman padaku yang sesungguhnya hampir paham, namun hati ini belum sepenuhnya bisa menerima kenyataan ini.
"Atau jangan-jangan, ayah hanya ingin menunjukkan pada mama bahwa dia bisa mendapatkan istri yang lebih muda dan kaya raya. Anggaplah dia gak mau kalah bersaing dengan Mama yang mendapatkan suami muda."
"Hehehe, semoga tujuannya tidak seperti itu. Mudah-mudahan saja ayah benar-benar tulus mencintai Adel tanpa silau dengan harta kekayaan orang tuanya. Jika mama teringat kembali pada ucapan ayah waktu itu, mama sedikit yakin jika ayah memang benar-benar tulus mencintai dan berniat menikahi Adel."
"Tapi track record ayah, memang telah menunjukkan jika dia tak pernah ikhlas dalam membina rumah tangga, Ma."
"Kita tidak pernah tahu, kapan Allah akan menurunkan hidayah dan taufiq pada hambaNya. Semoga saja saat ini Allah benar-benar telah membukakan hati ayah, hingga dia menyadari dan mau menerima segala kebenaranNya."
"Amiin."
"Aa juga jangan pernah merasa dikhianati oleh Adel, karena sampai saat ini antara kalian belum pernah ada komitmen dan ikatan apa-apa. Bukankah selama ini kalian memang tidak berpacaran?" tanya Mama sambil kembai menatap mataku yang belum kering dari bulir-bulir air mata, walau sudah tidak menetes lagi.
"Iya sih Ma, tapi apa yang terjadi tadi malam, sebenarnya Aa berpikir bahwa itu adalah sebagai wujud dari kesepakatan kami untuk menjalin hubungan yang lebih serius. Jika kemarin Adel serius mengatakan ingin menikah dengan Aa, mungkin Aa juga akan menikahinya."
"Hehehe, mama belum mengizinkan Aa menikah."
"Kenapa? Aa siap keluar dari sekolah dan mencari pekerjaan."
"Hehehe, anak mama yang ganteng ini, masih terlalu pagi untuk menikah. Menikah bukan hanya sekedar syahwat. Butuh kesiapan lahir dan batin, bukan hanya kesiapan memberikan nafkah lahir dan batin. Tapi masih banyak lagi yang hanya akan dirasakan dan diketahui jika sudah menikah nanti. Jangan hanya bermodal bacaan n****+ si Ndra Cogan, lantas Aa mengatakan siapa berumah tangga. Salah besar!"
"Masa depan Aa terlalu luas, sangat sayang untuk diabaikan dan disia-siakan. Di belakang Aa ada Prili juga Patria yang besok atau lusa mungkin akan jadi tanggung jawab Aa sebagai kakak tertuanya."
“Mama bijak banget sih?” tanyaku dengan mata terbelalak.
"Bukan berarti mama akan lepas tanggung jawab. Andai pun Ayah Pram dan Adel tinggal jauh setelah menikah nanti, dan tidak peduli lagi dengan kita, mama siap dengan semuanya, hanya mungkin mama butuh Aa untuk membimbing kedua adikmu. Sebentar lagi Aa akan menjadi pengganti ayah untuk Prili dan Patria."
Aku kembali memeluk dan menciumi Mama. Sungguh sangat sejuk semua kata-kata yang keluar dari mulutnya. Sungguh bodoh sekali aku rela menjauhi mutiara yang sebegini indahnya. Terlalu percaya dengan ucapan Ayah Pram, hingga aku gelap mata dan menilai mutiara ini sebagai tembaga.
"Ma, maafin segala kesalahan dan kesombongan Aa selama ini. Terutama kesalahan Aa tadi malam dengan Adel," ucapku seraya menyeka air mata Mama yang kembali berderai dan ternyata air mataku pun ikut kembali mengalir.
Terharu dan tak kuasa membayangkan Mamaku seorang diri membesarkan Prili dan Patria. Walau ada Ayah Ardi, namun dia saat ini sedang di Jakarta.
"Adel juga sudah meminta maaf sama mama karena sudah melakukan kebodohan seperti itu. Apapun alasannya mama tetap tidak setuju dengan yang terjadi tadi malam antara Aa dan Adel. Andai saja dia bicara sebelum kejadian, sudah pasti mama akan mencegahnya." Suara isak tangis mama semakin terdengar nyaring.
Untuk beberapa saat aku dan mama saling berpelukan menumpahkan segenap rasa dalam berjuta tangisan. Aku tak peduli orang lain yang menatap kami heran atau apapun anggapan mereka. Dunia ini hanya milikku. Hari ini aku telah menemukan kembali mutiara hidup dari seorang wanita kampung yang teramat sederhana.
"Bagaimana kalau ayah Pram sampai tahu, jika istri yang dinikahinya sudah tidak suci lagi?" tanyaku setelah tangisan mama benar-benar reda dan kami pun sudah saling melepaskan pelukan.
"Sepertinya Adel sudah siap dengan segala resiko itu. Dia bahkan pernah mengatakan pada ayah Pram bahwa dia sudah lama tidak virgin. Ternyata ayah Pram mau menerimanya dan tentu saja nanti ayah Pram tidak akan tahu siapa sebenarnya orang yang telah merenggut kesucian istrinya."
"Kok bisa jadi begini ya, Ma?" Aku garuk-garuk kepala. Sejujurnya rasa kecewa dan sakit hatiku perlahan-lahan mulai memudar hilang terbawa ombak kembali ke dasar lautan.
Betul seperti yang mama katakan tadi, antara aku dan Adel tidak ada ikatan apa-apa jadi tidak perlu ada pihak yang merasa bersalah atau dikhianati. Apa yang aku dapatkan tadi malam, anggap saja sebagai bonus dari persahabatan yang hampir setahun lalu kami jalin dengan baik.
"Semua yang terjadi seperti hal yang mustahil namun nyata ya Ma, hehehe." Aku berusaha kembali menghibur hati mama dengan senyuman manisku yang hari ini khusus aku persembahkan buat mamaku tercinta. Wonder womenku, Prili dan Patria.
"Tiada yang tidak mungkin. Jangankan kisah seperti yang kita alami, lautan luas di depan kita pun, akan dengan sangat mudah dikeringkan. Bahkan seluruh alam pun akan hilang lenyap dalam sekejap jika Allah sudah berkehendak."
Tak ada lagi sanggahan. Semua yang mama ucapkan tak perlu lagi disanggah apalagi diperdebatkan.
"Aa masih mau di sini atau kembali ke hotel. Kasihan sopir mobil yang disewa kemarin itu sudah nunggu depan hotel."
"Mama mau balik lagi ke hotel?"
"Iya, kayaknya Patria sudah gak betah pengen segera pulang. Tapi kalau Aa masih mau di sini gak papa, biar semua mama beresin aja dan langsung pulang ke rumah Uwa."
"Iya, Ma, sepertinya Aa masih ingin ngadem dulu di sini, boleh kan Ma?"
"Boleh Sayang, tapi nanti makan siang pulang ke rumah Uwa ya. Mama mau masak masakan kesukaan Aa. Mama kangen ingin kembali menyuapi Aa, hehehe."
Air membentang seluas mata memandang. Perahu-perahu hilir mudik dengan berbagai bentuk yang kebanyakan berkepala lancip. Penumpang-penumpangnya bermacam-macam. Ada nelayan, ada juga keluarga yang berwisata. Wajah-wajah mereka menunjukkan kegembiraan dan keceriaan yang sangat ikhlas dan sederhana. Mereka bahkan masih bisa tertawa dan bercanda ria di atas gelombang laut yang ganas.
Langit cerah. Awan-awan putih bergumpal-gumpal di sela-sela langit biru. Aku menyandarkan tubuh di batang pohon kelapa yang banyak tumbuh di sekitar pantai. Kedua lenganku diangkat menyilang di belakang kepala yang aku gunakan sebagai bantal.
Kedua mataku memandang langit namun seketika langit biru cerah itu mendhadak hilang, tergantikan bayangan kabut dan awan yang bergumpal-gumpal. Dan di antara gumpalan kabut itu menyembul seraut wajah perempuan yang semalam mendesah dan meraung di bawah tubuhku menyerahkan kesuciannya.
Aku menarik napas panjang. saat seraut wajah itu tersenyum. Manisnya lebih manis dari gula atau segala yang paling manis di dunia ini. aku memejamkan mata membuang segala kesal dan sesal.
Mengapa aku harus mengenal Adel?
^^^