Flash back 1
Malam itu ketika Adel sudah menyerahkan keperawannya padaku di salah satu hotel bintang lima, dia langsung menghilang hingga membuatku kebingungan. Saat aku meminta klarifikasi Mama, dia malah mengajakku untuk bercerita di salah satu pantai yang merupakan tempat yang paling berkesan untuknya.
Jarak hotel dan pantainya tidak terlalu jauh. Mungkin tak sampai dua puluh menit waktu yang aku dan Mama butuhkan untuk sampai ke Karang Hawu, itu pun dihitung dengan persiapan Mama berganti pakaian dan sedikit memoles wajahnya dengan make up tipis. Mama memang benar-benar cantik alami. Wajar jika Ardi tergila-gila olehnya.
Selama dalam kendaraan kami tak banyak bicara. Walau sebenarnya di hatiku berkecamuk segala pertanyaan tentang apa yang sesungguhnya akan disampaikan Mama hingga dia harus mengajakku ke tempat yang spesial dimana untuk pertama kalinya Ayah Pram dulu melamarnya.
Terlalu indahkah kenangan tempat itu untuk Mama? Bisa jadi dan itu sangat wajar. Gadis kampung nan polos dilamar seorang lamtenar kota yang mungkin sudah banyak barisan gadis-gadis lain yang mengharapkan dilamar olehnya. Sehebat apapun kenangan itu, tapi aku justru sangat terkesan dengan cara Ardi, sang brondong yang kini menjadi suami kedua Mama. Sebuah tindakan super nekad dari sorang pejuang cinta sejati.
Beberapa kali aku tersenyum-senyum sendiri. Seorang wanita sederhana, bersuami dan sudah memiliki dua anak, dilamar seorang lelaki muda belia yang lumayan ganteng dan gagah di malam valentine. Kebayang bagaimana terharu dan bingungnya Mama saat itu.
Di saat bersamaan otakku pun dipenuhi dengan segala kutukan atas segala keluguan, kepolosan sekaligus kebodohan diriku sendiri. Bagaimana mungkin seorang anak yang tinggal dengan ayahnya banyak tidak tahu tentang ayah sendiri.
Apakah aku yang terlalu tak acuh pada keluarga? Atau memang ayah yang terlalu pandai menyembunyikan jati dirinya?
Ucapan-ucapan Bude Ines, Pakde Sis dan Om Teguh pun kembali menari-nari dalam gendang telingaku. Jangankan aku, mereka pun yang notabete keluarga terdekatnya bahkan cukup lama hidup bersama-sama, masih saja tak mengerti dengan sikap ayahku.
Kalian paham kan mengapa aku jarang sekali menceritakan ayah? Ya karena hanya secuil yang aku tahu sekaligus aku pahami tentang ayah. Yang aku tahu ayah bekerja sebagai seorang sopir bus pariwisata yang pusatnya di Jakarta. Tepatnya dimana, kantornya seperti apa? Aku pun tak tahu.
Sekian langkah setelah turun dari mobil dan berjalan menuju pantai yang siang itu benar-benar ramai pengunjung, Tuhan kembali mempertemukan aku dan Mama dengan Alvin dan Tante Melia. Keduanya masih dalam pakaian renang yang super seksi dan basah.
Jangan ditanya bagaimana terkejutnya mereka dan silahkan tebak sendiri bagaimana warna kulit wajah mereka saat keduanya benar-benar nyaris bertabrakan denganku. Tak ada tempat menghindar dan bahkan senyum mereka pun sangat tidak enak untuk dilihat.
'Santai saja Vin, gue gak akan ikut campur urusan lu, gua yakin lu punya alasan tersendiri sampai melupakan moral dan harga diri yang lu bangga-banggakan itu.' bisikku dalam hati
Tak ada kalimat apapun yang keluar daru mulut kami, karena aku memang tidak berniat untuk membuka percakapan. Biarlah mereka menebak-nebak apa yang aku pikirkan saat itu. Aku memalingkan wajah saat bertemu mereka bukan tak berani bertatap muka dengan mereka. Tapi ada perasaan risih saat melihat tubuh seksi Tante Melia dalam balutan pakaian renang yang sangat seksi dan basah. Lebih risih lagi dengan penampilan Alvin.
Dengan hanya bercelana renang super pendek dan ketat, jelas-jelan dia sengaja memamerkan benda pusakanya. Senjata andalan Alvin yang besar, panjang serta dua bijinya yang juga besar, tercetak begitu jelas di balik celana swimmpack-nya. Alvin cukup sadar diri hanya bagian itu yang bisa dibanggakannya. Kedua bagian tubuh lainnya termasuk kaki, perut dan lainnya terlalu kerempeng dan mungkin tidak terlalu membanggakannya.
"Mam, ini serius Ayah melamar mama di sini?" tanyaku saat Mama berdiri tertegun di dekat sebuah aliran sungai muara yang banyak dipenuhi sampah.
Mama menggelengkan kepala.
"Persisnya di sana!" balas Mama seraya menunjuk salah satu karang yang banyak dipenuhi orang-orang yang menantang ombak.
"Tapi waktu itu sedang tidak banyak orang, kalau gak salah ada 4 atau 5 orang yang sama sekali tidak kami kenal. Ombaknya pun sedang tidak terlalu besar begitu."
"Apakah kita sekarang akan ke sana?" tanyaku seraya menatap wajah Mama yang seketika berubah sedikit sendu. Kenangan terindah dalam hidup sudah pasti tidak akan semudah itu untuk terlupakan dari ingatan.
"Gak usah. Terlalu ramai dan ombaknya juga cukup besar, mama sedang tidak ingin basah-basahan," balas Mama santai dan sedikit lirih.
"Ternyata selera ayah cukup romantis dan ekstrim juga, ya!" ucapku pelan karena memang hanya diperuntukan untuk diri sendiri. Namun ternyata Mama mendengarnya dan dia turut menanggapinya dengan senyum dan anggukkan kepala pelan.
"Tindakan selanjutnya pun memang sangat romantis, walau berakhir ekstrim, hehehe," timpal Mama seraya menahan dan membetulkan kerudung lebarnya yang berkibar-kibar terkana anging pantai yang lumayan kencang.
Beberapa saat kami hanya berdiri termangu memandangi karang berbentuk tungku perapian sembari menatap deburan ombak yang menghantamnya. Semua orang yang berada di sana berteriak gembira setiap kali ombak datang dan berubah putih memancar ke udara saat menghantam mereka. Cukup berbahaya dan memacu andrenaline, namun sudah pasti membahagiakan siapapun yang suka tantangan.
"Ma, Aa boleh meluk, Mama?" pintaku.
"Peluklah, A. Mama ini milik kalian bertiga," balas Mama dengan wajah sumringah.
"Milik Ardi juga kali hehehe," godaku. Sejatinya aku sangat membenci Ardi, ayah tiriku yang masih brondong itu, namun setelah banyak menderngar kisah perjalanan cintanya dengan Mama, aku mulai berubah simpati padanya, namun sayang kini dia sedang di Jakarta, mungkin sedang mencari pekerjaan baru.
"Itu beda keleees, hehehe." Mama menanggapi sok gaul.
Aku segera memeluk tubuh ramping Mama dari belakang. Andai wanita yang aku peluk ini setajir Tante Melia yang rutin melakukan perawatan, mungkin penampilannya tak akan kalah hebring. Walau untuk kecantikannya yang super natural, Mamaku tetap yang paling juara. Bahkan dibanding Adel sekalipun. Itu menurut aku, Prili dan Patria tentu saja, hehehe.
Tinggi badan Mama hanya sebatas dhadaku, sehingga aku tak perlu berjingkat untuk tetap bisa menikmati keindahan pantai dan ramainya pengunjung di depanku.
"Mama mau langsung cerita atau mau menikmati suasana indahnya dalam pelukan brondong seganteng Aa? Biar orang-orang menduga, Mama sedang dipeluk brondong gebetannya, hehehe," candaku sengaja untuk mencairkan suasana.
Aku bisa memahami kebatinan Mama saat ini yang sedang terbawa gelombang romantisme nostalgia lama.
"Begini aja dulu," balas Mama seraya menyandarkan kepalanya di dhadaku dan memegangi kedua tanganku yang melingkar di perutnya. Tempat dimana aku pernah bersemayam lebih dari 9 bulan lamanya.
"Ma, kok Aa gak ngeliat Adel ya? Tasnya juga sudah gak ada. Emang dia berjemur bawa-bawa tas segala?" tanyaku penasaran. Sebenarnya pertanyaan itu sejak tadi ingin aku sampaikan.
"Adel sudah kembali ke Jakarta, katanya ada telepon mendhadak dari ayahnya."
"Oh ya? Kok gak.."
"Mau ngebangunin Aa, katanya gak enak. Tapi dia janji akan segera kembali setelah urusannya di Jakarta selesai." Mama langsung memotong pertanyaanku.
"Oh gitu. Ma, kira-kira lihat kita begini, orang-orang ada yang percaya gak, kalau Aa itu anaknya Mama?" Sengaja aku memancingnya, siapa tahu wanita panutanku ini mau segera bercerita siapa aku yang sebenarnya. Atau setidaknya memberikan clue.
"Wajah Aa, 63.11 % mirip ayah Pram, sangat sedikit sekali mewarisi mama. Orang selewat gak akan menyadari kalau antara kita ada kemiripan. Hanya hidung dan mata sayu Aa yang menyerupai mama."
"Hehehe, pasti mereka menduga Aa brondong Mama ya. Gak takut Mama dibully mereka?"
"Mama itu sudah terlalu kenyang dibully soal brondong. Sudah sering disebut istri tak tahu diri penggila brondong. Tapi yang kasihan justru Ayah Ardi. Sampai-sampai dia harus berantem dengan beberapa temannya karena dituduh sebagai lelaki pengisap harta bini orang. Wong mama tinggalnya aja numpang di rumah gubug milik kakek, apanya yang mau dihisap, hehehe."
"Termasuk Aa, hehehe. Untung saja gak sampai berantem sama ayah Ardi, ya Ma," balasku mengingatkan masa lalu yang hingga berhari-hari mencari Ardi untuk digebukin bersama Galang dan Alvin. Untung saja Ardi yang berusaha menghindar dan mengalah, mungkin dia masih mendengar ucapan Mama.
"Gak bakal Ardi berani melawan anak-anak Mama. Kalau sampai Ardi marah atau berbuat kasar pada anak-anak mama, sudah pasti akan mama tinggalkan. Anak segalanya bagi mama. Suami bisa dicari dan berganti berkali-kali, namun anak, tak mungkin ada yang menggantikannya."
"Kalau gitu, Mama pindah lagi aja ke Bogor ya. Biar nanti Aa bicara sama Ayah Pram. Toh dia juga sudah jarang di rumah. Kasihan Prili susah dapat akses internet kalau sekolah di kampung."
"Ayah Pram gak bakal ngizinin, terus ayah Ardi juga gak bakal mau tinggal di rumah milik ayah Pram, A."
"Kalau gitu Aa gak kuliah dulu tahun depan, selesai sekolah mau cari kerja, terus cari rumah buat Mama. Rumah yang sekarang dijual aja. Uangnya bagi dua. Jatah buat Aa boleh diambil semua sama Mama. Aa gak mau lagi ikut ayah, hati ini sudah mantap untuk tidak pisah dengan Mama, Prili dan Patria."
"Ya, kita lihat saja nanti ya, A. Semua kan harus dibicarakan dengan Ayah Pram."
"Gak perlu! Sekarang Aa sudah besar, sudah bisa menentukan langkah sendiri. Bukankah ayah Pram juga sudah punya kehidupannya sendiri? Kata Pakde Sis dan Bude Ines, rumah itu milik Aa boleh digimanain aja, sesuka hati Aa."
"Tapi apakah mungkin Aa tidak kuliah? Sepertinya Bude Ines gak bakal setuju kalau Aa tidak kuliah."
"Mulai saat ini, orang lain gak bisa ngatur-ngatur hidup Aa, kecuali Mama, titik!"
"Jalan dulu yu A," ajak Mama.
Tampaknya dia masih tak mau merespon ucapanku. Mama memang tidak mungkin bisa menolak jika Bude Ines memintaku untuk kuliah dengan beliau di Jogja. Tetapi aku sudah tak punya minat lagi dengan beliau yang terlalu benyak mengatur hidup saudara-saudaranya.
Dengan saling bergandengan tangan, aku dan Mama berjalan mesra melewati kerumunan orang-orang. Langkah kami semakin ke pinggir, menuju bibir pantai dan membiarkan lidah ombak yang sesekali datang menjilat dan membasahi kaki serta menghapus jejak langkah kami.
"Sebulan setelah Patria lahir, Ayah Pram datang menemui mama. Dia mengaku menyesal menikahi Bu Ita dan berniat menceraikannya. Menurut ayah Pram, Bu Ita memperlakukan dia bukan sebagai suami tapi lebih mirip jongosnya. Ayah Pram kerja banting tulang didera bagai kuda, karena mereka baru membuka usaha sendiri, Itha Tour and Travel."
Mama melanjutkan ceritanya sambil berjalan pelan. Aku berusaha membiarkannya bercerita dengan bebas. Jika perlu tak akan merespon dengan kata-kata agar ceritanya tak terganggu.
"Dengan sedikit memaksa Ayah Pram meminta kembali mama pada Ayah Ardi. Hampir saja terjadi pertumpahan darah. Ayah Ardi murka besar hingga mengancam akan membunuh Ayah Pram jika berani nekad merayu mama untuk kembali padanya."
"Ardi sangat posesif waktu itu, padahal mama juga gak mungkin mau balik lagi sama ayah Pram. Apalagi sudah ada Patria. Walau dia hanya seorang tukang ojeg online yang kismin, tapi dia ayah dari Patria dan mama benar-benar mencintai ketulusan dan tanggung jawabnya sebagai seorang suami juga ayah bagi anak-anak mama."
"Mencintai kegantengnya juga kali, heheheh," godaku agar Mama tidak terlalu mellow atau setidaknya tenggelam dalam romantisme nostalgia lama yang beraneka rasa.
"Kalau ganteng itu hanya bonus A. Yang lebih ganteng dari Ardi juga banyak, tapi yang mencintai mama, Prili dan Patria setulus hati, bisa jadi hanya Ardi."
"Cie cie.. co cweet deh kamu. Jadi pengen ngumpulin duit nih buat kasih hadiah honey moon pasangan spektakuler Ardi and Aisyah, hehehehe," candaku makin menjadi hingga wajah Mama mendadak merona, bukan karena terkena sinar matahari namun blushing khas wanita yang bahagia dan malu-malu.
"Gak perlu! Aa mau mengakui Patria sebagai adik saja, sudah lebih dari seribu honey moon buat mama. Ditambah sekarang mau mengakui Ayah Ardi sebagai suami mama, itu juga sudah jadi hadiah terindah yang lebih indah dari berjuta honey moon, buat kami."
"Wow, ternyata sederhana itu indah ya, Mam."
"Banget, ketulusan itulah yang akan membawa segalanya menjadi lebih indah, A."
"Setuju, Ma!"
"Setelah gagal merayu mama, akhirnya Ayah Pram berpoligami dengan menikahi Mama Nina, janda kaya raya dari Karawang itu. Sayangnya hanya bertahan setahun. Setelah itu ayah menikah lagi hingga dua kali. Kalau gak salah dengan orang Semarang dan orang Bandung."
"What? serius ayah menikah dengan orang Semarang dan Bandung? Kok A agak tahu?" Aku menahan tangan Mama hingga langkah dia pun terhenti.
Mama tersenyum, "Mungkin karena pernikahan mereka hanya sebentar, keburu ketahuan sama Bu Ita, jadinya belum sempat diperkenalkan sama Aa."
"Eh! Ini gila Ma! Ayah berarti sudah lima kali menikah?"
Mama mengangguk.
Tak pernah sedikit pun terbersit dalam pikiranku, jika ayah ternyata seorang lelaki yang bukan hanya tidak bertanggung jawab pada keluarganya. Dia juga seorang pengabdi syahwat. Syahwat birahi juga syahwat untuk memiliki segala hal keduniawian.
Andai saja para tetangga ada yang mendengar semua ini, tentu tak seorang pun yang akan mempercayainya. Mereka terlanjur tinggi memuji indahnya kepribadian ayah. Walau dia seorang duda, namun dianggap cukup sempurna sebagai seorang ayah.
Masih segar dalam ingatanku ketika ayah bercerai dengan Mama Nina. Beberapa tetangga mengajaknya bercanda untuk segera mencari kembali pengganti ibu untuk diriku. Ayah hanya berkata, kapok beristri kembali kecuali dia mau menjadi seorang istri yang mau menyayangiku secara tulus.
Aku sempat bingung. Mama Nina adalah satu-satunya wanita yang bukan ibu kandungku namun menyayangi sebegitu tulusnya. Aku bahkan sama sekali tidak merasa jika dia ibu tiriku. Semua tetangga maupun guru-guruku memuji kehebatan Mama Nina dalam merawat dan menyayangingku.
Mau cara yang bagaimana lagi?
"Ya, Allah, Ma, apa sebenarnya yang ayah cari, Ma?" tanyaku dengan mata melotot dan suara keras melawan deburan ombak dan kencangnya embusan angin.
Mama kembali menggandeng tanganku dan melanjutkan langkah kami menyusuri pantai entah mau sampai dimana. Aku sendiri mulai tak tahu hendak kemana sebenarnya langkah kami berayun.
"Sebenarnya sama aja dengan orang lain. Yang Ayah cari juga kebahagiaan. Namun sayangnya, ayah melupakan ketulusan, keikhlasan dan kebersyukuran sebagai modal dasar untuk meraih kebahagiaan itu sendiri. Selagi niatnya demi mengejar harta kekayaan, maka menikah dengan siapapun sudah pasti tidak akan menemukan apa yang dicarinya." Mama bicara sangat bijak dan sederhana. Tak perlu bergelar sarjana untuk menjadi seorang ibu yang bijak.
Mama terdiam sejenak, namun langkah kami terus berlanjut. Aku hanya menunduk menatap pasir yang dipenuhi jejak-jejak manusia yang tak lama akan dihapus kembali oleh ombak yang datang.
"Bu Ita kaya raya, Mama Nina juga demikian. Mama tidak tahu bagaimana keadaan ekonomi istri Ayah Pram yang dua lagi. Namun terbukti, Ayah Pram masih tetap tidak bahagia karena dia tidak pernah tulus dalam berkerja dan menafkahi keluarganya. Dia malah meminta Mama untuk kembali padanya, dengan alasan kasiah sama Pras dan Prili. Terus kemarin-kemaren kemana aja?" Mama melanjutkan kembali ceritanya. Langkahnya mulai sedikit pelan dan aku pun mengikutinya. Tampaknya dia juga ingin memastikan jika aku bisa dengan jelas mendengar semua penuturannya.
"Lanjut, Ma," timpalku.
"Ayah Pram, bekerja hanya sekedar ingin membuktikan pada keluarganya yang di Jogja, bahwa dia mampu hidup makmur tanpa bantuan mereka. Walau harus dengan cara menumpang hidup. Tak heran jika dia akan terus-terusan mencari wanita-wanita makmur untuk dinikahinya. Walau dengan menggadaikan harga diri dan kebahagiaannya sendiri." Suara Mama makin lirih.
Terasa sekali jika dia sangat menyesalkan sikap lelaki yang terlanjur sudah pernah jadi suaminya sekaligus ayah dari kedua anaknya.
"Ternyata ayah tidak lebih dari seorang lelaki pecundang ya, Ma!" ucapku seraya menendang batok kelapa yang berserakan di pantai.
"Aa tahu, mengapa ayah bercerai dengan Mama Nina?" Mama bertanya namun tidak sedikit pun mengehentikan langkahnya atau sekedar berpaling menatapku.
"Katanya sih Mama Nina gak sayang sama Aa. Padahal seperti yang sering Aa katakan, hanya Mama Nina yang kasih sayangnya nyaris menyamai Mama. Entah dari mana ayah bisa menilai kalau Mama Nina gak tulus mencintai Aa." Jawabku mengklarifikasi tuduhan Ayah Pram yang selalu mengatakan Mama Nina tidak layak menjadi Mama tiriku.
"Hehehe, yang gak tulus itu sebenarnya bukan Mama Nina, tapi Ayah Pram sendiri."
"Pastinya."
"Mama Nina mantan istri pejabat di daerahnya. Harta gono-gini dengan mantan suaminya lebih dari cukup untuk menghidupi dirinya walau dia tidak menikah lagi dengan lelaki manapun. Apalagi dia sama sekali tidak memiliki anak. Ayah seorang duda anak dua yang tidak memiliki apa-apa, hanya punya rumah yang nilainya tak seberapa," ucap Mama seraya tersungging. Aku yakin dia juga pasti mendengar alasan Ayah menceriakan Mama Nina. Pastinya alasan yang sangat dibuat-buat oleh Ayah Pram.
"Hehehe, dapur Mama Nina, bahkan lebih luas dan lebih bagus dibanding rumah ayah yang ditempati Aa."
"Ya, bisa jadi. Itu sudah jadi bukti, jika Mama Nina memang tulus menikahi ayah, dan tulus menyayangi Aa. Sementara ayah Pram tujuan lain. Dia mengincar hartanya. Namun sayang ayah Pram lupa, jika Mama Nina bukan wanita sembarangan."
“Yes, Mama Nina wanita paling cerdas yang Aa temui!”
"Hehehe, lah iya, makanya, begitu memutuskan menikah dengan Ayah Pram, Mama Nina langsung mendelegasikan semua harta kekayaan dan perusahaanya pada saudara dan orang-orang kepercayaannya."
“Hmmm.”
"Ayah Pram menduga, dia yang akan diajak pindah ke rumah Mama Nina dan diberi kekuasaan untuk mengelola semua asetnya. Namun ternyata Mama Nina lebih memilih menjadi istri yang sebenarnya dan ikut dengan Ayah Pram dan Aa, dengan segala kesederhanaanya."
"Itu sebenarnya yang Aa sendiri pernah bingung Ma. Kok mau-maunya Mama Nina jadi gembel gitu, padahal di Karawang dia kan bisa menjadi ratu, hehehe."
"Yang bingung sebenarnya Ayah Pram. Dia sendiri selama ini mengandalkan gaji dari perusahaan dan menumpang hidup dari Bu Ita, harus menghidupi Mama Nina yang notabene orang kaya raya mantan istri pejabat. Walau Mama Nina tidak pernah menuntut, namun ayah Pram menjadi lelaki yang kebingungan. Jangankan untuk bisa menguasai harta Mama Nina, diberikan akses pun tidak, hehehe. Ya akhirnya dia bercerai lagi."
"Katanya sekarang dia sudah mau bercerai dengan Bu Ita dan sebentar lagi akan menikah dengan wanita yang lebih tajir dari Bu Ita."
"What? serius Ma. Dari mana Mama tahu semua itu?" Aku kembali menahan tangan Mama dan dengan sendirinya langkah kami pun terhenti.
"Kita duduk di sana aja, A!" ucap Mama sambil menunjuk sebuah bangku kosong di bawah pohon kepala. Pantai yang kini kami injak, ternyata sudah sangat jauh dari tempat kami start. Situasinya pun relatif lebih sepi.
"Sudah dua kali ayah Pram ngajak ketemu dengan Mama di pantai ini. Dia selalu membawa calon istrinya dan mereka meminta restu dari Mama."
Mama duduk di bangku yang tak jauh dari warung sederhana yang sedang tidak terlalu ramai pembeli.
Aku mendatangi warung itu, membeli air mineral dan rokok.
Setelah duduk kembali di samping Mama, aku meminta izin untuk merokok.
"Ayah Pram meminta restu pada Mama, untuk menikah lagi. Apa urusannya? Bukankah antara Mama dan ayah sudah tidak ada apa-apanya lagi?" tanyaku menyambung cerita Mama yang sempat tertunda.
"Memang, tapi ini menyangkut Aa."
"Aa dan Prili mungkin, ya?"
"Hanya Aa," potong Mama pelan.
"Hanya menyangkut Aa gimana?" Aku makin tak mengerti.
"Sudah dua kali mereka menemui mama, meminta bantuan untuk bicara dengan Aa. Bahkan Adel pun datang sendiri tanpa ayah Pram. Dia mengaku serius dan siap menjadi istrinya ayah Pram."
"Adel?" seruku dengan suara tersentak. Kaget bukan alang kepalang mendengar nama itu.
"Ya!" balas Mama singkat. Kedua matanya terlihat sedikit berkaca-kaca. Aku tahu itu air mata buatku.
"Ayah mau menikah dengan Adel?" tanyaku masih tak percaya. Suaraku pun nyaris hilang terbawa angin yang berlalu
"Betul. Adelia yang seharian kemarin bersama kita dan bahkan tadi malam tidur dengan Aa. Tadi subuh dia pun sudah menceritakan apa yang terjadi di kamar itu tadi malam." Mama bercerita dengan intonasi yang masih sangat tenang.
"Oh my God! Adel akan menikah dengan ayah?" Mataku nyaris melompat dari kelopaknya dan sungguh masih berharap apa yang aku dengar adalah gurauan atau canda kelas berat dari Mama.
Mama kembali mengangguk wajahnya masih terlihat tenang. Dia memang wanita yang tiada duanya dalam urusan ketenangan dalam menghadapi segala masalah. Mama bahkan tidak pernah histeris atau berekspresi lebay saat bergembira, terkejut atau dalam kesedihan sekalipun. Sikap tenang yang sama persis selalu ditunjukkan atau lebih tepatnya dicontohkan oleh Nenek, ibunya Mama.
Nenek senantiasa tersenyum apa pun yang dihadapinya. Tak pernah tertawa terbahak-bahak menanggapi selucu apapun candaan. Beliau juga menangis sekedarnya saja saat berduka. Tak pernah menangis tersedu-sedu sesakit apapun derita yang dialaminya. Mungkin sudah terbiasa menghadapi sikap kakek yang bertentangan dengannya.
Sayangnya aku sama sekali tak pernah tahu bagaimana sikap kakek semasa hidupnya. Menurut cerita banyak orang, kakek orang sangat tegas, temperamental dan sedikit arogan, mantan jawara. Dan neneklah yang sanggup meredam semua itu.
"Aa kecewa?" tanya Mama seraya menatap wajahku yang entah apa bentuk ekspresi dan warnanya. Yang pasti ini berita yang paling aneh serta paling mengejutkan yang pernah aku dengar.
"Sangat," balasku lirih.
"Kecewa karena ayah menikah lagi atau karena ayah menikah dengan Adel?" Mama memeluk bahuku.
"Dua-duanya Ma, terlebih lagi dia menikah dengan Adel," balasku masih dengan suara lirih.
"Aa mencintai Adel?" Mama kembali bertanya seolah ingin meyakinkan hatiku.
Aku tak menjawab dengan kata maupun gesture. Aku sangat yakin itu tak perlu lagi aku ungkapkan. Sebagai seorang ibu aku yakin Mama sesungguhnya telah memahami dan merasakan getaran-getaran rasa yang ada dalam hatiku terhadap Adel, jauh sebelum kami berpisah setahun yang lalu.
"Selama ini, Adel tidak tinggal di Aceh, tapi di Jakarta!" ucap Mama lirih.
Oh my God! berarti selama ini Adel sering berkomunikasi dengan ayah. Setahuku ayah memang sering juga ke Jakarta. Baik urusan dinas atau berpura-pura mau ketemu Om Teguh atau saudara yang lainnya. Mungkin itu yang dia jadikan alasan pada Bu Ita, istrinya sehingga dia bisa leluasa bertemu dengan Adel di Jakarta.
Lantas bagaimana ayah dan Adel bisa berhubungan dan bahkan hingga bersepakat untuk menikah?