Delapan

1363 Words
William memandangi wajah Mira yang terlelap. Hari sudah tengah malam, namun William masih terjaga. Dia tidak bisa tidur, rasanya menyenangkan sekaligus melegakan. Tidak cukup satu kali, William membuat Mira kelelahan hingga wanita itu tidak punya tenaga untuk membersihkan dirinya, dan langsung jatuh tertidur.  William berdiri dan memakai pakaiannya, setelah itu dia keluar kamar. Dia masuk ke kamar putrinya, membenarkan letak selimut Mikha. William sebenarnya kurang percaya, kalau Mikha di urus oleh pelayannya yang lain. Namun dia juga tidak bisa melewatkan kesempatan untuk mendapatkan Mira. William keluar setelah memastikan putrinya tidur dengan nyaman. Dia tidak kembali ke kamarnya, namun masuk keruang kerjanya. William tidak bisa tidur, dan pilihannya adalah bekerja. *** Mira bangun dengan seluruh tubuhnya pegal luar biasa. Dia meringis saat hendak turun dari kasur. Mira merasakan hawa dingin yang menusuk kulit punggungnya. Mira membulatkan matanya saat dia sadar, kalau dia tidak mengenakan apapun di balik selimut yang dia kenakan. Ingatanya langsung berputar kembali pada kejadian semalam. Mira mengamati sekelilingnya, ternyata dia masih ada di kamar bosnya. Mira bergegas turun dari kasur William, meski dengan langkah tertatih, Mira mengumpulkan pakaiannya dan langsung memakainya. Mira membuka pintu kamar William lalu melongokan kepalanya, mengamati sekitar. Meski baru pukul lima pagi, tapi aktifitas di rumah William sudah ramai. Melihat tidak ada siapa pun. Mira langsung berlari keluar dari kamar William menuju kamarnya. Mira langsung menjatuhkan dirinya di kasur begitu tiba di kamar miliknya. "Sshh ..." Mira meringis merasakan sakit di pangkal pahanya. Satu hal yang baru Mira sadari, sejak dia bangun tadi, William tidak ada di kamar. Dimana pria itu? Mira bertanya dalam hati. mungkinkah William tidak tidur dikamar sejak tadi malam. Atau jangan-jangan, dia tidak suka tidur dengan ku?' Berbagai pikiran negatif, muncul di kepala Mira. Mira menggelengkan kepalanya berusaha mengenyahkan semua pikiran negatif nya. Dia berdiri dari rebahannya dan melngkah masuk masuk ke kamar mandi. Dia ingin membersihkan diri dulu sebelum turun ke dapur, menyiapkan sarapan untuk Mikha dan juga bosnya. Mira membuka seluruh pakaiannya, dan mengguyur tubuhnya di bawah shower. Sebagai seorang baby sitter, kamar milik  Mira memang di beri fasilitas yang sama dengan Mikha. Dimana kamar mereka di beri kamar mandi masing-masing dan juga ruang ganti yang luas. Bedanya ruang ganti Mira terlihat lega dan luas, karena dia tidak memiliki banyak baju dan barang lainnya. Mira sangat jarang membeli pakaian atau tas dan sepatu, dulu saat dia baru bekerja di rumah William, dia hanya punya baju empat pasang. Karena keberangkatannya ke Jakarta dulu sangat terburu-buru, jadi dia tidak sempat membeli koper atau tas travel. Hanya ada ransel saat dia sekolah dan hanya muat di isi dengan sedikit baju. Mira keluar dari kamar mandi dengan handuk yang menutupi tubuhnya hingga setengah paha. Mira berdiri di depan cermin full body di ruang gantinya. Dia mengerutkan keningnya melihat banyak tanda merah keunguan di dadanya, leher, perut, dan bahunya juga tidak luput dari tanda merah itu. Mira menekan salah satu tanda merah di perutnya. Tidak sakit pikirnya. Apa ini tanda yang seperti  kakak tirinya pernah pamerkan padanya setelah bermalam dengan Adit dulu.  Mira mengamati tubuhnya sekali lagi, dan memang mirip seperti tanda yang Nadia punya dulu. Mira memukul kepalanya, "bodoh," makinya pada dirinya sendiri. Jika Jasmine tahu kalau dia sudah tidak perawan lagi, bisa putus hubungan persahabatan mereka.  "Hah, kenapa aku begitu bodoh?'' Mira lagi-lagi memukul pelan kepalanya. "Tante Mira!" Mira mendengar Mikha memanggilnya. Mira lekas memakai bajunya dan keluar dari ruang ganti. Mira membuka pintu kamarnya. "Iya, Tuan putri," sahutnya lembut sambil mensejajarkan tingginya dengan Mikha yang terlihat masih mengantuk. Mira mengigit bibir bawah nya, lagi-lagi perih pada bagian intimnya menghalanginya untuk bergerak lebih leluasa. "Tante, Mikha mau mandi sekarang, nanti telat sekolah." Mira menaikkan alisnya, lalu tertawa pelan. "Sayang ini hari sabtu, kamu libur. Sabtu kan tidak sekolah."  "Oh, iya. Aku lupa." Mikha tersenyum lucu. Mira mengacak rambut Mikha gemas dengan tingkah gadis kecil itu. "Mau tidur lagi, atau ikut Tante ke dapur? Kita buat sarapan," ajak Mira. "Mau. Mau ikut tante ke dapur. Tapi Mikha mau mandi dulu," ucap Gadis kecil itu setuju. "Ekhem." Mira baru saja hendak berdiri, saat mendengar deheman itu. Sontak saja kedua perempuan beda usia itu menoleh secara bersamaan. "Pagi, Papa," sapa Mikha ceria.  "Pagi, Sayang," balas William sambil mengelus lembut kepala Mikha. Mira memasang senyum untuk William, wajahnya sedikit merona mengingat kejadian semalan bersama pria itu. Setelah mengelus kepala anaknya, William berlalu tanpa menoleh sedikit pun pada Mira. Menjaga raut wajahnya agar tidak terlihat sedih, Mira tersenyum pada Mikha. "Ayo mandi sekarang," ucapanya ceria, dalam hati Mira berteriak sedih, atas perlakuan William tadi. Mira kemudian turun bersama Mikha. "Kamu sama Papa  aja, iya? Biar Tante yang masak. Nanti setelah Tante selesai baru panggil Mikha." Mira menunjuk ke arah William yang duduk di sofa ruang keluarga sambil membaca atau memeriksa sesuatu pada tablet nya. Mikha menggeleng. "Aku mau lihat Tante masak," katanya dengan bibir mengerucut lucu.  "Iya sudah, ayo." Mira menggandeng tangan Mikha ke dapur. Mira membantu Mikha duduk di kursi meja makan. Mira kemudian  mulai mengeluarkan bahan-bahan dari kulkas. terlihat Anisa dan dua pelayan yang juga berada di dapur, sedang memasak makanan untuk para  pekerja lain yang bekerja di rumah William. "Bangun telat, sudah berasa Nyonya kali yah." Anisa menyidir.  "Kalau Nyonya, tidak akan turun ke dapur, Mbak," balas Mira tanpa rasa takut. Sejak dua  hari ini, tidak tahu kenapa, Anisa mencari terus menerus mencari-cari kesalahannya. Lalu menyindirnya terang-terangan. Mira juga pernah mendengar wanita itu menjelek-jekannya  kepada pelayan lain. Mira tidak akan ambil pusing. Perlakuan William sudah cukup menyita perhatiannya. Tidak lama kemudian Mira menyelesaikan masakannya. Tidak di hiraukannya, kata-kata halus menyindir yang terus menerus Anisa lontarkan. "Panggil Papa, sarapannya sudah selesai." perintah  Mira pada Mikha. "Baik, Tante." Mikha melompat turun dari kursinya, lalu sedikit berlari ke ruang keluarga, menghampiri William. "Mira!" Mira menoleh saat Anisa memanggilnya. "Kamu punya pacar?" tanya wanita itu. Mira mengerutkan keningnya, lalu menggeleng setelah diam sejenak. "Tidak perlu berbohong. Cupang yang di leher kamu itu ulah siapa?" Anisa membulatkan matanya dan melihat Mira dengan sinis. "Jangan-jangan kamu jual diri, iya?" Anisa sengaja mengeraskan suaranya. Agar semua orang yang berada di sana melihat kejelekan Mira terutama William. "Aku tid-," "Sarapan, Mira!" panggil William yang sudah duduk di meja makan dengan Mikha. "Dan kau ..." William menunjuk Anisa. "Apakah kau sudah bosan bekerja di rumah saya. kalau iya, silahkan angkat kaki dari sini. Tidak akan ada yang menahanmu," ucap William datar.  "Maaf, Pak, saya masih ingin bekerja," jawab Anisa sambil  menundukkan kepalanya tanpa berani menoleh pada William.  "Apa pekerjaan mu, mengurusi kehidupan orang lain?" tanya William telak. d**a Mira menghangat saat mendengar pembelaan dari William. "Maaf, Pak, saya akan kembali bekerja." William mengangkat tangannya untuk mengusir pelayannya itu. Anisa melirik sinis pada Mira, lalu melewati Mira keluar dari ruangan itu. "Tunggu apa lagi Mira. Apa kamu tidak ikut sarapan?" Mendengar perkataan William, bergegas dan duduk di meja makan.  "Papa, Mikha boleh main?" Mikha bertanya setelah menyelesaikan sarapannya.  "Iya, boleh,"  kata William, lalu melanjutkan makannya. Mikha kemudian pergi keruang bermain di ikuti salah satu pelayan di belakangnya. Mira menyudahi makannya, dia akan menemani Mikha bermain. "Mau kemana?" Mira menghentikan langkahnya mendengar perkataan William. "Mau menemani Mikha, Pak?" jawab Mira ragu. "Duduk!" perintah William. Mira yang tidak ingin membantah bosnya itu pun kembali duduk. William menyodorkan sebutir obat pada Mira. "Ini obat pereda nyeri, saya tahu kamu menahan sakit dari tadi," katanya. Mira menerima obat itu dan meminumnya. "Terima kasih pak," ucap Mira. William hanya mengangguk. Dia merasa buruk karena sudah menggagahi wanita perawan gila-gilaan. Harusnya dia berhenti saat mendapat pelepasan untuk yang kedua kalinya, Namun, bukannya berhenti, dia malah semakin bernafsu. Dan mendengar pernyatan terima kasih Mira membuatnya semakin buruk. "Sekarang kamu kembali ke kamar mu, istirahat. biar saya yang akan menemani Mikha hari ini." Perintah William tidak terbantahkan. Mira dengan enggan kembali ke kamarnya. William berdiri dan melangkah menuju ruang bermain Mikha. "Loh Papa? Tante Mira mana?"  Tanya Mikha saat tidak melihat tante kesayangannya itu. "Hari ini papa yang akan menemani kamu main, tante Mira sedang istirahat, dia tidak enak badan". jelas William memberi pengertian putrinya itu. "Boleh Mikha lihat Tante, Pa?" "Papa kan sudah bilang, kalau Tante sedang istirahat. Artinya tidak bisa diganggu. Nanti siang baru boleh lihat tante" "Baik, Papa," jawab Mikha patuh. Dia kemudian sibuk dengan pensil warna dan gambar miliknya. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD