Tujuh

1729 Words
William kembali ke rumah untuk mengambil berkasnya yang ketinggalan. Namun saat melewati kamar Mira dia mendengar pembicaraan Mira dengan denganJasmine sahabatnya. William melangkahkan kakinya menuju kamarnya dengan senyum licik di bibirnya.  Banyak rencana bagus yang tersusun di otaknya. Saat kembali ke kantor William berpapasan dengan Mira yang hendak masuk ke kamarnya, dengan makanan di tangannya. Dia tadi memesannya secara online. "Apa itu?" Tanya William menunjuk tangan Mira dengan dagunya.  "Ini makanan, saya memesannya lewat online," jawab Mira polos. "Saya tahu itu makanan. Yang saya tanya, itu makanan apa?"  "Oh, ini seblak, Pak." William mengerutkan keningnya, dia baru tahu ada makanan yang bernama seblak. "Ini terbuat dari, kerupuk, ceker ayam dan mie," jelas Mira, melihat kebingungan di wajah William. "Saya mau coba," pinta William. "Tapi, ini hanya beli dua. Untuk saya dan juga Jasmine," kata Mira seraya mengangkat bungkusan di tangannya. "Kalau begitu berikan bagianmu untuk saya makan." William mengeluarkan dompet miliknya dari sakunya. Dia mengambil salah satu kartu atm miliknya dan memberikannya pada Mira. "Ini, kamu beli lagi untuk mu. Tanggal ulang tahun Mikha, paswordnya.'' Setelah mengatakan itu, William mengambil makanan itu dari tangan Mira, lalu pergi begitu saja. Mira melihat seblak yang sisa satu di tangannya dan juga kartu atm milik bosnya itu. Mira masuk ke kamarnya dan memberikan seblak itu pada Jasmine. "Loh, ko cuma satu?" tanya Jasmine  "Bos, mengambil satu saat papasan di depan tadi," jawab Mira acuh. "Jadi, ini kita satu berdua?" Jasmine kembali bertanya. "Kamu aja deh. Aku makan buah aja." Mira mengambil buah dari lemari penyimpanan yang memang tersedia di kamarnya. "Eh, yang ini nggak pedas sama sekali. Tadi aku kan pesen yang pedas mercon." Mira langsung duduk dan mencicipinya. Dia menepuk keningnya. "Ini pasti tertukar dengan yang Pak William ambil." Mira mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi William, namun hingga dering berakhir, William tidak kunjung mengangkat teleponnya. Mira tidak menyerah, dia mencoba menelepon William lagi hingga lima kali tapi, William tidak juga mengangkatnya. "Kamu cinta banget, ya sama si Bos? Kamu terlihat begitu sangat khawatir" Mira meletakkan ponselnya lalu mengangguk pelan. "Tapi aku akan melupakannya, tidak akan lama lagi,"  kata Mira yakin, namun hatinya meragu. Jasmine tersenyum, dia mengusap bahu sahabatnya itu, memberi semangat. *** William membuka bungkus makanan itu setelah dia tiba di kantornya. William melihat tampilan seblak yang tidak meyakinkan. Mie yang mengembang karena terlalu lama. William menghiraukan tampilan itu, lalu mengambil sendok dan mulai mencicipinya. Mata William membulat dan langsung melempar makanan itu ketempat sampah. Wajahnya memerah karena kepedasan. William membuka kulkas yang di siapkan khusus di ruangannya, lalu mengeluarkan air mineral dan langsung menenggaknya hingga habis. Salahnya karena tidak bertanya lebih dulu dan langsung mengambil saja. Tapi Mira juga salah, kerena tidak memberitahunya kalau makan itu berracun. William mendengus kesal. Tidak lama raut kesal itu berubah jadi seringai licik. Willliam akan jadikan ini alasan untuk mendapatkan Mira malam ini. Memikirkannya, membuat William tidak sabar untuk pulang kerumah lebih cepat. Andai saja pekerjaan ini tidak mendesak, Willliam pasti sudah pulang sekarang. William tidak bisa fokus pada pekerjaannya, dia terus menerus melirik ke jam tangan Rolex, seri Rolex Daytona ref.6263, miliknya. Jam tangan seri ini hanya ada empat di dunia dan William yang punya salah satunya. William menutup laptopnya mengakhiri pekerjaannya hari ini. Tepat pukul lima sore, William melangkah keluar dari kantornya. "Sore, Pak William. Apa Anda akan pulang sekarang?" William hanya mengangguk menanggapi sapaan dan pertanyaan Seila, sekretarisnya. "Maaf. Pak. Apa saya boleh menumpang di mobil Bapak?" Tanya Seila, dia menggerakkan tangannya menggoda William. William memandang Seila dengan datar, "Jika bukan karena pekerjaan mu yang kompeten, sudah dari dulu saya memecatmu. Sikap mu semakin hari semakin kurang ajar. Atau memang kamu sudah bosan bekerja?" Wajah Seila jadi pucat mendengar perkataan William, tapi dia tidak menyerah untuk mendapatkan atasannya itu. "Saya seperti ini karena saya menyukai Bapak," jawab Seila dengan berani. "Menyukai seseorang, kamu juga perlu menjaga harga diri mu," balas Willim dengan dingin.  "Jika kamu masih bersikap seperti ini, sebaiknya serahkan surat pengunduran diri kamu di meja saya besok. Saya masih bisa mencari orang yang lebih kompeten dari pada kamu." Setelah mengatakan hal itu, William meninggalkan Seila yang wajahnya pucat di ruangan itu sendiri. *** William memasuki rumahnya dengan langkah pelan, dia sudah memikirkan cara apa yang akan di gunakan untuk menarik Mira padanya. Yang pasti William akan mendapatkan Mira malam ini. Begitu William masuk rumah, Mira langsung menyambutnya dengan raut wajah khawatir yang tidak di sembunyikan. "Apa Bapak baik-baik saja?" tanya Mira, mengamati William dengan teliti. William memberikan tas kerja dan jas yang sudah dia lepas, kepada Mira. Dia melewati Mira tanpa menjawab pertanyaan wanita itu. Berjalan dengan pelan sambil menekan perutnya dengan tangan kirinya. Hal itu membuat Mira semakin merasa bersalah. Dia menyampirkan jas William di bahunya dan menangkap tangan William. "Saya akan bantu Bapak ke kamar" William menahan sudut bibirnya agar tidak tertarik membentuk senyuman, ah lebih tepatnya seringai. Saat tiba di kamar, Mira membantu William berbaring. Dia dengan telaten melepas sepatu dan kaus kaki William. Mira kemudian masuk ke ruang ganti William, dia mengambil pakaian ganti untuk bosnya itu. "Pak, ganti baju dulu." Mira menyerahkan pakaian ganti ke hadapan William. "Nanti saja, saya ingin istirahat sebentar" tolak William. "Bapak ingin saya panggilkan dokter?"  "Tidak," jawab William pendek. "Bapak mau teh hangat?" tanya Mira lagi. "Tidak perlu Mira, saya hanya ingin istirahat," jawab William tegas. "Kalau begitu saya tinggal sebentar ya, Pak." "Jangan kemana-mana, kamu temani saya di sini!"  "Tapi, Mikha Pak-," "Untuk hari ini, biarkan yang lain dulu untuk mengurus kebutuhannya." Mira akhirnya menurut. Dia berdiri di tengah ruangan, dia tidak tahu akan melakukan apa pun. "Mira," panggil William dengan nada pelan. "Iya pak," jawab Mira cepat.  "Kemari, temani saya di sini." William menepuk sisi kosong ranjangnya. Mira mendelik pada William, pasalnya, selama lima tahun bekerja pada pria itu, dia belum pernah sekali pun duduk di kasur pria itu. "Kemari Mira," kata William lagi dengan nada memerintah yang tidak bisa di bantah. Dengan canggung Mira lalu berjalan kemudian berdiri kaku di samping William.  "Berbaringlah!" perintah William lagi. Dengan patuh Mira berbaring di samping William. Mira menggeser badannya, hingga menyisakan jarak yang begitu lebar di antara mereka. "Bisa tolong tekan perut ku sebelah sini?" William menyentuh bagian perutnya sebelah kiri. Mira gugup setengah mati. Saat dia mengangkat tangannya, Mira tidak bisa menahan getaran di tangannya. Dia kemudian menarik kembali tangannya, dia menatap William dengan tatapan memelas. Jantungnya berdetak lebih cepat hingga terasa menyakitkan. Dia berpikir William mungkin bisa mendengar  suara detak jantungnya. Melihat keraguan Mira, William langsung bergerak dan menarik tangan Mira dan menekannya di atas perutnya. Mira membulatkan matanya saat merasakan otot perut William di tangannya. Tanpa sadar Mira meremas perut William sedikit keras. William menggeram merasakan gairahnya naik, akibat sentuhan tangan Mira. Mira yang menyangka William kesakitan langsung menarik tangannya. "Maaf, Pak," ucapnya penuh sesal. "Lakukan lagi!" "Apa?" Mira jelas bingung. Bukankah tadi pria itu kesakitan, mengapa dia meminta aku melakukannya lagi?' Tanya Mira dalam hati. William tidak sabar dengan reaksi Mira. Dia menarik Mira mendekat padanya, sekarang tubuh mereka sangat dekat nyaris tanpa jarak. Begitu dekat hingga tidak ada jarak diantar mereka. "Mira, rasanya sangat tidak nyaman. Bisa tolong bantu saya?" Mira mengangguk dua kali, dia tidak sanggup berkata-kata, saking gugupnya. "Bantu lepaskan pakaian saya!" "Tapi pak." Mira menggeleng ragu. "Kamu yang membuat saya begini,"  kata William dengan nada menuduh. Mira menunduk, dengan pasrah dia duduk, dan mulai melepas pakaian William. Mulai dari kemeja pria itu, dia melepaskan kancing kemeja William satu persatu dengan gerakan perlahan. Namun bagi William, gerakan Mira itu membuatnya semakin tergoda dan b*******h. William menelan ludahnya, membasahi tenggorokannya yang kering. William sedikit mengangkat badannya saat Mira melepas kemejanya.  "Uhm ... celana Bapak, haruskah aku juga yang melepasnya?" tanya Mira sedikit gugup. "Iya," jawab William pendek. Wajah Mira memerah karena malu. Dengan tangan gemetar. Dia membuka simpul sabuk, lalu menariknya keluar lepas dari celana William. Mira berhenti dan memandang kancing celana William, dia sedang berpikir, membukanya atau tidak.  William yang merasa 'miliknya' di tatap intens oleh Mira, menarik gairahnya naik hingga ke ubun-ubun. "Lakukan Mira!" Suara William berubah serak, menahan gairahnya yang menggebu. Mira tersentak dengan perkataan William, dia pikir pria itu sedang marah. Maka dengan cepat dia menggerakkan tangannnya menyentuh kancing celana William. Mira kembali tersentak dan menarik tangannya saat merasakan benda keras di balik kancing celana William. "Argh ..." William menggeram lagi, kemudian dengan satu gerakan dia menggulingkan tubuh Mira dan mengurung wanita itu dibawah tubuh kekarnya. Willam menindih tubuh Mira, lalu tanpa menunggu lama dia menyatukan bibirnya dengan Mira. Mira mengerjapkan matanya kaget, dia belum bisa mencera apa yang terjadi, Namun saat tangan William merayap masuk ke balik kausnya dan menyentuh dadanya, barulah Mira mengerti keadaan apa yang akan dihadapinya. "Pa-pak." Mira berusaha mengeluarkan tangan William dari balik kausnya. William tidak menhiraukan penolak yang Mira berikan, ciumannya berpindah ke leher jenjang wanita itu. "Pak, tolong hentikan." Mira mengerang kecil kemudian dia berhasil menyingkirkan tangan William dari atas dadanya. "Katakan kalau kamu juga menginginkan saya Mira?" kata William di sela-sela kecupannya pada leher dan bibir Mira bergantian. "Pak, ini tidak benar." Mira mendorong d**a William menjauh, Namun sekeras apapun dia berusaha, William tidak menjauh sedikit pun. Mira menahan ujung kausnya yang hendak ditarik lepas William, dia menatap William dengan pandangan sayu. Mira tidak tahu apa yang dia rasakan. Dia ingin William melanjutkanya, namun  di lain sisi dia juga ingin berhenti. Saat kebimbangan Mira, di situ juga William mengambil kesempatan melepaskan atasan yang Mira pakai dengan sekali tarikan. William menatap tubuh polos yang berbalut bra putih milik Mira. Puas memandang kulit putih itu, William kemudian menutup matanya meresapi halusnya kulit Mira di bawah sentuhan tangannya. Entah sejak kapan, Mereka kini sama-sama polos tanpa sehelai benang. "Saya begitu menginginkan kamu Mira. Karena itu, izinkan saya memiliki kamu malam ini." Mira tidak bisa berkutik di bawah sentuhan William. Dia mencintai pria ini, dan jika William menginginkannya, bukankah itu berarti William juga punya rasa yang sama dengannya? Mira berharap kalau itulah alasan William menyentuhnya. William tersenyum saat merasakan kehangatan Mira membungkusnya begitu nikmat dibawah sana. Dan tersenyum bangga saat mengetahui kalau dia adalah pria pertama untuk wanita itu. Bahkan saat bersama mantan istrinya dulu, dia bukanlah yang pertama. Dan ini merupakan pengalaman pertamanya bercinta dengan perawan. William mungkin tidak akan pernah melupakannya, bagaimana pun suatu saat nanti Mira juga akan pergi meninggalkan rumahnya. Wanita itu tidak akan selamanya bekerja di rumahnya. Karena itu selama dia masih di sini. William akan memanfatkannya selagi masih ada waktu.  William tersenyum licik di balik bahu Mira. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD