Brak!
Keheningan terpecahkan oleh dentuman remot TV yang tak sengaja dijatuhkan Vanko ke lantai. Dengan canggung, mereka saling menatap dan tertawa lirih. Tak disangka, suasana yang awalnya baik-baik saja kini langsung berubah menjadi kecanggungan.
Becca pun langsung pura-pura menyesap minuman sodanya yang sedari tadi baris di atas meja. Dia ingin mengingat masa lalu, tapi bukan kepahitan seperti ini yang ingin dia ingat.
"Sorry. Waktu itu gue ngatain lo gak punya otak." Vanko langsung minta maaf seperti yang sudah direncanakan sebelumnya.
Tak menyangka dia akan mendengar kata-kata maaf seperti ini setelah delapan tahun lamanya.
"Gue tahu, lo pasti juga marah ke gue. Jadi gue maklum, gue enggak akan nyalahin lo sepenuhnya."
Jawaban dewasa Becca barusan malah membuat Vanko merasa lebih bersalah.
Tanpa diduga, Becca merasa tubuhnya jadi gemetar usai mendengar kata-kata kasar Vanko tadi. Dia menatap Vanko sekilas dan kemudian menatap Zulla.
Jujur saja, Becca sakit hati mendengarnya. Dia menangis tersedu-sedu dan berusaha menenangkan diri. Dua orang yang dia sayangi, sama-sama mengatakan kekecewaan padanya dan itu membuat Becca terpukul. Padahal bukan ini niatnya. Dia hanya ingin merasakan rasanya memiliki lelaki yang dia sukai.
Air matanya menetes tanpa permisi mewakili isi hatinya yang terluka. Tapi Becca juga tidak menyesali keputusannya. Dia sudah tahu kalau konsekuensinya akan seperti ini. Hanya waktu saja yang tak bisa ditebak, dan baru sekarang terpecahkan.
"Kalian bebas buat ngerasa kecewa sama gue. Tapi gue sadar, bahwa itu pilihan gue dan sebisa mungkin gue enggak mau menyesali apa yang sudah gue pilih." dengan percaya dirinya dia mengatakan itu semua.
"Sakit tahu gak lo, Bec! Cinta boleh pakai hati, tapi jangan cuma hati yang kerja. Otak juga harus digunain, karena keduanya sama-sama rawan terluka." ujarnya sembari memandangi wajah Bscca di depannya.
"Mau gimana lagi? Vanko enggak suka ke gue, dia sukanya ke lo. Gue mana punya kesempatan jalan sama dia kalau gue enggak pura-pura bego pas dia mau memperalat gue." dengan beraninya Becca mengatakan ini.
Semakin tak habis pikir, Zulla sampai menarik napas dalam-dalam guna menahan air matanya. Dia tidak tahu kalau temannya semenderita ini. Zulla merasa dadanya sesak.
"Jadi ini alasan lo enggak mau gue cium? Karena lo udah tahu kalau gue cuma manfaatin lo doang?" sela Vanko di sela-sela perdebatan mereka.
Lingga maju, dia memegang bahu Zulla dan Becca secara bersamaan. Telinganya sampai panas mendengar keributan di depan mata.
"Pelanin suara kalian. Mereka bisa denger kalian ribut di sini." ujarnya penuh perhatian karena tidak ingin ketiga temannya merasa malu.
Tidak ada yang mendengarkan Lingga. Mereka bertiga masih saling emosi dan terlihat jelas dua di antaranya hampir meledak.
"Gue gak nyangka, punya temen sebodoh lo."
Usai mengatakan itu pada Becca, Zulla langsung pergi dari sana meninggalkan mereka berdua begitu saja. Seketika Lingga berlari mengejar Zulla dan membiarkan Vanko dan Becca menyelesaikan masalah mereka berdua.
Hanya tersisa Becca bersama Vanko di samping sekolah yang cukup sepi. Suasana menjadi sangat canggung bagi Vanko. Tapi menurut Becca, ini adalah moment yang dia tunggu. Akhirnya dia bisa mengatakan semuanya tentang apa yang dia ketahui.
Nafas Vanko yang memburu terdengar di telinga Becca. Laki-laki itu meremas udara sampai urat-urat di tangannya terlihat dari balik kulitnya.
"Akting lo selama ini hebat tahu gak? Salut gue sama lo." sindir Vanko pada Becca yang sudah berhasil menipunya selama ini.
Sakit rasanya ditinggal sendirian seperti ini. Tapi Becca juga merasa terselamatkan karena dia tidak perlu membendung air matanya terlalu lama. Dia menangis sendirian di sana setelah Vanko ikut pergi dari sana.
Tak berselang lama, tangisan Becca diganggu oleh panggilan telepon dari mamanya. Dia mendengar bahwa Gendis menyuruhnya untuk segera ke parkiran.
Tittt!
Kenangan masa lalu yang baru mereka ingat terbuyarkan oleh suara bel. Vanko melihat jam dinding, ternyata sudah pukul setengah delapan malam. Tapi dia tidak tahu kalau akan ada tamu di jam sebegini.
"Gue buka pintu dulu." katanya sambil berdiri dan meninggalkan Becca sendiri di sana.
Hanya anggukan yang Becca berikan. Dia tiba-tiba teringat akan sesuatu yang dia buat tadi siang saat dirinya merasa jenuh dan tak ingin keluar.
"Oh... Lo dapet paket jam segini?"
Becca sedikit kaget karena ternyata yang memencet bel tadi bukan tamu, melainkan kurir paket. Hal itu jelas terlihat dari kardus besar yang barusan diletakkan Vanko di samping buffet samping lemari sepatu.
"Ah... Ini paket dari Shanghai, dua minggu lalu gue baru dari sana. Isinya cuma barang-barang pesenan Mama." jelasnya sambil berjalan ke arah sofa lagi.
Vanko melihat Becca juga berjalan ke arahnya. Tapi kali ini, gadis itu membawa piring yang entah isinya apa juga Vanko tidak tahu. Dengan santainya, Becca duduk di tempatnya semula sambil menunjukkan isi piring ke Vanko.
"Karena gue bosen dan tadi lihat ada bahan-bahan di dapur, jadi gue mutusin buat bikin taco sama clam cake." jelasnya.
Tak menyangka, Vanko masih diam memandangi dua menu makanan yang terlihat cantik di atas piring. Dari penampilannya memang cantik dan menarik, tapi Vanko sedikit tidak yakin kalau rasanya akan menarik juga.
"Lo harus coba. Ini enak banget." Becca mengambil satu taco dan dia hadapkan ke mulut Vanko.
Ragu. Vanko ragu akan rasa dari semua makanan yang ditawarkan padanya. Dia takut rasa lidahnya yang baik-baik saja jadi terganggu kalau ternyata taco itu rasanya tidak enak. Tapi Vanko juga tidak bisa menolak.
"Gue udah kenyang, 'kan baru selesai makan." tolaknya lembut karena tidak mau melukai perasaan Becca.
Keringat mengalir di pelipis Vanko saat dia melihat Becca menggelengkan kepalanya. Gadis itu tidak mau menyerah dan terus menyodorkan taco ke depan mulut Vanko.
"Tetep aja, lo harus makan meski satu potong doang, buat nyicipin aja." paksanya lagi.
Glek!
Naik turun jakun Vanko, dia tidak mungkin bisa menolak lagi. Kalau hal itu dia lakukan, yang ada malah membuat Becca lebih curiga padanya.
"Sebenarnya gue lagi diet." penolakan kedua yang Vanko lakukan.
Kening Becca mengerut lalu tangannya mundur. Dia tidak tahu kalau Vanko sedang diet.
"Padahal gue ta-"
"Tapi kalau ini yang bikin lo, masa gue tolak sih." sela Vanko sambil menarik tangan Becca dan menyuapkan taco ke dalam mulutnya karena saking tidak inginnya Becca kecewa.
Kelopak mata Becca melebar. Dia melotot tak menyangka kalau Vanko akan memakan taco di tangannya.
"Katanya lagi diet, gimana sih? Kalau gue tahu sebenarnya lo lagi diet, gue enggak akan pesen nasi mawut tadi. Dan gue enggak akan nawarin taco sama clam cake ke lo." desah Becca merasa bersalah.
Meledak. Vanko merasa taco yang dia makan sekarang meledak di dalam mulutnya. Prasangkanya salah besar. Taco buatan Becca jauh dari kata buruk. Rasanya sangat enak dan dia ketagihan hanya karena sekali coba.
Secepat kilat, Vanko meraih piring di tangan Becca. Hal itu membuat Becca tidak kaget karena takut piringnya jatuh. Dia melihat Vanko yang kembali menyuapkan taco ke dalam mulutnya. Malah kali ini, dia langsung memasukkan dua potong taco.
"Kenapa dimakan? Katanya lagi diet." heran Becca sambil berusaha mengambil alih piring itu lagi.
"Gak jadi dietnya." katanya khas orang sedang makan.
Becca melongo, dia diam sebentar buat mencerna apa yang sebenarnya Vanko katakan barusan karena sambil makan.
"Karena lo yang udah susah payah bikin makanan ini, mana mungkin gue tega kalau gak makan. Pasti bakal gue habisin."
Setelah berhasil menelan semua makanannya, barulah Vanko kembali bicara dan itu semakin membuat Becca melebarkan kelopak matanya.
"Gak bisa. Lo bilang lagi program diet. Gue enggak mau ngancurin program diet lo yang udah lo lakuin dari hari-hari kemarin."
Vanko merasa sedikit bersalah karena sudah membohongi Becca tentang diet. Jadi sekarang gadis itu terlihat bodoh di matanya karena percaya dengan apa yang dia katakan. Lagi pula, Vanko juga tidak tahu kalau makanan buatan Becca akan seenak ini. Tadinya dia kira, kedua makanan itu failed.
Hah... Gue gak rela kalau gak ngabisin makanan ini. Pekik Vanko di dalam hatinya saat Becca terus berusaha merebut piringnya.
"Gue udah ngelewatin hari-hari sulit gak bisa makan enak karena diet. Jadi biarin gue makan enak buat kali ini." katanya lagi masih kekeuh tidak ingin menyerahkan piring di tangannya pada Becca.
"Maka dari itu, karena lo udah nahan makanan enak berhari-hari, lo gak boleh ngancurin program lo cuma gara-gara ini."
"Gue masih bisa mulai diet lagi nanti."
Tak ada kamus menyerah buat Becca. Dia hanya tidak mau mengganggu rencana Vanko saja. Andai dia tahu akan seperti ini, Becca memilih tidak menawarkan makanan pada Vanko.
Untung saja Vanko punya kemampuan buat menghindar secepat mungkin. Tangannya bergerak sangat cepat buat menghindari tangan Becca. Tanpa sadar, Vanko pun ikut mundur karena Becca terus memajukan badannya.
Mereka terus adu mulut sambil tertawa. Satunya menolak, sementara yang satunya ingin mengambil kembali piringnya. Keduanya terlihat asik dan menikmati kebersamaan seperti ini. Bahkan televisi yang menampilkan para aktris dan aktor pun kalah menarik dari sepiring makanan buatan Becca.
Di piring itu hanya tersisa tiga potong clam cake yang rasanya juga enak menurut Vanko. Di setiap ada kesempatan, Vanko secepat mungkin buat menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.
"Arkh..." ringis Becca karena tiba-tiba dia hilang keseimbangan dan terjatuh di atas badan Vanko.
Tring!
Untung saja, tangan Vanko jatuh ke meja. Jadi piring di tangannya tidak terjatuh ke lantai dan pecah. Suhu tubuhnya berubah langsung saat dia merasakan Becca berbaring di atasnya. Mulutnya pun berhenti mengunyah karena tak menyangka akan ada insiden seperti ini.
Menggunakan mata tajamnya, Vanko bertatap pandang dengan sepasang bola mata Becca. Tampak jelas, pelipis gadis itu dibanjiri keringat. Sama sepertinya.
Becca fokus menatap kening Vanko, karena dia tidak mau semakin salah tingkah. Memikirkan jantungnya yang berdetak berkali-kali lipat saja sudah membuat Becca malu, apalagi kalau sampai dia terlihat salah tingkah.
Sementara Becca yang berusaha baik-baik saja, berbeda dengan Vanko yang malah memuaskan matanya dengan memandangi wajah gadis berkulit hitam manis itu dari dekat. Pandangannya kini pindah ke kelopak mata Becca lalu turun ke batang hidungnya dan kemudian jatuh ke bibir Becca yang berwarna merah muda.
"Guk...!"
Saat itu juga, Vanko tersadar dan mendorong pelan badan Becca agar dia bisa bangun. Dia hampir tersedak makanannya yang belum dia telan karena cegukan.
Becca pun ikut panik mendengar Vanko cegukan. Tapi kenapa suaranya malah lebih mirip dengan suara salah satu hewan berkaki empat.
"Gue ambilin air bentar."
Cepat-cepat Becca berlari ke dapur lalu kembali sambil membawa air minum dan diberikan ke Vanko agar membantu cegukan lelaki itu cepat selesai.
"Pelan-pelan minumnya." katanya memperingati karena tak mau Vanko jadi tersedak.
Habis sudah air putih sebanyak satu gelas besar. Vanko merasa lebih hidup sekarang walau cegukannya belum hilang.
"Minum lagi?" tanya Becca.
Sebuah gelengan menjadi jawaban buat Becca. Lelaki itu malah menepuk-nepuk dadanya berulang kali agar segera selesai.
Bug! Bug! Bug!
Lagi-lagi Vanko dibuat kaget oleh perbuatan Becca sekarang. Gadis itu malah ikut memukul pelan dadanya seperti yang dia lakukan.
"Biar gue sendiri aja." tolaknya karena takut Becca akan merasakan debaran jantungnya yang tak karuan.
"Gak papa, biar gue bantuin."
Mereka sama-sama keras kepala. Tak aneh memang, dari dulu pun seperti ini.
"Gue gak mau kalau nantinya tangan lo jadi sakit." beginilah cara Vanko menghentikan gerakan Becca.
Blushing!
Pipi Becca merah merona bak diberi taburan blush on setebal sepuluh sentimeter.
Tujuh tahun yang lalu.
"Lo gak papa? Udah mendingan belum?" tanya Becca cemas karena melihat wajah pucat Vanko usai tersedak kuah bakso pedasnya.
Hanya anggukan yang Vanko berikan, walau dia tidak yakin kalau sebenarnya dia baik-baik saja. Dadanya terasa sakit dan panas dalam waktu bersamaan.
"Biar gue aja yang beresin. Lo mending minum yang banyak aja."
Itu kata Becca sambil mengangkat mangkuk bakso milik Vanko dan bersiap mengelap meja makan di depan Vanko yang basah oleh kuah bakso karena tadi tak sengaja tersenggol tangan Vanko ketika dia kaget saat tersedak.
Ini bukan acara makan bakso di luar. Tapi di rumah Becca. Saat Vanko main ke rumah pacarnya, ada tukang bakso lewat dan mereka memutuskan buat makan itu siang ini.
"Gak usah, biar gue aja. 'Kan gue yang gak sengaja numpahin, jadi biarin gue yang bersihin." cegah Vanko sambil menarik lap dari tangan Becca.
"Gak usah sungkan, gak papa kok gue aja yang ngelap." Becca masih tidak mau mengalah.
"Gue bisa kok kalau cuma ngelap begini." tentu saja Vanko tidak menyerah begitu saja karena memang sifat keras kepalanya.
"d**a lo lagi panas, terus sakit juga pasti. Jadi gak papa kalau lo diem doang dan biarin gue yang ngebersihin."
Karena perdebatan kecil mereka, kuah bakso itu masih ada di sana dan belum jadi dibersihkan.
"Gue gak mau tangan lo panas kena kuah bakso gue yang pedes." Vanko menggenggam tangan Becca seketika agar gadisnya tidak melanjutkan niatnya yang ingin mengelap meja.
Vanko melihat Becca dengan saksama. Gadis itu malah tersenyum sangat cantik dan hal itu membuat Vanko tidak mengerti. Sebenarnya kenapa Becca tersenyum sedemikian cantik?
"Kenapa lo senyum seperti itu?" akhirnya Vanko memutuskan untuk bertanya karena saking penasarannya.
Seketika bayangan kisah masa lalu buyar saat itu juga karena Becca mendengar suara orang yang pernah menjadi miliknya dulu. Becca malu tujuh turunan karena ketahuan tersenyum seperti ini oleh Vanko.
"Gak papa, cuma gak habis pikir kalau cara ngerayu lo antara dulu dan sekarang itu sama aja." kekehnya namun bisa dilihat oleh Vanko bahwa di balik tawa ringan Becca tadi tersirat kesedihan di dalam suaranya.
"Ngerayu?" kaget Vanko.
"Ah... Sorry, gue salah bicara." Becca langsung menutup mulutnya erat-erat karena saking takutnya membuat Vanko jadi salah berpikir tentangnya.
Tapi tak lama, Vanko jadi tertawa pelan. Dia melihat Becca lekat-lekat dan menikmati wajah gadis itu untuk ke sekian kali.
Gak ada yang berubah. Lo masih sama kayak dulu. Puji Vanko dari dalam hatinya.