Televisi yang dianggurkan sedari tadi masih tetap saja didiamkan, tidak diperhatikan. Ditambah, suasana tidak secanggung tadi setelah dua puluh menit berlalu usai kejadian Vanko cegukan.
Malam semakin gelap, tapi dua anak manusia itu masih betah berbincang-bincang di sofa seolah tidak mengenal lelah. Vanko juga sudah menghabiskan makanan buatan Becca seperti yang dia inginkan. Tentunya di detik-detik terakhir, dia tidak diganggu oleh Becca yang ingin merebut piringnya.
"Ah... Gue padahal bisa masak. Tapi gara-gara gue gak suka ada di dapur lama-lama, jadi gue gak masak buat makan malam kita tadi karena waktu siangnya udah gue habisin buat bikin taco sama clam cake."
Becca mendesah karena dia tidak teringat akan Vanko yang bakal pulang ke apartemen. Padahal jelas-jelas dia tinggal di apartemen Vanko.
"Padahal gue bisa masakin buat lo dan kita gak perlu pesen makanan di luar yang belum tentu minyaknya sehat buat kamu yang lagi diet." sambungnya masih merasa bersalah.
Kata-kata Becca mampu membuat Vanko terkekeh. Lelaki itu tidak menyangka kalau Becca masih benar-benar percaya bahwa dirinya sedang diet.
"Lo lagi diet apa? Diet mayo, diet karbo, vegetarian, mediterania, ketogenik atau diet lainnya? Biar nanti gue kalau masak, bisa menyesuaikan sama kebutuhan tubuh lo sesuai diet yang lo jalani."
Tangan Vanko maju, jari telunjuknya menempel di bibir Becca. Dia melakukan ini seolah tanpa beban. Padahal hanya dengan begini saja, sudah bisa membuat Becca kalang kabut lagi seperti tadi.
"Udah gue bilang, gue gak jadi diet." ujarnya lembut membuat Becca mengangguk mengerti.
Seolah tak pernah lelah melengkungkan kedua bibirnya ke atas. Vanko terus saja tersenyum sedari awal bersama Becca. Tak terkecuali dengan sekarang yang juga sedang tersenyum tampan.
"Iya, gue ngerti." angguk Becca usai Vanko menjauhkan jari telunjuknya dari bibir Becca.
Mereka kembali terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sebenarnya, Vanko sudah mengantuk. Tapi dia tidak enak kalau harus tidur terlebih dulu dan meninggalkan Becca sendirian. Jadi sebisa mungkin Vanko menahan kantuknya dengan bantuan kopi, walau dia tahu nantinya akan pusing karena kurang tidur. Baginya, tidak masalah. Dia merasa sudah terlalu biasa tidak tidur berhari-hari dan dilanda nyeri kepala.
"Gue gak tahu kalau selama ini lo pinter masak. Padahal yang gue tahu, lo gak suka ada di dapur. Pegang spatula aja lo dulu gak mau." Vanko kembali membuka suara agar terjadi obrolan lagi di antara mereka.
Bibir Becca terkekeh pelan. Pandangannya kini jatuh ke bantal yang dia letakkan di atas pahanya. Dia juga tidak menyangka kalau sekarang bisa membuat masakan enak.
"Gue gak berubah kok. Gue masih gak suka berada di dapur dan gue gak suka megang spatula lama-lama." ujarnya pelan seraya mengingat kenapa dirinya jadi mau berada di dapur setidaknya satu menit.
Vanko menolehkan kepalanya menatap Becca yang masih fokus melihat bantal. Entah kenapa, Vanko melihat Becca seperti sedang bersedih.
"Gue mau ke dapur karena terpaksa harus ke dapur. Bukan karena kemauan gue sendiri." katanya pelan sambil mengangkat kepala dan menoleh ke arah Vanko sekilas sembari tersenyum.
Sebuah kata mengejutkan buat Vanko karena Becca ternyata terpaksa buat berada di dapur. Padahal tadinya, Vanko kira kalau Becca benar-benar berubah jadi suka memasak. Namun dugaannya salah besar.
"Lo gak perlu merasa terbebani di sini. Gue gak akan minta lo buat masakin gue, kalau lo gak suka di dapur, kita masih bisa makan di luar atau delivery kayak tadi."
Suasana jadi berubah sedikit mellow karena bahasan dapur. Padahal Vanko tidak berniat membuat Becca sedih, dia hanya bertanya karena pure penasaran.
"Gue malah lebih dibikin kaget sama lo. Dari kapan lo bisa masak enak kayak menu sarapan tadi?"
Sengaja. Becca sengaja mengalihkan pembicaraan agar Vanko tidak bertanya lebih lanjut tentang alasannya yang bisa memasak padahal dia tidak suka berada di dapur. Becca bukan tidak mau menceritakannya pada Vanko, tapi dia merasa belum siap untuk bercerita sekarang.
"Seperti yang lo lihat, gue di apartemen sendiri. Jadi gue udah biasa masak sendiri dan lama-lama rasanya jadi enak."
Vanko melihat Becca sekilas, gadis itu mengangguk mendengar ceritanya. Mungkin ini terlalu krispi dan tidak menarik bagi Becca, itu yang Vanko pikirkan.
"Gue boleh nanya?"
Sontak Becca menatap Vanko dan menautkan kedua alisnya menjadi satu. Dia mengangguk karena juga merasa penasaran, apa yang ingin Vanko ketahui darinya.
"Boleh." lanjutnya setelah mengangguk.
"Jadi, kenapa lo selama ini gak ada kabar padahal lo jelas-jelas di Los Angeles dan lo gak ganti nomor lo sampai sekarang?"
Vanko tidak bisa lagi menahan rasa penasarannya lebih lama. Dia benar-benar ingin tahu apa yang Becca lakukan di sana sampai-sampai gadis di sampingnya itu tidak pernah menghubunginya dan bahkan tidak bisa dihubungi.
Pertanyaan Vanko berhasil membuat d**a Becca sesak. Luka di hatinya kembali terasa nyeri. Padahal Vanko hanya memberikan pertanyaan. Becca juga tidak bisa marah, karena wajar bagi Vanko menanyakan hal itu.
Senyuman yang Becca suguhkan, membuat Vanko jadi bingung. Dia tidak tahu arti senyuman itu apa. Tapi Vanko rasa, itu bukan sesuatu yang membuat Becca senang.
"Boleh gak kalau pertanyaan ini gue simpen dulu?" Becca malah ganti bertanya.
"Nanti." lanjutnya lirih.
"Nanti kalau gue udah siap jawab, gue bakal cerita ke lo pelan-pelan dan satu persatu."
Dari suaranya, Vanko mendengar adanya kesakitan dan kekecewaan di dalamnya. Tapi jika dilihat dari raut wajah Becca, gadis itu seperti sedang ingin menutupi perasaan sakitnya.
"Oke. Gue gak masalah kalau lo mau ceritanya nanti-nanti. Waktu kita masih panjang, kita punya banyak waktu." Vanko menyetujui pertanyaan Becca tadi karena dia tidak mau membuat gadis itu tertekan hidup bersamanya.
Pipi Becca kembali mengembang karena dia tersenyum amat cantik pada Vanko. Dan hal itu menular, Vanko ikut tersenyum ke arah Becca.
"Makasih karena lo udah mau nunggu."
"Gue udah biasa nunggu, jadi itu bukan masalah besar buat gue." kekehnya.
Selalu saja detak jantungnya tidak normal setiap Vanko melakukan hal manis seperti ini. Becca bisa merasakan rambut keritingnya diusap-usap oleh Vanko. Lelaki itu bahkan menyelipkan rambut bak mie itu ke belakang telinga Becca.
"Lo sendiri gimana? Apa kegiatan lo selama ini?"
Tak masalah bagi Vanko kalau Becca kembali mengalihkan pembicaraan seperti tadi. Lagi pula, gadis itu juga pasti penasaran dengan kehidupannya selama ini tanpa adanya Becca di sisinya.
"Gak ada yang spesial, semuanya terasa datar. Gitu-gitu aja, sampai kadang gue ngerasa bosen." desahnya supaya terlihat lebih natural.
Becca mengangguk percaya. Walau Becca tidak percaya bahwa Vanko akan menjalani kehidupan yang membosankan. Hanya saja, jawaban Vanko di luar dugaan Becca. Dia pikir, Vanko akan menceritakan kehidupan manisnya selama dirinya tidak ada di samping Vanko.
"Ah... Lo tahu rasanya bosen sama hidup juga."
Respons yang diberikan Becca membuat kening Vanko mengerut. Dia bahkan sampai memicingkan matanya karena Vanko juga tidak menyangka reaksi Becca akan seperti itu.
"Kenapa? Ada yang salah?"
Pelan tapi terlihat jelas Becca menggelengkan kepalanya. Dia jadi semakin penasaran, tentang kehidupan Becca di Los Angeles selama delapan tahun di sana. Tapi Vanko tidak akan melanggar janjinya pada diri sendiri bahwa dia tidak akan memaksa Becca bercerita sebelum gadis itu siap dengan sendirinya.
Becca menghela napas panjang, pandangannya masih tertuju ke bantal sofa berwarna krem yang sedari tadi terus dia mainkan.
"Enggak. Cuma ngomong aja." sahutnya lirih.
Keheningan kembali tercipta, mereka sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing yang sebenarnya tidak beda jauh tentang apa yang mereka pikirkan.
"Lo bilang tadi lo kerja 'kan?" tanyanya sambil menoleh ke arah Vanko.
Kali ini ganti Becca yang memulai pembicaraan karena dia juga tidak nyaman terlalu lama diam.
"Bukan sesuatu yang patut dibanggakan sebenarnya." gumamnya.
"Eum?" sahut Becca karena tak paham apa maksud Vanko.
Bibir Vanko meringis, dia sebenarnya tidak mau memberi tahu tentang hal ini pada Becca. Namun, dia juga tidak bisa membohongi gadis yang dia sayangi.
"Kalau dilihat dari tempat lo tinggal, perabot rumah tangga sampai barang yang lo pakai, semuanya tidak bisa didapatkan dengan harga murah." suara Becca kembali memecahkan keheningan di antara mereka berdua.
"Gue nerusin bisnis yang udah dirintis sama kakek buyutnya kakek gue dari Papa." kekehnya sambil menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal.
Kedua mata Becca mengerjap berulang kali, dia mencoba mengurai tentang apa yang Vanko ucapkan.
"Kenapa?" heran Vanko karena Becca terlihat bagai orang bingung.
"Kakek buyutnya Kakek lo. Berarti maksudnya, lo punya Papa, Papa lo punya Papa yang jadi Kakek lo, Kakek lo punya Papa, terus Kakek buyut lo punya Papa, Papanya Kakek buyut lo punya Papa yang berarti Kakek buyutnya Kakek lo.”
Becca mengatakannya sambil memainkan jarinya dan serius menatap ke depan seolah sedang berpikir keras hanya karena urutan kakek. Hal itu cukup membuat Vanko tertawa. Baginya, apa yang Becca lakukan barusan sangat lucu.
"Eh... Bener gak sih kayak gitu? Bingung juga gue gimana ngurutinnya." akhirnya Becca nyengir kuda sambil menggaruk kepalanya karena dia kesulitan dalam menguraikan tentang hubungan perkakekan di keluarga Vanko.
Hahaha...!!
Tawa meledak di ruang televisi, Vanko terhibur hanya karena melihat tingkah Becca yang tidak terduga. Padahal, gadis itu juga tidak perlu memikirkan tentang urutan keluarganya yang bahkan Vanko sendiri saja masih sering bingung untuk mengingat urutan perkakekan.
"Kenapa ketawa? Gue salah? Urutannya salah?" tanpa sebab, Becca jadi panik sendiri memikirkan kalau dia sampai salah memberi urutan.
Melihat wajah Becca yang tampak sedikit takut, membuat Vanko menghentikan tawanya. Dia seketika menggelengkan kepalanya. Tanpa dia sangka, tiba-tiba tangannya malah menarik lengan Becca dan membuat gadis itu jatuh ke bahunya.
Syok! Mata Becca melebar sempurna. Dia kaget dan tak siap bahwa ternyata Vanko akan melakukan ini. Tapi pada akhirnya, Becca berusaha biasa saja dan melemaskan ototnya supaya tidak terlihat tegang.
"Enggak ada yang salah kok, cuma lucu aja gue lihat lo nyoba kasih urutan buat Kakek buyutnya Kakek gue." kekehnya lagi sambil menepuk-nepuk bahu Becca.
Becca ikut meringis mendengar kata-kata Vanko. Padahal dia juga tidak berniat buat melakukan itu. Becca hanya mencoba saja buat mengetes otaknya masih berfungsi atau tidak.
"Kalau boleh tahu, apa bisnis yang udah dirintis sama Kakek buyutnya Kakek lo itu?"
"Coklat, snack sama mie instan. Yang gue kelola itu semacam food industry." jawabnya tanpa ingin menyombongkan diri.
"Pasti besar banget kalau udah dikelola selama enam generasi."
"Lo tahu coklat bluesky?"
"Jelas gue tahulah. Itu tuh coklat yang di terkenal di banyak negara. Bahkan ya, selama gue di Amrik, gue selalu beli coklat itu buat ngobatin rasa kangen gue sama rumah. Apalagi, varian rasa stroberi yang baru itu. Gue suka banget, pokoknya tiada duanya deh." tanpa diduga, Becca bisa dengan lancar menceritakan sedikit kehidupannya selama di Los Angeles hanya karena sebuah merek coklat.
"Itu coklat favorit gue pokoknya." mata Becca sampai berbinar-binar hanya karena bercerita tentang coklat.
"Eh tapi bentar, lo 'kan tahu dari dulu kalau gue suka coklat bluesky. Di kulkas juga ada tadi gue lihat. Itu artinya lo gak lupa 'kan?" setelah bercerita sekian panjang, Becca baru sadar kalau Vanko tahu tentang merek coklat kesukaannya walau Becca bukan pecinta coklat.
Mereka sama-sama diam dan saling tatap. Vanko pun tidak berniat menjawab atau memberikan respons atas pertanyaan Becca.
"Ha...!" tiba-tiba gadis itu membekap mulutnya sendiri khas orang sedang kaget.
"Jangan bilang kalau bisnis makanan yang lo kelola itu ternyata perusahaan Food Industry?" tanyanya sambil menebak karena masih tidak percaya.
Kepala Vanko mengangguk tiga kali, dan itu membuat Becca semakin syok terkaget-kaget. Dia tidak menyangka kalau selama ini menyukai cucu buyutnya dari pemilik PT Food Industry yang sangat menguasai pasar. Entah di dalam maupun di luar negeri. Terlebih lagi, Vanko tidak pernah memberi tahunnya tentang hal ini. Selama ini Becca pikir, Vanko hanyalah anak dari orang tua yang bekerja di perusahaan orang lain atau dari orang tua yang bekerja pada umumnya. Tapi ternyata, lelaki itu sudah kaya dari lahir.