CN-28

1025 Words
Selama dia membersihkan halaman, dia dapat mendengar bagaimana Luzie berbicara dengan teman gadis lainnya. Meski agak berjauhan, suara imut itu menjadi ciri khas di telinganya. Jadi dia lebih mudah dalam memisahkan suara Luzie dengan anak-anak lainnya. Saat ini ada beberapa informasi yang dapat Quizer ambil dari gadis itu. Luzie adalah perempuan manis, sangat suka permen yang dijual di toko samping sekolah. Kadang berusaha datang ke karnaval hanya untuk membeli permen. Cukup unik. Gadis itu tidak begitu sering berbaur. Sebaliknya, dia hanya memiliki segelintir teman yang kini sedang berbicara. Cukup baik meski gadis itu sempat ragu ketika Mr Slayer meminta bantuan untuk mengawasinya. “Hei, gadis jelek itu dipasangkan dengan orang aneh oleh wali kelas kita.” “Bukankah mereka terlihat cocok. Si Jelek dan Si Aneh disatukan,” ucap seseorang yang entah ada di mana. Namun, ucapannya jelas-jelas sangat mengganggu pendengaran Quizer. Dia tidak suka ketika ada orang yang sedang berusaha mengolok-ngolok dirinya atau bahkan orang yang dia kenal. Meski Luzie baru menjadi temannya dalam beberapa waktu lalu, dia tidak suka orang-orang mengejeknya. Siapa pula yang menyebut gadis itu jelek? Menurut Quizer Luzie itu sangat manis dan suaranya sangat khas. Tidak ada alasan dengan bagaimana orang-orang itu mengatakan bahwa Luzie jelek. Quizer jadi berpikir jika yang mengatakan Luzie jelek mungkin lebih dipertanyakan kecantikannya. Jujur, dia bahkan tidak mengerti kenapa para gadis suka membicarakan orang lain. Ah, sebenarnya beberapa laki-laki juga tengah membicarakan soal Luzie. “Mr Slayer pasti meminta Luzie untuk menemani Quizer. Untung saja bukan kita. Kalau disuruh masuk ke dalam sih tidak masalah. Namun, melihat bagaimana Luzie dan Quizer berada di luar, sepertinya kali ini dia tidak dibedakan,” jelas salah satu dari kerumunan itu. Mereka mengira jika Luzie pun akan sama kesalnya. Namun, gadis itu tidak terlihat murung, justru senang-senang saja. Beberapa kali dia menengok dan memarkan senyumnya. “Aku iri pada Quizer yang selalu dibedakan oleh para guru.” “Kalau begitu, sana sakit yang parah! Nanti guru-guru juga pasti bakal kasih perlakuan khusus untukmu.” “Hei, sejak kapan sakit itu enak?!” “Sakit itu memang enak ... untuk di saat –saat tertentu. Seperti sekarang. Kalau pingsan, kita bebas dari tugas membersihkan halaman dan merawat tanaman,” lanjut si gadis yang entahlah siapa itu. Quizer mendengus. Tenyata memiliki kelebihian seperti ini membuatnya mendapatkan keuntungan lain. Dia jadi bisa membedakan mana yang benar-benar bisa dikatakan teman yang benar-benar peduli dan juga tidak. Walau bisa dikatakan dia sudah tidak begitu peduli dengan ulasan kalimat yang bersangkutan dengannya, dia tetap merasakan kesal. Lagi pula, Dad selalu menyarankan untuk tenang dalam kondisi apa pun. Dia harus bisa bergerak dinamis—menyesuaikan diri di manapun dirinya berada. Sementara Mom selalu menghiburnya ketika dia sudah sangat kesal pada seseorang. Jangan sampai terpancing. Kira-kira itulah yang menjadi sihirnya. Dia tidak ingin dibicarakan, jika dia bisa, dia ingin mengunci mulut mereka semua. “Quizer, apa kamu masih mau di sini? Sepertinya ada baiknya kita masuk ke dalam. Teman-temanku juga mengajakmu untuk masuk. Lagi pula bagian kita sudah selesai,” jelas Luzie pada Quizer. Quizer ingin menggangguk, tetapi tiba-tiba telinganya menangkap gelombang suara yang aneh. Refleks dia berjalan mendekat. Panggilan Luzie pun dia abaikan, sampai akhirnya gadis itu mengikuti Quizer. Pasti ini karena perintah Mr Slayer yang tidak ingin membiarkannya seorang diri. Dia mencoba mengabaikan keberadaan Luzie dan tetap mendengarkan suara aneh itu. Bagaimana suara angin seolah tengah membisikkannya sesuatu. Ada yang salah pada tempat ini, meski dia tidak tahu bagaimana pastinya. Langkah kaki dan getarannya terasa sangat aneh. Perlahan ketika mendekati halaman belakang, dia bisa mendengarkan teriakan seorang gadis yang sama sekali tidak dia kenal. Sontak seolah baru saja kehilangan kendali, Quizer pun berlari menerjang tempat ini. “Quizer! Quizer! Kenapa kamu malah berlari?!” ucap Luzie kesal setengah mati. Dia semakin menggila dan tidak mau mendengarkan apa yang gadis itu katakan. Quizer sangat panik. Jantungnya semakin berdebar-debar, seolah ini adalah pertanda buruk. Akan semakin buruk jika dia tidak datang. Perutnya mulas, mungkin lebih ke keram, tetapi anehnya kakinya tetap memaksa untuk tetap berlari. Teriakan itu semakin menggila dan ada suara berat yang tidak dia ketahui milik siapa. Sampai di halaman belakang, Quizer melihat sosok berjubah, dengan ditutupi masker. Tangan orang itu cukup unik karena warnanya berwarna merah tua. Tidak. Itu bukan warna kulit aslinya. Mata Quizer melebar. Ketika melihat sebuah benda tajam tengah menancap pada d**a seorang gadis yang lebih kecil darinya. Mungkin kelas dua atau tiga. Jelas-jelas dia tidak mengenal. “Ya ampun!” pekik Luzie. Suaranya yang sangat kencang membuat sosok itu menengok. Quizer akan mengingat jelas bagaimana mata laki-laki itu berwarna merah ke jingga, seperti warna daun yang gugur di sekitar mereka. Gawat. Sosok itu pasti tidak akan membiarkan mereka berdua selamat begitu saja. Dengan tangkas, Quizer segera memegang tangan Luzie. “Kita harus lari dari sini atau kita akan jadi korban selanjutnya, Luzie!” “Tapi aku tidak punya tenaga untuk berlari lagi, Quiz,” bals Luzie. Quizer menggelengkan kepala. Tidak ada waktu untuk mengobrol! Dia segera menarik tangan Luzie, memaksa gadis itu untuk berlari sebelum sosok tersebut menangkap mereka. Namun naas. Luzie justru tersandung pada batu dan mereka berdua terpaksa jatuh. Buru-buru Quizer merogoh sesuatu dari saku celananya. Saat-saat terdesak seperti ini dia harus memanggil Dad, ayahnya seorang polisi dan tidak mungkin membiarkannya kasus seperti ini lolos begitu saja. Jadi dia pun segera menekan nomor satu yang merupakan nomor darurat. Panggilan tidak terhubung. Tidak pernah terhubung. Quizer tidak mengerti kenapa ayahnya tidak juga menjawab sambungannya. Sementara sosok itu semakin dekat. Mata Quizer berbinar-binar. Pisau dengan darah dari gadis sebelumnya membuat dia cukup merinding. Sementara Luzie sudah mulai berteriak. Namun masalahnya, adakah yang mendengar teriakan Luzie?  Quizer lalu berusaha untuk meminta bantuan, memanggil siapa pun. Perutnya sangat mulas sekarang. Ajalnya semakin dekat. Dia lalu menutup mata seraya menunggu penjemputan. Namun tiba-tiba suara Luzie tidak lagi terdengar. Dia tidak ingin berekspetasi tinggi. Lalu suara sambungan yang terhubung pun dapat dia dengarkan. Namun, ketika membuka mata, pisau sudah menancap pada pertengahan leher Luzie. Mata Quizer membelalak. Dia sangat ingin menangis. “LUZIE!!!” Teriaknya lebih menggema lagi dan refleks mendekati Luzie sambil melihat kembali ke arah sosok berjubah tersebut. Dia mengepalkan tangan dan dia ingin menangis. “You are a killer!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD