Ailee membiarkan Sarah terus mengoceh untuk mengalihkan pikirannya yang masih kelabu. Sarah terus bersungut-sungut sepanjang jalan karena Ailee tak bersedia menoleh padanya, hingga mobil mereka sampai ke rumah satu jam kemudian.
Kunjungan Sebastian selalu menjadi momen tersendiri bagi Ailee. Perusahaan yang Sebastian pimpin berbasis di Ottawa, Kanada. Pria itu sering mengunjungi banyak negara bahkan lintas benua untuk keperluan bisnis. Sayangnya, California jarang sekali menjadi tujuan utamanya. Seperti Ailee menganggap pertemuan mereka akan selalu menjadi sesuatu yang spesial hingga ia harus segera menyelesaikan pekerjaannya secepat mungkin, begitu pula dengan Sebastian. Pria itu juga akan mengosongkan jadwal, memberikan waktu bernilai jutaan dolar untuk family time, yang itu berarti sangat jarang terjadi. Dan di setiap waktu bersama mereka akhirnya terjadi, pria itu akan membawa ide-ide aneh, yang kadang membuat Ailee merengutkan alis. Seperti kali ini, Sebastian membawa sekumpulan bodyguard bersamanya dalam kunjungan kali ini. Inilah yang membuat Ailee selalu was-was tiap ayahnya berkunjung. Kejutan-kejutan yang tidak diinginkan.
Ketika mobil yang ditumpanginya berhenti, gadis itu tak perlu membuka pintu mobilnya sendiri seperti biasa. Dua orang pria berbadan tegap dan berwajah kaku—bodyguard yang dibawa Sebastian—dengan sigap membukakan pintu mobil untuk Ailee dan Sarah. Mereka memakai setelan jas hitam, dengan kacamata hitam kotak yang membuat wajah mereka terlihat semakin kaku.
“Putriku yang cantik. Selamat datang kembali,” sambutan itu terdengar hangat, begitu Ailee dan Sarah masuk ke dalam rumah sambil berbisik-bisik gundah.
Ailee sengaja menyiapkan satu ruangan yang cukup besar untuk menempatkan barang-barang milik sang ayah, dan Sebastian pasti akan beristirahat di ruangan itu saat dia berkunjung. Dari arah ruangan itu, Sebastian datang untuk menyambut mereka. Pria itu membuka kedua tangannya yang lebar, tangan yang paling aman dan nyaman yang pernah Ailee percaya untuk menjaga dirinya. Tangan yang sama dengan yang menyelamatkan dirinya dari sorotan kejam media.
“Selamat datang di California, Ayah.” Ailee dengan senang hati menerima pelukan itu dan membiarkan Sarah memisahkan diri untuk memberi mereka waktu bersama. “Bagaimana London? Apa Ayah tidak membawakan sesuatu untukku?”
“Kau benar, seharusnya aku membawakan sesuatu untukmu. Sepertimu yang tiba-tiba saja membawa oleh-oleh untuk Ayah, padahal kau tidak ke mana-mana.” Dengan sebelah tangan memeluk pundak putri kesayangannya, Sebastian membawa gadis itu ke ruang makan.
“Aku? Mungkin aku mengecewakanmu, Ayah. Tapi aku tidak ingat membawa sesuatu yang spesial untukmu. Setidaknya, tidak hari ini. Aku bisa mempersiapkan sesuatu besok, jika Ayah mau.”
Sebastian hanya tersenyum singkat menanggapi keheranan Ailee. Ruangan favorit Sarah yang biasanya dipenuhi oleh makanan cepat saji dan piza, malam itu sudah diisi penuh hidangan yang terlihat sangat lezat dan jelas jauh lebih sehat dari apa yang biasa disajikan Sarah. Melihat betapa penuhnya meja makan itu, membuat Ailee membulatkan mata meski tak terlalu lebar untuk disadari Sebastian. Ailee memang merasa lapar, tapi hidangan sebanyak itu sama sekali mustahil untuk dimakan berdua. Ailee menatap sang ayah yang menyiapkan itu semua.
“Apa akan ada tamu yang datang?”
“Apa? Oh, tidak. Tidak akan ada siapa pun yang mengganggu kita, Ailee. Ayah hanya ingin merayakan berita baik darimu.”
“Dan itu adalah …?”
“Calon menantu bisa dibilang cukup spesial untuk menjadi sebuah hadiah tiba-tiba. Apalagi pria itu adalah seorang aktor muda yang terkenal.”
Rasa jijik tiba-tiba melingkupi tubuh Ailee. Ia bahkan merinding membayangkan apa yang terjadi di kepala sang ayah.
“Jadi … kita sedang membicarakan Evans?”
Ailee melepaskan rangkulan Sebastian dari tubuhnya, untuk mengamati sosok pria itu lebih jelas. Pria yang sudah berumur itu masih berdiri tegap dan gagah. Wajahnya terlihat angkuh, khas pria keturunan Prancis lainnya, dengan rahang dan dagu yang tegas, juga hidung yang terlalu mancung. Sejak Ailee masih muda, dirinya adalah seorang gadis yang jelita dan ramah. Namun, dengan Sebastian berdiri di sebelahnya seperti itu saja akan sukses membuat para pemuda berpikir dua sampai seratus kali untuk menggoda Ailee. Sebuah ide mulai terbesit di kepala Ailee, untuk mempertemukan Evans dengan Sebastian.
Menanggapi pertanyaan Ailee, Sebastian melipat tangan dan mengangkat sebelah alis.
“Apa ada pria lain yang bersamamu sekarang?”
“Tidak, tidak. Mungkin ini lagi-lagi mengecewakan, tapi sepertinya hubungan kami akan segera berakhir, Ayah,” jawab Ailee dengan jujur.
Sesaat setelah mengatakannya, Ailee bersumpah dalam hati, ia bisa melihat dengan jelas aura membunuh yang tiba-tiba menguar dari sosok Sebastian.
“Apa pemuda itu menyakitimu?” Sebastian yang tadi bersikap cukup santai, kini menghadapkan tubuhnya pada Ailee dan menatapnya tajam.
Ailee selalu tak suka wajah orang Prancis saat marah. Menurutnya, wajah ayahnya saat ini terlihat seperti lukisan orang-orang zaman Renaissance. Saat dia marah, wajahnya terlihat tegang, otot wajahnya kerkedut-kedut karena giginya saling menggigit di dalam mulut, dan matanya yang gelap memelotot pada siapa pun yang membuatnya marah.
“Apa yang terjadi? Baru kemarin Ayah dengar kau sangat berbahagia dengannya. Katakan apa yang terjadi.”
“Iya, dulu. Sekarang, sepertinya dia punya gadis lain yang ia sukai. Gadis yang lebih cantik dan lebih seksi,” jawab Ailee dengan acuh dan berjalan mengambil sisi samping meja makan.
“Omong kosong, Ailee. Tidak ada yang lebih memesona darimu, Malaikat kecilku. Kecuali pemuda itu sudah hilang akal.”
Ailee memilih untuk tidak menggubris sikap menyebalkan ayahnya, yang selalu menganggap dirinya sebagai anak kecil. Mereka duduk di kursi yang biasa mereka gunakan saat santap bersama. Sebastian akan duduk di kursi yang menghadap kursi lain, dan Ailee akan duduk tepat di kursi sebelahnya. Mereka menyantap makanan dalam diam dan keanggunan. Sama sekali jauh dari kebiasaan makan Ailee, ketika ia hanya berdua dengan Sarah.
“Ayah?” ucap Ailee tiba-tiba, sambil meletakkan sendok sup yang tadi dipegangnya.
“Ya, Sayang?”
“Sampai kapan Ayah akan terus bekerja? Ayah seharusnya sudah memiliki ahli untuk meneruskan pekerjaan Ayah, bukan?”
“Ailee ....” Sebastian tersenyum lembut, meletakkan garpu dan pisau makan di kedua sisi piring, kemudian menyesap wine. Ailee dengan sabar menunggu saat pria di hadapannya diam beberapa detik sebelum melanjutkan, “Homunculus adalah sesuatu yang Ayah perjuangkan sejak Ayah tak memiliki apa pun hingga berada di titik ini. Loyalitas saja tidak cukup untuk membuatku percaya, sedangkan orang-orang di sekitarku bahkan tidak lolos seleksi awalnya.
“Tidak ada yang bisa Ayah percaya untuk melanjutkan pekerjaan itu sejauh ini. Kau mungkin akan selalu menolak, jika Ayah memintamu untuk menjadi CEO Homunculus. Ayah hanya ingin mengingatkan, bahwa kau adalah salah satu pemegang saham yang cukup besar di perusahaan ini, Sayang. Ayah tak ingin sepeninggal Ayah, Board of Directors termasuk dirimu, harus kalang kabut karena CEO yang tak sesuai dengan visi misi Homunculus.”
Sebastian tahu Ailee tidak akan melakukan apa pun yang tidak ingin ia lakukan. Bahkan dirinya tidak cukup untuk memaksa gadis kecilnya, untuk melakukan hal yang selalu menolak apa yang tidak ia inginkan. Termasuk jabatan apa pun di perusahaan ayahnya. Ailee merasa tak memiliki kompeten di sana, dan ia takkan menyumbangkan banyak perubahan signifikan seperti yang ia lakukan di dunia tarik suara yang sedang ia geluti.
“Ayah. Itu tidak berarti kau terus berkeras hati, dan mencari seseorang yang sesuai dengan standarmu yang tinggi.”
Ailee sangat menyadari, sifatnya yang tidak mudah percaya dan keras kepala itu menurun dari sang ayah. Karena itu ia tahu betapa serius masalah ini bagi mereka berdua, karena mereka tahu, tidak akan ada yang merendahkan ego mereka.
“Mereka akan membuat The Homunculus jatuh terpuruk, jika aku yang harus menurunkan standarku, Ailee.” Menghela napas panjang dengan lemah, pandangan Sebastian melembut dan menatap Ailee dengan penuh kasih sayang. “Ayah baik-baik saja dengan pekerjaan ini. Lagi pula kau paling tahu Ayah suka berpikir, dan sibuk dalam pekerjaan. Ayah takut akan menjadi pelupa jika aku berhenti mengasah otakku. Ayah tidak mau melupakan berkah Tuhan paling cantik yang kuterima, kau dan Ibumu. Jadi, mari kita bicarakan hal lain. Ayah yakin kau memiliki banyak cerita yang harus kaubagi denganku.”
Wajah Sebastian yang sedang marah adalah apa yang dibenci Ailee, berbanding terbalik dengan senyum lembutnya dan menenangkan. Setelah musik, wajah tersenyum itu adalah cinta pertama Ailee.
“Ailee, dengarkan Ayah,” katanya tiba-tiba di sela pembicaraan ringan mereka. Ailee kembali menyimpan senyumnya. Sebastian yang tiba-tiba menjadi serius, tidak pernah menyampaikan kabar baik. “Ayah akan menyuruh beberapa orang bodyguard untuk menjagamu di sini mulai hari ini, dan Ayah tidak akan mendengarkan penolakanmu.”
Ailee tahu, kalimat itu bukanlah sesuatu yang bisa disanggah. Tapi masa bodoh dengan itu.
“Apa? Kenapa? Itu tidak adil, Ayah! Aku berhak hidup sendiri. Umurku sudah lebih dari dua puluh, aku bisa mengurus segalanya sendiri sekarang dan sampai selamanya!”
“Iya, Ayah tahu, Cantik. Meski mereka di sini, kau akan tetap menjalani kehidupanmu seperti biasanya, hanya saja ditambah sedikit penjagaan tambahan mulai dari sekarang. Jangan khawatir, mereka takkan mengganggu kegiatan sehari-harimu. Pria itu bernama John,” Sebastian menunjuk seorang pria tampan, bertubuh besar berotot dengan mata tajam. Ia memakai seragam yang sama dengan semua rekannya yang lain. Pria itu berjalan mendekat ke arah mereka begitu sang bos memanggil namanya. Sementara itu Sebastian melanjutkan ucapan, “Mulai detik ini, dia yang akan bertanggung jawab atas keselamatanmu.”
Ailee membelalak. “Tidak, Ayah. Aku tidak mau. Memangnya Ayah mau melindungiku dari apa?”
“Apa pun. Percayalah pada Ayah.”
Ayah menyembunyikan sesuatu.
Ailee bisa melihat kekhawatiran yang berlebihan di wajah tua sang ayah. Wajah serius saat mengatakannya, Sebastian tak pernah melakukan sesuatu yang tidak berarti penting, terutama jika ini menyangkut urusan Ailee. Gadis muda itu mulai khawatir. Ia merasa ayahnya sedang menyembunyikan sesuatu darinya, dan sesuatu itu kiranya berbahaya. Dugaan itu, bisa jadi masuk akal, jika melihat jumlah bodyguard yang dibawakannya.
“Baiklah, Ayah. Oke. Biarlah teman-teman Ayah berjaga di rumahku, tapi tak ada kamera CCTV, please ....” Ailee merengek dan memeluk sebelah lengan Sebastian, menggoyang-goyangkannya dengan manja. Jurus yang biasanya akan mempan untuk meluluhkan hati Sebastian.
“Di kamarmu tidak, tapi di ruang lain, iya. Ayah sudah memasangnya di beberapa titik rumah, supaya Ayah juga bisa memantaumu. Kalau semuanya aman, kau bisa lepas dari CCTV seperti dulu.”
Ailee menyadari betapa serius masalah kali ini. Jurus andalannya tidak lagi mempan.
“Aku berjanji padamu, Cintaku. Ini tidak akan berlangsung lama.”
“Hmm … baiklah.” Mata Ailee dengan putus asa, mencari sisi-sisi di mana CCTV itu dipasang. Sayangnya, ia sama sekali tak menemukannya. Di saat matanya sedang sibuk mencari-cari, pandangannya tanpa sengaja menangkap basah pria bodyguard bernama John itu yang sedang menatap sosoknya lekat-lekat. Ia bisa melihat dengan jelas, cuping telinga pria itu memerah dan dia sedikit menyunggingkan senyumnya saat pandangan mereka bertemu. Kontak mata itu mengirimkan sinyal aneh, yang membuat Ailee harus lebih waspada pada sekitarnya.
“Ailee.” Panggilan Sebastian membuat gadis jelita itu kembali menolehkan kepala padanya. “Apa Ayah harus menghajar si tampan Evans Robin ini?”
“Oh, tidak. Sama sekali tidak dibutuhkan, Ayah. Aku tidak suka skandal. Jadi, kumohon biarkan dia melakukan apa pun yang ia mau. Jangan memperumit segalanya. Aku bisa menangani ini. Percayalah padaku.”
Sebastian tak serta merta menyetujui sikap menyerah dari Ailee itu. Namun, dengan melihat mata lentik gadis kecilnya yang menyimpan banyak cerita itu, Sebastian yakin putrinya benar-benar memiliki rencana untuk menyelesaikan si Robin Tidak Tahu Diri ini.
“Baiklah, Cantik. Kau tahu Ayah akan melakukan segalanya untuk membantumu, jika kau membutuhkannya. Kau hanya butuh mengatakannya saja.” Sekali lagi, wajah Sebastian terlihat lebih rileks. “Nah, Ayah harus pergi sekarang.” Pria itu berdiri setelah menyesap air mineral dari gelasnya dan membenarkan jas, lalu beranjak dari ruangan. Ailee mengikutinya seperti anak anjing yang manis.
Sebastian mengecup dahi putri kesayangannya itu, kemudian mengamati mata berwarna kehijauan milik Ailee yang tak merelakan kepergiannya. Mata yang sama seperti milik mendiang sang istri tercinta. Sebastian mengusap rambut Ailee yang panjang, kemudian menatap John yang berjaga di belakang Ailee.
“John, jaga dia.”
John mengangguk patuh. “Dengan nyawa saya, Tuan,” jawabnya tanpa keraguan.
Jawaban pria itu membuat Ailee menaikkan pundaknya tinggi, dan bergerak tidak nyaman di tempatnya berdiri. Tentu untuk menjaga sikapnya, Ailee memaksakan dirinya untuk tersenyum, meski senyum itu berakhir seperti seringaian konyol. Mobil Sebastian meluncur malam itu juga, meninggalkan bodyguard dan CCTV yang malah membuat Ailee merasa sama sekali tidak nyaman berada di rumahnya sendiri.
“Jangan melihat seperti itu, Tuan,” gerutu Ailee sambil berjalan mendahului John yang berjalan masuk ke dalam rumah.
“Baik, Nona.” Pria itu tersenyum, dan masih memindai Ailee dari ujung kepala hingga ujung jemari kakinya dengan pandangan yang membuat Ailee ingin lari dari hadapan pria asing ini saat itu juga.
‘Ayah, sebagai Mr. Invisible, seharusnya kau membereskan orang merepotkan seperti ini, bukannya malah meninggalkan satu untuk kuurus di tempat di mana aku seharusnya beristirahat,’ gerutu Ailee, tanpa bisa ia suarakan setelah ia menjejakkan kakinya dalam rumah. Semua yang terjadi hari ini membuat Ailee merasa bisa menahan kekesalannya hari itu. Setelah kelelahan yang menumpuk karena kegiatan belakangan, ia hanya ingin beristirahat di rumah. Sebuah keinginan kecil. Namun, kini ia bahkan harus bertahan dari rasa tidak nyaman karena diawasi oleh CCTV yang tanpa ia ketahui terpasang di mana .
“Kau bisa memanggilku, Ailee saja. Aku bukan keluarga kerajaan, aku tidak ingin dipanggil seperti itu di rumahku.”
“Baiklah. Ailee … kalau begitu,” ucap John sembari menyeringai.
‘Ternyata membiarkannya memanggil namaku bukan ide bagus,’ batin Ailee kesal, dan seketika itu juga gadis itu merasa jijik dengan nama pemberian ibunya yang biasanya sangat ia sayangi. Itu semua salah suara si John yang sok tampan.
“Ailee!” Sarah yang tadi mendekam di kamar untuk bersembunyi, kini berlarian ke arah Ailee. Kedua tangannya seperti biasa, mengganggam lengan Ailee erat dan memastikan Ailee-nya baik-baik saja. “Apa kau baik-baik saja?”
“Dia ayahku, Sarah. Dia takkan menyakitiku.” Ailee terkekeh melihat wajah khawatir Sarah yang sungguh berlebihan.
“Bukan itu yang kukhawatirkan. Kupikir kau akan bertambah gemuk setelah makan sebanyak itu! Aku tadi melihat makanan di meja makan, kenapa kau malah melewatkan dessert?”
“Aku suka permen, tapi tidak suka kue.”
“Tapi badanmu tetap kurus. Sedangkan aku? Minum air mineral saja, dan berat badanku akan naik beberapa pounds—” Sarah memutar bola mata dan mata cokelat miliknya berhenti di depan John, mengamati pria itu dari atas ke bawah dengan pandangan nakalnya—seperti biasa, setiap dia melihat pria tampan.
Bukan berarti aku mengakui pria itu tampan.
“Sarah, pria ini John, bodyguard Ayah. John, ini Sarah, asisten pribadiku.” Dengan enggan, Ailee memperkenalkan mereka tanpa niatan memperpanjang percakapan tidak penting itu. Ailee segera menarik tangan Sarah ke arah kamarnya. “John dan beberapa rekannya akan jadi bodyguard pribadi kita, sampai ... waktu yang tidak bisa ditentukan.”
“Waw! Itu keren!” Sarah masih menelanjangi John dengan pandangan nakalnya, sedangkan Ailee hanya menahan tawa akibat kerlingan sebelah mata sahabatnya yang genit sambil terus menggandeng gadis tambbun itu masuk ke kamar mereka.
“Kukira ayahmu datang untuk menghajar si Evans atau memasang kamera CCTV di sini, karena kau jarang menghubunginya sejak kau memulai konser amal di awal musim,” bisik Sarah sambil mengunci pintu kamar mereka dari dalam, sedangkan Ailee sudah merebahkan dirinya di atas ranjang, “Apa lagi kau diberi bodyguard se-seksi itu. OMG, aku bisa membayangkan otot kering miliknya di perut rata itu!”
Ternyata dia belum menyelesaikan celotehan fantasinya.
“Yang pertama, kurasa kau dan ayahku memiliki ikatan batin atau semacamnya karena kau bisa dengan tepat mengerti bagaimana jalan pikiran Ayah.”
“Soal apa?”
“Selamat, karena sekarang kita punya CCTV di rumah ini!” Ailee melotot kesal pada langit-langit kamarnya sendiri. “Dan soal menghajar Evans juga.”
Sarah menutup mulutnya lalu menampar kedua pipi gembul itu dengan kedua tangannya sendiri. “Kau serius, Ailee?! Aku baru saja menghabiskan cheese cake-mu semalam di dapur, dan itu direkam?! Ada pria tampan di luar sana yang melihatiku makan dengan rakus, sembari menari Single Lady seperti itu?! Itu sungguh keren!”
Big Lady selalu sukses membuat Ailee kembali tertawa, dan Ailee membiarkan gadis itu mendaratkan b****g besar bulat itu di sebelahnya hingga ranjang yang mereka tiduri berguncang cukup keras.
“Lalu apa benar Evans akan dihajar ayahmu? Kapan? Aku harus mengirim mata-mata untuk merekam kejadiannya!”
Desahan napas berat lolos dari bibir Ailee. “Awalnya memang begitu, tapi aku menghentikannya. Aku tidak ingin merepotkan Ayah untuk mengurus fans Evans yang menghujatku di media sosial, gara-gara pangeran mereka kehilangan wajah tampannya.”
“Kau masih berpikir begitu?” Sarah membenarkan posisi duduk di atas ranjang, membuat kasur kembali terguncang-guncang. Dia mengelus poni rambut Ailee yang sedikit menutupi alis. “Kau benar-benar berpikir, bahwa seseorang yang membereskan berita-berita palsu di media sosial itu adalah ayahmu? Benar-benar tidak suka gagasanku kalau itu adalah pangeran cyber tampan dengan abs, berambut pirang, berkulit tan dan—”
“Hentikan, hentikan!” Ailee menutup mulut Sarah dengan kedua tangan, lalu menertawakannya yang gelagapan. “Aku tidak suka berekspektasi pada manusia, Sarah. Sia-sia, Kau mengerti? Jadi, sebaiknya kita pikir si jendral perang dunia maya itu adalah Ayah, atau mungkin badan intelejen miliknya.”
“Kita harus menghentikan pembicaraan ini, Ailee. ayahmu sedang dengar sekarang.” Mata kecokelatan Sarah melirik kanan kiri, ke berbagai arah, mencari spot-spot yang mungkin menjadi tempat Sebastian menyembunyikan CCTV.
“Tidak. Tidak ada apa pun di kamarku. Hanya di luar. Kita aman gila-gilaan di sini.”
Begitulah Ailee dan Sarah menghabiskan waktu malam mereka, sebelum membersihkan wajah dari make up. Ailee mengganti baju dengan gaun tidur sutra kesayangannya, yang sayangnya hadiah dari Evans. Baju itu sudah terpakai dengan nyaman. Melepasnya harus membutuhkan tenaga dan mental yang kuat. Ailee hanya ingin tidur sekarang.
Ailee meminta Sarah untuk menemaninya tidur malam itu. Setelah apa yang terjadi, ia merasa was-was, sama sekali tidak mempercayai John. Saat Sarah sudah terlelap, Ailee masih merasakan keheningan di sekitarnya. Beberapa kali, mata Ailee yang terbuka lemah terarah pada pintu kamar dan pintu kaca yang langsung menuju kolam renang. Gadis itu terus terjaga, sampai saat mengalihkan pandangan ke jam dindingnya dalam keremangan kamar menunjukkan pukul 00:05.
Entah sudah yang keberapa kali, Ailee mengulangi kegiatan itu sebelum akhirnya rasa kantuk menghampirinya. Ia mengembuskan napas kesal. Untuk yang terakhir kalinya, Ailee berjanji pada dirinya sendiri untuk memastikan tidak ada siapa pun di balik pintu kaca itu dan beristirahat untuk menghimpun tenaga untuk esok hari. Melihat ke arah pintu yang masih tertutup rapat, Ailee berharap melihat kekosongan yang berulang kali ia lihat beberapa waktu belakangan. Namun, sayangnya tidak. Mata Ailee membelalak, begitu pun bibirnya yang membulat. Berapa kali pun Ailee mengerjap-ngerjapkan mata, bayangan itu ada di sana. Di balik pintu kaca yang membelah ruangan Ailee dengan kolam renang di sebelahnya, terdapat bayangan. Tidak kosong seperti tadi.
Ailee melihat dua siluet sosok pria di balik pintu kaca itu. Yang satu berbadan besar, dengan lekukan otot lengan yang menyembul di balik jaket kulitnya. Rambut pria itu bersinar terang, warna pirang. Dia sedang menunduk dan dengan menggunakan alat tertentu, sedang membuat lubang di bagian pojok bawah pintu kaca itu, dekat dengan tuas pengunci.
Sedangkan pria yang satunya lagi, bertubuh lebih kurus, tidak kalah tinggi dari pria pertama. Rambutnya gondrong sebahu, dan berwarna hitam. Dia menunggu dengan sabar di balik sosok si pria besar yang masih sibuk dengan kegiatannya mengotak-atik ganggang pintu kaca. Mereka membawa sesuatu yang berkilat-kilat di bawah sinar bulan. Pistol di tangan pria besar, dan pisau lempar di tiap sela jari pria yang bertubuh lebih kecil.
Tangan Ailee seketika itu juga terasa dingin, kaku. Gadis itu bisa merasakan bibirnya menganga, berusaha berteriak, tapi tak ada suara yang keluar dari pita suaranya yang sudah lelah. Sampai si pria besar berhasil mencungkil kunci pintu kaca kamar Ailee, dengan memasukkan tangannya melalui lubang yang ia buat di kaca. Kemudian pria itu menarik tuas penguncinya dan membuka pintu kaca dengan mudah dari dalam. Derap boots mereka terdengar seperti musik yang paling horor yang pernah Ailee dengar, saat ia membatu ketakutan.
Ada dua pria asing bersenjata di kamarku.
“Apa ini? Kenapa ada dua orang? Bukankah anak gadis Sebastian cuma satu?” tanya si pria bertubuh besar.
Tunggu. Apa tadi ia menyebut nama ayah?
Ailee menutup mata dan berusaha mengatur napasnya agar tetap tenang.
Sepertinya mereka tidak sadar aku tadi masih terjaga, Ailee menenangkan dirinya sendiri. Ia berhasil menyempatkan diri untuk mengambil gunting yang biasanya digunakan untuk menggunting eyelashes, sebelum pria-pria itu berhasil menyadari gerakannya.
“Dia bilang ada dua wanita di rumah ini. Ailee adalah satu yang kurus itu. Tidak salah lagi. Aku melihatnya di konser kemarin.”
Apa? Apa mereka ini adalah over-obsessive fans?
“Baiklah. Kita bawa yang cantik ini.”
Tunggu, tunggu?! Apaaa?!
“Jangan membuatnya lecet.”
Hentikan! Jangan sentuh aku!
Salah seorang dari mereka, yang berbadan tinggi besar, membopong Ailee sebelum gadis itu dapat memikirkan strategi untuk melarikan diri dari mereka. Tentu menghadapi fans dengan kekerasan, bukan sesuatu yang baik dilakukan oleh public figure seperti dirinya. Satu-satunya cara yang paling memungkinkan hanyalah melarikan diri.
Tapi bagaimana?!
Si Pria Besar menggendong tubuh Ailee yang jauh lebih kecil jika dibandingkan tubuhnya, di pundaknya yang kokoh.
Tenangkan dirimu, Ailee.
Gadis itu terus mencari kesempatan. Ia memiliki sebuah rencana. Satu-satunya rencana yang bisa ia pikirkan untuk saat ini. Saat pria besar menjaga jarak dengan si pria kurus itu, Ailee akan menusuk punggung orang itu dengan gunting eye lashes, kemudia melompat dari tubuhnya, lalu berlari sekuat tenaga untuk mencari persembunyian sampai kondisinya aman. Ia memikirkan tentang gudang bawah tanah. Para pria itu takkan menemukannya di sana.
Mereka berjalan keluar melalui pintu kaca di mana mereka masuk. Ailee bisa mengintip dari balik kelopak matanya, bodyguard yang ditugaskan ayahnya untuk berjaga, tergeletak tak bernyawa di sekitar rumah. Pemandangan itu benar-benar mengerikan seperti latar film thriller atau horor. Ailee menahan tangis dan raungan ketakutannya, saat melihat tubuh-tubuh yang sudah hampir tidak berbentuk itu. Ada yang tanpa kepala, lengan, atau kaki. Ada yang utuh tapi kepala atau dadanya berlubang.
Apa orang-orang ini yang melakukan itu pada mereka? Kapan mereka melakukannya? Aku tidak mendengar kegaduhan apa pun! Siapa sebenarnya orang-orang ini?
“Oh, dia bangun dan tidak berteriak.”
Suara salah seorang pria yang membawa Ailee. Pria kurus berwajah oriental yang berjalan di samping si pria besar yang menggendongnya, kini memundurkan tubuhnya untuk mengamati wajah ketakutan gadis jelita yang sedang mereka bawa. Mata pria Asia itu setajam mata elang, abu-abu gelap memancarkan pantulan cahaya bulan saat bertatapan dengan mata kehijauan Ailee. Dari suara besi mengarahkan pandangan Ailee ke pinggang si pria, gadis itu tahu, penculiknya ini menyimpan sebuah katana di sana. Senjata yang tak terlihat saat dia menerobos masuk kamarnya tadi.
“Oh, benarkah?” Suara pria yang lebih berat—pria besar yang membawa Ailee di punggungnya—menanggapi.
Itu membuat Ailee menyadari posisinya sekarang. Dengan gesit, Ailee mengambil gunting yang ada di saku.
Aku ketahuan! aku harus menusuknya kali ini, aku sudah ketahuan. Tunggu. Di mana guntingku?
“Kau mencari gunting rias kecilmu itu, Cantik?” tanya si pria besar, dengan nada menertawakan kebingungan Ailee.
“Lepaskan aku, atau aku akan berteriak!” ancam Ailee, berusaha tegar dan tidak mulai menangis.
“Dokter, tolong buat dia agar tidak merepotkan,” ujar si pria besar lagi.
Dokter?
“Padahal aku suka matanya yang hijau itu.”
Si pria oriental mengangkat tangannya, dan sesaat kemudian pandangan Ailee gelap tanpa sempat menangkis atau menahan pukulan keras di leher jenjangnya.[]