“Dia sangat cantik, bukan?”
Samar-samar di antara kesadarannya yang mulai kembali, Ailee mendengar suara seorang pria. Suara pria yang sama dengan yang memasuki kamarnya malam itu. Suara asing itu kali ini terdengar bak suara ombak saat kau tenggelam dalam air. Apa suara itu hanya imajinasiku saja? Dentuman rasa nyeri di kepala Ailee menjawab bahwa gadis itu tidak berhalusinasi. Perlahan kesadarannya kembali, membawanya keluar dari kelebat hitam yang tadi menguasainya.
Bukan waktunya bermalas-malasan, Ailee! Kau harus sadar!
Dalam sekejap, sedikit demi sedikit Ailee teringat kembali pembunuhan di kediamannya yang harusnya damai. Kengerian mulai membuatnya hampir tak bisa mengontrol diri untuk tidak gemetaran. Mereka berbahaya. Aku harus lari. Dan segala bayangan kemungkinan buruk mulai berkelebatan di pikiran gadis itu.
“Zac, hentikan tatapan mengesalkanmu itu atau aku akan menusuk keduanya dengan tangan kosong,” balas seorang pria lainnya.
Sedangkan Ailee tak bisa memproses keadaannya saat itu dengan baik. Semakin kesadarannya kembali, ia makin menyadari ada yang tak beres dengan kelima indranya. Ia mati rasa.
"Apa kauyakin kau tidak akan tergoda?"
“Bukan aku yang akan tergoda olehnya,” lanjut suara yang sama membalas seseorang yang dia sebut Zac.
“Oh, ayolah, Shin. Kita harus membicarakan ini lebih lanjut. Aku tidak hanya ingin chip itu, aku bahkan tak membutuhkannya. Aku ingin gadis ini bersama kita. Dia bisa bernyanyi dan menari. Terlalu sayang jika hanya dilabeli sebagai seorang jaminan. Dia bisa menghibur kita selama di perjalanan.”
Apa mereka akan melakukan [perjalanan dan berinisiatif untuk mengajakku tanpa sepertujuanku? Oh, ya Tuhan. Tidak, tidak. Tolong aku! Siapa pun!
Tubuh Ailee masih sangat lemas, dan kepalanya terasa berputar-putar. Bagian belakang lehernya nyeri bukan main, itu adalah tepat di mana pria yang dipanggil Zac sebagai 'dokter' itu memukulnya hingga tak sadarkan diri. Bersumber dari rasa sakit itu membuat tubuh Ailee tak bisa bergerak banyak. Yang bisa ia rasakan hanya kedua tangannya menggantung-gantung di udara kosong. Kiri-kanan, kiri-kanan.
Ailee yakin, ia masih dibopong oleh pria besar yang sama dengan yang membawanya keluar dari rumah tadi. Tingkat yakin yang setara dengan keyakinan Ailee bahwa ia sedang membuka kedua matanya, namun tak dapat melihat apa pun. Seakan pupilnya tidak bekerja. Tak ada cahaya yang dapat dilihat selain keremangan ruangan yang benar-benar gelap. Ailee hanya bisa diam, dibawa dengan pasrah dalam kegelapan pekat, dan tak terdengar apa pun lagi selain langkah santai kedua orang yang sedang membawanya itu.
Bagaimana kedua pria ini bisa berjalan di kegelapan seperti sepekat ini?
“Pembohong. Kau hanya ingin mengusili Stoner.”
Stoner? Apa itu rekan mereka? Stoner … apa itu berarti rekan mereka adalah seorang perokok berat yang bau dan kotor? Oh, tidak. Tidak, kenapa segalanya menjadi buruk dan semakin buruk saja?
Salah satu dari kedua penculik itu membuka pintu. Terdengar suara berderik yang jauh dari kata pintu tua karatan. Suara itu lebih seperti pintu besi otomatis canggih yang sedang terbuka. Mereka membawa Ailee ke dalamnya. Kali ini ada sedikit cahaya, cahaya yang memberi asupan pada pupil Ailee untuk bisa samar-samar melihat ruangan di mana ia berada sekarang. Itu adalah lorong kosong dengan banyak pintu, seperti model motel murahan di pinggiran Atlanta. Sebuah lampu berpendar kekuningan remang-remang di tengah-tengah atap, menjadi satu-satunya penerangan di sana.
“Stoner, kemarilah! Aku membawakan makanan kesukaanmu!” Zac berseru dengan suara yang bergaung di seluruh ruangan, bahkan mungkin hingga lorong panjang yang mereka lewati tadi.
Zac, pria besar yang membopong tubuh Ailee tak menghentikan langkahnya. Dari situlah Ailee sadar, itu bukan ruangan, tapi sebuah lorong lain yang dindingnya terdapat beberapa pintu. Sebelah tangan pria itu membuka salah satu pintu, memasuki sebuah ruangan lain yang lagi-lagi gelap. Ailee tahu ia harus keluar dari tempat ini bagaimana pun caranya. Tapi tak ada satu pun ide di kepalanya saat ini selain tetap berpura-pura tak sadarkan diri dan memikirkan sebuah cara untuk mencari jalan keluar.
Setelah memasuki ruangan gelap entah yang keberapa. Zac akhirnya menarik tubuh Ailee dari pundak, kemudian menidurkan Ailee, atau mungkin lebih tepat disebut membantingkan tubuh gadis kurus itu ke ranjang dengan seenaknya. Di saat genting seperti itu, Ailee merasa harus mengingat apa yang ia pelajari di kelas akting yang pernah ia ikuti. Sayang, tidak ada yang keluar di pikirannya. Saat kelas akting, yang Ailee lakukan adalah membuat membuat lirik lagu dan mencari nada yang tepat, tidak ada lainnya.
Jika mereka menyadari aku bangun, habislah sudah!
Meski begitu, meski mungkin Ailee memang bukan seorang aktris, tapi bukan berarti ia tidak bisa akting. Ailee memiliki cukup percaya diri dengan kemampuan aktingnya, mengingat bagaimana luwesnya ia berakting setiap hari, setiap detik, di luar sana, di hadapan banyak orang. Ia kini hanya harus berpura-pura tidur hingga para pria penculik ini pergi, sehingga bisa dengan leluasa mencari jalan keluar dari tempat ini. Dan insting melindungi diri yang kuat di saat seperti ini memaksanya untuk bisa menguasai keterampilan itu seprofesional mungkin.
Tidak terdengar sulit.
Kerahkan seluruh kemampuan aktingmu, Ailee!
Ailee merasakan ranjang itu sedikit bergoyang. Seseorang duduk di sebelahnya. Goncangan itu tidak terlalu keras dan tenang. Tidak sulit bagi Ailee untuk membayangkan yang duduk di sebelahnya adalah i dokter kurus itu. Dia yang dipanggil Shin.
Harusnya Ailee puas dengan itu dan melanjutkan akting berpura-pura tidurnya. Namun, rasa penasaran menguasai kontrol diri sebelum ia dapat menyadari atau menghentikan tingkah bodoh yang akan dia lakukan. Ailee perlahan, sangat hati-hati, mengintip dari sebelah matanya. Benar saja, di depan matanya, si pria kurus oriental itu, Shin, duduk dan tersenyum menanggapi ocehan tidak jelas Zac yang terus mengomel hal-hal tidak jelas.
Dari jarak itu, Ailee bisa melihat dengan jelas rambut panjang Shin yang hitam ia kuncir seadanya, bibir tipis beserta senyuman ringan yang terpampang di sana. Di depan kaki si pria, terletak sebuah katana yang tersimpan rapi dalam sarung pedang. Senjata yang sempat dilihat Ailee sebelum ia hilang kesadaran.
Dia tidak semengerikan itu. Sebaliknya ….
Seakan waktu tiba-tiba berhenti memberi keberuntungan lebih lama pada Ailee. Si pria oriental itu tiba-tiba melirik ke arahnya tanpa aba-aba sama sekali. Ailee berusaha membenamkan keterkejutannya dan menutup mata, kembali berakting tidur.
“Mau sampai kapan kau berpura-pura tidur, Perempuan?”
Oh, sial.
Ailee bergeming. Berharap semoga keremangan di ruangan itu menyembunyikan keringat dingin di wajahnya. Ia tetap menutup mata dan tidak berkutik. Sampai tiba-tiba sebuah tangan hangat mengangkat tungkai kakinya yang masih terkulai, lalu tangan lainnya menahan dan mengangkat punggungnya dari atas permukaan ranjang.
Tidak, tidak, tidak! Ini bukan saatnya untuk berpura-pura!
Ailee membulatkan mata dan meronta saat ia menyadari kini tubuhnya telah beralih di atas pangkuan Si Pria Oriental.
“Hentikan! Apa yang sedang kaulakukan?!”
Ailee mendorong wajah pria itu untuk menjauh darinya. Dari telapak tangannya ia bisa merasakan kulit pria itu sangat lembut, alisnya tebal, menipis di sisi luar, dan menukik tajam ke dalam pangkal hidungnya yang lancip. Mata abu-abu elang itu menatap Ailee dengan sinis. Pria itu menjauhkan tangan Ailee dari wajahnya yang terlihat sangat cocok dengan keremangan malam itu. Melihat rona merah di pipi Ailee yang tidak bisa gadis itu sembunyikan, pria itu tersenyum. Dia hanya diam dan menatap wajah Ailee, lalu ....
Krek!
“Ah!!”
Apa yang baru saja pria itu lakukan?!
Pria itu menekan salah satu sisi leher Ailee dengan sebelah tangannya. Dia menghentakkannya ke arah tertentu dengan keras tanpa aba-aba. Sekali lagi, Ailee berusaha memberontak, lepas dari pangkuan pria itu dan merangkak menjauh darinya.
“Merasa lebih baik?” tanya pria itu dengan santai, masih dengan senyuman ringan, seakan usaha mematahkan leher tadi bukan hal besar.
Setelah merasa cukup aman di dekat sandaran dipan ranjang, Ailee menatap tajam pria itu. Apanya yang tidak ‘semengerikan itu’? Dia mengerikan. Ailee memegang bagian lehernya yang hampir dipatahkan … tunggu. Tidak ada. Tidak tersisa rasa sakit yang dari tadi menyiksa kepalanya. Padahal cedera itu hampir melumpuhkan dirinya tadi.
Apa yang pria ini lakukan padaku?
“Oh, kau sudah menyembuhkannya, Shin?”
Suara pria besar, Zac, datang dan mengagetkan Ailee dengan sosoknya yang tinggi besar seperti pada aktor-aktor tampan yang berperan sebagai polisi atau beach boy. Rambutnya berantakan, seksi, pirang, hampir putih. Matanya ... Ailee tak ingat pernah melihat mata seliar itu, biru sebiru langit, dengan bulu mata panjang indah, menghasilkan bayangan yang bernaung di bawah matanya. Hidungnya mancung dan terlihat kuat. Bibirnya ... bibir itu merah. Agak pucat, tapi sangat indah dengan lengkungan sempurna dihiasi lesung pipit di pipinya. Janggut tipis menghiasi rahangnya.
Apa yang sedang kupikirkan? Apa ini semacam acara TV show? Darimana mereka mendapatkan pria-pria setampan ini?
Ailee berusaha menyadarkan kembali dirinya dari pria-pria yang berusaha menghipnotisnya itu. Jangan bodoh. Mereka hanya tampan. Ailee merasa kehilangan dirinya sendiri. Pria tampan adalah salah satu instrumen di dunia yang ia geluti, namun tak sekali pun Ailee pernah memandang lebih pada pria-pria itu. Lalu ada apa dengannya sekarang? Apa yang membuat mereka berbeda?
“Mau apa kau dengan tali dan lakban itu, Zac?”
Sibuk dengan pikirannya sendiri, Ailee tak menyadari apa yang sedang dibawa oleh Si Zac ini. Kemudian ia menoleh pada pria yang dipanggil dengan Shin. Pria Asia itu, mengarahkan pandangan matanya ke arah benda-benda yang dibawa Zac. Tali dan lakban.
“Baru saja aku akan mengikat dan membungkamnya.”
Mendengar itu membuat Ailee terjingkat, memasang kuda-kuda untuk melindungi diri.
“Untuk apa? Dia takkan dapat kabur dari sini.”
“Siapa kalian?” potong Ailee dengan gugup.
Ailee tak mengenali suaranya sendiri. Ia menyadari bahwa tubuhnya gemetar ketakutan, sesuatu yang baru disadari Ailee ketika mendengar suaranya sendiri. Tapi apa yang bisa dilakukan si keras kepala cantik ini selain menikam kedua pria itu dengan pandangan tajamnya yang kurang lebih membuatnya terlihat seperti anak kucing kecil yang sedang tersesat dan ketakutan?
“Lihatlah wajah cantiknya yang menggertak itu, Shin.” Si Pirang Zac melirik Ailee dengan pandangan menyebalkan yang tak tergambarkan. Bibirnya tersungging usil, seperti wajah para sahabat yang bersiap-siap melemparkan kue ulang tahun pada wajah rekannya.
“Kau akan baik-baik saja. Kami tidak akan membunuhmu, tidak akan menyiksamu.” Shin berucap dengan senyuman aneh di wajahnya, kemudian melirik ke arah Zac dengan pandangan mata meminta persetujuan. Setelah beberapa detik mereka saling bertukar pandang, akhirnya si pria besar mengangguk dengan enteng, menyetujui ucapan Shin.
“Ya, ya, ya. Dia benar. Kami berdua takkan menyakitimu sedikit pun,” jawab Zac setelah bersiul kecil. Sedangkan Shin menggeleng kecil, kembali mengamati hasil buruan mereka malam itu.
Apa maksudnya? Apa itu berarti si pria ketiga, yang tadi mereka sebut Stoner, yang akan menyiksaku? Ya Tuhan, itu klasik sekali! Dan sama sekali tidak terdengar seperti kabar baik.
Tangan Shin mengulur perlahan ke arah Ailee secara tiba-tiba. Secara refleks, gadis itu beringsut mundur, dan memperingatkan pria itu dengan tatapan tajam ke arahnya. Shin menanggapi tatapan itu dengan sebuah senyuman ringan, terlebih pada rona kemerahan dengan aneh muncul di pipi gadis elok itu tanpa bisa dia sembunyikan
Kau-sedang-diculik-Ailee! Harusnya tak ada yang perlu memperingatkannya tentang itu saat ini. Tapi Ailee tidak bisa berbohong dengan apa yang sedang dirasakan tubuhnya; debaran jantung yang makin lama menjadi makin cepat setiap ia memfokuskan pandangannya pada si samurai.
“Mau ke mana kau?” tanya Zac, ketika si pria oriental mengambil katananya dan berjalan ke arah pintu setelah mendapatkan penolakan setengah-setengah dari tawanan mereka itu.
“Melanjutkan pekerjaanku, kauuruslah gadis itu. Sepertinya dia sangat membenciku setelah apa yang telah kulakukan pada lehernya.” Sekali lagi pria itumelempar senyum misteriusnya sembari melirik Ailee, lalu keluar dari kamar bersama katananya, meninggalkan Ailee berduaan dengan Si Pirang Besar yang tadi hampir membungkam dan mengikat Ailee. Ailee bertanya-tanya, sejauh mana keadaan ini bisa menjadi lebih buruk.
Apa yang harus kulakukan kalau dia benar-benar bermaksud mengikatku?
“Jadi,” kata Zac membuyarkan lamunan Ailee, ”namaku Zac. Yang tadi Shin. Temanku. Maaf, kami harus menyingkirkan bodyguard-mu. Mereka sangat merepotkan.”
Dari cara bagaimana dengan mudahnya Zac meminta maaf setelah membunuh begitu banyak orang di rumahnya, Ailee benar yakin ini bukanlah pertama kali Zac merenggut nyawa dari tubuh seseorang. Orang-orang ini benarlah orang yang berbahaya. Bagaimana bisa mereka melakukan p*********n itu, tanpa membuat keributan sedikit pun? Satu yang dapat disimpulkan Ailee kemudian.
Mereka adalah kriminal kelas kakap.
Apa yang diinginkan para kriminal seperti mereka dari dirinya? Gelenyar dingin terasa menggelitik punggungnya saat Ailee mulai memahami betapa berbahayanya orang yang berada di dekatnya itu.
“Siapa kalian? Apa yang kalian inginkan dariku?”
“Kami? Jika ditanyai begitu, jawabanku adalah tak ada.”
Sontak Ailee merengutkan alisnya dalam dan menyipitkan mata padanya.
“Sahabat kami yang menginginkanmu. Dia membuat semacam kesepakatan dengan ayahmu, dan ayahmu mengingkari perjanjiannya. Jadi, sebagai rekan kerja yang baik, kami harus memberi ayahmu sedikit pelajaran. Tentu, menyiksamu tidak termasuk dalam daftar.”
Zac tersenyum. Senyum lebar yang hangat, seakan-akan Ailee mengenali senyum itu dan merindukan kehangatannya seperti itu. Ada apa denganku?
“Zac ... aku ....”
Sebuah suara datang dari arah pintu masuk kamar, bersamaan dengan derikan suara pintu yang tebuka. Suara itu adalah suara seorang pria serak, tidak lebih berat dari suara Zac, tapi jelas lebih parau seperti embusan angin kering di musim dingin yang menggesek dedaunan.
Sepasang mata menatap tepat ke arah mata Ailee. Mata sewarna dengan miliknya, namun lebih kelam, lebih menakutkan, hijau seperti warna rawa-rawa yang menjadi tempat pembuangan mayat, air hijau berlumut rawa-rawa Everglades, Florida. Mata itu dimiliki oleh seorang pria, lagi-lagi terlihat berbahaya. Rambutnya hitam kelam, kusut, tidak tertata seperti milik Shin. Sebelah tangan pria itu membawa barbel, memakai jump suit hitam polos, memakai kaos putih panjang sebagai dalamannya. Mata hijaunya hanya dihiasi kantung mata dan lingkar hitam yang sangat parah, seakan terakhir dia tertidur saat setelah keluar dari rahim ibunya.
Tiba-tiba pria itu menjatuhkan barbel yang ia genggam begitu pandangannya bertemu dengan tatapan mata Ailee. Pemuda itu terlihat mulai panik, dan merogoh sesuatu dari kantung celana dan mengokangnya, lalu mengarahkannya pada Ailee dengan cepat.
“Kau ...!” suara pria itu gemetar, sembari tangannya menodongkan sebuah pistol.
Demi Tuhan! Dia membawa pistol yang terkokang dan terarah padaku!
Ailee bisa merasakan ada yang aneh dari pria yang baru bergabung di klub orang asing itu. Mata si pemuda memancarkan ketakutan begitu dia melihat sosoknya. Bukankah aku yang seharusnya menatapnya begitu? Sosok si pria ketiga ini lebih kurus daripada Shin, apa lagi Zac. Gerakannya aneh, sama sekali tidak normal. Ailee mengumpulkan tenaga dan berangsur menjauhi sosok menakutkan itu, sebelum dia benar-benar menembaknya. Dan benar saja!
Dor! Dor!
Ailee berteriak secara refleks. Ia menutup mata erat dan merunduk dengan kedua tangan melindungi kepalanya.
Dia benar-benar menembakku … dia menembakku! Dengan pistol sungguhan!
Tidak ada rasa sakit ditubuhnya setelah tembakan itu. Meleset? Perlahan, di antara ketakutannya, Ailee membuka mata. Ia menatap ngeri pada dua lubang di ranjang tempatnya duduk. Peluru itu tadi bisa melubangi tubuhnya seperti dengan mudahnya melubangi ranjang itu dan ia akan mati. Bau mesiu menusuk hidungnya. Air mata Ailee sudah jatuh, bersyukur karena dua peluru itu meleset dan atau karena putus asa setelah menyadari di antara para penculiknya, benar ada satu yang akan membunuh dirinya.
“Hei, hentikan itu! Dia Ailee, kau bodoh!”
Zac entah sejak kapan telah menahan tubuh si pemuda tukang tembak gila. Pria kekar itu menangkap kedua tangan pemuda itu dan menahannya di belakang punggung. Mata pria si penembak tidak lagi fokus, benar-benar terlihat seperti pasien di rumah sakit gila tempat penanganan para psikopat.
“Aku ... tahu ....”
Pria itu terlihat lebih tenang saat ada seseorang yang menghentikannya sebelum dia bertindak lebih jauh. Pandangannya yang tadi turun ke lantai, perlahan, dengan cara yang paling menakutkan bagi Ailee, mendongak untuk menatapnya. Ailee menunduk, menghindari pandangan mata itu, bergerak menjauh, semakin memojokkan tubuhnya sejauh yang ia bisa. Ailee merapatkan bibirnya, berusaha menghentikan desakan untuk menangis, gadis itu menundukkan kepala. Ia membiarkan rambut panjang cokelatnya yang terurai menutupi wajah yang tengah terisak itu.
“Maaf ....”
Suara parau tak jelas itu kembali terdengar, kali ini terdengar menjauh. Zac membawa pria itu keluar, dan mengunci pintu. Meninggalkan Ailee sendirian di ruangan barunya. Dalam keheningan, Ailee akhirnya merasakan napasnya sendiri.
Keheningan dalam ruangan itu bukan keheningan total. Masih terdengar teriakan dan seru-seruan dua pria yang baru keluar ruangan itu dari kejauhan. Namun, itu sudah cukup membuat Ailee merasa sedikit aman. Perlahan, isakannya berhenti. Dalam ruang gelap dan sempit itu, Ailee memotivasi dirinya untuk bangkit dan tidak hanya menangis seperti gadis bodoh. Ailee menghentikan isakannya dan mulai menguasai diri. Inilah saatnya, aku harus kabur dari sini!
Setelah mengusap air mata dan memastikan napasnya sudah kembali normal, Ailee segera mendongakkan kepala, mengamati sekitar. Tidak ada cahaya, kecuali dari jendela ventilasi di atas pintu. Ailee berjalan mengitari ruangan yang berdinding beton seukuran sekitar 4x5 meter ini. Sama sekali tidak ada celah atau indikasi ada pintu rahasia di balik ruangan. Ailee bahkan ragu ada ruangan di sebelah-sebelahnya.
Di pojok ruangan, terdapat kamar mandi sederhana dan kotor. Ruangan sempit itu hanya berisi shower berbentuk simpel; bongkahan besi yang menempel di dinding dan melengkung ke arah depan membentuk atap kecil berlubang tempat keluarnya air, lalu sampo, sabun, dan sikat gigi beserta pasta giginya di sebuah rak kecil yang lagi-lagi menempel pada dinding. Sama sekali tak ada benda yang bisa dijadikan senjata. Atap ruangan itu sangat tinggi, tidak ada ventilasi ke arah luar, satu-satunya ventilasi yang bisa didapatkan hanya jendela di atas pintu. Tidak ada nakas, laci atau apa pun. Hanya sebongkah ranjang, dibungkus dengan sprei putih polos dengan sebuah bantal.
Rasa putus asa memembuat Ailee merasa hilang daya. Ia berhenti mengelilingi kamar itu dan kembali duduk di atas ranjang. Mulai merasa lapar dan haus. Ailee mengamati telapak tangannya sendiri. Debu, menutupi warna kulit aslinya yang putih merona. Ia tak pernah berpikir akan membutuhkan para pria protektif di sekitarnya untuk melindungi dirinya. Namun, kali ini ia tak tahu harus melakukan apa dan hanya bisa berharap pada para pria itu untuk segera menyadari bahwa ia sedang diculik dan mencarinya secepat mungkin.
Ayah ... kumohon. Tolong aku. Seperti biasa yang selalu kaulakukan.
Tidak berselang lama setelah ia berharap pada siapa pun yang bersedia mendengar doanya, Ailee menyerah untuk bergerak. Entah saat itu tengah malam atau malah sudah subuh, atau pagi. Ailee tak yakin dengan pemandangan yang hanya dinding mengitarinya. Rasa lelah dan mengantuk karena tidak tidur semalaman, mulai menguasainya. Ailee sudah berusaha sekuat yang ia mampu untuk mempertahankan kesadaranya, namun ia kalah, dan meringkuk dalam bayangan gelap ruangan itu.[]