Izinkan aku menjadi Ayahnya

1451 Words
Elesh mengemudikan mobilnya menuju Apartemen, ia melihat barang belanjaanya di bangku belakang. Bahan makanan untuk beberapa hari kedepan. Sementara di bangku depan ,PlayStation yang ia janjikan untuk Aldebaran sudah dibeli. Elesh juga tidak melupakan Jingga, ia membelikan wanita itu sebuah android. Elesh memarkirkan mobil, bersusah payah membawa barang belanjaan menuju Apartemen. Lift membawanya naik, pria itu menekan langkah panjang menuju Apartemennya. Ia sudah membayangkan bagaimana bahagianya Aldebaran saat melihat benda yang ia janjikan. "Ya Tuhan, dia putraku." Membatin seraya terus melangkah. Di depan pintu Apartemen, ia menelan ludah. Menarik nafas pelan sembari menekan bel. Saat ini debar jantungnya sangat hebat. Menunggu dibukakan, tiga menit tidak ada yang keluar. Elesh kembali menekan bel, tiga menit menunggu tidak ada hasil. "Bodoh." Ia mencela diri sendiri. Barang belanjaanya terjatuh, seketika tubuhnya tak berdaya. Ia terkekeh, kekehan kecewa. Segera menekan sandi pada pintu lalu membawa kakinya masuk ke dalam ruangan. Meninggalkan semua belanjaan di depan pintu, kecuali PlayStation. Memperhatikan sekitar, sepi. Pria itu tidak perlu lagi mencari semua sudut ruangan Apartemenya. Ia tahu kalau mereka tidak ada di sana. Ia mengutuk diri yang begitu naif menduga Jingga akan menerima tinggal di Apartemen miliknya. "Kau memang bodoh, Elesh. Bodoh dan tak berguna." Berbicara sendiri seraya menyugar rambut. Elesh mengembuskan nafas kasar, melangkah mengambil semua belanjaan bahan makanan. Membawah ke dapur memasukkan semua kedalam pendingin tanpa memisahkan. .... Hagena duduk di tempat tidur, bersandar di sandaran ranjang. Mengingat wajah Elesh tampak bahagia saat mengatakan kalau Aldebaran putranya membuatnya sedih. Apa dia punya hak untuk bersedih? Tentu saja. Wanita mana yang tidak terluka, melihat suaminya memikirkan wanita lain, menjadikannya teman curhat cinta pertamanya. Seharusnya Hagena menampar Elesh, memberi pria itu siksaan karena sudah terang-terangan menyakitinya. Namun, wanita ini tidak berani melakukan itu. Kenapa? Apa dia seorang wanita bodoh? Tidak, bahkan dia seorang dokter. Tapi seperti yang dikatakan wanita mata biru bahwa semua manusia memiliki rahasia dalam hidupnya. Hagena dan Elesh juga memiliki rahasia. Lalu apa yang akan ia lakukan untuk menjaga Elesh di sampingnya? Atau setidaknya dia terus berada di samping Elesh. Wanita ini mencintai Elesh Altair, tidak tahu sejak kapan perasaan itu tumbuh. Mungkin saat Elesh datang dan mengulurkan tangan, seperti malaikat membawanya keluar dari kematian tujuh bulan yang lalu. Saat ia melamun memikirkan Elesh Renatha menghampirinya, membawakan nya berbagai macam irisan buah. "Gena, mama membawakanmu buah. Kau harus banyak makan supaya asimu lancar." Kata Renatha. "Terima kasih, Ma." Hagena, mengambil dan mencicipinya. Wajahnya diubah menjadi cerah. Sebisa mungkin, tapi kedua manik itu tidak bisa berbohong kalau dirinya sedang bersedih. "Ge, apa putraku menyakitimu?" Renatha duduk di tepi ranjang, mengambil tangan Hagena. Hagena segera menggeleng, "tidak Ma, kenapa dia menyakitiku. Elesh pria baik." sahutnya dengan cepat. "Kau tidak perlu menutupinya, mama bisa melihat kesedihan yang ada di manikmu." "Kami baik-baik saja, Ma. Jangan khawatir, tidak ada masalah diantara kami." Hagena menipiskan bibir, menahan air mata yang mencoba menghianatinya. "Baiklah, mungkin kau butuh waktu untuk bercerita. Sebelum masalahnya buruk, ceritalah sama Mama. Mama akan coba bantu." Renatha menyibak rambut Hagena, menyelipkan di belakang telinga. Hagena mengangguk seraya tersenyum. Mertuanya sangat lembut padanya, sangat baik. .... Elesh mengetuk pintu rumah Jingga. Berdiri menenteng PlayStation di tangan. Aldebaran membuka pintu, dan terkejut melihat Elesh berdiri disana. "Aldebaran ...." Pria kecil terkejut melihat kehadiran Elesh di depan pintu rumahnya. "Anak muda, paman datang." Ucap Elesh dengan senyuman hangat di bibir. "Pergi." Usir Aldebaran dengan tatapan benci. Elesh segera menahan pintu dengan ujung kakinya ketika Aldebaran menutupnya. Elesh menelan ludah, melihat kemarahan di wajah pria kecil. "Ada apa? Apa yang salah? Kenapa tatapan kecil itu sangat menakutkan." Pikir Elesh. "Siapa, sayang?" Jingga menghampiri, ia baru saja dari dapur. Pria kecil melepas tangan dari daun pintu dan menampakkan sosok Elesh. Jingga tersenyum kecut, berkacak pinggang. Tubuh kecilnya tenggelam pada daster rumahannya. "Pria sialan ini, kenapa sampai di depan rumahku. Sangat hebat." Jingga membatin. "Sayang, masuk ke kamarmu." ucap Jingga. Aldebaran melihat Elesh sebelum ia meninggalkan ruangan itu. Masuk ke dalam kamar dan mengintip dari celah pintu. "Jingga, kenapa meninggalkan Apartemen?" Tanya Elesh. "Aku tidak ingin bersinggungan denganmu, kenapa juga aku tinggal disana?" Tanya Jingga, kini posisi tangannya melipat di d**a. "Dari mana kau tahu rumah ini? Dan kenapa kau kesini?" Tanya Jingga dengan tatapan sinis. "Sebelum kita bertemu di klinik, aku sudah mencarimu kesini." "Kalau begitu pergilah." "Sepuluh tahun aku mencarimu, dan ternyata kita berada di kota yang sama, Jingga." "Mencariku? Ah lupakan! Itu tidak penting. Pergilah dan jangan muncul di hadapanku." Jingga menyela cepat, ia hendak menutup pintu, tetapi Elesh menahannya kembali. "Tidak bisa Jingga. Sekarang bukan lagi tentang kita tetapi, ini tentang putra kita, Aldebaran." Jingga terbahak, "putra kita?" Mengulang ucapan Elesh dengan tatapan mencela, ia melepas tangan dari daun pintu, membiarkan terbuka lebar. "Apa yang kau inginkan?" Tanya Jingga, ia mendorong Elesh keluar menjauh dari pintu rumahnya. Elesh menelan ludah kuat-kuat, wanita mungil ini sangat berani padanya. "Izinkan aku menebus dosaku, Jingga. Biarkan aku menjadi ayahnya." Mohonnya dengan nada bergetar. Jingga terbahak, pria itu meminta izin bukan? Menjadi ayah dari putranya? Sangat lucu, setelah meminta membunuhnya saat berbentuk janin sekarang pria ini ingin jadi seorang ayah. "Enyahlah dari hadapanku." Ketus Jingga dengan tatapan menusuk. "Jing—" "Jangan pernah menyebut namaku, kau tidak izinkan untuk itu." Jingga menyela, telinganya sakit mendengar namanya dipanggil pria itu. "Aku mohon pergilah, kau sudah tahu kalau Aldebaran adalah putramu. Itu sudah cukup. Jangan pernah meminta lebih." "Tidak bisa Jingga, Aldebaran harus tahu kalau aku ayahnya." Plak! Tangan Jingga kembali menampar Elesh. Dia sudah diperingatkan sebelumnya, pria ini semakin menjadi. Tidak tahu diri. "Jangan berharap." ucapnya dengan mengacungkan jari telunjuk. "Jaga mulutmu. Kau tidak punya hak untuk itu." Tambahnya menatap tajam Elesh. Elesh kesal, ia memegangi pipinya yang berdenyut. Sejak bertemu dengan Jingga ia selalu di hadiah tamparan. Ditariknya tangan Jingga, lalu memelintir ke belakang punggung mendorong tubuh Jingga mentok ke dinding rumah. Mengabaikan pekikan Jingga. Menyibak rambut Jingga ke satu sisi lalu berbisik di belakang telinga wanita itu. "Aku berjanji akan membuat Aldebaran memanggilku papa. Aku berjanji." Desisnya di telinga Jingga. "Lepasin!" Jingga berusaha berontak melepaskan diri dari kuncian Elesh. Elesh memejam, leher putih pucat sangat menggoda untuk disentuh. Elesh menelan ludah keras dan perlahan melepas kunciannya di tangan Jingga. "Aroma tubuhnya masih sama." Membatin, seketika dirinya b*******h. Elesh meninggalkan Jingga membawa hasrat dalam dirinya. Ia mengutuk diri, saat seperti ini kenapa marahnya bercampur napsu. "Sial, sial, sial." Menendang udara, kesal. Jingga geram melihat kelakuan Elesh, pria itu meninggalkan nafas hangat di telinganya. Ia mengambil PlayStation yang Elesh tinggalkan untuk Aldebaran. Melangkah cepat mengejar Elesh lalu melempar benda itu di hadapan pria itu. Elesh tersentak kaget. "Apa yang kau lakukan?" Jingga berjinjit menarik kerah kemeja Elesh. Membuat pria itu menunduk paksa. "Putraku tidak di izinkan menerima barang dari seorang keparat." Ucapnya dengan tatapan tajam, lalu tersenyum sinis. "Jangan sia-siakan tenaga dan waktumu. Kau tidak berguna bagi kami." Tangannya melepas kerah kemeja Elesh. "Jingga!" Hardik Elesh, menarik tangan Jingga dan segera di tepis kasar Jingga. Tangan satunya dengan cepat mendarat di wajah pria itu. "Kau!" Elesh menahan emosinya, lagi-lagi menerima tamparan dari Jingga. Tangan wanita ini seolah -seolah diciptakan untuk menyakitinya. Elesh mengepal kedua tangan erat. Ia sangat kesal tetapi tidak dapat berbuat apa-apa, yang ada dia ingin meleburkan wanita ini dalam api cintanya. Dia sedang mabuk hasrat melihat wanita mungil. Setelah mencium aroma tubuh Jingga, Ia lapar sentuhan. "Aku bisa memprovokasi putraku untuk membencimu selamanya. Jadi jangan berpikir untuk mendekatinya." Ancam Jingga. "Kau menghasutnya Jingga? Itu sebabnya dia menatapku marah?" Tanya Elesh, mengingat tatapan marah Aldebaran beberapa saat lalu. "Pergilah!" Jingga menggeramkan kata-katanya. Ia tidak perlu menjelaskan itu. "Kau akan membunuh mentalnya, Jingga." "Ah yang benar saja, dia peduli mental putraku." Jingga muak mendengarnya. "Kalau begitu, jangan biarkan aku nekat Elesh Altair. Kalau kau peduli, pergilah seperti yang kau lakukan sepuluh tahun yang lalu, jadi seorang bajingan." Kata Jingga, lalu meninggalkan Elesh sebelum pergi ia menendang Playstation yang menghalangi langkahnya. "Wanita ini." Geram Elesh. "Aku sangat merindukannya." Menelan kata-katanya dalam hati. Elesh mengambil PlayStation kemudian meninggalkan tempat itu. Jingga masuk kedalam rumah, melihat Aldebaran berdiri di depan pintu pria kecil segera berlari ke arah kamarnya begitu melihat Jingga. "Aldebaran."Jingga menghentikan langkah pria kecil. "Aku tidak mendengar apapun, Mama. Jangan khawatir." Katanya, membuka pintu kamar, masuk dan menutupnya. "Putraku." gumam Jingga menghampiri dan berdiri di depan pintu kamar Aldebaran. Ia hendak mengetuk tetapi urung. "Aldebaran." Bersandar pada daun pintu, merosot duduk. Menangis sampai bahunya bergetar. "Maafkan Mama sayang." Menangis getir, memeluk kedua kaki merapat ke d**a. "Maaf." Lirihnya. Aldebaran juga melakukan yang sama. Ia duduk, bersandar pada daun pintu. Memikirkan segala yang ia dengar dari pertengkaran dua orang dewasa itu. "Dia papaku?" Membatin dengan raut menyendu. . . . . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD