Hidupku hanya milikmu

1508 Words
Jingga memeluk kepala putranya namun, tatapan wanita itu sangat tajam pada Elesh. "Kata Aldebaran kau tidak makan seharian. Itu sebabnya kau pingsan." Elesh mengambil kunci mobil di atas meja sofa. “Cake yang ada di atas meja makan, itu untukmu dari putramu. Tolong makan, Jingga. Jangan tidur dengan perut kosong." Tambahnya, penuh perhatian. "Jagoan, paman pulang ya. Sampai ketemu besok." Pamit Elesh pada Aldebaran. Aldebaran melepas pelukannya pada Jingga lalu menghampiri Elesh yang melangkah menuju pintu keluar. "Jangan lupa yang paman janjikan." Suara kecil Aldebaran mengingatkan, Elesh menjanjikan akan membelikan Playstation edisi terbaru untuknya. Elesh menunduk menyamakan tinggi mereka lalu berujar dengan suara pelan. "Pasti tapi, paman minta satu hal darimu." "Apa, Paman?" "Jaga Ibumu, oke." Bisiknya sembari melirik Jingga yang menunjukkan wajah permusuhan padanya. "Baiklah, Paman pulang." Ucap Elesh, mengusap lembut kepala Aldebaran lalu melangkah keluar pintu. Aldebaran menutup pintu. Jingga tersenyum kecut melihat putranya yang begitu akrab dengan Elesh. Ia duduk di sofa melipat kedua lengan di d**a. "Mama, Cake nya makan ya." Aldebaran langsung menuju meja makan dan mengambil kotak cake dari sana lalu membawanya pada Jingga. "Kata Paman, mama harus makan."Bujuk Aldebaran. "Aldebaran tidak sayang Mama." Jingga merajuk menatap putranya sedih. "Kenapa mama bilang begitu? Al sangat sayang sama Mama." Mengelus pipih Jingga. "Kita akan berpisah," Mata biru, berniat menghasut putranya. Tidak ada cara lain selain menghasut Aldebaran untuk membenci pria itu. Ia sangat tak rela jika mereka sampai dekat. "Kenapa?" Menunduk sedih. "Pria itu akan menjagamu, tapi tidak menjaga mama." "Dia sudah janji." "Kau pikir siapa kita, hingga dia membuang waktu untuk menjaga kita?" Meremas bahu kecil, Jingga kecewa putranya berpihak pada Elesh. "Pria itu akan memisahkan kita," Tambahnya. "Kenapa?" Raut sedih. "Karena dia seorang jahat. Dia akan memisahkan kita. Kau mau itu terjadi?"Jingga memprovokasi. Aldebaran menggeleng. "Aku tidak mau berpisah dari Mama."Jingga memeluk Aldebaran. "Kalau begitu apa yang harus kita lakukan? Dengar sayang, saat kau melihatnya. Berlarilah darinya. Ia akan berusaha mendekatimu dan membawamu pergi dari Mama." "Apa dia sama seperti Ayah?" Tanya Aldebaran. "Aku rasa begitu." Jingga mengambil tangan Aldebaran, "ayo kita pulang sayang." Jingga membawa Aldebaran keluar dari tempat itu, meninggalkan Apartemen Elesh. Kediaman Elesh. "Kau dari mana? Istrimu melahirkan dan kau lebih memilih berkeliaran di luar sana." Renatha membukakan pintu saat Elesh tiba. Elesh tidak menjawab. Itu sudah biasa, sejak sepuluh tahun ini mereka tidak lagi punya hubungan harmonis. Elesh lebih banyak diam dan mengabaikan Ibunya. "Elesh!" Teriak Renatha geram, melihat putranya yang melengos masuk tanpa sepatah kata. Elesh berhenti, berbalik melihat Ibunya. "Mama, tolong pulang ke rumahmu." Renatha melebarkan mata, putranya mengusirnya. "Keterlaluan kau Elesh!" Teriak Renatha, menatap punggung putranya menaiki anak tangga menuju kamarnya. "Menyedihkan, apa yang ia lakukan diluar sana. Dia meninggalkan istrinya setelah selesai melahirkan." Renatha mengoceh di ruang tamu. Ia memilih pulang ke rumah, meninggalkan kedua orang tua Hagena di Klinik menemani menantunya itu. Elesh menuruni anak tangga, pria itu sudah segar dan berpakaian rapi. "Mau kemana, El?" Tanya Renatha, segera mengikuti dari belakang. "Klinik." "Mertuamu ada disana. Tolong jaga sikapmu, jangan mempermalukan Mama." Elesh berdecak kesal terus melangkah keluar rumah menuju mobilnya. .... Jingga mengetuk pintu rumahnya, ia menggemggam tangan putranya erat. Wajah keduanya tampak pucat. Angin malam mampu menembus pakaian mereka, menjadikan pria kecil dan dirinya kedinginan. Tak lama Amos membukakan pintu. Dilihatnya istri dan putranya berdiri di depannya. Ia menolehkan kepala melihat jam dinding di ruang tamu. Satu dini hari. "Maafkan aku, Amos." Suara kecil Jingga terdengar gemetar dengan bulir air mata menumpuk disudut mata. Siap tumpah dari sana. "Masuklah." Amos membuka pintu lebar, entah kenapa hatinya tersentuh melihat dua orang di hadapannya itu. Jingga segera membawa Aldebaran masuk menuju kamar putranya. Amos menutup pintu, mengikuti Jingga sampai pintu kamar Aldebaran. "Sayang, tidurlah." Ucap Jingga, mencium kening putranya lalu membungkus Aldebaran dengan selimut. "Mama," Tangan kecil menahan lengan Jingga. "Iya sayang?" "Tidur bersamaku, Mama." Ucap Aldebaran, Jingga melirik Amos lewat ekor matanya lantas mengangguk setuju. Amos tidak protes, ia memilih kembali ke kamarnya. "Baiklah kita tidur bersamamu." Jingga naik keranjang kecil, memeluk putranya dari belakang. "Mimpi indah sayang, ucapkan sebait doa dalam hati." "Mmm, selamat malam juga Mama." Gumam Aldebaran, memejamkan mata lalu berdoa dalam hati. Dini hari, Jingga terjaga. Ia merapikan selimut Aldebaran, melangkah keluar dan membaringkan tubuhnya di sofa ruang tamu. Amos memperhatikan Jingga tertidur di sofa. Ia duduk di tepian sofa, mengangkat sedikit kepala istrinya menjadikan kedua pahanya menjadi bantal. Wanita itu lelap, wajahnya tampak kelelahan dan pucat. Lama mengamati wajah itu, menyesal atas apa yang ia lakukan pada Jingga. Tidak seharusnya ia memukul wanita rapuh ini, tidak seharusnya ia bertangan kasar. Namun, pria tambun kecewa. Gadis polos yang ia selamatkan dari para k*****t telah menipunya, melukai hatinya. Wanita ini menikah dengan Amos membawa benih pria asing di dalam tubuhnya. Amos masih ingat, dokter mengatakan kalau dirinya seorang mandul. Itulah kenapa pria ini berubah menjadi sosok kasar dan mabuk juga hobi berjudi. Istrinya meninggalkannya karena tidak bisa memberi keturunan. Lalu Jingga datang, membuatnya jatuh cinta. Ia berniat mengubah hidupnya, menjadi sosok yang berguna untuk Jingga. Hingga pada suatu hari, Jingga membuatnya terkejut. Gadis polos mengatakan kalau dirinya hamil. Amos tersentak, dunianya kembali hancur. Seseorang memanfaatkannya, seseorang menipunya. Istrinya sendiri menipunya. Amos menurunkan kembali kepala Jingga, meletakkan di sofa. Jingga sama sekali tidak terbangun lalu pria itu meninggalkan rumah, untuk bekerja. .... "Mereka ada dimana?" Tanya Hagena. "Aku menyewa Apartemen, lokasinya dekat rumah sakit." Ucap Elesh seraya mengumpulkan barang-barang Hagena. Dokter mengizinkan wanita itu pulang. "Bagaimana keadaanya?" Meski rasanya perih, ia tetap penasaran mengenai apa yang terjadi antara Elesh dan Jingga. "Mereka baik-baik saja." Elesh tersenyum kearah Hagena. "Ge, pria kecil itu pasti putraku." Elesh menarik kursi yang ada di bawah bangsal untuk ia duduki. Hagena menelan ludah rasa empedu melihat binar wajah Elesh mengatakan itu. “Sudah kuduga, kalian sangat mirip. Lalu apa rencanamu?” Tanya Hagena sedikit menunduk menyembunyikan wajahnya yang sendu. Elesh mengulum bibir sambil menggelengkan kepala. “Aku harus mengejar pengampunan dari Jingga." Menghela nafas panjang, bangun dari duduknya mengumpulkan semangat. “Aku menjanjikan Aldebaran playstation,” tersenyum mengingat wajah pria kecil saat duduk bersama menunggu Jingga bangun. Kilas balik saat berada di Apartemen. Aldebaran mengamati ponsel Elesh yang diletakkan di atas meja. Mereka duduk berhadapan di sofa menunggu Jingga sadar. “Kau mau pakai?” Elesh mengambil ponsel yang diamati Aldebaran sedari tadi. Pria kecil menggeleng lemah. "Kemarilah," Elesh mengulurkan tangan, menarik Aldebaran untuk duduk di sampingnya. “Kau mau menelpon?" Aldebaran menggeleng kecil. "Main game," lirihnya, Elesh tersenyum. "Baiklah kau boleh memakainya." "Apa boleh, Paman?" "Tentu saja," Aldebaran menerima benda itu, lalu mencari game di sana. "Paman tidak punya game," ujarnya, mengembalikan kembali ponsel Elesh. "Astaga paman lupa, tapi kita bisa download. Mau game apa? “Perang, free fire. Teman Al suka memainkannya di sekolah.” “Oh yah, bagaimana denganmu kau juga suka memainkannya?” Aldebaran menggeleng sedih. Dahi Elesh berkerut, ia mencari game itu dan mendownload. “Tidak, aku cuma menonton lewat ponsel teman sekolah. Aldebaran tidak punya ponsel, mama juga." lirihnya. Elesh meletakkan ponsel di atas meja, sembari menunggu game terpasang Elesh mengajak Aldebaran bercerita tentang keluarga mereka. Aldebaran bercerita segalanya dengan polos sambil mengawasi ponsel itu. "Ayah tidak pernah memukul aku tapi, Mama selalu terkena pukul setiap kali mereka bertengkar." Ucapnya dengan wajah menyendu. "Aku ingin cepat besar biar bisa melindungi Mama dari pria jahat itu." Aldebaran mengatakannya dengan nada serius. Anak kecil ini terkadang menjadi sangat dewasa. Elesh menggigit bibir kuat mendengar kalau Ayahnya suka memukul Jingga. Hatinya sakit, ia tidak menyangka kalau masalah yang bersumber darinya membuat Jingga menderita selama ini. "Wuih ... game nya berhasil didownload, Paman." Seru Aldebaran, mengambil ponsel dan segera membuka game. “Kau bisa memainkannya?" Aldebaran menggeleng. “Aku tidak bisa memainkannya, paman.” ”Wah, paman juga tidak pernah memainkan ini. Baiklah kita sama-sama belajar.” Elesh mendekatkan diri pada Aldebaran. Mereka berdua merapat. “Dulu Paman suka bermain game di Playstation. Mama Jingga kadang menemani.” Elesh bercerita sambil mencoba memainkan game di ponselnya. “Apa kalian dulu sahabat, Paman?” Tanya Aldebaran sambil menonton permainan Elesh. “Mmm, lebih dari itu." Elesh menyerahkan ponselnya pada Aldebaran. Pria kecil mencoba memainkannya. Elesh melihat kearah pintu kamar dimana Jingga berada. Ia berharap wanita disana memaafkannya. "Jingga, terima kasih sudah melahirkan putraku. Terima kasih wanita hebatku. Aku akan mengenggam kembali tanganmu, aku berjanji akan melindungi kalian, tidak peduli kau memaafkan aku atau tidak. Aku berjanji, hidupku hanya milikmu." Bergumam dalam hati, terus menatap ke arah pintu kamar. “Lain kali kita bermain game di Playstation, kau mau?" Aldebaran melihat Elesh senang, hanya tiga detik dan kembali fokus pada game di ponsel. “Aku tidak punya playstation, Paman." “Paman akan belikan untukmu.” Aldebaran menghentikan tangannya bermain game. “Sungguh?” "Yah, kau senang?" Aldebaran sontak memeluk pinggang Elesh. “Terima kasih, paman. Aku senang mama punya teman baik seperti paman." Ucap Aldebaran. Elesh mengusap kepala Aldebaran pelan. ..... "Jadi kau akan kesana?" tanya Hagena menarik Elesh dari lamunannya. “Mmm,” “El,” “Iya,” “Bisakah aku meminta sesuatu?” Elesh menatap Hagena. “Katakanlah,” “Tolong, pulanglah ke rumah tepat waktu.” Ucap Hagena dengan nada memohon. "Kedua orang tuaku mungkin akan lama tinggal di rumah. Adara cucu pertama mereka." Sambungnya seraya mengulurkan tangan pada Elesh. "Baiklah, jangan khawatir." Elesh menyambut tangan Hagena. membantunya turun dari tempat tidur tujuan mereka ruang bayi dimana Adara berada. . . . . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD