Andai waktu di putar kembali

1731 Words
Makan malam di rumah Elesh tengah berlangsung. Kedua orang tua Hagena melirik tempat duduk yang kosong. Seharusnya menantu mereka duduk disana dan makan bersama, namun semenjak mereka sampai dirumah itu. Elesh selalu sibuk dan pulang malam. Elesh bahkan terkesan mengabaikan mereka. Hagena berusaha mencari alasan, untuk menutupi kesibukan Elesh. Hagena mengatakan pada kedua orang tuanya kalau Elesh disibukkan pekerjaan rumah sakit. "Seharusnya menantuku mengambil cuti saat situasi seperti ini. Putrinya baru saja lahir." Ayah Hagena mengeluh. Renatha meletakkan peralatan makannya di atas piring, mengambil tisu lalu menekan pelan di bibir. "Aku akan menelponya, Besan tolong kalian nikmati makan malamnya." Renatha bangun dari duduknya. "Ah, Besan maaf kami tidak berniat merepotkan." Ucap ibunya Hagena. "Tidak masalah, putraku sepertinya lupa kalau dia sudah menjadi seorang ayah." Renatha mengambil langkah menuju kamarnya. "Gena, kau tidak ada masalah sama suamimu?" Tanya ibunya Hagena dengan nada kecil. "Tidak, Bu." Hagena mencoba memberinya wajah baiknya. "Sayang, jika ada masalah cerita sama Ibu. Semenjak kami disini Elesh bahkan tidak punya waktu untuk kami. Putrimu begitu lahir dia keluar dan muncul dini hari di Klinik dan hari ini dia hanya mengantarmu pulang kerumah." Kata Ibu Hagena. "Astaga aku tidak selera makan." Ayah Hagena menimpali, meletakkan alat makannya. Ia menyelidik wajah putrinya. "Kami tidak ada masalah, Ayah. Elesh memang sibuk di rumah sakit. Ia menggantikan dokter jaga yang sedang cuti," ujar Hagena berbohong. Kedua orang tuanya saling tatap, tidak percaya dengan ucapan putri mereka. Hagena meletakkan alat makannya, ia berdecak melihat tatapan itu. "Kami tidak ada masalah." Suara Hagena sedikit keras. Ia mengembuskan nafas kasar lalu berlalu meninggalkan kedua orang tuanya. Sementara Renatha di kamar, mencoba menghubungi Elesh, pria disana mengangkatnya. Renatha mendengar suara musik memekakan telinga. "Elesh, kau dimana? Jam segini belum pulang? Kedua mertuamu mencarimu, kau membuat mama malu." Cerocos Renatha sebelum Elesh menyapanya. "Aku ada di Bar." "Apa?" Renatha melebarkan mata sekaligus menutup mulut dengan tangan. Putranya sudah tak waras. Istrinya baru saja memberinya keberuntungan dan dia begitu tega berkeliaran di Bar, ketimbang memanjakan istri yang sudah berjuang menjadikannya seorang Ayah. "Elesh!" Renatha mendesiskan perkataanya. Ia takut berteriak dan didengar kedua besan nya. "Mama kecewa samamu. Pulang Elesh!" "Sebentar lagi." Jawab Elesh segera menutup telpon. Di Dalam Bar Elesh menghisap nikotin dan memainkan asapnya di ruang pengap. Sebenarnya tempat ini bukanlah Bar yang sering dimasuki pria kalangan atas. Ruko berlantai tiga yang dijadikan tempat berjudi, mabuk, dan menikmati wanita malam kalangan rendah. Seorang wanita berpakaian seksi dengan belahan d**a menyembul menghampiri meja Elesh. Meraba punggung pria itu, dengan jemari lentik. "Mas, mau ditemani?" Suaranya merdu menggoda keluar dari bibir bergincu merah. Elesh menenggak bir dalam gelasnya, ia menilai penampilan wanita itu. Sangat menggoda tetapi, tidak untuknya. "Maaf." Elesh menolak tak lupa memberi senyuman hangat di bibirnya. "Murah kok, Mas. Tapi dijamin memuaskan." Godanya, kali ini mendekatkan bibirnya pada bibir Elesh. "Sorry, bisa menyingkir dari hadapanku?" Wanita itu menghela nafas kasar, menarik diri dan berlalu dari sana. Elesh ketempat ini bukan untuk memuaskan dahaga karena sudah terpantik hasrat oleh Jingga. Tetapi, pria berkulit putih ini datang untuk mengawasi Amos. Di meja judi, Amos tampak emosi, taruhan yang ada di mejanya beralih tempat pada pemenang. pria tambun melempar kartu di atas meja kesal, tawa dari pemenang mengisi ruangan beradu dengan suara musik. Elesh tersenyum miring dari tempat duduknya, tak habis pikir kenapa Jingga jatuh ketangan pria seperti Amos. Elesh mengambil ponsel dan merekam Amos diam-diam, pria itu butuh senjata untuk mendekati Jingga. Amos menenggak alkoholnya lalu meninggalkan tempat itu dengan sempoyongan. Elesh mengikuti dari belakang, keluar dari tempat itu. Pria tambun kesusahan mencari taksi, tak satupun yang bersedia menerimanya karena mabuk. Amos terus berjalan kaki hingga terjatuh dan tiduran di trotoar. "Jingga, aku tidak akan mengizinkanmu bersama pria ini lagi." Gumam Elesh, menekan langkah menuju mobilnya terparkir. .... Renatha gelisah menunggu Elesh pulang, ia berjaga-jaga di depan rumah. Jangan sampai putranya masuk ke rumah dalam keadaan berantakan. Mertuanya tidak boleh tahu kalau Elesh dari Bar bukan sibuk di rumah sakit seperti yang dikatakan Hagena. Mobil Elesh memasuki halaman rumah, Renatha segera menghampiri begitu putranya keluar dari mobil. Menarik menjauh ke belakang mobil. “Ada apa?” Tanya Elesh heran. “Kau darimana?”Renatha mengendus Elesh yang bau alkohol. “Apa yang mama lakukan?” Elesh berusaha melepas diri dari Renatha. "Apa yang aku lakukan? Kau sudah gila, Elesh" Tangan Renatha memukuli punggung putranya, kesal. "Mama, hentikan! Apa-apaan ini!" Geram Elesh. “Kau keterlaluan Elesh, istrimu baru saja melahirkan dan kau malah asik di Bar sana.” Renatha kesal. "Ck, kenapa terlalu ikut campur.” Mengabaikan lalu melangkah hendak masuk. “Elesh!” Menggeram. Pria jangkung menghentikan langkahnya, melihat Renatha. "Ada apa lagi?" “Apa terjadi sesuatu antara kamu dan Hagena? Kalian ada masalah? Tolong jangan membuatku malu di depan orang tua Hagena.” Tanya Renatha dengan suara tertahan. “Kami tidak ada masalah,” ujarnya tenang. “Tapi, yang mama lihat kalian sepertinya ada masalah, El?” Bertanya dengan suara tertahan di tenggorokan. “Terserahlah,” Melihat Ibunya dengan tatapan malas. “Elesh, apa kita tidak bisa bicara dengan baik-baik. Ini sudah sepuluh tahun dan kau masih mengabaikan mama.“ "Cukup, aku lelah dan tidak ingin berdebat, mama.” Menghela nafas kesal. “Ini masih tentang sepuluh tahun yang lalu kan, Elesh. Kau masih tinggal di putaran itu. Kau mengabaikan mama. Tapi, sadarlah jika bukan karena Mama kau tidak akan seperti ini.” “Iya benar, kalau bukan karena mama aku tidak akan menyedihkan seperti ini.” Elesh menyugar rambut. “Apa? Kau bilang menyedihkan? Elesh, usiamu delapan belas tahun jika menikah dengan gadis udik itu kau tidak akan jadi seorang dokter.” Menuding dengan tatapan kesal. Elesh menahan tawa. Mereka berdebat di malam hari, yang benar saja. “Jingga. Namanya Jingga, Mama. Bukan gadis udik." "Ah terserah, mama tidak peduli siapapun namanya." "Mama tahu kenapa aku memilih jadi Dokter? Itu semua karena Jingga." Ucap Elesh menekan di setiap kata-katanya. Renatha tertawa garing."Jadi kesuksesan yang kau dapat, itu karena wanita itu?" "Tentu saja." Renatha menahan tawanya, "Sepertinya aku harus berterima kasih padanya, Elesh." Cibirnya. "Seharusnya." Menyahuti cepat. "Menyedihkan." Desis Renatha, membalas tatapan jengkel Elesh “Gadis kampungan itu, mungkin menjalani hidupnya dengan baik tapi kau masih tetap dalam lingkaran yang sama. Memikirkannya tanpa henti. Kau pikir Mama tidak tahu alasan kamu pulang setiap tahun ke desa? Ziarah ke makam Nenekmu hanya alasan, kau kesana untuk mencari gadis itu.” “Syukurlah kalau Mama tahu. Jadi aku tidak perlu menjelaskannya." Renatha mendengus, melihat putranya yang selalu punya jawaban. "Pria bodoh, kau memusuhi Ibumu hanya karena gadis kampung. Sepuluh tahun menghukumku. Namun, jika waktu diputar kembali aku akan tetap melakukan hal yang sama. Menolaknya! Dia tidak pantas menjadi keluarga Altair.” Elesh tersenyum sinis mendengar ucapan Ibunya. “Dan andai waktu bisa diputar kembali aku …” Tangan Elesh terkepal erat, menggantung ucapannya di dalam mulut. "Ahhhrr !!!" Kesal mengacak-ngacak rambut sendiri. Meninggalkan Renatha di luar. Ia tahu jika kata-kata kejam yang ingin ia keluarkan akan sangat menyakiti hati Ibunya. Elesh memilih menelan dalam hatinya dan Melangkah lebar menaiki anak tangga menuju kamar. “Kau sudah pulang?” Hagena duduk menyusui Adara, ia melihat mimik Elesh kesal bercampur lelah. Pria itu tidak menjawab dan menghempaskan diri di sofa yang ada di kamar. “Elesh, aku mengajakmu bicara.” Hagena, kecewa karena pria ini mengabaikannya. Elesh memejam sembari mengembuskan nafas kasar lalu bangun dari rebahannya. Melihat ke arah tempat tidur dimana Hagena berada. "Maaf, Ge. Aku telah merusak suasana dirumah ini. Aku mengecewakanmu. Maafkan aku." Elesh mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. “Kenapa begitu malam pulangnya?” Hagena penasaran dengan raut Elesh yang sangat suram. “Jingga dan Aldebaran meninggalkan Apartemen, Semuanya jadi rumit.” Pria itu bangun dari duduknya berjalan menuju lemari. "Kenapa?" "Dia sangat membenciku." Elesh mengeluarkan pakaiannya dari lemari. “Kau mau mandi jam segini? Ini sudah jam satu pagi. Tidurlah kau pasti lelah.” Hagena menyarankan begitu melihat Elesh berjalan ke kamar mandi. Pria jangkung berhenti melihat Hagena di tempat tidur. “Jangan khawatirkan aku.” Ia tampak memikirkan sesuatu lantas menghampiri Hagena dan bertanya. “Menurutmu apa seseorang tidak berhak mendapatkan kesempatan kedua, Ge?” Hagena tersenyum lembut. “Tergantung orangnya. Kau ingin mendapatkan itu?” Elesh menghela berat. “Dia sangat membenciku aku tidak yakin Jingga memberiku kesempatan itu. Jingga bahkan bilang aku tidak berguna bagi mereka.” Elesh berdecak mengingat ucapan Jingga siang hari padanya. Pria itu menyeret langkahnya masuk ke kamar mandi. Air mata Hagena menitik, menggigit bibir agar suaranya tidak sedikitpun keluar. Ia menangis. Katanya cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu, tapi sepertinya kata-kata itu tidak berlaku pada Elesh. Hanya Hagena yang merasakan jatuh cinta dan semakin dalam pada pria itu. Hagena membawa ingatannya saat dirinya putus asa dan memilih mengakhiri hidup di jembatan. Seorang pria menarik tangannya saat dirinya nyaris melompat. “Apa yang kau lakukan?” Tanya pria itu dengan nada kesal, menarik tangan Hagena sekuat tenaga. Membawanya dalam dekapannya. “Kenapa kau menyelamatkan aku?” Hagena memukul d**a pria yang sudah menyelamatkannya dari kematian sembari menangis. “Kalau mau bunuh diri jangan sampai ada yang lihat.” Ucap pria itu ketus, melepaskan Hagena dan berjalan menuju motornya. Pria itu menghidupkan motornya, lalu menoleh kebelakang. Hagena duduk di pembatas jembatan, menunduk memeluk diri sembari menangis. Pria itu terenyuh, kemudian turun dari motornya dan menghampiri kembali. “Bukan hanya kau yang memiliki masalah berat. Semua orang pernah mengalami hal sulit dalam hidupnya." Ucap Pria itu, menatap wanita yang tengah menangis getir. "Jangan memilih jalan bodoh yang akan kau sesali di alam baka." Ucap pria bertubuh jangkung, membungkuk di hadapan Hagena. "Ayo aku antar pulang.” Katanya dengan suara lembut sembari mengulurkan tangan. Hagena mendongak menatap pria itu. Ia ragu-ragu menerima tapi melihat senyum pria jangkung padanya Hagena memutuskan menerima uluran tangannya. "Namaku Elesh Altair, dan kau?" "Hagena Meral." Elesh membantu Hagena berdiri dan menggenggam tangan wanita itu menuju motornya. Suara pintu kamar mandi menarik perhatian Hagena dari ingatannya. Ia turun dari ranjang dan meletakkan Adara di boks nya. Elesh menghampiri, melihat Adara di dalam boks. “Dia sangat manis mirip denganmu, cantik.” Puji Elesh melihat Adara dalam kotak tidur. “Meskipun cantik tidak bisa membuat hatimu berpaling padaku, El.” ucap Hagena bernada santai. Elesh tersenyum, mengacak rambut Hagena. “Jangan pernah jatuh cinta padaku, nanti kau terluka.” Kata pria jangkung. Hagena Sudah sering mendengar ucapan itu tapi entah kenapa selalu membuat hatinya sakit. Karena kenyataanya Hagena sudah mencintainya. “Kau juga jangan perlakukan aku dengan manis, nanti aku terbawa perasaan." ucap Hagena dibarengi kekehan ringan. “Tidurlah, kau pasti lelah. Adara tidak cengeng, kan?” Elesh berjalan ke arah sofa, sementara Hagena naik atas ranjang. “Tidak, dia sangat pengertian.” Hagena menatap pria yang memilih berbaring di sofa daripada di ranjang mereka. Hagena berpikir kalau Elesh mulai menjaga jarak darinya semenjak bertemu Jingga. . . . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD