Jika takdir berkenan

1463 Words
"Mama,” panggil Aldebaran. Jingga melihat kedua tangan orang itu bergandengan, rasanya ingin memisahkan. "Astaga yang benar saja." Ucap Jingga dalam hati, mengembuskan nafas kasar. "Mama, aku membawakanmu cake. Paman membayarnya." Ucapnya polos, ada binar bahagia di wajah Aldebaran. Cake yang dimaksud putranya ada di tangan Elesh. Jingga keluar dari lift, berjongkok memeluk putranya, menekan gigi kuat di bibir. Hatinya sangat sakit melihat situasi ini. "Sayang," gumam Jingga seraya mencubit pergelangan tangan Elesh kuat-kuat supaya pria itu melepas genggaman tangannya pada putranya. "Kita pulang, ya." Menatap putranya lembut, tetapi kukunya semakin kuat mencakar pergelangan pria dewasa. Elesh memejam, menahan rasa sakit yang luar biasa. Wanita itu benar-benar ingin mencelakainya. Begitu pintar berlakon. Lihatlah wajahnya begitu manis tersenyum pada putranya tetapi tangannya begitu jahat kepadanya. Jemari kecil menyentuh pipi Jingga, terasa dingin karena terlalu lama di ruang dingin tanpa mengenakan jaket. "Paman sudah janji akan menjaga kita," katanya dengan raut polos. Mulut Jingga menganga, mendongak menatap pria jangkung yang berdiri di samping putranya. Jingga sangat marah hingga ia semakin menguatkan cakarannya. Wajah Elesh memerah, ia tak kalah hebat. Dia pria dewasa, perang tersembunyi antara dia dan Jingga tidak boleh diketahui Aldebaran. "Al, dengar ..." Jingga menelan ludah, tenggorokannya terasa kering. Ia melepaskan cengkeramannya pada tangan Elesh. "Kita pulang, kita tidak boleh merepotkan orang asing.” Kata Jingga, sengaja menatap sinis Elesh. "Aku takut, Mama."Gumam Aldebaran menundukkan kepala. Elesh berlutut, memutar tubuh Aldebaran menghadapnya. Ia melihat tatapan sedih yang dipancarkan netra pria kecil. "Paman sudah janji akan menjaga kalian, paman tidak akan mengantar kalian kesana." "Elesh," Menyahuti cepat, Jingga berdiri dan melangkah menjauh dari sana. "Tunggu sebentar, paman akan bicarakan ini sama Mama." Ucap Elesh, kemudian menghampiri Jingga. "Apa maksud ucapanmu?" Tanya Jingga, kesal. "Jingga kamu tidak lihat, betapa takutnya putramu pulang ke rumah suamimu?" "Dengar, kau tidak perlu ikut campur masalah keluarga kami apalagi ingin menjadi pahlawan. Kau bukan siapa-siapa, jadi tolong. Berhenti mencapuri yang bukan masalahmu." "Jingga, aku sudah mengatakan jelas bukan? Aldebaran putraku. Jadi aku berhak untuk melindunginya." "Putramu? Hanya dalam mimpimu, Elesh. Enyah dari hadapanku." Jingga mendorong bahu Elesh. Kemudian menghampiri putranya. "Ayo ikut mama sayang." Saat Jingga mengambil tangan Aldebaran, sekelebat pria dewasa menarik pria kecil dan menggendongnya. "Aku sudah berjanji dengannya." Ucapnya,membuat mata biru membola. "Ikutlah denganku." Tambahnya, mengambil kotak Cake dari tangan Aldebaran lalu melangkah ke bagian Resepsionis untuk melakukan check-out. Setelah menyelesaikan masalah hotel, Elesh membawa mereka menuju parkiran. Elesh membuka pintu mobil, memasukkan Aldebaran di bangku penumpang depan. Menutup pintu lalu menghampiri Jingga. "Naiklah, Jingga." ujarnya lembut sembari duduk di bangku kemudi. Wanita itu keras kepala, mematung di samping mobil. "Jingga, naik." Pinta Elesh kembali. "Putraku biarkan dia duduk bersamaku." Katanya dengan ketus. Pria jangkung melirik Aldebaran yang tampak cemas melihat Ibunya tak kunjung naik ke mobil. Elesh menghela nafas panjang, Ia keluar mobil dan membuka pintu penumpang. "Anak muda, Paman ingin sekali duduk bersamamu di depan, tapi Mama sepertinya lebih membutuhkanmu di belakang. Jadi untuk sementara duduklah bersamanya." kata Elesh, membantu Aldebaran turun dari mobil dan membuka pintu penumpang belakang. Aldebaran masuk. "Naiklah, aku mohon." Pintanya pada Jingga. Wanita itu memalingkan wajah, mengabaikan Elesh. Pria jangkung memilih kembali ke tempat duduknya. Mau tidak mau, Jingga naik dan langsung merapatkan diri pada Aldebaran membiarkan pintu terbuka. Elesh berdecak, wanita ini dengan emosinya sangat tinggi membuat Elesh ingin mencubitnya. Elesh memilih keluar lalu menutup pintu, tidak lama kemudian mobil berjalan membaur pada kemacetan "Paman, kata mama kalian teman sekolah." Kata Aldebaran. "Iya itu benar." Balas Elesh, melihat Aldebaran dari kaca spion depan mobilnya. "Apa mama dulu pintar saat sekolah, paman?" Tanya Aldebaran sembari melihat Jingga. Elesh terkekeh, Jingga ingin menendang jok mobil yang diduduki Elesh. Ketawa itu membuatnya kesal. "Yah aku yakin dia pintar, selain itu dia juga cantik dan pintar bermain Biola." "Oh ya. " Aldebaran melihat Jingga dengan tatapan riang. "Mama bisa bermain Biola? Kenapa mama tidak pernah cerita?" "Tidak mahir sayang." Jingga menarik Aldebaran, mendekap kepala putranya. Ia ingin pria kecil ini berhenti bertanya tentang mereka. "Aku ingin melihat mama memainkan Biola." "Mungkin suatu hari nanti." Ucapnya dengan nada ragu seraya membelai kepala Aldebaran hingga pria kecil terlelap. Elesh melihat Jingga menatap jalanan gelap dari kaca jendela mobil. Wanita itu tampak termenung dan benar saja pikiran Jingga sudah berada di masa lalu mereka. Sepuluh tahun lalu …. Setelah penolakan Elesh padanya, esoknya Jingga kembali mengetuk pintu rumah Altair. Perempuan senja membukakan pintu. "Siapa?" Tanya wanita senja, suaranya serak tanpa kaca matanya ia tak lagi mengenali orang. "Jingga." "Oh ya ampun Jingga, kau datang nak. Masuklah." "Apa Elesh ada, Nek?" Tanya Jingga, ia masih berdiri di teras rumah. Perempuan tua menangis, menepuk-nepuk dadanya mejadikan Jingga bingung. "Cucuku yang malang tidak bisa berbuat apa-apa. Ibunya telah membawanya kembali ke Jakarta." katanya disela-sela tangisnya. Jingga tersentak, air matanya lolos tanpa di minta. Dunianya seketika berubah menjadi neraka. "Jakarta?" tanya Jingga dengan nada kecil. "Wanita itu begitu tega meninggalkan aku sendirian di sini, ya Allah. Cucuku yang berharga tidak bisa berbuat apa-apa." Jingga tidak ingin mendengar apapun baginya itu hanya alasan. Seketika ia benci wanita tua ini dan seluruh keturunannya. Jingga berbalik, menyeret langkahnya keluar dari beranda rumah itu. "Jingga." Panggil wanita tua, menghentikan langkah Jingga. "Dimasa muda aku pernah menggugurkan dua kali keturunanku. Dosaku banyak, walau begitu Tuhan masih memberiku satu Putra satu cucu tapi sebagai hukuman atas dosaku yang lalu-lalu Tuhan menghukumku dengan cara mengambil putraku di usia muda dan sekarang menantuku memisahkan aku dengan cucuku." Katanya, tangan berkeriput mengambil tangan Jingga. Menggenggam erat. "Tolong lahirkan bayi ini, jika Tuhan berkenan kalian pasti akan bertemu kembali." Katanya sembari terisak. Jingga menggeleng, menolak. Tidak, hidupnya tidak boleh sia-sia. Orang tuanya sudah berencana menggugurkan kandungannya. Ia harus patuh. Masa sekarang , Jakarta 2020 Air mata Jingga menitik, mengingat itu. Jika Tuhan berkenan kalian pasti akan bertemu. Tiba-tiba wanita itu tertawa, tawa menyedihkan. Jingga menertawakan takdirnya. "Jadi sekarang Tuhan berkenan mempertemukan aku dengan pria ini? Kenapa harus sekarang setelah apa yang kulalui? Kenapa? Bukankah aku berada di Jakarta untuk mencarinya? Mencarinya di kota ini, sendirian tanpa tujuan. Tapi kenapa saat itu, Tuhan tidak membawaku pada pria ini. Dan sekarang? Tuhan telah berkenan mempertemukanku dengan pria ini? Untuk apa? Jingga semakin tergelak, yang mengemudikan mobil merinding ngeri. Melihat dari kaca spion. Elesh mencuri pandang Jingga, tiba-tiba tatapan mereka bersiborok lewat kaca spion. Membuat jantung Elesh berdegup. Wajahnya pias, segera mengalihkan tatapannya ke depan dan mengeratkan tangan di stir. "Apa yang kau inginkan dariku?" Tanya Jingga memecah keheningan, menunduk membelai rambut Aldebaran yang terlelap di pangkuannya. "Pengampunan." Sahut Elesh. Jingga tersenyum kecut mendengarnya. "Pengampunan ..." Ulang Jingga dalam hati. Pria ini minta diampuni, yang benar saja. Senyum miring tercetak dibibir tipisnya. "Jika aku mengampunimu apa yang akan terjadi? Bisakah kau menjauh dan tidak pernah mengganggu hidup kami?” Elesh tak menjawab. Mobil memasuki area parkir Apartemen. Apartemen yang ia cari lewat Internet untuk disewa dan sudah dibayarkan penuh satu tahun. Ia melakukan itu semuanya saat menunggu Hagena lahiran. "Kita sudah sampai." Elesh turun duluan, membuka pintu penumpang. "Aku akan menggendongnya." katanya mencoba mengangkat Aldebaran. "Singkirkan tanganmu, aku bisa sendiri." Menepis tangan besar dengan kasar. "Kau tidak akan kuat," Mata Jingga mendelik, refleks Elesh mundur. Ia benci menganggapnya lemah. Elesh menyerah, Jingga perlahan keluar dari dalam mobil. Memasukkan kembali setengah badan, mencoba mengangkat Aldebaran. "Jingga, tanganmu akan terluka." Elesh khawatir, melihat gadis mungil menggendong Aldebaran dengan pundaknya. Mata wanita itu tiba-tiba berkunang-kunang. Brak Tubuh Jingga rubuh, terjatuh pingsan begitu juga dengan Aldebaran yang ikut terjatuh. "Jingga." Elesh segera menolong Aldebaran yang tertimpa tubuh Jingga. Pria kecil menangis karena terkejut dan sedih melihat Ibunya tak sadarkan diri. "Jingga, Jingga bangun." Elesh menepuk-nepuk pipi Jingga. "Mama, bangun." Pria kecil menangis. "Sssttt, jangan khawatir mama tidak apa-apa, paman akan menggendongnya. Ikutin Paman oke." Elesh mengangkat tubuh Jingga, menggendong membawa menuju lift dan diikuti Aldebaran dari belakang sembari menenteng kota cake di tangan. ..... Jingga terbangun, samar-samar melihat langit-langit kamar. Menyadari kalau dirinya tengah berbaring dan berada di ranjang. Wanita mungil sontak bangun. Mengerjap, melihat sekitarnya. Kamar yang cukup luas di lengkapi Lemari besar tiga pintu, meja rias juga meja kecil tepat di samping tempat tidur. Jingga menurunkan kaki dari ranjang, melangkah membuka pintu kamar. Samar-samar mendengar suara Aldebaran dan pria dewasa tertawa. Jingga membawa langkahnya menuju suara. Berdiri diam, memperhatikan dua orang yang tengah asik duduk di sofa bermain game di ponsel. Perasaannya saat ini tidak dapat dijelaskan. Senang melihat putranya tertawa lepas. Kecewa karena tawa itu berasal dari pria dewasa di samping Aldebaran. Jingga berdehem, membuat kedua pria menolehkan kepala. "Mama," Aldebaran segera turun dari sofa, berlari memeluk pinggang Jingga. Pria dewasa, ikut berdiri memperhatikan keadaan Jingga. "Mama pingsan, Paman menggendong Mama sampai kesini. Ini rumah Paman kata Paman kita boleh tinggal." Aldebaran begitu antusias mengatakannya. Elesh begitu cepat akrab dengan Aldebaran. Jingga cemburu sekaligus sakit hati. . . . . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD