Dia putraku, bukan?

1589 Words
Aldebaran dan Jingga duduk di sofa menonton televisi, meski tempat ini nyaman ia merasa dalam penjara. Entah apa maksud Elesh menahan mereka disini. Suara pintu terbuka, mengejutkan Aldebaran dan Jingga. Mereka saling menatap lalu keduanya kompak menatap ke arah pintu. Elesh berada disana. “Paman." Aldebaran berlari melompat pada Elesh. Kedua bola mata indah Jingga membola, putranya kenapa begitu berani, lantas ia segera menghampiri. "Aldebaran." Jingga mengambil paksa, tangan Aldebaran melingkar di leher Elesh. Kedua kaki pendek mengikat pinggang pria jangkung. "Turunkan putraku, aku mohon." Nada memohon, mata menikam. Jingga tidak ingin menakuti putranya dengan suara keras. Elesh menelan ludah pahit melihat tatapan Jingga yang tajam. "Paman, bawa kami bersamamu." Pinta pria kecil, Jingga mendelik putranya berkhianat. "Sayang, jangan merepotkan paman. Ucapkan terima kasih kita harus pulang, Ayah pasti mencari kita." Nada Jingga lembut, tetapi tidak dengan tatapannya. Tajam penuh kebencian pada pria itu. “Tidak mau.” Terus mengikat tangan di leher Elesh. "Anak muda, mau menemani paman minum kopi di bawah?" Tanya Elesh seraya mengusap punggung Aldebaran lembut. Aldebaran menoleh pada Ibunya. Meminta izin lewat tatapannya. "Tidak, Al. Kita pulang saja." Pria kecil kecewa, menyandarkan kepala di pundak Elesh. "Aku akan coba bicara dengannya, tunggulah disini." Ucap Elesh, berbalik meninggalkan Jingga di dalam kamar. Jingga menekan tangan di d**a, hatinya perih melihat putranya menempel pada Elesh. Jingga merosot duduk di lantai, menahan sakit hatinya. "Apa darah mereka berbicara? Aku benci ini!" Bergumam, menitikkan air mata. Memeluk kedua kaki merapat ke d**a. Menikmati rasa sakit tak terperi. "Pria itu jahat suka menyakiti Mama." Aldebaran mengadu di gendongan Elesh. "Anak muda, kenapa memanggilnya pria jahat? Dia ayahmu bukan?" Tanya Pria jangkung sambil terus melangkah menuju lift. "Aku membencinya. Mama selalu terluka karenanya." Mendengar ucapan anak kecil, Elesh merasa sedih. Elesh menekan tombol pintu lift yang akan membawah mereka ke lantai bawah. Tidak ada suara, mereka membisu di dalam lift hingga terbuka kembali. Elesh menekan langkah menuju cafe yang masih buka di hotel itu. Menurunkan pria kecil tepat di sofa lembut, berjongkok menyamakan tinggi. Menatap sebentar wajah pria kecil. Tidak dipungkiri, dia sangat mirip dengannya. "Mau cake?" Aldebaran mengangguk kecil, malu-malu. "Baiklah kita pesan." Mengusap kepala Aldebaran lembut lalu duduk berhadapan dengan Aldebaran kemudian memanggil pelayan. "Selamat malam, mau pesan apa, pak?" sapa pelayan menyerahkan buku menu pada Elesh. "Mau pesan apa, anak muda?" Tanya Elesh menunjukkan menu cake pada pria kecil. Aldebaran menunjuk cake chocolate Red Velvet, memesan dua. "Chocolate Red Velvet, dua. Mocha latte, satu. Dan jus stroberi satu." Pesan Elesh pada pelayan. "Baiklah, ditunggu kami akan menyiapkannya." ucap pelayan dengan ramah lalu meninggalkan mereka. Hening suasana menjadi canggung. Pria kecil memperhatikan sekitar, menikmati tempat mewah itu. "Mmm, berapa usiamu?" Tanya Elesh memecah keheningan sembari menunggu pesanan mereka datang. "Sembilan tahun paman," Elesh mengangguk, mencerna dalam pikirannya. Sembilan tahun, ulangnya dalam hati. Gosip tentang Jingga menggugurkan kandungan mungkin tidak benar. "Kalau Jingga menggugurkan kandungannya apa mungkin dia secepat itu memiliki anak. Usia anak ini sembilan tahun dan andai saja aku menikah dengannya mungkin anak kami juga akan sebesar dia, pun anak ini memiliki kemiripan denganku. Mungkin dia putraku. Ya, Tuhan kalau itu benar. Betapa hancurnya hatiku saat ini." Elesh membatin menatap terus Aldebaran. Pelayan membawa pesana dan menata di meja. Aldebaran terlihat riang melihat cake yang sangat lembut. "Selamat menikmati. Apa masih ada yang bisa saya bantu, pak?" Tanya pelayan, ramah. "Ini saja, terima kasih." Pelayan itu mengundurkan diri. Aldebaran mendorong cake ke depan Elesh. Kedua alis Elesh bertautan, bingung. “Ada apa, anak muda?” "Apa cake ini bisa di bawah pulang? Tanya Aldebaran menunduk, malu. "Boleh saja, tapi untuk siapa?" Elesh mendorong pelan cake ke depan Aldebaran. "Aku ingin Mama memakannya juga," lirihnya. Hati Elesh berdenyut mendengar perkataan Aldebaran. Terlihat jelas bagaimana pria kecil ini mencintai Ibunya. Sejenak Elesh tertegun, lalu pria itu menghela nafas perlahan. "Anak muda, bagaimana kalau kita mengajak Ibumu kesini? " Aldebaran mengangkat kepala, tatapannya berbinar hanya lima detik lalu menunduk kembali. "Mama tidak akan mau," katanya pelan. "Paman akan mencobanya. Apa dia keras kepala?" Tanya Elesh dibarengi kekehan ringan. "Tidak, Mama orang yang sangat baik." "Aku setuju denganmu, kalau begitu paman akan mengundangnya kesini. Bagaimana?" Aldebaran mengangguk. "Semoga beruntung, Paman." Ucapnya, mengepalkan tangan di udara. Elesh tersenyum, anak ini sangat menggemaskan. Pria dewasa mengacak poni pria kecil. "Tunggu disini, jangan kemana-mana sampai Paman kembali. Oke! Nikmati cake dan minumanmu." Pria kecil mengangguk semangat. ..... Elesh menekan bel hotel. Menarik nafas panjang. Tangannya merapikan rambut. mengusap wajah. Ia juga mengendus pangkal lengan. Seharian belum mandi pantas saja tubuhnya terasa lengket. Lalu untuk apa melakukan semua itu? Membuat Jingga tertarik? Sayang sekali, pria ini lupa. Kalau diantara mereka ada rasa benci yang siap meledak. Pintu terbuka melebar, keduanya bersitatap dalam waktu enam detik. Tatapan berbeda dari keduanya. Elesh menatapnya dengan rindu bercampur rasa gundah sementara Jingga menatapnya dengan tatapan benci. Enam detik, diakhiri deheman Elesh. "Dimana putraku?" Jingga mencari keberadaan Aldebaran dibelakang Elesh. "Dia ada di bawah, putramu memintaku menjemputmu." "Tempatnya dimana?" Jingga memalingkan wajahnya dari tatapan pria ini. "Aku akan membawamu kesana," "Cukup tunjukkan tempatnya, aku akan membawa putraku dari sana dan kau boleh pergi diam-diam." Jingga masuk mengambil tas lalu keluar dari kamar hotel. "Jingga." Elesh menarik tangan Jingga, wanita itu segera menepisnya. "Jauhkan tanganmu," katanya penuh penekanan. "Maafkan aku," lirihnya. Jingga tersenyum miring. Mengabaikan pria itu, berjalan menjauh dari Elesh. "Dia putraku, bukan?" Langkah Jingga terhenti. Tas di tangan terjatuh. Putraku? Pria ini, beraninya dia mengatakan itu! Jingga berbalik, mengamati Elesh dengan tatapan mencela. "Saya tidak pernah merasa melahirkan putramu." Tegasnya, menatap Elesh dengan remeh. "Aku akan membuktikan itu, Jingga. Akan aku pastikan kalau dia putraku." Ucapannya menyakiti telinga lalu menjalar ke hati, Jingga melangkah menghampiri Elesh. Plak! Tangan kecil mendarat di pipi Elesh. Pedas dan berdenyut. "Kenapa? Kau takut kalau dia putraku?" Plak! Tamparan kedua lebih kuat, di pipi yang sama. "Reaksimu menjelaskan kalau dia putraku." Plak! Tiga kali tangan itu mendarat di wajah Elesh, pria jangkung menerimanya. Hanya tamparan, tidak masalah. Bahkan andai Jingga membunuhnya sekalipun, ia akan pasra. Dia layak menerimanya, terlalu dalam luka yang ditanam pria ini bagi wanita mungil bermata biru. Terlalu menyakitkan hingga kata maaf seribu kali pun tak akan bisa mengobatinya. "Sekalipun dia putramu, kau tidak berhak mengakuinya. Sepuluh tahun yang lalu kalian sudah membunuhnya." ucap Jingga tegas. Menekan di kata terakhir dengan jelas. Elesh menelan ludah kuat-kuat, rasanya pahit. Kata membunuh begitu menyakiti hati, namun ucapan Jingga benar adanya. "Kau belum melupakan kejadian sepuluh tahun yang lalu, bukan? " Jingga mendongak, untuk mendapatkan tatapan Elesh. Ia harus memastika pria ini jelas melihat betapa ia membencinya. "Jingga," lirih Elesh. "Berhenti memanggilku, aku tidak mengenalmu." "Maafkan aku," Elesh berlutut, di hadapan Jingga. Dengan gerakan cepat memeluk pinggang Jingga, wanita itu membelalak. Terlalu spontan hingga tidak dapat menghindar. Elesh menangis, tidak peduli dimana mereka berada. Cctv merekam semua di koridor itu, tepat di depan kamar mereka. Jingga berusaha melepas diri dari Elesh, mengabaikan tangis pilu Elesh. "Maaf, Maaf Jingga. Sungguh, Maaf." ucapnya, semakin mengikat tangan di pinggang wanita itu. ERAT. "Lepaskan!" Mendorong bahu Elesh kasar. "Jingga, aku mohon maafkan aku. Maafkan aku ... tolong, Jingga." Suaranya gemetar. Menangis pilu memperlihatkan sisi lemahnya. Menunjukan betapa hancurnya hatinya saat ini. Jingga bukanlah malaikat, Ia manusia biasa, wanita rapuh, punya rasa dendam. Di Dalam hatinya masih tersimpan luka yang begitu sulit untuk disembuhkan. Meskipun waktu sudah sangat panjang berlalu. Ada yang bilang luka hati akan sembuh seiring waktu berjalan, tapi sepertinya kata-kata itu tidak berlaku untuk Jingga. Lukanya tetap utuh. Jingga tergelak mendengar ucapan pria itu, kejadian sepuluh tahun lalu seolah terulang kembali dengan posisi terbalik. Jingga pernah berada di posisi itu, posisi berlutut memohon pada Renatha dan pria ini disana menjadi seorang pengecut. Mengabaikannya dan menolaknya. "Tidak." Ucap Jingga dengan tegas. Menatap jauh ke depan. Pinggangnya masih erat dipeluk Elesh. Membuatnya sulit bergerak. Elesh mendongak, air matanya benar-benar tidak berarti bagi wanita itu. Sama sekali tidak berpengaruh. "Kumohon, Jingga. Aku berdosa padamu, aku bersalah. Aku pria bodoh tidak berguna. Aku menyesali segalanya, tolong maafkan aku." Mohon Elesh. Jingga menelan ludah, mengulang kembali kata-katanya. Pria ini terlalu lama mengikat pinggangnya. "Lepaskan!" Tegas, mendorong kuat Elesh. Pria itu berubah menjadi batu, terus mengikat Jingga dengan tangannya. "Tolong lepaskan. Putraku seorang diri disana." ucap Jingga, berusaha melepas jalinan jemari Elesh di pinggangnya. Perlahan tangan Elesh melonggar, melepaskan pelukannya. Pikirannya menjadi licik. Elesh bangun dari duduknya, menyapu pipi yang sudah basah air mata sembari menatap punggung Jingga yang sudah melangkah menjauhinya. Jelas wanita itu tidak akan memaafkannya, tapi Elesh ... ia akan mengejar dan memasuki dunia Jingga. Ia bersumpah untuk itu. Sepuluh tahun sudah cukup menyiksa. Kehilangan Jingga karena bersedia menjadi seorang pengecut, kali ini tidak. Elesh harus memiliki wanita itu, harus. Elesh berlari mengejar Jingga, begitu lift terbuka. Pria itu masuk dan menghalangi langkah Jingga yang ingin masuk ke dalam lift. "Apa-apaan?" Jingga kebingungan, melihat Elesh bertingkah seperti orang aneh. Elesh menguasai Lift, menekan tombol agar pintu menutup. "Aldebaran putraku." Katanya, sebelum pintu menutup utuh, membuat Jingga mendelik. "Elesh!" Teriak Jingga. Jingga mengerti maksud Elesh, wanita itu menendang pintu lift kesal. Ia bingung harus berlari kemana untuk mendahului Elesh. Putranya tidak boleh tahu kalau Elesh ayahnya. Jingga tidak rela Aldebaran memanggil pria itu Papa. Jingga tidak akan mengizinkan Elesh mengambil Aldebaran darinya. Hanya dia yang berhak atas Aldebaran. Hanya dia seorang, titik. Jantung bergemuruh, meletuk -letuk di dalam d**a. Menyesakkan seolah meminta bebas. Menunggu lift, yang akan membawanya turun ke bawah. Jingga menekan tombol lift, masuk lalu menutup. Mengepalkan tangan erat, hingga memutih. Ding. Pintu lift terbuka, mata biru membola melihat pemandangan di depan mata. Dua pria bergandengan tangan dengan wajah mirip, menunggunya. Melihat itu Jingga jadi tertawa, tawa kecewa yang menyakitkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD