Kau membunuh kehidupanku

1647 Words
Mobil Elesh memasuki halaman rumah besar Ibunya. Pengakuan Jingga tentang kedua orang tuanya, pernah mendatangi rumahnya membuat Elesh kesal. Ia tidak pernah tahu tentang itu, dan sialnya kenapa dia tidak berada disana. "Mengenai kedua orang tua Jingga, apa mereka pernah datang ke rumah ini?" Renatha mengernyit, mendengar pertanyaan Elesh, mereka kini duduk di ruang tamu. Renatha pikir Elesh datang karena merindukannya, ternyata putranya yang menyedihkan ini masih membahas kejadian lama. "Aku tidak tahu apa maksudmu," ujarnya, ia menyilangkan kaki melihat putranya yang menuntut jawaban melalui tatapannya. Renatha mendesah panjang melihat tatapan itu lalu kemudian berujar. "Kau datang hanya untuk menanyakan itu? " Renatha menarik sudut bibir, ia tidak menyangka Elesh masih berada di lingkaran masa lalu. "Elesh, kau sadar tidak? Setelah kau menghasilkan uangmu sendiri, membeli rumah dan menikah. Apa kau pernah menginjakkan kakimu di rumah ini? Dan setelah sekian lama aku menunggumu di rumah ini. Kau datang hanya untuk membahas kejadian sepuluh tahun yang lalu. Menyedihkan Ckckck." Menatap Elesh dengan tatapan kecewa. "Rumah ini sudah lama jadi neraka, jadi untuk apa aku berkunjung." Renatha membelalak mendengarnya. Elesh lahir dan dibesarkan di rumah itu penuh kasih sayang dan sekarang pria ini mencela rumahnya. "Kalau begitu, keluar!' Perintah Renatha, menunjuk ke arah pintu masuk. Elesh berdecak, ia mengusap belakang lehernya. "Kau belum menjawab pertanyaanku." ujarnya, santai. "Kau mau tahu?" "Yah," "Baiklah, aku mengusirnya dari rumah ini. Mereka tidak pantas masuk ke dalam rumahku." ucap Renatha, dengan nada sombong dan menghina. Renatha tersenyum miring, saat mengingat kejadian itu. Ia melihat Dermaga dan istrinya menggedor- gedor pagar rumahnya lewat balkon kamarnya. Renatha membelalak, ini Jakarta bukan desa lalu kenapa dua orang dusun itu ada di depan rumahnya. Segera beranjak, jangan sampai Elesh melihat kedua orang itu. Ia berlari kecil menuruni anak tangga untuk menemui orang tua Jingga. "Nyonya ada tamu," ujar Elijah saat melihat Renatha menuruni anak tangga yang berbentuk spiral. Renatha meletakkan jari telunjuk di bibirnya supaya Elijah diam lalu kemudian ia mengibaskan tangan mengusir Elijah dari tempat itu untuk kembali bekerja. "Nyonya," sapa istrinya Dermaga, mereka masih berdiri di depan pintu rumah. "Kami datang untuk menjemput putriku," ujarnya dengan nada kecil. Renatha di buat bingung, ia menoleh kebelakang. Kemudian keluar pintu dan menutup pintu rumahnya. "Kenapa kalian berada di sini?" Tanya Renatha. "Kami datang menjemput Jingga." Dermaga mengulangi ucapan istrinya. "Disini?" Renatha bingung. "Yah, tolong panggilkan dia." "Konyol, untuk apa dia sini? Putrimu tidak ada di rumahku." Dermaga dan istrinya saling tatap, mereka semakin terlihat panik. "Ada-ada saja," gumam Renatha menarik sudut bibirnya. "Tapi, Jingga menulis surat kalau dia kesini. Mencari Elesh, tolong nyonya kami hanya ingin menjemputnya. Jangan khawatir, putriku tidak akan mengganggu putramu lagi." Istrinya Dermaga mendekati Renatha, wanita itu refleks mundur. Ia tidak ingin bersentuhan dengan orang dusun itu. "Dia tidak ada disini. Lagipula, Elesh sudah saya kirim ke singapore. Dia melanjutkan sekolah disana." "Tidak mungkin." Dermaga melepas tangan istrinya, ia ingin menerobos masuk. "Aku sudah bilang, dia tidak ada disini!" "Lalu kenapa kau menutup pintu rumahmu?!" Teriak Dermaga. Renatha menjawab dengan tatapan mengejek. "Bahkan kalian tidak pantas berdiri di depan rumahku. Pergi!" Ia mengusir dengan tatapan nyalang. "Nyonya kumohon, dia satu-satunya putri kami. Apa dia tidak kesini sama sekali." ujar Ibunya Jingga. Ia sangat cemas. "Tidak. Kalaupun kesini aku akan melakukan hal yang sama, mengusirnya." ucap Renatha tegas. Lalu menunjuk pintu gerbang rumahnya supaya kedua orang itu meninggalkan rumahnya. "Wanita terkutuk." ucap Dermaga dengan nada tegas. Membawa istrinya dari tempat itu dengan perasaan hancur. "Elijah," Teriak Renatha memanggil pembantunya. "Iya nyonya." sahut Elijah berlari dari dapur menghampiri Renatha di anak tangga rumahnya. "Kalau dua orang itu kembali lagi, usir saja atau langsung lapor security." "Baik nyonya." Renatha kembali ke kamar, ia mengambil kunci mobil dan kemudian keluar kamar, saat melewati pintu kamar Elesh. Ia mendengar suara sesuatu terbanting ke lantai. Renatha mendengus, sudah pasti putranya yang bodoh itu membanting barang-barangnya miliknya, lagi dan lagi seperti orang tak waras hanya karena gadis dusun itu. "Hancurkan semuanya. Dasar bodoh." Renatha bersungut, meninggalkan pintu kamar Elesh. Elesh kemudian keluar kamar, ia masuk ke dalam kamar Renatha dan mengambil uang Ibunya untuk modal kabur ke desa. Sementara Dermaga dan istrinya mencoba mencari Jingga di terminal Bis antar provinsi. "Kenapa Mama tidak mengatakan apapun padaku?" Tanya Elesh, menatap ibunya dengan raut sedih. "Untuk apa? Putrinya menghilang itu bukan urusan kita." "Bukan urusan kita? Apa kau seorang Ibu?" Elesh mempertanyakan rasa keibuan Renatha. Wanita itu membelalak, tidak percaya apa yang telinganya dengar. Putranya meragukannya. "Apa maksudmu?" Wajahnya merah, dengan tatapan mendelik ke arah Elesh. "Putri mereka menghilang karena ulah saya. Jingga meninggalkan desa karena saya. Mama tahu kenapa dia meninggalkan kedua orang tuanya? Karena gadis itu memilih melahirkan bayinya. Dia tidak ingin membunuh bayi itu, seperti yang Mama inginkan." Teriak Elesh. "Dan Mama juga membunuhku." ucapnya getir. "Elesh, aku tidak pernah membunuhmu!" Menyahuti dengan nada marah. Ia membesarkan Elesh dengan kasih sayang, memberi yang terbaik dan sekarang putranya mengatakan kalau ia membunuhnya, keterlaluan. "Mama tidak membunuhku dengan pisau atau racun tapi mama sudah membunuh kehidupanku. Menghancurkan masa depanku." Sahutnya dengan suara tinggi. "Keterlaluan kau, Elesh! Semua yang terbaik kuberikan padamu. Dan kau menyebutku pembunuh. Gadis itu, apa lebih berharga ketimbang Ibumu yang sudah melahirkanmu? Elesh berhenti memikirkannya." Hardik Renatha, suaranya memenuhi ruangan itu. "Mama, bagaimana caraku berhenti. Gadis itu melahirkan darah dagingku. Anak itu hidup, anak yang kau minta lenyap, hidup. Bagaimana caraku menatapnya? Bagaimana caraku menatapnya, Mama? Dia dosaku serta kehidupanku. Ini sangat menyakitkan." Elesh mengepal kedua tangan. Air matanya tumpah begitu saja. Suaranya menyayat hati. Elesh, bangun dari duduknya. Melangkah ke pintu keluar, meninggalkan rumah. Meninggalkan Renatha dalam diam. "Apa maksudnya? Gadis dusun itu melahirkan anaknya? Darimana Elesh tahu, apa jangan-jangan …." Renatha berbicara sendiri, ia tersentak kaget mendengar ucapan Elesh mengenai Jingga yang melahirkan anaknya. Pikirannya terus berputar, dan tatapan Renatha semakin lebar. "Elesh menemukan Jingga? Benarkah?" Renatha menolehkan kepala ke pintu, ia masih sempat melihat mobil Elesh meninggalkan halaman rumah. Ia teringat akan Hagena. "Tidak bisa, Hagena tidak boleh tahu tentang ini." Katanya dalam hati. Tangan mengepal. Menantunya yang baik itu tidak boleh mengetahui masa lalu Elesh. Jika Elesh menemukan Jingga? Renatha akan membuat mereka menjauh. Kehidupan putranya sudah sempurna. Renatha sudah banyak menuai pujian dari banyak orang. Berhasil menjadikan Elesh seorang dokter dan memiliki menantu yang sekelas dengannya. Dan ia melakukan itu seorang diri dengan status ibu tunggal yang ia sandang. **** Aldebaran memainkan ponsel lama Elesh, lebih tepatnya mengamati photo Ibunya yang ada dalam layar ponsel kuno milik Elesh. Ibunya sangat cantik di masa remaja tetapi, sekarang Jingga sudah tampak tua. Keadaan memaksanya cepat tua, tidak pernah merawat diri atau hanya membeli sabun pencuci muka yang bisa meremajakan kulit. Jingga hanya mengenakan sabun mandi pada wajahnya, menjadi kusam dan kering. Suaminya terlalu mencintai judi, dan lupa merawat kecantikan istrinya yang masih muda. "Kalau kau papaku, kenapa aku dibesarkan orang lain?" Aldebaran meletakkan benda itu di meja belajarnya. Ia tidak berani bertanya apa yang sebenarnya terjadi namun, melihat betapa marahnya Jingga pada Elesh. Ia yakin pasti sesuatu yang buruk terjadi di masa lalu. Sejak awal mereka bertemu. Aldebaran hanya melihat permusuhan di mata Ibunya pada Elesh bukan rasa rindu untuk seseorang yang pernah dekat. Aldebaran mengerutkan dahi, ia mendengar suara ribut dari luar kamar. Sebenarnya itu sudah hal biasa, kedua orang tuanya tidak pernah akur. Aldebaran mengantongi ponsel lalu berjalan keluar kamar, ruang tamu kosong. Ia mendekati pintu kamar kedua orang tuanya dan mendengar jelas pertengkaran di dalam sana. "Amos hentikan! Kau mabuk dan ini masih sore." Bentak Jingga, mendorong suaminya yang menginginkan tubuhnya. "Jingga, aku sangat membencimu." Amos menarik Jingga yang berusaha menghindar di sudut ranjang. "Kau tidak pernah melayaniku dengan benar, kau selalu sedih setiap kali berada di bawah tubuhku. Ada apa? Kau tidak menyukaiku? Tapi kau harus menerima kenyataan kalau aku suamimu. Aku setia dan tidak mencampakkanmu seperti pria yang menghamilimu. Ia pergi dan meninggalkanmu." Amos melepas kaosnya, menunjukkan d**a berbulu miliknya. Jingga selalu merinding melihatnya. Amos selalu tampak menyeramkan baginya. Amos benar Jingga tidak pernah melayani suaminya dengan baik di ranjang. Selalu saja merasa terpaksa. "Apa yang ingin kau lakukan. Kau mabuk dan aku tidak suka." ucap Jingga, menolak. Membuat Amos marah dan menarik paksa Jingga menjatuhkan hingga berbaring. "Memangnya kapan kau pernah menyukaiku? Kau selalu menjadikan aku pria mengerikan, apa susahnya melayani suamimu dengan gairah. Kau selalu ingin di lecehkan, apa memang kau suka yang kasar." Amos sudah menindih tubuh kecil Jingga. Jingga berontak, pria ini selalu begini saat mabuk. Mulut bau nikotin dan alkohol menyatu, mata sayu itu sangat menandakan kalau ia sedang lingkupi hasrat. Mencium kasar, menekan sangat kasar membuat pemilik bibir mual. "Amos dasar tua bangka!" Ucapan itu menghentikan aktivitas kejamnya. Menatap penuh kemarahan. Ingin menelan gadis di bawahnya. Ia meraup bibir Jingga dengan mulutnya yang besar. Menggigit kuat bibir bawahnya hingga berdarah. Jingga menitikkan air mata, ia menjambak belakang kepala Amos. "Dasar b******n, kau Amos." Teriak Jingga, bibirnya tebal dan berdarah. Jari-jari Amos melingkar di leher, mencegat napas wanita di bawahnya, wajah merah dan mata melebar. Urat leher ketarik luar biasa, hanya bisa minta tolong di dalam hati. Antara hidup dan mati, bayang-bayang Aldebaran memenuhi pikirannya. Ia mencoba bertahan. Mencakar pergelangan tangan Amos yang mencekiknya. Amos melepas tangannya, menyingkir dari tubuh Jingga. Jingga mengambil oksigen banyak-banyak. Terbatuk, mengubah posisi tidur meringkuk. Aldebaran, masih berdiri di depan pintu kamar. Air matanya berurai, mendengar Ibunya menangis di dalam sana. Aldebaran menggenggam erat ponsel dalam tangan. Ia tidak merekam, ia tidak punya keberanian untuk itu dan memilih kembali ke kamarnya. "Jingga, maaf aku tidak berniat melakukan ini." ujar Amos. Kembali mendekati wanita yang memberinya punggung. "Pergi!" Teriak dengan tenaga yang ia punya. Amos, memijat kepalanya yang terasa berdentum. Keluar dari kamar meninggalkan Jingga. Di dalam kamar, Aldebaran ragu-ragu menekan nomor ponsel Elesh. Tapi, tidak tahan lagi. Mendengar ibunya di sakiti. Ia harus melakukan sesuatu demi menyelamatkan Ibunya dari kekejaman Amos. "Aku peduli padamu Al, pada mama Jingga juga." Aldebaran ingat ucapan Elesh saat di sekolah kemudian jari kecilnya menekan tanda panggil pada ponselnya. . . . . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD