Ibuku harus tersenyum melihatmu,

1348 Words
Elesh meletakkan peralatan makannya diatas piringnya, ponselnya berbunyi tepat saat mereka makan malam. Elesh bangun dari duduknya, menghampiri ponsel yang ada di atas meja ruang santai. Namanya sendiri tertulis dalam layar ponsel, tatapannya membola sempurna. Akhirnya setelah lama menunggu pria kecil itu menghubunginya. Tapi apa yang membuat Aldebaran menelpon di jam tujuh malam. "Astaga! Jingga, pasti dalam masalah.” Buru-buru Elesh menerima panggilan itu. "Hei anak muda," sahutnya, ia menoleh ke arah Hagena yang berada di meja makan. Wanita disana menghentikan gerakan mengunyah, meletakkan pelan alat-alat makannya. Hagena melihat Elesh sehingga tatapan mereka bersiborok. “Jemput aku di masjid pintu masuk komplek.” ujar Aldebaran, suaranya setengah berbisik. lalu memutus sambungan. "Al, hei, halo." Elesh menurunkan ponsel dari telinga, ia menggigit bibir sementara dahinya berkerut tebal. Jantungnya bergemuruh. Hagena menghampirinya. “Siapa?” “Aldebaran, dia minta dijemput.” “Kenapa dengannya?” “Entahlah, aku mau kesana. Kau lanjutin makan." Elesh berlari menaiki anak tangga menuju kamar, mengambil kunci mobil dan kembali ke lantai bawah. Mendengar suara putranya setengah berbisik di telepon membuatnya cemas dan juga anak itu minta di jemput di tempat lain bukan rumahnya, terasa janggal. "Ge, aku pergi." Ia berpamitan sembari berlari kecil menuju pintu keluar tanpa melihat istrinya di meja makan. Hagena hanya mengangguk, menelan sakit di dalam hatinya. Memperhatikan makan malam Elesh yang tersisa. Bahkan minuman Elesh belum tersentuh. “Apa yang terjadi hingga membuatmu berlari kesana, El. Aku sangat cemburu melihatmu begitu.” Ia menengadah ke atas, memecah bening di netranya. Hatinya terasa sakit melihat suaminya mencemaskan masa lalunya. Hagena mengakhiri makan malamnya begitu saja. Duduk diam di meja makan dengan segudang pikiran mengenai masa depannya. ...... Aldebaran meletakkan ponsel di atas surat yang ia tulis untuk Jingga. Menyampirkan tas sekolah di punggung. Amos berada di ruang tamu, tertidur setelah mabuk dan membuat keributan dengan Jingga. Sementara Jingga duduk memeluk diri di sudut ranjang sembari menangisi hidupnya yang selalu nestapa. Kaki kecilnya melangkah ringan, posisi kamarnya ada paling depan, Tidak butuh waktu lama menjangkau pintu keluar. Aldebaran membuka pintu untuk meninggalkan rumah itu. Berlari kecil menuju dimana ia membuat janji dengan Elesh. Depan Masjid pintu masuk kompleks, Aldebaran menunggu di sana. Duduk dengan rasa cemas. Ia tahu meninggalkan Ibunya disana sendirian tidaklah baik. Tapi, Aldebaran ingin membawa ibunya keluar dari rumah itu, meninggalkan Amos dengan caranya sendiri. Satu jam ia menunggu, mobil Elesh berhenti tepat di samping Aldebaran. Elesh segera keluar, dan mendekati Aldebaran. "Al, kau baik-baik saja?" Tanya Elesh begitu ia melihat Aldebaran. Ia memindai keadaan putranya dan tampak baik-baik saja, kemudian ia melihat sekitarnya mencari Jingga disana. “Mama mana?” Tanya Elesh, terlihat dari raut wajahnya sangat mencemaskan Jingga. Aldebaran tidak menjawab, ia justru melangkah menuju mobil dan membuka pintu untuk naik. Elesh mengernyit, mengusap belakang kepala. Diamnya Aldebaran sangat mencurigakan baginya. Ia memutuskan naik ke dalam mobil. Aldebaran menyandarkan tubuhnya ke jok mobil sambil memejamkan mata. “Al, ada apa? Jingga tidak bersamamu?” Elesh bingung di buat pria kecil ini. “Bawa aku ke rumah tinggi itu,” ujar Aldebaran tanpa membuka mata. Rumah tinggi yang ia maksud adalah apartemen Elesh. “Tapi, katakan dulu ada apa? Jingga ada dimana?” Elesh semakin bingung. “Kau mau menolongnya, kan?” Suaranya terdengar malas. “Apa terjadi sesuatu, Al?” Aldebaran berdecak malas, ia membuka mata dan menatap dingin Elesh. “Mama membencimu, kalau mama tahu aku bersamamu dia akan datang mencariku. Kau bisa menahanku untuk membantunya keluar dari rumah itu.” Teriaknya, tanpa berkedip menatap Elesh. Dari bola matanya tumpah air melintas di pipinya. Elesh terkejut, melihat emosi anak kecil ini. Kalau saja dia bukan putranya sudah hempaskan dari dalam mobilnya. "Yah, baiklah." gumam Elesh. Air mata Aldebaran menyayat hati Elesh, seperti belati menancap di dadanya lalu merobek hingga meneteskan darah. Melihat orang yang kita cintai bersedih itu sangat menyakiti hati. Elesh ingin mendekat untuk menghapus air mata itu. Namun, tak punya keberanian melakukannya. Anak ini sangat emosional, ia bahkan baru saja di teriaki. Elesh menghidupkan mesin mobil dan mengemudi meninggalkan tempat itu menuju Apartemen. *** Tak ingin terlihat menyedihkan di depan putranya ia melangkah ke kamar mandi untuk membasuh muka. Jingga kemudian membawa langkahnya menuju kamar Aldebaran, ia belum mengucapkan selamat malam pada putranya. “Cih, tidur begitu nyenyak seolah-olah apa yang terjadi bukan masalah.” Ia muak saat melihat Amos tertidur di sofa yang ada di ruang tamu. Jingga menghela napas panjang, mengulum bibir yang bengkak dan luka. Ia membuka kamar putranya, kosong. “Aldebaran,” Ia mengernyit melihat kamar Aldebaran kosong. Jingga baru saja dari kamar mandi, tentu Aldebaran tidak kesana. Jingga membawa langkahnya ke tengah ruang kamar. Melihat ponsel di meja belajar putranya membuatnya terkejut. Ponsel itu bukan miliknya juga bukan milik Amos, lalu milik siapa? Jingga mengambil dan menekan tombol on. Layar ponsel itu memperlihatkan foto sepasang remaja berfose mesra. Tangannya gemetar, dia dan Elesh ada dalam foto. Jingga meletakkan ponsel itu ke tempatnya. Jantungnya berdetak tak beraturan. “Kenapa ponsel Elesh ada sama Al.” Ia bergumam, mulutnya terbuka lebar seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi terasa kelu. Jingga mengambil tulisan tangan Aldebaran dan membacanya. “Aku bersama paman Elesh, datanglah menjemputku ke rumah tinggi.” ujar Aldebaran dalam isi suratnya. Jingga menggertakkan gigi. Meremas kertas di dalam tangan lalu membuangnya begitu saja di lantai. “Beraninya kau mengambil putraku, Elesh.” Gumam Jingga. Ia mengatupkan rahangnya dengan sangat erat. Apartemen Elesh. Dalam ruang tamu Apartemen itu, dua orang duduk saling diam. Aldebaran memeluk tas sekolah berisi pakaian. Sementara Elesh, ia tak sanggup mengangkat wajah untuk melihat pria kecil di hadapannya. Pikirannya juga dipenuhi dengan beberapa pertanyaan mengenai keadaan Jingga. "Kau yakin mama akan kesini?" Elesh memecah keheningan di ruangan itu. Ia tidak kuat lagi, bisa-bisa dia mati penasaran karena mencemaskan Jingga. "Ummm," gumam Aldebaran, ia memalingkan wajahnya ke tempat lain. "Al," Elesh bangun dari duduknya dan bergerak pindah ke posisi Aldebaran yang tengah duduk di sofa panjang. "Apa yang terjadi? Papa mencemaskan Mama Jingga." Aldebaran membawa tatapannya saat mendengar kata Papa dari mulut Elesh. Ia menatap pria dewasa itu dengan tatapan marah. "Kau bukan papaku.” sahutnya dengan nada ketus. Elesh menelan saliva rasanya seperti empedu, sangat pahit. Ia pantas mendapatkan penolakan itu. Salahnya sendiri, bicara di waktu yang salah. Ruangan itu kembali sepi. Malam semakin larut, Elesh dan Aldebaran masih diam seribu bahasa. Beku dalam keheningan. Isi kepala mereka yang merunduk hanya satu, Jingga. Perempuan itu memenuhi pikiran kedua pria itu. Mereka mencemaskan orang yang sama. Elesh mengangkat wajah melihat Aldebaran lalu ia mencoba mengajak pria kecil itu bicara. Ia ingin bercerita tentang, dirinya, Jingga dan kehadiran Aldebaran di masa remaja mereka. Elesh berpikir, sudah saatnya Aldebaran tahu yang sebenarnya terjadi. Ia akan menerima jika Aldebaran membencinya karena memilih meninggalkannya dulu. “Kau ada saat kami masih remaja, tumbuh kecil di dalam rahim ibumu.” ujarnya, Aldebaran mengangkat wajah saat Elesh mulai bicara. “Antara senang dan takut bercampur menjadi satu—" “Dan pada akhirnya kau menolakku.” Aldebaran menyela ucapan Elesh. Elesh melebarkan mata, terkejut mendengar ucapan Aldebaran. Ia tidak menyangka Aldebaran mengetahui hal itu. Aldebaran jengah, Ia hanya menyampaikan apa dikatakan Amos saat bertengkar dengan Jingga di dalam kamar tapi, ekspresi terkejut dari wajah Elesh menjawab kalau ucapan Amos benar. “Bukan begitu,Al—” “Alasan apalagi yang lebih tepat untuk itu.” Aldebaran menyahuti, menyela Elesh yang ingin membela dirinya. “Aku tidak akan menganggapmu siapa-siapa, sebelum Ibuku tersenyum melihatmu.” ujarnya kemudian. Elesh menelan ludah, ia selalu dikejutkan Aldebaran. Anak ini memang sangat ajaib atau dia terpaksa dewasa sebelum waktunya. Suara bel berbunyi, menarik perhatian mereka dari ketegangan yang tercipta di antara mereka. Aldebaran menegaskan kembali ucapannya. “Ingat, ibuku harus tersenyum melihatmu, itu syarat untuk menerimamu sebagai papaku.” katanya. Ia meletakkan tas sekolah lalu membaringkan tubuh tidur di sofa, meringkuk menghadap sandaran sofa. Elesh menarik napas pelan, ia menepuk pelan lengan Aldebaran lalu melangkah membuka pintu. "Jingga." Plak! Sebuah tamparan mendarat di wajah Elesh dari perempuan mungil di hadapannya. Aldebaran meremas tangan, kedua matanya terpejam erat mendengar tamparan itu. Ia tahu Jingga datang, itu sebabnya dia berbaring berpura-pura tidur. Jingga menatap tajam Elesh yang masih menoleh ke kiri karena tamparan keras darinya. "Dimana putraku?" Hardik Jingga, kepalanya mendongak melihat Elesh. Elesh tersenyum miring. Setiap bertemu perempuan ini selalu saja di hadiah tamparan. Tangan kecil itu seolah ditakdirkan untuk menyakitinya. Jingga mendorong Elesh, menerobos masuk. Tepat saat Elesh melihat luka robek di bibir Jingga. "Jingga dia menyakitimu?" . . . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD