Putraku dan kau harus menjadi milikku

1198 Words
Jingga membisu mendengar Elesh bercerita, mereka saling dia di dalam mobil itu. Hening …. Hening …. Jingga kemudian melihat Elesh seraya menghela napas panjang. Terlihat dari raut wajah nya, ia tampak sedih. Menyandarkan tubuhnya pada jok mobil dan menatap lurus kedepan. "Papa tidak setuju aku melahirkan Aldebaran. Mereka membawaku ke dukun di desa." kata Jingga memecah keheningan yang tercipta di antara mereka, Elesh melihat ke arahnya dengan tatapan sedih. Jingga mengulum bibirnya, sejujurnya ia tak ingin mengingat semua kenangan pahit yang merobek hatinya hingga menganga, tetapi mendengar pengakuan Elesh membuatnya harus membela diri. “Kau tidak tahu seperti apa sakitnya aku, Elesh.” Suara Jingga terdengar gemetar, menahan tangis. Setiap mengingat saat ia ingin mengakhiri janin dalam rahimnya membuatnya terus merasa berdosa hingga sekarang. “Jangan katakan apapun Jingga, kalau itu menyakiti hatimu.” ujar Elesh, ia tak kuat melihat perempuan itu menangis. “Aku kembali ke rumah nenekmu tanpa sepengetahuan kedua orang tuaku. Tidak peduli jika harus memohon di kaki ibumu, akan aku lakukan demi bayiku. Namun, semua sia-sia kalian begitu mudah menghilang meninggalkan masalah tanpa beban.” ujar Jingga, ia meluruskan tatapannya ke depan dan mulai mengisahkan perjalanannya mempertahankan janinnya. Sepuluh tahun yang lalu Jingga sudah berbaring di ranjang untuk melakukan aborsi. Kakinya terangkat lebar di dalam sarung milik dukun beranak. Tidak ada jalan keluar, selain menghilangkan darah Altair dari tubuhnya. Dermaga menyeretnya ke tempat itu tanpa belas kasihan. Jingga remaja bercucuran air mata, peluh di dahi sebesar biji jagung. Ia tidak menyangka akan mengalami hal kejam seperti ini. Kehidupan seolah mempermainkannya. “Mama,” Pintanya memelas, sorot matanya minta tolong. Ibunya menggenggam erat tangan Jingga, ia mengabaikan tatapan putrinya yang memohon. “Maaf, Jingga. Maafkan Mama.” Ia memalingkan wajah. Seorang wanita paruh baya masuk ke dalam kamar membawakan satu gelas ramuan untuk menghancurkan janin di dalam rahim gadis remaja itu. “Tolong diminum sebelum kita mulai.” ujarnya. Jingga mengambil gelas dari tangan wanita itu dan mencium bau dalam minuman. Aromanya membuatnya mual. Ibunya Jingga mengusap-usap pundak putrinya. “Mama, Jingga takut.” "Ini jalan terbaik, Jingga. Kalau kau tidak mengambil tindakan ini. Orang-orang akan menganggapmu aib, pembawa sial di desa. Bukan cuma kamu, Mama dan papa juga akan menjadi terhina.” Nyonya Dermaga membunuh nurani demi masa depan putrinya. Yah, sekalipun ia tahu apa yang lakukan mereka adalah dosa besar dan taruhannya nyawa putrinya sendiri. “Dan jika bayi ini kau lahirkan, ia pasti dicemooh karena lahir tanpa Ayah. Status haram akan melekat dalam dirinya." Sambungnya. Jingga kembali melihat isi gelas, racun itu akan diberikan pada janin dalam rahimnya. “Aku mau ke toilet, Jingga mau muntah.” Ia turun dari amben, mengenakan celananya. “Kamar mandinya ada di belakang rumah.” ujar dukun beranak. “Mama temenin ya," "Nggak usah, Ma. Jingga cuma sebentar." Jingga keluar kamar, ia melihat Dermaga duduk di ruang tamu. Pria itu memalingkan wajah, tak ingin menaruh belas kasihan pada putrinya. Keputusannya sudah final, menyingkirkan janin dalam rahim putrinya. Jingga menghela napas pelan, melewati Dermaga menuju belakang rumah. Di dalam kamar mandi berdinding anyaman bambu Jingga menangis tanpa suara. Meletakkan tangan di bagian perutnya, kepalanya dipenuhi beban. Ia ingat Elesh, pria itu pernah mencium sayang bayi dalam rahimnya. "Ini untukmu," Elesh membuka kotak makan. Ia meletakkan di pangkuan Jingga. Irisan mangga muda menarik air liur Jingga. Malam hari saat mereka berkirim pesan. Pria itu bertanya apa yang diinginkan Jingga. Jingga membalas kalau dia menginginkan sesuatu yang asam-asam. "Kakak, terima kasih." Jingga mencicipinya. Elesh mengangguk seraya mengusap lembut kepala Jingga. "Kakak belum cerita juga mengenai hubungan kita?" Tanya Jingga, berhenti mengunyah. Elesh menundukkan kepala lalu menggeleng kecil. "Kak …." "Kasih aku waktu ya," "Sampai kapan?" Jingga meletakkan kotak makan disampingnya, ia berdiri merajuk. "Jingga, aku janji akan bicarakan ini sama Mama." Ia mengambil tangan Jingga dan menggenggamnya. "Kasih aku waktu, ya." Pintanya. "Jangan kelamaan kak, perut Jingga semakin besar." ujar Jingga setengah berbisik. Mereka sedang berada di ruang kesenian. "Iya, kakak tahu. Jangan marah." Ia mengangsurkan ibu jarinya menyentuh pipi Jingga. "Aku sayang kamu, sayang anak kita juga." Sekelebat ia berjongkok, mencium perut kekasihnya itu. Jingga refleks mundur, ia takut ada yang melihat mereka. "Kakak jangan sembarang, nanti gimana kalau ada yang lihat." Jingga segera kembali ke tempat duduknya, mencebikkan bibirnya. Elesh mendatanginya, duduk dan menarik hidung Jingga. "Kakak kangen kamu, Ji." "Aku nggak mau lagi. Sebelum kita menikah." Jingga paham betul maksud ucapan Elesh. "Kakak akan menikahimu, percaya sama aku." ujarnya, menatap hangat Jingga. "Janji?" "Janji, sayang." Balas Elesh. Jingga mengangkat wajahnya yang sedari tadi merunduk, duduk berjongkok di kamar mandi. Ia kembali mengingat janji Elesh untuk menikahinya. "Aku harus menemuinya, harus." Jingga bangun dari duduknya. Segera menyapu air mata di wajahnya, lalu mencuri kesempatan meninggalkan tempat itu. Jingga mengambil perhiasan Ibunya dari laci almari. Menuliskan sedikit kata di selembar kertas. Ia menyambar beberapa helai pakaian dari lemarinya dan memasukkan ke dalam tas sekolahnya. Jingga buru-buru meninggalkan rumah menuju terminal pasar. Menjual perhiasan di toko yang ada di terminal untuk bekal mencari Elesh di ibu kota. Gadis ini menjadi bodoh, berpikir kalau Jakarta sekecil desanya. "Mungkin saat kau kembali ke desa, kedua orang tuaku mencariku ke kota ini. Itulah sebabnya rumah itu kosong. Mereka meminta alamat rumahmu dari nenek." ujar Jingga, melihat Elesh. Elesh mengerutkan dahi mendengar cerita Jingga. Ia tidak pernah mengetahui hal itu. "Apa maksudmu?" "Papa Mama mendatangi rumah kalian, tapi Ibumu bilang kau sudah di singapore." "Aku tidak kemana-mana, Jingga." "Tapi, ibumu mengatakan itu." Sahut Jingga. Elesh mendegus, sudah pasti Renatha merahasiakan itu darinya. Mereka terdiam, merenung apa yang telah terjadi di masa lalu. Seandainya saja Jingga tidak kabur ke Jakarta mungkin dia sudah bersama Elesh saat pria itu kembali menemuinya di desa. Atau seandainya Elesh bersikap tegas saat Ibunya memberi pilihan mungkin Kejadian menyakitkan dalam hidup mereka tidak akan seperti ini. Dua orang yang terluka di masa lalu duduk di dalam satu ruang. Kisah lama yang buruk menciptakan air mata di netra mereka. Ingin saling menguatkan, tapi jarak di antara mereka sangat dalam memisahkan. Mereka kini menjadi orang asing. Jingga menyapu air mata di pipi, ia membuka pintu mobil. Tangannya tertahan pria disampingnya. "Jingga, kumohon maafkan aku. Sungguh, aku benar-benar minta maaf. Tolong aku, Jingga." Pinta Elesh, tanpa melihat lawan bicaranya. Tapi suara itu mengiba, pria jangkung menatap nanar lurus kedepan. Manik matanya sudah rabun karena basah. Tangannya gemetar menggenggam pergelangan Jingga. "Tolong jangan memaksaku," Jingga menarik tangannya dari genggaman Elesh keluar dari mobil meninggalkan Elesh. Elesh menekan Hati yang teremas di dalam d**a. Jingga meninggalkannya dengan kesedihan, hancur dan berantakan. Wanita itu, begitu sulit memberi celah untuknya, Jingga begitu sulit diluluhkan. Harus bagaimana? Harus seperti apa, supaya wanita itu mengasihaninya? "Jingga, kita tidak bisa begini. Aku harus mendapatkanmu kembali, putraku dan kau harus menjadi milikku." Gumamnya, menatap Jingga menghilang dari tatapannya. .... Hagena berdiri di samping boks Adara, menatap putri kecilnya. Sangat manis, bibir mungil bayi itu menggemaskan saat tidur. Hagena tersenyum, ia bersyukur putrinya lahir dengan sehat. "Aku berharap kau tidak mirip dengannya," kilat kebencian terpancar di tatapannya hanya sekejap mata. Ia tidak suka putrinya mirip pria yang mengabaikannya. Ia melihat jam pada dinding kamarnya. Sudah seharusnya Elesh pulang kerja. Rasa cemas dan gelisah menggelayuti pikirannya mengenai pria yang sudah lama mencuri hatinya. Bertanya-tanya dalam hati, kemana pria itu berlabuh. Ia mendesah pelan, membuang napas sia-sia. "Sudah pasti menemui Jingga." Ia bergumam, membawa langkahnya untuk duduk di ranjangnya. . . . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD