Aku juga menderita, Jingga

1294 Words
Elesh menggenggam erat stir mobil, tatapannya sudah berkabut air mata. Ia berpikir selama ini, suaminya Jingga tidak tahu tentang Aldebaran. “Apa dia tahu Aldebaran bukan putranya?” Tanya Elesh memastikan isi pikirannya.Jingga mengangguk, menyapu air mata di pipinya. Elesh mendesah panjang. Mungkin akan sulit baginya memisahkan Jingga dan Amos menggunakan Aldebaran. Pria pemabuk itu mengetahui segalanya tentang Aldebaran. “Elesh, aku mohon kita akhiri ini. Ini sudah lama berlalu seharusnya saat kita bertemu kau dan aku cukup berpura-pura tidak saling mengenal.” “Tidak Jingga. Aku tidak bisa melupakan ini.” “Jadi apa tujuanmu?” “Seperti yang aku katakan, kau harus meninggalkan suamimu.” “Konyol.” “Kalau tidak serahkan Aldebaran padaku.” Jingga mengangkat kepalanya, wajahnya menggelap mendengar permintaan Elesh. Ia sendirian membesarkan anak kecil itu dengan cinta yang ia punya. Jingga mengepal erat tangannya menahan amarahnya lalu kemudian berujar. “Aku bersumpah akan mati, jika kau berniat mengambilnya dariku. Aku bersumpah akan membuat hidupmu di benci putramu sendiri.” ucapnya bersungguh -sungguh. Hanya itu yang ia sanggup lakukan, Jingga tidak perlu bernapas lagi jika putra satu-satunya diambil Elesh. Jingga membuka pintu mobil, tangannya segera ditahan Elesh. “Lepaskan Elesh!” Ia menghentakkan tangannya. “Jingga! Kau pikir hanya kau yang menderita selama ini? Aku juga menderita, Jingga.” "Benarkah? Aku tidak yakin?" Jingga memindai penampilan Elesh dan gaya hidup pria ini. Tidak sedikitpun terlihat menderita. Ditatap begitu, Elesh menjadi bingung. Perempuan ini kenapa menatapnya seolah-seolah apa yang ia katakan hanya dusta. "Hatiku yang rapuh, Jingga. Bukan penampilanku." "Cih," “Kau tidak tahu rasanya seperti apa memikirkanmu setiap saat. Berdoa supaya kau baik-baik saja di luaran sana. Bertahun lamanya aku kesepian.. Aku menghukum diri sendiri-” “Salah siapa? Salahku, El?” Menyahuti, "lalu aku harus apa? Kau ingin aku berterima kasih?” Jingga tergelak hambar. Ia ingin meludah di wajah pria ini. “Beraninya kau menyalahkan aku. Aku juga tidak butuh doamu.” katanya dengan raut kesal. “Tolong mengerti posisiku, Jingga.” “Seharusnya aku yang mengucapkan.” “Kenapa kau harus datang ke Jakarta Jingga!? Kenapa tidak bertahan di desa?” Teriaknya, wajahnya memerah sementara lehernya tertarik tegang. Ia memukul stir dengan tangannya, membuat Jingga tersentak kaget. “Andai saja kau tidak mencariku, mungkin kita sudah bersama.” ucapnya, ia melihat Jingga air matanya lolos tak tertahan. “Apa maksudmu?” Elesh menutup wajah dengan kedua telapak tangan lalu menyugar rambutnya ke belakang. “Aku kembali ke desa dan kau malah menghilang. Semua orang tidak tahu kalian berada di mana.” Ia melihat Jingga, dan membawa ingatannya pada masa lalu mereka. Sepuluh tahun lalu … Hari-harinya semakin sulit, ia tak berdaya untuk menjalani kehidupannya. bayang -bayang gadis itu selalu ada di mana-mana, menghantuinya setiap saat. Memanggil kembali untuk pulang. Elesh tidak tahan lagi, ia membanting alat game ke lantai. Apapun yang terjadi ia harus kembali ke desa, menemui Jingga kekasih juga calon anaknya. Elesh keluar kamar, melangkah mendekati kamar Ibunya. Ia butuh sesuatu yang bisa membawanya kembali ke desa. Pria remaja yang jatuh cinta dan terjerumus pada kubangan dosa harus kembali melakukan dosa, Ia membuka brankas Renatha dan mengambil lembaran-lembaran uang dari dalam kotak itu. Elesh buru-buru masuk ke dalam kamarnya, mengumpulkan beberapa lembar pakaian ke dalam ransel. Ia menelpon layanan taksi dan menunggu di pintu gapura perumahan elite tempat mereka tinggal. Dua jam perjalanan menggunakan pesawat menuju tujuannya, ia menyampirkan ransel di pundaknya mencari taksi menuju desa Neneknya dan langsung menuju rumah Jingga. “Terima kasih, Pak.” ujar Elesh setelah turun dari taksi di depan rumah semi permanen milik orang tua Jingga. Ia menunggu taksi yang membawanya ke tempat itu berlalu. Lama ia mengamati rumah itu, sepi. Tatapannya beralih pada pohon mangga, disana ia menyentuh Jingga untuk pertama kalinya, mengambil manis di bibir gadis itu lalu meminta Jingga menjadi kekasihnya. “Jingga, aku datang.” Ia bergumam, dan memutuskan membawa langkahnya mendekat ke pintu rumah. Mengetuk beberapa kali dan menunggu pintu dibukakan. "Jingga, ini aku Elesh. Tolong buka pintunya.” Pintanya sambil mengetuk pintu. “Siapa?” Seorang Pria setengah baya tetangga Jingga menghampiri saat mendengar seseorang memanggil-manggil nama pemilik rumah. “Paman, apa mereka tidak ada di rumah?” "Sudah lima hari rumah ini kosong." Pria itu mendekati Elesh, samar-samar ia mengenali pria remaja ini. Cucu pemilik perkebunan kelapa sawit tempat dia bekerja. “Kau cucunya, Altair?" "Iya paman. Namaku Elesh Altair, kalau boleh tahu kemana mereka pergi?” Pria itu menggelengkan kepala, ia juga tidak tahu kemana keluarga Dermaga pergi. Tiba-tiba saja menghilang. “Entahlah anak muda, mereka tiba-tiba saja pergi tanpa kabar.” Katanya, “Tapi ada apa kau mencarinya?” “Aku ada perlu sama putrinya.” Elesh menarik napas panjang, merasa lelah. Perjalan jauh yang ia tempuh ternyata sia-sia, Elesh kecewa pada dirinya sendiri. “Bagaimana keadaan nenekmu?” Tanya pria itu membuat Elesh terkejut. “Kenapa dengan nenekku, Paman?” Ia menjawab dengan pertanyaan dengan raut bingung. “Kau tidak tahu? Nenekmu sakit.” “Dari mana paman tahu?” “Aku sudah bilang kalau aku bekerja di kebun sawit nenekmu.” Elesh terlihat panik, sama sekali ia tidak mengetahui neneknya masuk rumah sakit. “Paman, apa aku bisa minta tolong? Antarkan aku kesana.” Pintanya. “Tunggu sebentar, kita kesana naik motor.” pria paruh baya berlari kecil ke beranda rumahnya. Motor tua berwarna merah dihidupkan. Elesh menekan langkah menghampiri dan naik ke atas motor. ….. “Cucuku, kau datang?” wanita tua itu tampak terkejut, melihat cucunya berada di ruang itu. Elesh mendekati bangsal neneknya. Mengambil tangan kurus berkulit keriput lalu mencium punggung tangan neneknya. air matanya berurai menangis gemetar di tangan itu. “Anak bodoh kenapa kau menangis?” Suara neneknya terdengar rapuh, menarik tangannya dari Elesh lalu mengelus kepala cucunya pelan. “Ada apa kau kembali?” “Kenapa tidak memberi kabar kalau nenek sakit?” Tanya Elesh mengabaikan pertanyaan neneknya, ia menatap wanita itu dengan tatapan sedih. “Pada siapa aku memberi kabar, tidak ada yang tersisa dalam hidupku, kau milik Ibumu, nenek tidak punya hak atas dirimu. Putraku sudah berakhir dari dunia ini, aku ingin menyusulnya dengan damai.” “Meninggalkan aku? Jadi aku tidak ada artinya bagi nenek?” Elesh kecewa mendengar ucapan neneknya. “Kenapa kau kembali?” "Aku harus bagaimana? Dia tidak disana, Nenek.” “Kau kembali untuknya? Dimana gadis itu?” Elesh menggeleng lemah. Ia mencium kepala neneknya yang terbungkus topi rajut. “Cepat sembuh nenek, aku akan membawamu ke Jakarta,” Katanya, ia mengakhiri membahas masalah Jingga. “Nenek lelah, tidak ingin bepergian kemana-mana,” “Apa karena Mama? Aku yang akan menjaga nenek disana.” “Ibumu, apa dia tahu kau kesini?” Elesh menggelengkan kepala, membuat neneknya mendesah panjang. “Anak ini,” gumamnya, mengangsurkan tangan mengelus lengan Elesh penuh sayang. Melihat wajah putranya di wajah cucunya itu. Ia menjadi sedih. "Jingga datang ke rumah, tidak lama setelah kalian berangkat ke Jakarta. Nenek hanya berharap satu hal darinya. Biarlah dia dewasa, dan menjaga baik calon bayi dalam rahimnya.” “Nenek berharap suatu hari nanti kalian bertemu, dan tolong berdamai dengannya. Meski ia mengambil keputusan yang salah menuruti apa yang dikatakan Ibumu padanya. Kau harus meminta maaf pada gadis itu. Ini salahmu.” pesan perempuan senja itu, menatap mata cucunya dengan hangat. Elesh mengangguk,“ Iya nenek. Cepat pulih aku akan mengabari mama kalau nenek sakit.” “Jangan merepotkannya.” Sahut neneknya. Ia tidak pernah suka melihat menantunya. Sejak putranya menikahi perempuan kota itu hubungannya berjarak jauh dengan putranya sendiri. Altair cukup kaya raya di desa, merajai perkebunan kelapa sawit. Mempekerjakan banyak orang, namun putranya tidak pernah ambil andil karena begitu patuh pada istrinya dan memilih tinggal di Jakarta bersama keluarga istrinya. “Tiga hari kemudian nenek meninggal,” ucapnya, Ia melihat Jingga dengan bulir bening di kedua sudut netranya. “Dan aku selalu kembali setiap tahun kesana, ziarah juga mencari tahu tentangmu, Jingga.” Tambahnya. Setiap tahun Elesh kembali ke desa, dan selalu mampir di halaman rumah Jingga. Hanya melihat tanpa berani mengetuk lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD