Karena kau seorang b******n

1531 Words
Dari dalam mobil, Elesh melihat Jingga mencium pucuk kepala Aldebaran lalu dibalas senyum riang di bibir pria kecil. Mencium punggung tangan sang induk lalu membawa langkahnya melewati gerbang sekolah seraya melambaikan tangan pada Jingga. Jingga membalasnya, melempar kecupan lewat udara Aldebaran menangkapnya lalu meletakkan telapak tangannya di d**a dimana hatinya berada. Jingga meninggalkan tempat itu begitu putranya membaur dengan murid lainya. Dengan langkah setengah berlari wanita mungil mengejar angkutan umum, yang berhenti tak jauh di depan gerbang sekolah. Elesh keluar dari dalam mobilnya. Pria ini sejak pagi sudah mengikuti langkah ibu dan anak itu. Kaki panjang melangkah lebar bertanya pada security dimana letak ruang guru. Pria yang berjaga di gerbang sekolah memberinya petunjuk. Elesh berterima kasih, kemudian melanjutkan langkah ke tujuannya. Namun saat di koridor kelas, ia bertemu dengan Aldebara. Ya, ruang guru hanya alasan baginya, pria ini sesungguhnya ingin menemui pria kecil. Keduanya saling tatap, berjarak jangkau tangan dewasa. “Aldebaran,” sapa Elesh, mengukir senyum hangat di bibir seraya menghampiri pria kecil. Aldebaran refleks mundur, tatapannya sangat marah menjadikan Elesh tak bernyali. "Aldebaran, bagaimana kabarmu?" "Buruk." Menjawab dengan raut datar. Elesh memejam, menghela nafas pelan ia mencoba mendekati lagi. Aldebaran masih melangkah mundur. Pria dewasa merasa sesuatu mencekik hatinya. Penolakan dan tatapan tajam Aldebaran sangat menyakitinya. “Ayo kita bicara,” penuh harap dengan tatapan memohon. Anak kecil di hadapannya bukan anak kecil biasa yang mudah di rayu. "Aku tidak mengenalmu." Aldebaran berucap dengan nada datar dan tatapannya sangat menusuk, penuh permusuhan. Aldebaran segera berbalik lalu berlari meninggalkan Elesh. Pria dewasa mengejar dan menangkap tangan kecil pria itu. “Lepaskan!” Anak itu berteriak, mengundang murid lain melihatnya. Mereka menjadi tontonan. Seorang guru perempuan bertubuh gemuk namun, manis keluar dari ruangan melihat kejadian itu. "Ada apa? Maaf anda siap?" wanita berprofesi guru itu menarik Aldebaran dari tangan Elesh. Menempatkan pria kecil di belakang punggungnya. "Dia putraku." Kata Elesh. "Tapi, saya tidak pernah melihat anda sebelumnya." Selidik wanita itu, menggenggam tangan muridnya. "Nama ibunya Jingga Nirwana dan aku Papanya, Elesh Altair." Elesh mengulurkan tangan ke arah guru Aldebaran. “Aldebaran, benar dia Papamu?” Aldebaran menatap Elesh dengan tatapan kesal, lama terdiam seolah memikirkan sesuatu. "Maaf, dia murid saya. Jika anda benar orang tuanya. Tolong tunjukkan tanda pengenal Anda." Kata guru itu untuk melindungi anak didiknya. "Dia papa ku." Gumam Aldebaran dari belakang gurunya. "Kau yakin, Nak?" Aldebaran mengangguk, ia muncul dari balik gurunya masih dengan ekspresi yang sama, beku. Elesh tampak tenang, senyumnya terbit menatap pria kecil, tidak peduli setajam apa tatapan Aldebaran padanya, kini hatinya berada di awan. Putranya mengakui dirinya papa. Sang guru menghela napas panjang sekalian berdecak kesal. Dua orang ini telah membuat keributan di sekolah hingga anak didiknya yang lain mengitari mereka. "Jika ada masalah keluarga jangan membawa ke lingkungan sekolah. Anda membuat murid lainnya takut." ujar guru Aldebaran, tatapannya menilai penampilan Elesh. "Maaf, Bu." ucap Elesh merasa bersalah. "Aldebaran, bicaralah dengan Papamu." Ia menyerahkan Aldebaran pada pria dewasa di hadapannya. "Terimakasih, Bu." Ucap Elesh. "Yang lain, bubar. Siapkan diri kalian sebentar lagi masuk kelas." “Kau sudah sarapan?” Elesh mengambil tangan kecil namun, segera ditolak Aldebaran. Elesh mengepal tangan kosong, hatinya berdenyut perih atas penolakan itu. Aldebaran membawa langkah ke satu tempat, halaman belakang sekolah. Disana ia berdiri, menatap lurus bunga-bunga kecil yang tumbuh mekar diatas tanah. Hening .... Pria dewasa memasukkan tangan kedalam saku celana, mengepal tangan di dalam sana. Merasa lucu pada diri sendiri yang tiba-tiba dihadapkan pada situasi gugup saat menghadapi seorang anak kecil. Ia spontan terkekeh, menertawakan dirinya sendiri. "Kenapa kau tertawa?" Suara datar Aldebaran menghentikan tawa Elesh. Tidak disangka tawanya yang mengejek diri sendiri membuat seseorang tersinggung. "Oh, aa ... " Pria dewasa semakin gugup, menarik satu tangan dari saku celananya, beralih mengusap tengkuknya. Astaga putranya Jingga berhasil membunuh keberaniannya. “Katakan kenapa kau kesini?” Aldebaran Ingin segera mengakhiri pertemuan ini, tak perlu basa-basi. Pria dewasa ini telah menyakiti hatinya sejak hari lalu. Elesh berdehem, mengatur suaranya untuk tidak bergetar karena rasa gugup. “Maafkan paman masalah kemarin, kau tidak seharusnya melihat orang dewasa bertengkar." Elesh menyesali apa yang terjadi antara dia dengan Jingga. Ia memberanikan diri mengambil tangan kecil lalu menggenggamnya. Aldebaran mendengus, kecewa mendengar kata 'Paman' yang keluar dari mulut Elesh lantas Aldebaran menarik tangannya dari genggaman Elesh. "Aldebaran." Lirih Elesh, Ia berjongkok menyamakan tinggi. Menatap manik mata putranya dengan tatapan sedih. Sejak tadi ia selalu mendapatkan penolakan. “Aku tidak melihat apapun." ucapnya dingin. Elesh menghela napas panjang, ia yakin Aldebaran melihat semuanya saat berdebat dengan Jingga. Elesh mengangguk kecil, "yah, itu lebih baik." Gumamnya. "Sebenarnya kau ingin apa?" "Baiklah, paman akan terus terang. Aku ingin bantuanmu." ucap Elesh, ia masih dalam posisi yang sama, berjongkok. “Bantuanku? Kau tidak salah minta bantuan anak kecil sepertiku?” Aldebaran tertawa, menertawakan pria dewasa dihadapannya. Membuat wajah Elesh seketika pias. “Ini mengenai Mama dan Ayahmu," ujar Elesh menghentikan tawa Aldebaran yang terkesan mengejek. “Kenapa dengan mereka?” Ia bertanya ketus. Elesh mengeluarkan ponsel berbentuk ketupat dari kantongnya. Menghidupkan tombol on kemudian menunjukkan pada Aldebaran. Aldebaran melihat layar benda itu, tatapannya beralih pada Elesh. “Mama," lirih Aldebaran, kembali mengamati layar ponsel Elesh. “Iya, itu kami berdua,” kata Elesh tersenyum saat melihat dirinya mencium pipi Jingga dan bola mata gadis itu membelalak. Elesh menarik napas saat tatapannya menangkap tatapan Aldebaran yang menggambarkan satu rasa muak. Dia lantas menunduk, salahnya tersenyum manis di hadapan pria kecil ini. "Malam itu kau mengatakan kalau Mama sahabatmu," ujar Aldebaran, mengingat ucapan Elesh saat berada di apartemen. "Lalu kemudian kau mengatakan, Mamaku istrimu. Menurutku paman tidak waras." Aldebaran mencoba menyinggung masalah hubungan mereka, ia ingin mendengar Elesh mengatakan langsung padanya bahwa dia putranya, bahwa Elesh Papanya. "Pa-paman sangat waras. Paman, mengatakan begitu. Supaya guru kamu percaya dan mengizinkan kita bicara." ucap pria dewasa lirih. Alasan Elesh mengundang senyum sinis di bibir Aldebaran. Lagi, dia harus kecewa. Kenapa pria ini tidak memperjelas hubungan mereka. Apa itu sangat rumit atau memang pria ini tidak ingin mengakuinya. Masalah orang dewasa memang sulit dimengerti. Aldebaran mengembalikan ponsel pada Elesh. Melihat senyum sinis Aldebaran membuatnya bicara, ingin menjelaskan hubungannya dengan Jingga. "Dulu kami sepasang kekasih. Paman sangat mencintai Jingga sampai sekarang juga begitu.” Elesh berdiri, kakinya terasa pegal berjongkok sedari tadi. “Ada satu hal yang mengharuskan kami berpisah. Mungkin suatu saat nanti paman akan cerita semuanya. namun, paman butuh bantuanmu." Aldebaran tampak berpikir, penasaran bantuan apa yang dibutuhkan pria ini padanya. Dia hanya seorang anak kecil berusia sembilan tahun. Itu menggelitik hatinya. “Bantuan apa yang kau inginkan dariku?" Aldebaran melipat kedua lengan di d**a, ia terlihat pogah namun juga keren. “Tolong bantu paman merekam saat Ayahmu memukul Jingga." Elesh menyerahkan kembali ponsel ke tangan Aldebaran. “Untuk apa? Kau mau mempermalukan Mamaku?" Aldebaran bertanya dengan suara menggeram. Ia menepis tangan Elesh. “Tidak, tidak, untuk apa paman melakukan itu." "Karena kau seorang b******n" Elesh tersentak mendengarnya. Ia menelan saliva kuat-kuat. Bagaimana bisa? Anak usia sembilan tahun mengatakan hal kejam pada pria dewasa. Merobek dan melukai hati seseorang dengan lisannya yang masih muda. Pria ini Papanya, Papa kandunganya. Baru saja Aldebaran mengakuinya pada guru itu. Kenapa begitu kejam, mulut pria kecil ini kenapa begitu tajam. Hati Elesh berdenyut, diremas di tempatnya hingga rasanya ingin hancur di sana. "Tidak, jangan katakan itu, Al. Hatiku sakit mendengarnya. Bersikaplah seusiamu, kau terlalu dewasa untuk mengatakan hal kejam." Membatin, menahan perih di hati. "Aku hanya ingin melindungi kalian." bergumam, memaksakan senyum di bibirnya. “Untuk apa kau melindungi kami? Kau hanya orang asing.” Sahut Aldebaran. Lagi-lagi Elesh dikejutkan ucapan pedas Aldebaran. Hanya orang asing. Begitulah dirinya di mata pria kecil ini. Itu saja tidak lebih. Salahnya, datang ke tempat ini. Salahnya datang meminta bantuan anak kecil ini. Elesh salah, berpikir putranya berpihak kepadanya. Lalu siapa jembatan untuk mempersatukannya dengan Jingga? Harapannya hanya Aldebaran. Satu-satunya jalan hanya Aldebaran. Tapi, sekarang? Putranya juga telah memusuhinya. “Karena aku peduli padamu, Al. Peduli juga pada mama Jingga." Lirih Elesh dengan wajah menyendu. "Mama membencimu, dan aku membenci orang yang dibenci Mama." Berucap begitu pongah, kedua tangannya melipat di d**a. Kepalanya mendongak menatap tajam pria dewasa. Elesh akhirnya menyerah. Berakhir! Rencananya tidak berjalan lancar. Bel sekolah berbunyi, waktu bicara selesai, tidak menghasilkan apapun selain sakit hati. Aldebaran melangkah meninggalkan Elesh tanpa berpamitan. Elesh berpikir, mungkin ini karma. Dia meminta anak ini tiada, dia meninggalkannya sejak bentuk darah. Mungkin Tuhan membalas kekejamannya lewat putranya sendiri. Ia berbalik, menatap rabun punggung anak itu kemudian berlari mengejarnya. “Aldebaran, tunggu." Aldebaran berhenti melangkah, sama halnya dengan Elesh. Pria kecil ini juga merasakan kesedihan yang dalam. Dia hidup bersama seorang ayah yang tidak pernah menganggapnya ada. Aldebaran membenci pria tambun, karena acap kali melukai Ibunya hingga tiba-tiba ia dikejutkan suatu pengakuan Elesh. Aldebaran menjadi bingung, berpikir kalau kehadirannya di dunia ini adalah sebuah kesalahan. Ayah dan papa nya. Tak satupun diantara mereka menginginkan dia. "Paman percaya kau akan membantu.” Elesh meletakkan ponsel lamanya di tangan kecil Aldebaran. “Di dalam kontak ponsel ini hanya ada satu nama. Tolong hubungi jika kau berubah pikiran. Paman …, sangat berharap." Elesh menepuk pucuk kepala anak kecil itu. "Selamat belajar anak ajaib." ucapnya, kemudian berlalu meninggalkan Aldebaran seraya menahan air mata agar tidak terjatuh dari netranya. Aldebaran meremas ponsel di dalam genggamanya, bulir kecil dari sudut netranya akhirnya lolos singgah di pipi. "Papa." ucapnya lirih menatap punggung Elesh menjauh darinya. Ia sempat merasakan perhatian, tatapan dan senyum hangat Elesh saat semuanya belum rumit begini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD