Kedua bola mata Aanisah bergerak seperti sinar laser yang siap membelah tubuh Desta menjadi dua bagian, kanan dan kiri. Aanisah menatap dari ujung rambut hingga kaki kemudian kembali ke mata, laki-laki dewasa yang nyaris tampil toples di depannya itu. Baru kali ini dia melihat tubuh laki-laki yang bukan mahramnya bertelanjang d**a secara langsung dan tepat di depan matanya. Selama ini dia menyaksikan pemandangan seperti sekarang hanya dari televisi ataupun orang-orang yang berenang di hotel, tapi dari jarak cukup jauh. Tidak sedekat sekarang ini.
"Apa lihat-lihat! Tundukkan kepala kamu!" kata Desta menekan kening Aanisah supaya menundukkan kepalanya.
"Kamu ngapain di sini? Bagaimana kamu bisa tahu rumah saya? Kamu masuk dari mana?" Desta mencecar Aanisah dengan pertanyaan demi pertanyaan.
Aanisah sedikit mengangkat kepalanya dan pandangannya langsung tertuju pada perut datar dan liat milik Desta. Pikiran m***m mulai berkeliaran dalam fantasi liar gadis itu. Sadar tubuhnya kini jadi tontonan gratis gadis yang memiliki usia lebih muda darinya, Desta kembali menekan kening Aanisah supaya gadis itu kembali menundukkan kepalanya.
"Aku baru pindah di tempat ini. Lagi beres-beres. Trus haus. Sekarang mau ke toserba di depan gang," ujar Aanisah dengan kepala tertunduk menunjuk ke sembarang arah.
Desta berjalan cepat menuju kamar yang dimaksud oleh Aanisah, sambil memegangi handuk yang setia menggantung di pinggangnya.
Desta cukup takjub melihat perubahan ruangan lain di dalam rumahnya ini. Dinding yang tadinya hanya dilapisi semen tipis kini sudah ditempeli wallstiker motif bunga dandelion. "Tempat ini kamar kosong yang dijadikan gudang," ujarnya, diam-diam mengagumi perubahan gudang ini.
"Pantes agak pengap. Biaya sewanya juga murah," cibir Aanisah
"Siapa yang memperbaiki gudang ini?"
Aanisah mengedikkan bahunya acuh. "Ya mana aku tahu. Aku masuk tempat ini kondisinya sudah seperti sekarang."
"Pasti ibuk," gerutu Desta.
"Oh..., wanita yang menerimaku tadi ibu kamu? Kelihatannya baik dan ramah orangnya. Beda banget sama anaknya," ucap Aanisah tanpa dosa.
Aanisah menutup wajah dengan kesepuluh jarinya, sadar ucapannya barusan telah membuat laki-laki di hadapannya ini geram. Dari balik jemarinya Aanisah mengintip ekspresi marah yang tercetak jelas di wajah Desta. Bukannya takut gadis itu malah menahan senyum di balik jamarinya. Desta mendengkus kesal dan ingin berkata kasar. Namun dia berusaha percaya dengan yang Aanisah katakan kalau pertemuan mereka ini murni karena suatu kebetulan. Ada satu orang yang patut dimintai pertanggung jawaban atas yang terjadi saat ini.
"Kamu diam sini, saya mau ganti baju. Jangan ngintip!" Desta mengangkat jari telunjuknya sebagai tanda peringatan untuk Aanisah.
Aanisah yang sudah bebal pada berbagai ancaman orang malah terbahak diperingatkan seperti itu oleh Desta. "Ngintip dikit nggak bayar kan?" canda Aanisah saat Desta sudah berbalik badan siap meninggalkan kamar teman barunya itu.
Desta tidak menggubris ucapan menyebalkan gadis itu. Dia melangkah lebar menuju kamarnya sendiri. Aanisah yang memang punya julukan muka tembok cuek saja meninggalkan rumah menuju toserba seperti tujuannya tadi di awal, melalui pintu belakang rumah ini.
Sore harinya Desta menyambut kedatangan ibunya dengan muka masam. "Maksud ibuk apa mengubah gudang jadi kamar trus disewakan pada orang asing? Kalau dia orang jahat, perakit bom atau p**************a gimana?" cecarnya saat ibunya baru saja mendaratkan p****t di sofa ruang keluarga.
Bu Sudar mengibaskan tangannya ke udara. "Kamu nggak usah berlebihan deh. Ibuk pegang fotokopi ktp orang yang nyewa gudang itu kok. Ibuk tahu tempat kerjanya. Sudah ibuk konfirmasi memang benar dia bekerja di tempat itu. Lagian ini rumah ibuk, jadi terserah ibuk dong rumah ini mau diapain," katanya dengan tatapan malas pada pikiran buruk anak laki-lakinya itu.
"Ya tapi kan ibuk bisa diskusi dulu sama aku? Trus kenapa mesti cewek sih yang menyewa kamar itu? Kenapa kok nggak cowok aja."
"Oh..., jadi kamu udah ketemu sama penghuni baru kamar itu? Bagus deh, jadi ibuk nggak perlu repot-repot memperkenalkan kalian. Rumah ini sudah terlalu banyak penghuni cowoknya. Mana jorok-jorok lagi."
"Aku enggak," Desta protes tidak terima pada pernyataan sang ibu.
"Iya terkecuali kamu. Tapi kalau kamu, Akbar dan Angga sudah kumpul, ibu serasa di sarang penyamun aja."
"Ya mbak suruh balik tinggal di rumah ini lagi."
"Ibuk yang didemo sama eyangmu kalau sampai nyuruh mbakmu tinggal di sini."
Desta bersungut dan tetap tak menyerah memprovokasi ibunya supaya membatalkan menyewakan gudang di rumahnya pada Aanisah. "Kamar mandi sama dapur kan deket sama kamar cewek itu, buk. Nanti dia bisa salah paham kalau aku ke dapur atau ke kamar mandi. Dikiranya aku punya niat lain lagi sama dia," gerutu Desta.
"Kalau mau mandi kamu bisa pakai kamar mandi di kamar ibuk. Di dapur kamu mau ngapain? Palingan juga ke kulkas yang letaknya nggak sampai di dapur. Wong kopimu aja mesti minta dibikinin ibuk. "
"Halah emboh. Aku nggak mau tahu. Cewek nggak jelas itu harus pindah dari rumah ini sekarang juga."
"Kamu jangan curigaan deh. Cewek itu udah jinak kok kayaknya. Dia nggak bakal gigit kamu," ujar bu Sudar terkekeh pelan sepeninggal Desta dari ruang keluarga.
Dari ruang keluarga Desta bergegas ke belakang menuju kamar Aanisah. Bu Sudar tidak terlalu memedulikan apa yang hendak dilakukan Desta. Dia lebih pilih masuk ke kamarnya sendiri.
"Eh, eh..., Kamu mau ngapain?" tanya Desta ketus.
"Nggak lihat apa aku lagi ngapain? Pakek nanya segala," jawab Aanisah tak kalah ketus.
"Kamu nggak perlu mindahin barang-barang kamu. Lebih baik kamu segera pindah dari rumah ini sebelum saya mengusir kamu."
"Kenapa aku harus pergi? Salahku apa?" tanya Aanisah dengan wajah dibuat memelas.
"Kamu nggak bisa tinggal di sini."
Aanisah berusaha tertawa dan tenang menghadapi situasi yang tidak nyaman juga baginya. "Loh kenapa nggak bisa? Kata ibu pemilik rumah ini bisa. Lagian aku bayar kok tinggal di sini," ujarnya, lalu berdiri bersendekap mengangkat kepala menatap kedua mata Desta.
Desta mendesah kesal. "Apa kamu lihat-lihat? Nunduk!" Dia menekan kening Aanisah seperti tadi.
Desta akan melakukan berbagai macam cara supaya tidak lagi-lagi bersinggungan dengan gadis aneh dan serba kebetulan yang membuatnya hampir gila ini.
"Kamu pasti tahu ini nggak bener. Sampai di sini paham kan maksud saya?"
"Semua akan baik-baik saja. Aku nggak akan ganggu kamu. Lagian rumah kos yang penghuninya campur cowok cewek sudah menjamur di kota ini," ucapan Aanisah seolah sedang berusaha meyakinkan Desta kalau dia tidak akan mengganggu kenyamanan laki-laki itu
"Kita juga sudah saling kenal ini, jadi nggak akan canggung ke depannya."
"Justru itu saya nggak suka."
Senyum Aanisah yang tadinya semanis madu berubah menjadi senyum canggung. Jawaban Desta itu membuat dirinya semakin terjepit. Membuat Aanisah yang selalu punya seribu satu jawaban untuk menyanggah omongan orang lain menjadi diam seribu bahasa.
Aanisah tersadar dari hipnotis yang tak sengaja Desta lemparkan beberapa saat yang lalu. Saat menyadari Desta berbalik badan hendak meninggalkan kamar, Aanisah melangkah lebar dan merentangkan tangannya di depan Desta. Hampir saja mereka berdua berpelukan kalau Desta tidak menahan tubuhnya untuk berhenti melangkah.
Desta menghardik gadis itu karena kesal. "Apa-apaan nih?"
"Kamu harus percaya kalau ini murni karena suatu kebetulan. Aku sama sekali nggak pernah tahu atau mencari tahu rumah kamu di mana, apalagi sengaja menguntit kamu. Lagian yang mencarikan tempat tinggal untukku adalah teman sekolahku. Kebetulan dia kenal dengan pemilik rumah ini. Aku butuh tempat tinggal segera dengan harga sewa yang murah. Saat ditawarkan kamar ini beserta informasi sewa bulanannya, aku langsung oke," jelas Aanisah panjang lebar setelah berhasil menghadang Desta.
Desta bergeming di depan gadis yang sedang ngotot menjelaskan sesuatu hal padanya. Dia menatap Aanisah jengah dan ingin mendorong gadis itu supaya menjauh dari hadapannya sekarang juga.
"Apa kamu mengira aku sedang mencari tahu tentang kamu dan mengikutimu? Sumpah! Ini benar-benar suatu kebetulan," tandasnya lagi.
Desta tetap membisu sambil menatap malas pada Aanisah. Dia tidak boleh goyah dan kesabarannya mulai terkikis menghadapi Aanisah dan keanehannya.
"Duh..., aku mesti gimana lagi untuk menjelaskan sama kamu kalau ini suatu kebetulan."
Aanisah menggaruk telinganya yang terasa gatal karena sedang berusaha menahan emosi untuk tidak mengacak wajah laki-laki di hadapannya ini dengan kuku-kukunya yang cukup panjang.
"Jadi gini. Aku disuruh pindah dari rumah oleh orang tuaku. Karena menurut mereka aku membawa sial. Untuk membuang sial aku harus pindah dari rumah itu. Kalau kamu mengusirku dari kamar yang bahkan belum sempat aku huni semalam aja, rasanya seperti kamu juga ikut membenarkan ucapan orang tuaku bahwa aku adalah pembawa sial. Dan itu menyakiti hatiku." Aanisah masih berusaha memberi penjelasan dan pengertian dengan sabar.
Tiba-tiba Aanisah memukul kepalanya sendiri. "Pekok! Aku iki ngomong opo tho? Duh intinya aku nggak mau pergi dari tempat ini. Minimal biarkan aku tinggal di sini satu bulan saja. Sambil aku mencari tempat tinggal yang baru. Karena cuma di sini yang mau nerima uang sewa sesuai dengan sisa uang yang aku miliki di dompet saat ini."
Aanisah mulai mengeluarkan jurus terakhirnya. Memelas dan menampilkan wajah paling menyedihkan.
"Berapa biaya sewanya? Saya akan mengembalikan uang sewa yang kamu berikan pada ibu saya termasuk juga biaya transportasi untuk mengangkut barang-barang kamu."
Aanisah memekik kecil. "Kamu tega banget, sih? Aku ini bukan orang jahat loh." Kedua mata Aanisah sudah berkaca-kaca, siap menangis.
Desta mulai tersentuh. Dia merasa iba dan kasihan sebenarnya pada Aanisah, tapi Desta tetap pada pemdiriannya tidak ingin melemah. Bagaimana pun caranya gadis aneh di hadapannya ini harus keluar dari rumah secepatnya.
"Apa kamu merasa terganggu kalau ada orang asing yang tinggal berdampingan dengan kamu? Atau karena orang itu aku?" tanya Aanisah tanpa basa basi. Dia mulai muak menghadapi pria tak berperasaan satu ini.
"Itu kamu paham! Saya akan berikan dua kali lipat dari uang yang kamu berikan pada ibu saya. Asalkan kamu segera pindah dari kamar itu."
Rahang Aanisah mulai mengetat. Dia benar-benar sudah kehabisan kata-kata saat ini. Sumpah serapah yang jarang sekali terlontar dari bibir mungilnya kini terucap begitu saja. Tidak terlalu keras, hanya dalam bentuk gerutuan yang hanya bisa dimengerti oleh dirinya sendiri.
"Kenapa kamu sangat ingin mengusirku dari rumahmu?" tanya Aanisah dengan ekspresi dingin. Tidak ada lagi wajah Aanisah yang bersahabat dan selalu dihiasi senyum ceria.
Desta menghela napas panjang lalu menatap Aanisah dengan tatapan yang lebih manusiawi. Bukan lagi tatapan dingin dan penuh kekesalan. Ketakutan tidak beralasan pada serba kebetulannya dengan Aanisah sangat menghantui alam sadar Desta saat ini.
"Saya laki-laki dan kamu perempuan dan kita sama-sama sudah dewasa. Sampai di sini kamu paham kan?"
"Ya trus kenapa? Kamu takut aku nyelonong masuk kamarmu dan merayumu supaya mau tidur sama aku?"
"Jangan ngomong sembarangan kamu!"
"Apa karena kamu tahu kalau aku telah dicampakkan oleh laki-laki yang aku cintai, jadi kamu berpikiran aku mudah terobsesi pada laki-laki random untuk diajak tidur bareng gara-gara frustasi putus cinta?" Aanisah tertawa sumbang setelah mengatakan omong kosong itu. Desta sendiri mulai ngeri menghadapi perempuan di hadapannya ini.
"Aku memang sedang patah hati dan hancur karena ditinggalkan pacarku. Tapi aku hancur bukan karena pernah ditidurin sama dia. Aku nggak bodoh melakukan hal sampai sejauh itu dengan pacarku. Kamu tenang saja, aku masih mencintai mantan pacarku, bukan karena bucin, tapi aku benar-benar tulus mencintai dia. Jadi aku berjanji nggak akan menyukaimu apalagi sampai jatuh cinta sama kamu." Aanisah sudah tidak kuasa lagi menahan emosinya. Dia sampai menekankan kata-kata 'nggak akan menyukaimu dan jatuh cinta sama kamu' demi meyakinkan Desta.
Tidak ada sanggahan lagi dari Desta, dengan wajah sudah berurai air mata Aanisah meninggalkan laki-laki yang tengah menatap dingin padanya. Aanisah masuk ke kamarnya dan menutup pintu kamar dengan meninggalkan suara dentuman cukup keras. Desta hanya bisa menghela napas lalu melepasnya dengan kasar menanggapi sikap kasar dan keras kepala Aanisah.
Mendengar suara gaduh dari dapur, bu Sudar sampai berlarian ke belakang untuk memeriksa asal suara bunyi dentuman pintu akibat perbuatan Aanisah. Saat ibunya bertanya pada Desta, dia hanya mengedikkan kedua bahunya dan melangkah lebar menuju kamarnya sendiri.
---
^vee^