Desta menceritakan soal kemiripan suara Rinjani dengan Aanisah pada sahabatnya yang bernama Akbar. Mereka sudah bersahabat sejak Desta duduk di bangku kelas satu SMP.
"Sang pencipta baik tuh. Dia ngingetin kamu dengan cara paling manis. Salah satunya lewat orang-orang yang kamu temui secara acak. Tinggal lihat aja pesan penting apa yang mau disampaikan oleh Tuhan lewat pertemuan kamu dengan perempuan yang mirip dengan orang yang pernah meninggalkan kamu, " ujar Akbar setelah Desta menyelesaikan ceritanya.
"Kalau wajah bisa mirip aku maklum. Tapi ini suara loh. Padahal kalau dilihat secara fisik, mereka berdua beda banget."
"Suara?"
Desta mengangguk yakin. Akbar malah mengedikkan bahunya seraya menggosok tengkuknya.
"Ngomong-ngomong, lebih cantik yang mana, Des?"
Setelah menatap malas pada sahabatnya, Desta tertegun sejenak. Lalu kembali menyesap kopinya yang telah dingin. Dia tidak ingin terus-terus memikirkan soal gadis tadi. Namun rasa penasaran telah mengalahkan segalanya.
"Aku minta tolong cari tahu tentang cewek itu ya, Bar."
"Kamu nggak capek nyariin Rinjani? Ngapain lagi kamu nyariin orang yang bisa tidur nyenyak setelah membuat kamu kesulitan tidur sepanjang malam."
"Bukan Rinjani, tapi Aanisah. Nama cewek yang aku ceritakan tadi Aanisah."
"Oooh...."
○○○
Sementara di tempat lain Aanisah sibuk mengoles keningnya yang berdarah dengan betadin. Kemudian menempelkan plester dan kapas di tempat lukanya itu. Eki menatap ngeri dan khawatir pada kondisi sahabatnya itu.
"Kamu yakin nggak mau ke dokter, Nis?" Eki bertanya seperti ini sudah untuk yang kesekian kalinya. Namun Aanisah selalu menolak saran itu.
"k*****t!" maki Aanisah menegakkan tubuhnya yang sejak tadi setengah berbaring di atas kursi.
"Dia udah bikin aku berdarah, dia seharusnya membayar ganti rugi untuk biaya dokter. Atau setidaknya membelikanku minuman di kafe sebagai permintaan maaf. Cowok macam apa yang tega melarikan diri seperti itu. Pengecut!" racau Aanisah melampiaskan kekesalan yang ia pendam sejak tadi. Tangannya mengepal lalu memukul meja beberapa kali.
"Mungkin dia lagi puasa. Kata pacarku, mas Desta itu rajin puasa Senin Kamis."
Aanisah mengernyit. "Puasa Senin Kamis?" tanyanya dengan nada bicara mencemooh.
Eki mengangguk. Sebenarnya dia asal jawab. Demi menghentikan sahabatnya yang siap meledak kapan saja.
"Waaah..., dia yang puasa kenapa aku yang minder ya. Aku aja boro-boro mau puasa Senin Kamis, puasa ramadhan nggak ada bolongnya kecuali pas mens aja udah bagus."
"Sama," jawab Eki disambut tawa oleh Aanisah.
"Eh, tapi lagi puasa, nabrak orang, trus nggak minta maaf, emang nggak batal tuh puasanya?"
"Hush..., cuma Tuhan yang tahu, Nis."
"Apa sih pekerjaan cowok tadi? Sombong kali dia kayak anak Sultan."
Eki terbahak merespon ucapan Aanisah. "Nggak anak sultan juga kali, Nis. Wiraswasta biasa sih, dia punya toko kain."
"Toko kain? Turunan India dong? Kebanyakan yang jualan kain kan orang India."
"Jangan sotoy kamu! Wajahnya Indonesia banget gitu. Tapi toko kainnya besar, ramai dan terkenal banget, loh."
"Oooh..., horang kayah dong kalau tokonya ramai. Eh, Ki! Kamu kan kenal sama dia. Bilangin gih kalau aku luka parah dan minta ganti rugi," ujarnya dengan senyum penuh trik licik.
Eki berdecak kesal mendengar ide gila yang disampaikan oleh sahabatnya. Dia bahkan menggeleng sebelum Aanisah menyelesaikan omongannya.
"Bilang aja kalau aku gegar otak ringan."
Eki berusaha untuk tidak memukul kepala Aanisah dengan dompetnya, karena dia mulai berpikir sahabatnya ini nyaris gila akibat diserempet mobil dan kepalanya membentur pagar beton kafe tadi.
"Kita bisa makan dan belanja dengan uang ganti rugi dari cowok itu," ujar Aanisah lagi sambil tersenyum semringah. Eki hanya tertawa melihat ekspresi konyol sahabatnya ini.
Eki lalu menoyor kening Aanisah tanpa ampun. "*Wong gendeng!" katanya. (Orang gila)
Menengok jam tangannya, Aanisah terperanjat dari kursi. Dia sudah terlalu lama meninggalkan rumah. Dia lalu mengajak Eki meninggalkan kafe.
Memang di malam hari ibunya sibuk di warung makan yang letaknya sekitar lima kilometer dari rumah. Namun Aanisah khawatir kalau-kalau ibunya yang punya otak intel itu tiba-tiba pulang ke rumah, memastikan anak perempuannya yang sulit diatur itu tidak keluar dari rumah sesuai perintah.
Setelah berpisah dengan Eki, hati Aanisah kembali merasakan kosong, sepi, dan sedih. Dia terus berjalan menyusuri trotoar untuk menghilangkan rasa jenuh, suntuk dan kesepiannya, sambil sesekali memerhatikan kendaraan yang lalu lalang di jalan raya. Aanisah tertegun sejenak. Lalu air matanya menetes begitu saja. Bahkan sekarang dia tidak tahu, dia menangis untuk apa dan karena apa. Sambil tersedu, dia memohon pada Tuhan agar semua penderitaan yang ia rasakan segera berakhir.
○○○
Sore beberapa hari kemudian, kakak perempuan Desta beserta anak laki-lakinya mengunjungi toko yang dikelola oleh Desta. Keduanya terlibat obrolan serius soal bisnis taxtile yang mulai diminati oleh banyak orang. Mereka berdua sedang memikirkan strategi pemasaran yang tepat untuk mengantisipasi persaingan pasar yang tidak mudah tertebak.
"Toko yang aku tempati sekarang mau dijual sama pemiliknya," ujar kakak perempuan Desta lesu.
"Buka harga berapa?"
"2 M."
"Tawar aja mbak."
"Gundulmu, Des! Uang dari mana?"
"Jual sawah samping rumah."
"Sawahnya orang itu, bedes! Repot ngomong sama orang setres, nih."
"Ya kamu juga, mbak. Pertanyaannya nggak jelas. Kamu kan pernah kerja di bank, kalau nasabahmu kena masalah yang lagi kamu hadapi sekarang ini, solusi apa yang biasanya kamu kasih buat nasabahmu. Ya nggak?" jawab Desta.
"Ya aku suruh ngajukan kredit pinjaman."
"Ya udah sana ngajuin."
"Mau pakai jaminan apa untuk dapat pinjaman segitu banyak bapak Desta?"
"Pinjem sertifikat alun-alun Banyuwangi sama pak Anas."
"Bedeees. Aku serius loh ini. Kalau nggak ada solusi sampai akhir bulan ini aku yang setres."
"Tanya om Hamka gih. Aku udah pernah nasehatin kamu dulu. Jangan buka toko di sana, karena toko itu mau dijual. Kamunya ngeyel."
"Kalau om kamu itu tahu aku setres gara-gara toko, yang ada aku disuruh nutup toko selamanya."
"Bagus itu. Jadi IRT teladan. Punya banyak waktu belajar masak yang bener-"
Sebuah cubitan melayang di pinggang Desta. Laki-laki itu memekik kesakitan dan memohon ampun pada kakak perempuannya.
"Aku mau keluar dulu. Kamu di sini dulu ya mbak."
"Aooom..., ikut," suara anak kecil berteriak dari dalam membuat kedua bahu Desta turun karena lesu.
"Ma..., mau ikut A'om."
"Iya."
"Boleh ma?"
"Boleh."
Desta berdecak kesal karena kakak perempuannya itu bukannya melarang malah mempersilakan sang anak ikut om nya yang akan pergi.
"Mbak!" Desis Desta saat anak laki-laki berusia empat tahun itu sudah berlarian keluar dari toko dan memanggil Desta yang masih belum beranjak dari tempatnya berdiri sejak tadi.
Pada panggilan ketiga akhirnya Desta memutar tubuhnya dan melangkah keluar dari toko. Dia berhenti melangkah lalu berjongkok di depan ponakannya.
"Kakak tunggu sini aja ya. Nanti beli es krim."
"Ndak mau eklim. Maunya ikut," si balita mulai merengek dan siap menangis.
"Ajak aja kenapa sih, Des? Daripada nangis? Tahu sendiri kan kalau dia udah kesel, bisa bikin mood orang serumah kacau loh."
"Persis kayak kamu!" cibir Desta, kemudian menggandeng tangan ponakannya. Setelah membukakan pintu mobil, ia membantu balita kecil itu masuk mobil.
Desta melajukan Xpander putihnya ke arah pantai yang letaknya di bagian timur kota dengan kecepatan sedang. Sesekali dia menoleh ke sisi kirinya. Dia tersenyum saat mendapati sang ponakan sedang berdiri menghadap kaca jendela. Bibir mungilnya terus berceloteh riang sepanjang perjalanan, menjelaskan sesuatu pada Desta dengan bahasa khas anak-anak.
"Horeee..., pantai. Blenang ya om?"
"Nggak boleh. Airnya lagi pasang. Ombaknya besar. Nanti kamu digulung ombak, trus dibawa ke tengah laut, mau?"
Beberapa menit kemudian sang balita mulai merengek tak ketinggalan mencebikkan bibir bawahnya siap menangis.
"Main hape aja ya," bujuk Desta seraya menyerahkan ponselnya.
"Nggak mau. Maunya blenang. Kalo sama ayah boleh."
"Nggak bawa baju ganti, Kak. Nanti mobilnya basah semua kalau abis berenang nggak ganti baju."
Balita laki-laki tersebut meronta dan berusaha melepaskan diri dari tangan Desta.
"Holeee...., ada ayah," ujar balita tersebut riang seraya menunjuk ke belakang punggung Desta.
Desta percaya begitu saja ucapan keponakannya. Saat dia menoleh untuk memastikan apa ayah sang balita benar-benar datang, balita tersebut berhasil lepas dari cengkramannya dan berlarian ke arah laut.
Terlambat. Saat Desta hendak menyusul keponakannya itu, ombak besar datang, menggulung dan membawa tubuh mungil balita empat tahun. Semua orang yang berada di sekitar pantai mulai histeris karena melihat apa yang sedang terjadi beberapa saat yang lalu. Namun tidak ada satu orang pun yang berani menerjang ombak besar yang datangnya bertubi-tubi dan laut yang sedang pasang. Belum lagi angin tiba-tiba berhembus begitu kencang.
○○○
Jika hari mulai sore, disitulah Aanisah mulai merasa kesepian di tengah keramaian. Nada dering khusus nomor ponsel Gama sudah tidak pernah lagi melantun di ponselnya. Gama telah benar-benar meninggalkan dan melupakannya. Bahkan sekedar chat menanyakan kabar Aanisah saja tidak dilakukan oleh Gama.
Hubungannya selama ini dengan Gama baik-baik saja. Mereka jarang bertengkar hebat karena baik Aanisah maupun Gama adalah pribadi yang tenang, mudah mengalah dan tidak pernah gengsi untuk meminta maaf. Itulah alasan yang membuat Aanisah tidak bisa melupakan Gama dengan mudah.
Aanisah berteriak histeris di dalam laut. Air laut yang dalam mulai dirasakan tubuhnya. Ombak besar berulang kali menghempaskan tubuhnya hingga terombang ambing di lautan. Seluruh tubuhnya sudah diselimuti oleh air laut. Namun semesta tidak membiarkannya kehilangan nyawa begitu saja. Dia tidak akan mati dengan mudah di laut.
Saat Aanisah berjalan ke tepian, dia melihat sosok tubuh mungil melewati dadanya. Sadar itu adalah tubuh anak kecil, Aanisah segera menggendong dan berjalan secepat mungkin menuju pantai.
Beruntung Aanisah pernah tahu caranya memberi napas buatan. Dia segera mempraktekkan ilmu yang ia dapatkan saat pelatihan menjadi resepsionis hotel. Karena yang sedang diselamatkan adalah seorang anak kecil, dia tidak perlu canggung memberi napas buatan melalui mulut sang anak.
Anak itu selamat dari mautnya setelah memuntahkan air laut yang sempat masuk ke tubuhnya.
"Adek bisa lihat tangan aku?" Aanisah melambaikan tangannya tepat di depan wajah sang anak yang sedang berada di pangkuannya.
"Kakak?" Suara seorang laki-laki membuat semua orang yang mengerumuni Aanisah dan anak di pangkuannya menoleh ke asal suara tersebut, termasuk Aanisah.
"Aom," ujar anak kecil tersebut lalu merentangkan tangannya meminta digendong pada laki-laki yang ia kenal.
Desta bersyukur berhasil menemukan keponakannya dalam keadaan selamat. Dia menggendong dan memeluk erat keponakannya itu dengan tangan gemetar. Tidak bisa dia bayangkan penyesalan seperti apa yang akan dilaluinya jika keponakannya tidak berhasil diselamatkan sore ini.
Kerumunan sudah bubar. Anak kecil yang diselamatkan oleh Aanisah tadi kondisinya sudah terlihat lebih baik, tubuh mungilnya tidak lagi menggigil karena sudah ditutupi oleh jaket milik Desta. Saat ini tinggallah Desta yang sedang menggendong keponakannya itu, menatap bengong perempuan yang tak lain adalah perempuan yang memiliki suara hampir mirip dengan mantan kekasihnya, sedang basah kuyup di hadapan Desta.
"Kenapa? Kamu nggak pengin tanya apa aku baik-baik saja?" tanya Aanisah dengan sinis. Desta tidak sanggup menjawab apa pun, hanya menatap Aanisah tanpa ekspresi.
"Tenang saja. Aku nggak akan mati kalau cuma menenggelamkan diri di laut dangkal," ucap Aanisah lagi masih dengan ekspresi yang sama.
Desta masih diam di tempatnya. Telinganya berdenging karena ada dua suara yang sama, tapi mengucapkan kalimat yang berbeda dan itu sangat mengganggu pendengarannya. Dia menggeleng sekuat-kuatnya untuk mengusir suara yang mengucapkan kalimat-kalimat yang dulu sering ia dengar.
"Mas harus bisa mendekatkan diri dengan laut. Kalau mas bisa menaklukan aku harus bisa juga dong menaklukan laut."
"Nanti kalau aku sedang nggak ada di sisi mas, datang saja ke pantai. Mas akan menemukanku di antara desiran angin laut, hangatnya pasir pantai, dan gulungan ombak yang menyentuh bibir pantai."
"Apa kamu nggak pengen bilang terima kasih juga? Ya Allah..., aku ini ngobrol sama patung ama sama orang sih," tanya Aanisah dengan kesal.
Desta tersadar dari lamunan singkatnya. "Iya terima kasih," ucapnya datar, singkat dan jelas.
"Kamu pasti ingin mentraktirku makan setelah ini sebagai tanda terima kasih, ya kan?" tanya Aanisah dengan nada bercanda. Namun sepertinya Desta tidak mengerti dengan candaan Aanisah.
"Serius banget? Aku bercanda kok. Tapi kalau emang mau ditraktir makan beneran, ya nggak bisa nolak aku tuh."
Aanisah tersenyum mengejek melihat kegugupan di wajah Desta. Dia lalu berdecak kesal karena melihat ekspresi datar yang ditampilkan oleh Desta, membuatnya ingin melempar wajah itu dengan pasir pantai yang hitam di bawah kakinya.
Desta hanya menarik napas berat, kesal melihat tatapan Aanisah seperti sedang merendahkan dirinya.
"Kamu nggak sedang ngerendahin saya kan?" tanya Desta datar. Aanisah hanya balas dengan menggeleng saja.
"Bukannya saya nggak sanggup meneraktir kamu, tapi keadaannya nggak memungkinkan saat ini," ujar Desta menunjuk keponakan yang sedang berada dalam gendongannya.
Aanisah mengangguk paham. "Oke, aku tunggu kamu di restoran itu besok pukul lima sore, untuk membayar ganti rugi atas semua yang sudah kamu lakukan padaku dan untuk membalas kebaikanku, supaya kamu juga bisa hidup tenang karena nggak berhutang nyawa padaku."
Tanpa menunggu jawaban dari Desta, Aanisah meninggalkan laki-laki yang sedang mendekap keponakannya itu begitu saja.
---
^vee^