Keesokan sorenya, Desta memenuhi permintaan Aanisah yang ingin ditraktir makan sebagai balas budi atas kebaikan yang pernah dilakukan oleh gadis itu, serta membayar ganti rugi atas perbuatan Desta yang tanpa sengaja telah menyerempet Aanisah beberapa hari lalu.
Dari jauh Aanisah melambaikan tangannya dengan riang pada Desta. Laki-laki itu berjalan santai menuju meja tempat Aanisah menunggunya selama setengah jam lebih.
"Kamu masih di sini? Saya kira sudah pergi, karena nggak on time," ucap Desta pertama kali setelah menarik kursi dan menduduki kursi tersebut.
"Kamu pikir aku rela mengeluarkan duit pribadiku untuk semua hidangan laut yang sudah terlanjur dipesan ini?"
Desta cukup terkejut mendengar jawaban sekaligus apa yang mulai disajikan di atas meja oleh pelayan restoran. Aanisah sampai tidak kuasa menahan tawanya melihat ekspresi terkejut yang ditampilkan oleh Desta.
"Kenapa? Kamu nggak kuat bayar semua makanan yang aku pesan ini?" cemooh Aanisah.
Desta berdecak kesal karena lagi-lagi Aanisah meremehkannya. "Bukannya nggak sanggup bayar. Tapi kamu yakin mau menghabiskan semua makanan ini?" tanyanya heran.
"Kan dibantu sama kamu," ujar Aanisah. Tak buang waktu lagi dia mulai mengambil sendok dan garpu lalu mulai mencicipi satu persatu hidangan laut di hadapannya.
"Ini enak loh. Udangnya manis karena diolah dari udang baru. Bukan udang yang sudah pernah masuk freezer," ucap Aanisah, mengambil beberapa potong udang goreng lalu diletakkan di atas piring nasi Desta.
Desta hanya terpaku melihat perlakuan Aanisah ini. Tiba-tiba dia mengalami de javu pada peristiwa beberapa saat yang lalu. Hanya saja dilakukan oleh orang dan tempat yang berbeda. Namun intonasi suara dan kalimat yang diucapkan sama persis.
"Cobain deh mas. Udang ini enak loh. Udangnya manis karena diolah dari udang baru bukan udang beku."
Aanisah bingung melihat Desta tidak melakukan apa pun pada piringnya. Dia berdecak kesal. Mulai jengah pada ekspresi datar yang ada di wajah Desta.
"Kenapa nggak makan? Apa mau aku kupasin kulit udangnya? Atau mau aku suapin sekalian?" tegur Aanisah lantas membasuh kedua tangannya dengan air yang tersedia di mangkuk kecil. Aanisah meraih satu potong udang yang ukurannya paling besar lalu mulai mengupas kulit udang.
Lagi-lagi Desta seperti dilempar ke masa lalu. Waktu seolah memaksa dia untuk mengingat kembali hal-hal yang sudah susah payah ia lupakan. Dan suara Rinjani lagi-lagi mengganggu pikirannya.
"Aku kupasin kulit udangnya ya, mas?"
"Stop!" pekik Desta setelah meremas rambutnya disertai memukul meja dengan kepalan tangannya. Membuat Aanisah dan pengunjung restoran ini cukup terkejut.
Aanisah merasa bersalah karena ulah Desta yang mengganggu ketenangan orang lain sedang makan. Dia menatap satu per satu meja yang ada pengunjungnya lalu menangkupkan kedua tangannya dengan maksud meminta maaf.
"Kamu kenapa? Kalau nggak mau makan ya udah. Nggak perlu marah-marah," ucap Aanisah dengan nada suara serendah mungkin, supaya tidak mengganggu sekali lagi. Dia lalu melanjutkan acara makannya tanpa memedulikan Desta yang menatap kesal padanya.
Di tempat duduknya, Desta tak banyak bicara saat melihat Aanisah makan dengan lahap. Dia bukannya marah pada Aanisah, tapi marah pada suara dan bayang-bayang Rinjani yang tak mau enyah dari pikirannya. Dia berharap semoga Aanisah tidak salah paham padanya.
Sepanjang Aanisah makan, Desta hanya meneguk air putih dari gelasnya. Aanisah bersikap 'bodo amat' pada apa yang dilakukan oleh laki-laki di hadapannya ini. Kalau nggak makan yang lapar kan kamu bukan aku. Begitu pikiran santai seorang Aanisah.
"Sisanya aku bungkus ya," ujar Aanisah setelah menandaskan minumannya.
"Sesuka kamu aja," jawab Desta ;psingkat.
Aanisah membawa piring-piring berisi makanan yang ia pesan dan masih tersisa ke meja kasir untuk dibungkus, sekalian meminta bon p********n.
"Nih," kata Aanisah menyodorkan selembar struk pada Desta.
Tanpa protes Desta beranjak dari kursinya lalu berjalan ke meja kasir untuk menyelesaikan p********n. Selesai membayar, Desta melihat ke sekitar restoran. Aanisah sudah menghilang dari pandangannya.
"Pacarnya di sana mas," ujar seorang pelayan menunjuk keberadaan Aanisah yang sedang duduk pada pembatas yang terbuat dari beton di bibir pantai.
"Dia bukan pacar saya," jawab Desta dingin kemudian meninggalkan restoran. Dia terus melangkah ke parkiran menuju mobilnya. Meninggalkan Aanisah begitu saja di pantai.
Namun saat akan membuka pintu mobil Desta merasa bersalah jika bersikap seburuk ini pada seorang perempuan yang tidak tahu apa-apa persoalan yang tengah mengganggu pikirannya. Terlebih lagi perempuan tersebut sudah bertaruh nyawa demi menyelamatkan keponakannya. Desta memutar badan dan berjalan menuju ke tempat Aanisah.
"Aku pikir kamu akan pergi begitu saja seperti di kafe waktu itu."
"Maunya gitu."
Aanisah tertawa mendengar jawaban yang dilontarkan oleh Desta. "Terima kasih karena sudah mengurungkan niat itu," ujarnya sambil tersenyum getir. Sedangkan Desta hanya menatapnya tanpa ekspresi.
"Kamu akrab sama Eki?" tanya Aanisah.
"Eki?"
"Iya Eki Chandra Dinata. Perempuan yang bareng kamu di kafe itu."
"Oh, nggak terlalu. Tahunya cuma dia pacar baru teman saya."
"Bagus deh."
"Maksud kamu?"
"Nggak apa-apa, cuma nanya doang ini. Ngga ada fee nya kan?" ucap Aanisah lalu tertawa di akhir penjelasannya.
Desta hanya mengangguk saja. Tidak berniat bertanya lebih jauh. Hening kembali tercipta di antara mereka berdua.
"Aku masih penasaran Eki ngomong apa aja sama kamu soal aku. Sebelum insiden kamu menyerempetku?" ujar Aanisah seraya menunjuk keningnya yang masih memar dan sedikit bengkak.
Desta menggeleng. Dia tidak menyangka pertanyaan itu masih diajukan oleh Aanisah, padahal kejadiannya sudah dua hari yang lalu.
"Eki kan bilang kalau aku teman yang dia ceritakan sama kamu. Nah aku penasaran apa yang sudah dia ceritakan tentang aku?"
"Saya lupa."
"Oya??? Tapi kelihatannya kamu ingat dari cara kamu melihat aku."
Desta tidak menanggapi omong kosong Aanisah. Dia memandang lurus ke arah laut pantai selatan yang mulai gelap di hadapannya.
"Ayolah, apa yang dia ceritakan sama kamu?" Tiba-tiba Aanisah mengguncang bahu Desta karena tidak mau menjawab apa pun.
"Dia bilang kamu teman sekolahnya dan orangnya baik," jawab Desta asal, karena kesal mendengar rengekan gadis di sampingnya itu.
Tawa Aanisah pecah detik itu juga. Desta sampai menahan napas karena malu. Dirinya dan Aanisah kini menjadi bahan tontonan orang yang kebetulan melintas di sekitarnya.
"Ini tuh lucu banget loh. Sumpah, aku sampai nggak bisa berhenti ketawa."
Saat tertawa Aanisah sampai memegangi perutnya. Desta ingin sekali menghentikan tawa Aanisah, tapi tidak tahu bagaimana caranya. Akhirnya Desta membiarkan saja Aanisah terus tertawa sampai sudut matanya berair. Desta menatap datar pada gadis itu, saat Aanisah tiba-tiba menghentikan tawanya lalu menatap dalam ke arah iris mata Desta.
"Kamu pinter bohong juga ya. Eki nggak mungkin mengatakan hal seperti itu. Dia pasti mengatakan hal sebaliknya. Dari caranya kamu melihat aku tuh kelihatan banget, kayak pengen bilang 'oh jadi ini cewek aneh yang katanya Eki', gitu."
Desta terbatuk pelan seperti tersedak sesuatu di tenggorokannya. Karena terlalu pelan dan kalah oleh suara angin laut membuat Aanisah tidak mendengarkan suara batuknya. Akhirnya Desta pilih mendengarkan saja celoteh panjang yang disampaikan oleh Aanisah tanpa mengerti sama sekali ke mana arah pembicaraan gadis ini. Dia menganggap omongan Aanisah seperti kaset rusak yang memaksa diputar oleh pemiliknya karena tidak memiliki hiburan selain mendengarkan kaset rusak tersebut.
"Astaga, mati aku!" Aanisah beranjak dari duduknya kemudian berlari sambil membawa tas dan kantong plastik berisi sisa makanan dari restoran tadi.
Desta tidak bertanya sedikit pun apa yang membuat Aanisah panik dan berlari meninggalkan dirinya. Dia berjalan santai dengan salah satu tangan dimasukkan ke kantong celana katunnya. Dia hanya melihat Aanisah berlari kecil menjauh dari tempat mereka duduk sejak tadi.
Namun tiba-tiba Aanisah kembali berlari ke arah Desta sedang berjalan. Setelah sampai di hadapan Desta, tangan laki-laki itu ditarik dan diseret oleh Aanisah.
"Anterin aku ke hotel sekarang juga!"
"Hah? Udah gila kamu ya? Baru kenal udah main ngajak ke hotel," jawab Desta menepis tangan Aanisah yang sedang mencengkram pergelangan tangannya.
Aanisah menepuk keningnya. "Maksud aku anterin ke tempat kerjaku. Aku kerja di hotel sebagai resepsionis. Duh, ini yang pekok aku apa kamu sih?"
"Enak aja ngatain saya pekok. Kamu itu makanya yang jelas dong kalau ngomong."
Aanisah menginterupsi untuk menghentikan perdebatan tidak berujung ini. Aanisah meminta Desta bergegas mengantarkannya menuju hotel yang letaknya cukup jauh dari pantai ini.
"By the way, nama kamu siapa? Kita belum kenalan atau akunya yang lupa ya?" tanya Aanisah setelah berada di dalam mobil yang dikendarai oleh Desta.
"Desta."
"Kamu pasti lahir di bulan Desember? Bener nggak?"
Lagi-lagi Desta terkenang memori saat pertama kali berkenalan dengan Rinjani.
"Pasti kamu kelahiran bulan Desember? Ya nggak?"
Kali ini Desta tidak seemosi tadi. Dia membiarkan saja suara Rinjani berputar-putar di kepalanya.
"Namaku Aanisah. Aanisah Wulan Rinjani. Artinya perempuan yang lahir di bawah terang bulannya gunung Rinjani. Lucu ya arti namaku? Aku nggak ngerti alasan orang tuaku memberiku nama itu," jelas Aanisah sambil tertawa saat menerangkan arti nama aslinya pada Desta.
Tiba-tiba Desta membanting roda kemudi ke tepi jalan dan menghentikan laju mobil secara mendadak.
"Astaga! Desta woy?! Kamu mau bikin kita mati konyol apa?" Bentak Aanisah lalu menonjok pangkal lengan Desta karena laki-laki itu malah mematung dan terdiam di tempatnya. Bukannya meminta maaf Desta kembali melajukan mobil dengan kecepatan penuh.
Aanisah hanya berpegangan kuat tanpa berani berucap sepatah katapun. Dia hanya bisa merapalkan doa memohon keselamatan di dalam hatinya. Nyawanya kini ada pada keterampilan mengemudi laki-laki di samping kanannya ini.
"Semoga kita nggak bertemu lagi setelah ini," ujar Aanisah saat Desta menghentikan laju mobilnya di drop zone hotel. Keduanya hanya bisa saling menatap dalam diam selama beberapa saat.
Aanisah bergegas keluar dari dalam mobil Desta setelah mendengar bunyi klakson mobil lain dari arah belakang. Belum sempat Aanisah mengucapkam terima kasih, Desta sudah melajukan mobilnya meninggalkan drop zone tanpa pamit pada Aanisah.
Perut Desta seperti melilit dan ingin muntah saat bayangan Rinjani kembali mengganggu pikirannya. Akhirnya dia menepikan mobilnya di tepi jalan yang sepi.
"Aku Rinjani. Rinjani Wulan Hamdani. Aku nggak ngerti kenapa orang tuaku memberiku nama itu. Katanya karena ayahku yang seorang pendaki gunung berhasil menikahi ibuku setelah mendaki gunung Rinjani, dan aku lahir saat terang bulan."
Desta berteriak kencang supaya bisa menghalau bayang-bayang wajah dan suara Rinjani. Nyatanya dia malah memuntahkan cairan yang sempat masuk ke perutnya saat di restoran tadi tanpa bisa mengenyahkan Rinjani dari pikirannya. Berharap pikiran tentang Rinjani keluar bersama cairan yang ia muntahkan. Dia sama sekali tidak habis pikir, takdir apa yang sedang mencoba mempermainkan kehidupannya yang mulai tertata lagi, setelah kacau balau semenjak ditinggalkan oleh Rinjani.
---
^vee^