Segala rentetan prosesi pernikahan telah usai. Satu per satu tamu bahkan sanak keluarga mulai silih berganti pulang meninggalkan hotel tempat diadakannya acara.
Ditemani Viona, Alanna berjalan menuju kamar pengantin yang ada di lantai 10 hotel Mulia. Sedang Elfathan sendiri masih setia berada di ballroom acara. Pria itu nampak begitu asyik terlibat perbincangan dengan beberapa saudara yang belum pulang.
"Kalau pas ada waktu senggang, jalan-jalan ke Turki, El. Ajak juga sekalian istrimu singgah ke rumah kami yang ada di sana."
Elfathan mengangguk saja saat salah satu sepupunya menyampaikan ajakan untuk berkunjung. Sebelumnya, ia memang pernah berencana membawa Viona untuk berbulan madu ke Turki atau Dubai.
Namun, rencana itu gagal saat sang istri harus menjalani perawatan intensif berhari-hari di rumah sakit. Bahkan dokter juga menyarankan agar Viona tidak melakukan perjalanan jauh dalam beberapa waktu sampai kondisinya benar-benar membaik dan stabil.
"Ya ampun Khalid, ajakanmu itu nggak bakal terealisasi. Jangankan singgah ke Turki, bepergian ke luar kota aja kayaknya Elfathan bakal susah."
Ezra Natta Assegaf, sepupu Elfathan yang terkenal banyak omong pada akhirnya ikut menanggapi. Semua juga tidak heran kalau pria itu memiliki tabiat suka mengolok siapa saja yang jadi lawan bicaranya.
"Memangnya kenapa? Ko aneh banget?" tanya Khalid kebingungan. Ia merasa aneh saja mendengar apa yang Ezra katakan barusan. "Bukannya Elfathan dari dulu suka banget yang namanya traveling apalagi ke luar negeri."
"Iya," angguk Ezra. "Itu dulu. Waktu masih bujangan. Sekarang beda cerita. Elfathan pasti bingung dan pusing sendiri istri mana yang mau dia bawa."
Perlu Elfathan akui, apa yang Ezra katakan barusan memanglah benar. Dulu sebelum menikah, dirinya memang senang sekali bepergian dari satu negara ke negara lain. Hobinya terhenti sejenak ketika menikahi Viona dan harus fokus memerhatikan kondisi wanita itu.
Dan sekarang, ketika ada kesempatan untuk pergi, Elfathan sepertinya harus berpikir dua kali. Karena saat ini ia sudah memiliki dua istri, otomatis keduanya harus ia bawa. Tidak mungkin kalau ia meninggalkan salah satunya begitu saja.
"Untuk sekarang, kayaknya emang nggak dulu bepergian ke mana-mana. Di samping jadwal praktik dan operasi yang padat, aku juga belum punya pengalaman gimana caranya bawa dua istri ikut pergi dalam perjalanan jauh."
"Kalau kamu bingung, aku bisa bantu," tawar Ezra.
"Bantu gimana maksudmu?"
"Bantu kawal salah satunya. Biar kamu fokus pergi sama Viona. Aku bersedia dengan senang hati gantikan posisi kamu buat temani Alanna."
"Dasar sepupu gila!" seru Elfathan, yang mana umpatannya ini membuat Ezra dan Khalid langsung tertawa.
"Ya gimana lagi, Alanna itu cantik banget, El. Kenapa juga dia malah nikah sama kamu. Mending sama aku yang jomlo ini. Padahal, kalau soal tampang, lebih cakep aku ketimbang kamu, kan?"
"Percuma cakep tapi nggak ada yang mau. Lagian, kalau soal nasib, kamu emang selalu sial dari dulu," balas Elfathan dengan menohok.
Mau bagaimana lagi. Dari keduanya kecil hingga sekarang, memang nasib Ezra yang sering kali tertinggal jauh dari Elfathan. Entah dosa masa lalu seperti apa yang pernah Ezra perbuat hingga selalu saja kalau dalam segala hal dengan sepupunya itu.
"Bukan nggak ada yang mau," ralat Ezra. "Tapi akunya aja yang pemilihan dan menerapkan standarisasi tinggi."
"Sanking tingginya, sampai susah dapat pasangan." Sekali lagi Elfathan dan Khalid tertawa. Puas saja membuat Ezra yang banyak omong akhirnya terdiam. "Ya udah, aku mau balik ke kamar. Mau istirahat. Kalian cepat balik. Jangan pulang malam-malam."
"Buru-buru banget," tegur Ezra. "Bilang aja kamu udah nggak sabaran mau rasain malam kedua sama istri baru."
Elfathan hanya berdecak. Malas menanggapi, pria itu memilih untuk benar-benar pamit lalu beranjak pergi menuju kamar pengantin yang sudah disiapkan pihak hotel.
Sementara di kamar di pengantin sendiri, Viona tampak sigap membantu untuk mengganti pakaian pengantin yang melekat di tubuh Alanna. Melepas seluruh aksesories yang terpasang, lalu mempersilakan madunya itu untuk segera membersihkan diri.
"Pakaian tidur kamu ada di lemari, Lana. Semua udah siapkan di sana. Ada baiknya sebelum tidur, kamu mandi dulu biar nggak gerah."
Alanna mengangguk. Berjalan menuju lemari, wanita itu meraih piyama tidur yang tersusun rapi di dalam sana. Membawa salah satunya, lalu bersiap untuk masuk kamar mandi.
"Kamu tidur di sini?" tanya Alanna. Lalu tak lama ia membatin sendiri, pertanyaan macam apa ini.
"Nggak, Lana," geleng Viona. "Bentar lagi aku pulang."
"Kenapa nggak pulang bareng aja?"
Viona tersenyum. Ia memang sengaja memilih pulang lebih dulu karena ingin memberi privasi antara suami dan istri barunya tersebut.
"Aku nggak mau ganggu kamu sama Elfathan. Aku mau kalian berdua nikmati malam ini benar-benar berdua aja tanpa perlu ada yang ganggu."
Alanna mengangguk saja. Bingung juga harus menanggapi ucapan Viona seperti apa. Jangan tanya juga apakah ia sudah siap melewati malam pertamanya tidur bersama Elfathan. Tentu saja jawabannya tidak tahu.
Alanna masih menerka-nerka apa yang akan ia lakukan setelah bertemu Elfathan dan sekamar dengan pria itu nantinya. Yang pasti, ia yakin pasti akan terasa sangat canggung.
"Ya udah, kamu buruan mandi nanti malah masuk angin," tegur Viona ketika mendapati Alanna malah bengong di hadapannya.
Mengangguk, Alanna lantas melangkah masuk ke kamar mandi. Pelan-pelan membersihkan make up terlebih dahulu kemudian membersihkan diri.
Setelah 30 menit terlewati, akhirnya Alanna memutuskan untuk keluar. Begitu membuka pintu, ia langsung dibuat terkejut. Sudah ada Elfathan yang berdiri tak jauh dari lemari. Sementara Viona sudah tidak terlihat lagi di sana.
Elfathan kala itu tampak menyandarkan tubuhnya dengan santai. Pria itu bersikap seolah sengaja menunggu Alanna untuk segera keluar dari kamar mandi.
Beruntungnya Alanna sudah memakai pakaian lengkap. Kalau tidak? Pasti ia akan malu sendiri dilihat oleh pria yang kini sudah resmi menjadi suaminya.
"Kakak mau mandi?"
Sambil melangkah keluar, Alanna memberanikan diri untuk bertanya. Berusaha sebisa mungkin untuk bersikap santai dan akrab, menutupi perasaan gugup yang sebenarnya ia rasakan.
"Iya," jawab Elfathan singkat. Tidak ada kata-kata lain yang pria itu ucapkan setelahnya.
"Maaf kalau aku kelamaan. Aku udah selesai, kok."
Elfathan mengangguk saja. Meraih handuk di lemari, pria itu lantas melangkah masuk ke kamar mandi. Sementara Alanna memilih untuk duduk di salah satu sisi tempat tidur. Ia dibuat bingung sendiri harus bersikap apalagi setelah ini.
Belum selesai pergolakan batin yang tengah Alanna rasakan, ia kembali dibuat tercengang dengan pemandangan yang tersuguh di depan matanya. Elfathan yang sudah selesai membersihkan diri, begitu santainya keluar kamar mandi dengan keadaan bertelanjang dadaa.
Walaupun memakai celana panjang dan hanya terbuka dibagian atas, tetap saja pemandangan ini membuat Alanna kelimpungan sendiri. Mana pernah seumur hidupnya melihat pria, apalagi dalam jarak yang begitu dekat memamerkan tubuhnya seperti sekarang.
Alanna dengan matanya bisa melihat bagaimana otot-otot dadaa dan perut milik Elfathan yang tampak kencang. Menandakan si pemilik tubuh begitu menjaga pola hidupnya dengan baik dan sehat.
Sambil mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk, Elfathan tampak berjalan kembali menuju lemari untuk mengambil pakaian. Setelah memakainya, pria itu memutar tubuh lalu berjalan ke arah di mana sang istri tengah duduk.
Tentu saja hal ini menambah keterkejutan Alanna. Bermacam-macam pikiran langsung berkecamuk dalam diri Alanna. Ia terus bertanya dalam hati, apakah Elfathan malam ini akan meminta haknya sebagai suami? Lantas, siapkah Alanna malam ini menjalankan apa yang menjadi kewajibannya?
"Alanna."
Panggilan itu tiba-tiba saja menyadarkan Alanna dari lamunan. Sedikit mendongak, ia mendapati Elfathan sudah berdiri dekat di hadapannya.
"Sudah malam. Mending kamu istirahat dan langsung tidur."
"Tidur?" ulang Alanna.
Elfathan mengangguk. Membawa tangannya, pria itu meraih salah satu bantal yang ada di atas tempat tidur.
"Iya. Kamu bisa istirahat dengan nyenyak di atas kasur. Biar aku tidur di sofa aja."
Kedua belah alis mata Alanna langsung bertaut. Jadi, Elfathan tidak sedikit pun ingin tidur bersamanya?
"Kenapa kakak malah tidur di sofa?"
"Nggak apa-apa," sahut Elfathan lembut. "Aku tau pernikahan ini pasti buat kita berdua jadi canggung. Walaupun sebenarnya berhak, tapi jujur, aku belum siap sama sekali kalau harus saat ini juga sentuh kamu."
Pernyataan jujur Elfathan membuat Alanna terdiam. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain membiarkan Elfathan pergi menuju sofa untuk kemudian beristirahat di sana. Entah kejutan apalagi yang akan Alanna dapat nantinya setelah tinggal bersama pria yang sudah sah menjadi suaminya itu.
***
Setelah menyantap sarapan bersama, Elfathan pagi ini langsung membawa Alanna untuk pergi ke rumahnya. Dengan mengendarai Range Rover berwarna hitam, pria itu mengemudikan mobilnya sendiri menuju salah satu perumahan elit yang ada di bilangan Jakarta Selatan.
Menempuh perjalanan selama dua puluh menit, mobil yang mereka tumpangi akhirnya sampai. Terparkir sempurna di pelataran rumah mewah bergaya Minimalis yang didominasi warna putih dan cokelat tersebut.
"Kita sudah sampai," ucap Elfathan. Pria itu tanpa diminta langsung bantu membukakan seat belt yang melekat di tubuh Alanna. Lalu mempersilakan istri keduanya tersebut untuk segera turun.
Memasuki rumah, sudah ada Viona yang menyambut keduannya dengan girang. Wanita itu langsung menghambur pelukan ke arah Elfathan. Tanpa canggung mencium kedua pipi suaminya tersebut secara bergantian. Yang mana perlakuan mesra ini membuat Alanna yang juga berdiri di sana merasa tidak enak sendiri.
"Gimana malam pertamanya. Berhasil?" tanya Viona kepada Elfathan setelah mengurai pelukan.
"Vio ... aku baru sampai. Kamu udah nanya yang macam-macam."
Elfathan langsung mendesah malas. Ekspresi wajah pria itu langsung berubah sebal setelah mendengar pertanyaan sang istri yang menurutnya terlalu privasi.
"Ya maaf. Aku pengen tau aja, gimana kalian semalam. Kamu jangan marah. Nanti cepat tua."
Elfathan diam saja. Malas menanggapi, pria itu memilih berlalu untuk segera pergi menuju lantai dua.
Sementara Viona yang sadar akan kehadiran Alanna langsung beralih pada sahabatnya. Mengulas senyum, ia lantas meraih pergelangan tangan Alanna, lalu mengajak wanita itu untuk segera melangkah pergi menuju lantai dua. Ada sesuatu yang penting ingin ia tunjukkan saat itu juga.
"Ayo ikut aku. Kamu harus lihat ini."
"Lihat apa?"
Viona terus menarik pergelangan tangan Alanna. Sampai tak berapa lama, keduanya sampai di depan pintu kamar yang letaknya tak jauh dari balkon.
"Ini. Udah aku siapkan dari jauh-jauh hari."
"Maksud kamu?" tanya Alanna hingung.
Viona tidak langsung menjawab. Ia lebih memilih untuk membuka pintu kamar, lalu mengajak Alanna dengan segera untuk masuk ke sana.
"Ini kamar kamu. Udah aku siapkan dari beberapa waktu yang lalu."
Alanna detik itu juga mengedarkan pandangan. Melempar tatapan memindai ke seluruh sudut ruangan yang didominasi warna pastel tersebut.
Bagus dan mewah.
Kesan itu yang pertama kali Alanna tangkap. Ia bisa melihat bagaimana kamar yang Viona sediakan dilengkapi kasur dengan ukuran super kingsize. Ada tv plasma berukuran 44 inch. Meja rias dengan model begitu estetik. Belum lagi walk in closey yang terdiri lemari pakaian yang sepertinya sudah terisi dan entah di isi apa saja oleh Viona.
"Ini nggak berlebihan?" tanya Alanna bingung.
"Nggak, ini semua emang khusus aku siapkan supaya kamu nyaman tinggal dan tidur di sini, Lana. Aku mau, kamarmu sama seperti kamar yang aku tempati. Dan, ya, kalau kamu butuh sesuatu, aku ada di sebelah. Kamar kita tepat bersebelahan."
Alanna mengangguk. Setuju saja dengan apa yang sudah Viona siapkan dan berikan kepadanya. Mulai sekarang, ia harus membiasakan serta menyeusaikan diri untuk tinggal di rumah barunya tersebut.
"Sekarang, kamu istirahat aja dulu. Kalau perlu apa-apa, bisa panggil asisten rumah tangga yang ada. Ingat, Lana. Anggap aja rumah sendiri. Karena sekarang statusmu istri Elfathan, kamu punya kedudukan yang sama di sini. Jadi, nggak perlu sungkan apalagi merasa nggak enak. Lagi pula, semua pekerja sudah tau siapa dan statusmu."
Setelah membiarkan Alanna beristirahat di kamar barunya, Viona memilih untuk kembali ke kamar. Di sana ia mendapati sang suami tengah berbaring menonton tv.
"Kamu marah?" tanya Viona tiba-tiba. Ia merasa tidak enak saja melihat Elfathan yang sempat sebal karena ulahnya.
"Nggak," sahut Elfathan singkat.
"Beneran? Kamu nggak marah?"
"Memangnya kapan aku pernah marah sama kamu, Vio?"
Viona tersenyum. Merangkak naik ke atas tempat tidur, wanita itu menghampiri lalu ikut berbaring di sebelah sang suami. Menyandarkan kepalanya pada lengan Elfathan, lalu memeluk pria itu erat-erat.
"Kamu emang nggak pernah marah. Tapi pasti sering banget kesal sama kelakuan aku, kan?"
Elfathan mengangguk. Ia tidak sedikit pun membantah apa yang istrinya katakan. Selama ini, mau semenyebalkan apa pun Viona, Elfathan tidak pernah sekali pun marah. Walaupun sering dibuat kesal dengan tingkah laku Viona, ia lebih memilih untuk diam ketimbang beradu argumen.
Bukan karena takut istri atau tidak punya nyali. Elfathan memilih diam karena sengaja tidak ingin menyulut amarah yang mana nantinya malah berbuntut panjang dalam rumah tangganya.
"Kamu itu suka semena-mena, Vio. Nggak semua yang kamu mau harus aku lakukan dengan segera."
"Iya, aku tau. Aku minta maaf. Aku janji nggak akan maksa-maksa kamu lagi."
Nyatanya janji itu tidak sedikit pun terbukti. Malam harinya saat Elfathan baru saja pulang melaksanakan sholat isya di mesjid komplek perumahan mereka, Viona menghadang langkah pria. Ia dengan serta merta melarang sang suami untuk tidak masuk ke kamar mereka.
"Vio, sekarang apa lagi? Aku mau masuk terus ganti baju dan istirahat. Kamu tau sendiri, besok aku udah mulai kerja seperti biasa."
"Iya, aku tau," angguk Viona. "Aku hapal jadwal kamu. Aku cuma mau ingetin aja kalau kamu baru aja nikah sama Alanna. Itu artinya kamu harus tidur di kamar dia. Bukan kamar kita."
Elfathan menghela napas dalam-dalam. Hampir saja lupa kalau statusnya saat ini sudah memiliki dua istri yang harus dilayani, ditemani, serta diperhatikan secara adil dan bergantian.
"Tapi semalam bukannya aku udah tidur bareng Alanna?"
"Ya peraturannya tiga hari sama Alanna, tiga hari sama aku, El."
"Terus satu harinya gimana? Bukannya jumlah hari ada tujuh?"
"Iya, satu harinya itu bonus. Kamu bebas mau pilih tidur sama siapa."
"Jadi, malam ini aku harus tidur sama Alanna lagi?"
Viona mengangguk berulang kali. Keputusannya sudah bulat. Sudah tidak bisa lagi diganggu gugat. Tapi begitu melihat wajah Elfathan yang tampak malas-malasan, Viona kembali mendekat. Memeluk singkat, kemudian mengalungkan kedua tangannya pada tengkuk leher milik Elfathan.
"Jangan cemberut gitu mukanya, El. Kasian Alanna kalau liat kamu kayak nggak ikhlas gini.
"Bukan nggak ikhlas, Vio," bantah Elfathan.
"Terus? Kenapa kamu cemberut?"
"Ya kamu, suka buat keputusan tanpa diskusi terlebih dahulu."
"Apalagi yang mesti didiskusikan? Kamu mau ralat soal jadwal tidur? Memangnya kamu punya jadwal yang lebih adil dari yang aku sebutian sebelumnya?"
Elfathan diam sejenak. Kembali berpikir sekaligus menimbang, apakah ada pilihan lain yang lebih adih dari apa yang Viona susun sebelumnya. Dan ternyata, tidak ada cara lebih bagus ketimbang apa yang istrinya itu sodorkan.
"Sepertinya emang nggak ada."
"Nah ya udah. Apa susahnya tinggal dijalani, El."
"Tapi, Vio ----"
Ucapan Elfathan langsung terhenti kala Viona tanpa terduga malah menciumnya. Melenyapkan seluruh kalimat protes yang tadinya hendak pria ungkapkan ke dalam satu ciuman dalam yang cukup lama.
"Jangan banyak protes, El. Ingat, Alanna itu statusnya istri kamu," bisik Viona setelah mengurai ciumannya. "Sekarang, cepat masuk kamar. Aku yakin dia pasti lagi nunggu kamu."
Seperti biasa, tidak ada yang bisa Elfathan lakukan selain menurut. Sebelum benar-benar menghampiri Alanna di kamarnya, sekali lagi Viona mencium kemudian memeluk Elfathan cukup lama. Dan ternyata perbuatannya ini dilihat oleh Alanna yang saat itu tanpa sengaja keluar dari kamarnya.