8. Hari Pernikahan

2221 Words
Elfathan menarik napasnya berulang kali. Mengenakan pakaian pengantin yang didominasi warna putih, pria itu terlihat begitu tampan malam ini. Sembari duduk menunggu kedatangan penghulu, Ezra Natta Assegaf yang merupakan sepupu dekat Elfathan tampak sesekali mengajak Elfathan berbincang. Sengaja menggoda, agar pria berumur 34 tahun tersebut tidak gugup melewati satu per satu gelaran prosesi pernikahan yang dilangsungkan malam ini. "Gimana perasaanmu, El?" bisik Ezra yang duduk tepat di samping Elfathan. "Kamu tanya perasaanku gimana? Menurutmu sendiri gimana?" Elfathan bertanya balik. Sambil melipat kedua tangan di depan dadaa, pandangan mata pria itu tampak lurus ke depan. Berbeda jauh dari Ezra yang sedari tadi sibuk menoleh kesana kemari. "Kalau mau mundur, masih ada waktu, El. Atau kamu mau aku yang gantiin posisimu? Itung-itung melepas gelar jomlo yang udah setahun aku sandang," goda Ezra. Sengaja sekali mengganggu Elfathan demi mencairkan suasana. Walaupun terlihat tenang, Ezra yakin kalau Elfathan pasti tengah merasa gugup luar biasa saat ini. "Kalau bisa diwakilkan, mungkin aku minta kamu aja yang wakilkan." Ezra tertawa pelan. Mencondongkan wajahnya, pria itu kembali berbisik. "Ya udah, sini aku gantiin. Dengan senang hati dan ikhlas lahir batin, El. Lagian, kamu jadi sepupu serakah banget." "Serakah gimana?" Sebelah alis Elfathan langsung terangkat tinggi. Ada nada tidak terima terselip dalam pertanyaan yang ia lontarkan. "Ya itu, nikah sampai dua kali. Mana cantik-cantik semua istri pertama dan keduanya. Pantas aja populasi cowok jomlo makin bertambah di muka bumi ini. Wong cewek-ceweknya kamu borong semua." Elfathan hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Ia tidak sedikit pun tersinggung dengan candaan yang Ezra lontarkan. Lagi pula, yang sepupunya itu katakan ada benarnya. Kalau boleh berkata jujur, calon istri keduanya yaitu Alanna memang tak kalah cantik. Kalau dijabarkan, Alanna itu memiliki postur tubuh tinggi semampai, berkulit putih bersih, hidung yang mancung, bahkan berwajah tirus seperti boneka. Ah, tapi hampir semua wanita keturunan Arab memang berparas cantik, kan? "Ya gimana ya ngomongnya. Itu namanya rezeki, Za. Sesuai amal dan ibadah masing-masing umat. Mungkin, karena amalanku banyak. Jadi, bisa gampang dapat istri yang cantik rupawan," balas Elfathan, menanggapi candaan yang sedari tadi Ezra lempar kepadanya. "Jadi, kamu anggap aku kurang ibadah? Makanya sampai detik ini belum dapat pasangan?" "Bisa jadi." Ezra langsung mendelik tidak terima. Seenaknya saja Elfathan menuduh dirinya kurang ibadah. Namun, belum sempat lagi memberi balasan, penghulu yang ditunggu terlihat datang. Gegas Ezra bangkit dari duduknya. Berpindah posisi lalu duduk di kursi yang disediakan khusus untuk para saksi pernikahan. "Gimana Pak Elfathan, apa sudah siap menjalani prosesi ijab kabul?" tanya salah satu petugas yabg datang mendampingi penghulu. "Insya Allah saya siap," sahut Elfathan dengan lantang dan yakin. "Kalau begitu kita mulai sekarang." Sementara Elfathan bersiap diri, tamu undangan yang terdiri dari keluarga inti kedua belah pihak pengantin langsung fokus memerhatikan. Menyimak dengan khidmat satu per satu proses akad nikah yang sedang berlangsung. Kalau dipernikahan Azzam dan Rayhan yang mendapat tugas untuk melantunkan ayat-ayat suci Alquran adalah Ashraf. Maka, di pembuka acara pernikahan kali ini, giliran Rayhan yang bertugas untuk membacakan beberapa ayat suci Alquran. Ketika selesai, Penghulu langsung membaca doa. Lantas setelahnya menuntun Elfathan untuk menjabat tangan Razieq Alqadrie, lalu memerintahkan pria itu untuk mengucap ijab kabul. "Qabiltu nikahaha wa tazwijaha Alanna Aisha Alqadrie binti Ahmed Ibrahim Alqadrie alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufiq. Saya terima nikah dan kawinnya Alanna Aisha Alqadrie binti Ahmed Ibrahim Alqadrie dengan mahar yang telah disebutkan, dan aku rela dengan hal itu. Dan semoga Allah selalu memberikan anugerah Dalam satu tarikan napas, Elfathan mengucap ijab kabul dengan lantang dan tanpa pengulangan. Detik kemudian, penghulu menatap satu per satu saksi pernikahan yang ada di sana sembari bertanya kepada mereka semua. "Bagaimana para saksi, apakah sah?" "SAH!" semua berseru bersamaan. "Alhamdulilah Barakallah." Elfathan detik itu juga langsung mengembuskan napas panjang yang penuh akan kelegaan. Senyum tipis langsung terukir di wajah tampan milik pria itu. Berulang kali dirinya merapalkan kalimat syukur alhamdulilah karena proses utama menuju halal sudah terlewati tanpa kendala sedikit pun. Sementara itu, di salah satu ruangan, Alanna nampak harap-harap cemas memerhatikan bagaimana Elfathan yang tengah mengucap ijab kabul. Begitu dinyatakan sah, ia langsung dituntun untuk segera datang menghampiri kemudian duduk bersanding tepat di sebelah Elfathan. Malu bercampur gugup adalah perasaan yang tengah Alanna rasakan. Setelah bertukar cincin dan bersalaman, ia sempat terkejut kala Elfathan memajukan tubuhnya. Pria itu lantas membawa tangannya demi menyentuh ubun-ubun Alanna sembari membacakan doa dengan khusyuk. "Allahumma inni as’aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa ‘alaih. Wa a’udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltaha ‘alaih. Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu kebaikan dirinya dan kebaikan yang Engkau tentukan atas dirinya. Dan Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan kejelekan yang Engkau tetapkan atas dirinya." Tepat setelah doa itu selesai diucap, tanpa canggung Elfathan menurunkan wajahnya. Detik kemudian langsung mendaratkan ciuman di kening wanita yang baru saja resmi menjadi istrinya tersebut. Tidak usah ditanyakan bagaimana perasaan serta kabar jantung Alanna saat itu. Tentu jawabannya tidak baik-baik saja. Bagaimana tidak? Untuk pertama kalinya Alanna dan Elfathan bersentuhan fisik. Hal ini tentu saja membuat wajah wanita berdarah Arab tersebut langsung merona merah karena merasa malu dan sangat canggung. Setelah akad serta prosesi sungkeman selesai, hanya butuh jeda satu jam kemudian acara resepsi pernikahan digelar. Tamu undangan mulai berdatangan memenuhi ballroom Hotel Mulia, tempat diadakannya acara. Walaupun digelar secara private dan terbatas hanya keluarga besar dan beberapa rekan dekat, tetap saja acara pernikahan Elfathan dan Alanna malam ini masih terbilang meriah dan mewah. Masing-masing tamu undangan bahkan tidak hentinya bergantian memberi ucapan selamat. Berharap pernikahan kedua insan tersebut bisa langgeng hingga akhir hayat nanti. *** "Alanna ... Alhamdulilah, akhirnya kamu sah juga jadi istrinya Elfathan. Semua doa terbaik, aku panjatkan untukmu, untuk suami, dan keluarga kita semua. Semoga dilancarkan segala urusan. Di kemudian hari, kalau kamu butuh sesuatu, jangan pernah sungkan sekali pun untuk minta pertolongan sama aku." Setelah melalui serangkaian prosesi wajib dan sudah dinyatakan sah, kini tiba saat para sanak saudara serta keluarga besar memberikan ucapan selamat kepada kedua mempelai pengantin. Entah sebenarnya Alanna dan Elfathan merasa bahagia atau tidak atas pernikahan mereka. Tapi yang pasti, kalau ditanya siapa yang paling berbahagia, jawabnya tentu saja Viona. Senyum sumringah tidak sedikit pun pudar di wajah cantik wanita itu. Semua orang, bisa melihat bagaimana senang dan antusiasnya istri pertama Elfathan tersebut menyambut anggota baru di dalam rumah tangannya. "Terima kasih, Vio atas doanya," sahut Alanna dengan singkat. "Iya, Lana. Aku nggak sabar ngajak kamu pulang ke rumah kita. Pokoknya, ada sesuatu yang mau aku tunjukin segera sama kamu." Tak berselang lama setelah Viona turun dari pelaminan, giliran keluarga besar Alanna yang memberikan ucapan selamat. Dimulai dari pasangan Ashraf dan Chava. Disusul Azzam dan Alissa. Kemudian diakhiri dengan Alinna dan Rayhan. "Selamat, Kak. Aku doain pernikahannya sakinnah mawaddah warrahmah. Tahan lama, sampai kakek nenek dan hanya maut yang memisahkan," doa Alinna ketika berada di atas pelaminan. Ia mengucapkannya dengan tulus seraya memeluk erat tubuh saudari kembarnya. "Makasih banyak doanya, Na." Alinna lantas beralih kepada Elfathan. Memandang tajam lalu tersenyum penuh arti. "Selamat atas pernikahannya, Kak. Aku harap kakak bisa menjadi imam yang adil serta mampu membahagiakan Alanna." Ucapan Alinna tentu saja tidak berhenti di situ. Detik kemudian, ia mencondongkan sedikit tubuhnya mendekati Elfathan. Mengikis jarak di antara keduanya, lalu tanpa canggung berbisik dengan pelan. "Kalau kakak emang nggak cinta, tolong jangan disakiti. Kembalikan saja Alanna ke rumah Umi secara baik-baik. Seujung kuku aja, berani nyakitin Alanna, kakak bakal berhadapan sama aku." "Na ... " tegur Rayhan dan Alanna bersamaan. "Tenang. Aku cuma ngingetin aja, kok. Biar Kak Elfathan nggak lupa," jawabnya santai kemudian berlalu begitu saja. Sedang Elfathan tidak sedikit pun tersinggung. Pria itu hanya diam memperhatikan Alinna dan Rayhan sampai keduanya turun dari pelaminan. Tentu saja perbuatan Alinna ini membuat Alanna tidak nyaman. Ia langsung menoleh. Memastikan kalau Elfathan tidak tersinggung dengan apa yang baru saja saudarinya katakan. "Maafin Alinna. Aku harap kakak nggak tersinggung dengan ucapannya." Elfathan mengangguk. Dengan wajah yang tenang, pria itu menyahut pelan. "Nggak apa-apa. Santai aja. Aku bisa maklum dengan apa yang baru aja Alinna ungkapkan. Jadi, kamu nggak perlu merasa nggak enak sama aku." Alanna mengangguk saja. Lantas kembali fokus menyambut tamu yang silih berganti memberikan ucapan selamat. Sementara di kursi tamu, ada Alinna yang tampak duduk sendiri menunggu Rayhan yang sedang berbincang dengan Ashraf. Beberapa menit terlewat begitu saja, sampai tak berapa lama, datang sosok Alfatih yang kemudian langsung menegur Alinna. "Alinna." Mendengar namanya dipanggil, Alinna menoleh. Mendapati sosok familiar yang ternyata menegurnya, detik itu juga Alinna langsung melempar senyum kemudian balas menjawab. "Kak Alfatih. Senang banget bisa ketemu di sini." "Iya, kebetulan aku nggak ada jadwal operasi dan jaga di rumah sakit. Jadi, bisa menyempatkan diri untuk datang. Kamu sendirian aja?" Alinna lantas menggelengkan kepala. "Nggak, kak. Aku datang bareng suami. Itu dia lagi ngobrol di ujung sana sama kak Ashraf," tunjuk Alinna ke arah pria yang berdiri tak jauh dari meja prasmanan. "Terus kamu udah makan?" tanya Alfatih kemudian. "Belum lapar, kak," geleng wanita itu. Perasaan mual yang ia rasakan memang membuatnya sangat tidak nyaman. "Beberapa hari ini perut aku rasanya nggak enak banget. Sesekali terasa kayak nyeri dan keram. Karena hal ini juga aku akhirnya ngerasa nggak nafsu makan gitu." "Ga nafsu makan? Kamu sakit? Atau dalam proses penyembuhan?" "Nggak, kok. Aku nggak lagi sakit. Tapi emang beberapa waktu belakangan ngerasa nggak enak aja kayak biasa." "Terus udah periksa ke dokter? Kalau belum, buruan ke dokter biar bisa antisipasi dari pada nebak-nebak nggak jelas. " Alinna mengangguk. Sama halnya seperti Alfatih, sebenarnya Rayhan sudah berkali-kali mengajaknya ke dokter untuk memastikan kondisi kesehatannya. "Iya, insya Allah besok aku emang mau ke rumah sakit buat periksa, kak. Lagian, aku juga sebenarnya takut kalau kenapa-kenapa. " Alfatih mengangguk paham setelah mendengar penjelasan wanita di depannya. Detik kemudian, pria itu menyodorkan kue yang sedari tadi memang ia bawa. "Ya udah, dari pada masuk angin, coba makan kue aja. Kebetulan aku bawa pie buah kesukaan kamu, tuh," tawar pria itu kemudian. Mengenal Alinna sejak masih kecil, tentu saja membuat Alfatih tau apa makanan kesukaan dari bungsu keluarga Alqadrie tersebut. Bukan hanya itu, ia juga tau apa yang tidak disukai Alinna, Alanna, serta Chava. "Makasih, Kak," balas Alinna seraya menyambar kue yang Alfatih sodorkan lalu pelan-pelan memakannya. "Kamu kenapa? Kayak kusut gitu?" tanya Alfatih penasaran. Dari ekspresi yang Alinna tunjukkan, ia yakin wanita itu tengah kesal sekarang. Sementara Alinna awalnya hanya diam. Memilih untuk menikmati kue di tangannya. Setelah habis, barulah ia bersuara lagi. "Aku ngerasa nggak sreg aja sama pernikahan Alanna, Kak. Aku takut kalau ---" "Elfathan mempermainkan Alanna?" tebak Alfatih. "Kamu takut dia nggak bahagia dengan pernikahannya? Begitu maksudmu?" Alinna langsung mengangguk. Alfatih berbicara seolah bisa membaca apa yang terlintas di pikiran Alinna. "Aku takut Alanna cuma dimanfaatkan aja, kak." "Tapi, setauku, Elfathan itu orangnya baik, Na. Lemah lembut, nggak suka kasar, dan yang terpenting dia tau soal agama. Insya Allah dia bisa jadi imam yang baik buat Alanna," jelas Alfatih. Pria itu berusaha untuk menenangkan kegundahan hati Alinna. "Dari pada nikah sama Elfathan, kenapa Alanna nggak nikah sama kak Alfatih aja, sih," selorohnya tanpa dosa. "Padahal, dulu Alanna itu juga naksir banget sama kakak, loh." Alfatih terkesiap. Sudah bertahun-tahun mengenal keluarga Alqadrie, baru ini ia tahu soal Alanna yang ternyata menyukai dirinya. "Ah, yang bener?" "Sumpah demi Allah, Kak," sahut Alinna meyakinkan. "Alanna dari dulu suka sama Kakak. Malah, bisa dikatakan kalau kakak itu cinta pertamanya dia. Orang seumur hidup cowok yang dia suka cuma dua." Kedua belah alis mata Alfatih nyaris bertaut. Tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya, pria itu memberanikan diri untuk kembali bertanya. "Memang siapa aja dua cowok yang Alanna suka? " "Kakak yakin pengen tau? " lirik Alinna. "Iya, Na. Kamu kalau cerita jangan setengah-setengah. Bikin penasaran aja. " Alinna tersenyum lucu. Wanita itu kemudian menjawab apa yang Alfatih tanyakan. "Pertama, jelas Kak Alfatih orangnya. Kalau yang ke dua, tuh orangnya yang sekarang jadi suaminya Alanna." "Alinna, nggak usah ngarang. Becanda kamu nggak lucu, ah." "Sumpah, Kak," tegas Alinna sekali lagi. "Dulu Alanna itu naksir trus suka banget sama kakak. Tapi karena kak Fatih sukanya sama kak Chava, Alanna akhirnya mundur." Wanita itu menghela napas sejenak kemudian lanjut bercerita lagi. "Kasian banget jadi Alanna, Kak. Semua cowok yang dia taksir, malah sukanya sama saudara atau sahabatnya sendiri. Itung-itung, udah dua kali dia ngalah." Alfatih terdiam mendengar kenyataan yang satu ini. Ia benar-benar tidak tahu kalau adik dari mantan kekasihnya ternyata turut menaruh hati pada dirinya. "Etapi by the way," lanjut Alinna. "Dokter Elfathan kerja di rumah sakit yang sama dengan kak Alfatih, kan?" Alfatih mengangguk. "Iya, dia dokter spesialis saraf di rumah sakit Medika." "Kalau gitu, aku titip kakak untuk awasin Elfathan, ya. Sekali aja dia sakitin kak Alanna, tolong bantu aku buat pisahin mereka." "Tapi, Na ---" "Sayang .... " Belum sempat lagi Alfatih menyahut, ada Rayhan yang tiba-tiba hadir dan langsung memanggil Alinna. "Kita makan dulu. Nanti kamu masuk angin udah jam segini belum makan," perintah pria itu. "Iya, Kak. Sebentar." Pandangan Alinna kemudian beralih kembali pada Alfatih. "Tolong ya, Kak. Aku serius sama permintaanku yang tadi." Alfatih mengangguk saja. Tidak menyahut. Membiarkan Rayhan membawa Alinna pergi menjauh dari dirinya. Lalu tak berapa lama, ia kembali terdiam. Kepikiran dengan apa yang baru saja Alinna katakan padanya. "Jadi selama ini Alanna suka sama aku?" Alfatih menarik napas panjang hingga refleks matanya memejam. Entah kenapa, hatinya jadi terasa sesak sekarang. Apakah ini sudah sangat terlambat untuk menyesali apa yang terjadi? *** Yang mau lihat visual dalam novel ini bisa add fbe atau ige aku @novafhe
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD