7. Klarifikasi

1609 Words
"El, aku perlu ngomong penting sama kamu." Selang beberapa menit membaca undangan yang sebelumnya Alanna berikan, Alfatih memilih bangkit dari tempat duduknya. Keluar ruangan, pria itu langsung melangkah besar menuju tempat di mana Elfathan berada. Tanpa mengucap salam apalagi dipersilakan terlebih dahulu, Alfatih langsung menyelonong masuk. Menarik kursi, kemudian duduk tepat di depan Elfathan yang tengah sibuk menulis laporan medis milik beberapa pasien yang baru saja ditanganinya. "Kamu mau ngomong apa, Al?" sahut Elfathan tanpa menoleh. Fokus pria itu masih tertuju pada tumpukan kertas yang ada di depannya. "Aku mau bahas soal ini." Alfatih lantas menyodorkan selembar undangan pernikahan yang dilapis pita berwarna gold tersebut kepada rekannya. Tentu saja hal ini refleks membuat Elfathan langsung melirik kemudian mendongak. Sempat terlintas satu pertanyaan dalam benak pria yang berprofesi sebagai dokter syaraf tersebut. Ia bingung dari mana temannya itu bisa mendapatkan undangan pernikahannya. Padahal, dirinya sendiri belum membagikan secara khusus kepada teman-teman yang menurutnya perlu diundang untuk hadir. Ya, karena ini pernikahan kedua, Elfathan memang tidak serta merta membagikan berita bahagia tersebut ke seluruh teman atau khalayak luas. Ia hanya tidak ingin menimbulkan gosip-gosip miring atau persepsi liar dari orang-orang yang mengenalnya. "Mau bahas soal undangan pernikahanku? Memangnya kenapa?" "Bukan soal undangannya, El," geleng Alfatih. "Ya terus? Kamu mau bahas bagian mananya?" "Soal calon pengantinnya. Jadi, wanita yang mau kamu nikahi dan jadikan istri kedua itu Alanna Alqadrie? Adik iparnya Ashraf?" Elfathan tampak menarik napas panjang hingga kedua bahunya terangkat dramatis. Mengembuskan pelan-pelan, pria itu kemudian mengangguk lemah. Walaupun tidak menunjukkan secara gamblang apa yang tengah pria itu rasakan, Alfatih seolah dapat membaca setitik beban yang sepertinya menghantui diri Elfathan. "Iya, Al. Calon istriku memang adik iparnya Ashraf. Alanna itu adik tingkat sekaligus sahabat Viona waktu kuliah dulu." "Ya ampun, kenapa dunia sempit banget, sih? Tapi kenapa juga harus Alanna, El? Memang nggak ada cewek lain yang bisa kamu jadikan istri kedua?" Ada nada tidak rela terdengar jelas dari kalimat yang terlontar dari bibir Alfatih. Elfathan sendiri bisa merasakan hal itu dengan sangat jelas. "Memangnya kenapa kalau Alanna yang jadi istri keduaku? Kamu punya hubungan khusus sama dia?" Alfatih menggeleng. Kalau hubungan secara khusus dengan Alanna ia akui memang tidak ada. Hanya kepada Chava dirinya pernah menjalin hubungan. Itu pun tidak berlangsung lama. "Syok aja dengarnya. Selama ini aku dekat banget sama Alanna dan anak-anak keturunan Alqadrie lainnya. Begitu tau kalau salah satu dari mereka jadi calon istri keduamu, ya aku nggak habis pikir aja," aku Alfatih terang-terangan. Selama ini, Alfatih memanglah sosok yang sangat rajin menjadi pendengar setia dari segala macam curhatan yang Elfathan bagi kepadanya. Beberapa waktu terakhir, rekan sejawatnya itu memang tengah dipusingkan soal permintaan untuk kembali menikah oleh istrinya. Alfatih awalnya tidak terlalu ambil pusing. Tapi, setelah hari ini tahu kalau wanita yang dijadikan calon istri adalah wanita yang begitu ia kenal, entah kenapa seperti ada perasaan mengganjal dan tidak rela tiba-tiba saja hinggap di benaknya. Apalagi ia tahu kalau Elfathan tidak sepenuhnya menginginkan pernikahan ini terjadi. "Kamu pikir sampai detik ini aku nyangka kalau harus menikah lagi? Dari pada milih calon istri, mending aku milih nggak usah aja nikah lagi, Al," curhat Elfathan. Suara pria itu kentara terdengar frustrasi. "Emang harus banget nikah lagi? Padahal, punya anak nggak melulu harus nikah lagi, kan?" Elfathan mengangguk. Ia setuju dengan ucapan Alfatih. Tapi tak berapa lama terlihat pria itu tersenyum dengan hambar. "Seperti yang aku ceritakan sebelum-sebelumnya, Al. Andai Viona mau ngerti, mungkin nggak perlu sampai segininya. Sudah nggak terhitung aku kasih pengertian. Sudah nggak terhitung juga aku kasih penegasan. Tapi balik lagi, dia selalu kasih pertanyaan yang sama." "Pertanyaan macam apa?" tanya Alfatih ingin tahu. "Sebutkan cara lain yang menurutmu lebih masuk akal selain menikah lagi untuk bisa mendapatkan keturunan secara langsung? Jelas adopsi bukan merupakan pilihan." Alfatih terdiam sejenak. Gara-gara mendengar pertanyaan Viona yang disampaikan oleh Elfathan, ia ikut-ikutan berpikir keras cara apa yang bisa dilakukan pasangan suami istri untuk mendapatkan keturunan tanpa harus menikah lagi. "Kalian bisa coba bayi tabung, kan?" Elfathan detik itu juga langsung menggeleng. "Gimana caranya ikut program bayi tabung kalau rahim Viona sendiri udah diangkat, Al?" "Kalau sewa rahim, gimana? Cara itu juga populer di negara berkembang." "Sejak kapan di Islam sewa rahim diperbolehkan?" sergah Elfathan. "Ya terus, apa bedanya dengan kelakuan Viona? Dia maksa kamu nikah lagi dengan tujuan cuma mau punya anak tanpa memikirkan perasaan kamu dan Alanna. Secara nggak langsung, apa yang dia perbuat udah mirip sama sewa rahim tapi dengan cara yang lebih syar'i." Seolah kehabisan kata-kata, Elfathan langsung terdiam. Sindiran Alfatih yang begitu menohok terasa sekali menusuk hingga ke ulu hatinya. Mau membantah juga percuma. Toh, yang rekannya itu katakan memang benar adanya. Selama ini, tujuan utama Viona memaksa untuk kembali menikah agar dirinya bisa segera memiliki keturunan. Sedari awal jauh sebelum Alanna hadir, Elfathan sudah berulang kali menolak keras setiap Viona menyampaikan keinginannya tersebut. Namun, sekali lagi, segala cara serta argumen yang Elfathan kemukakan, tidak sedikit pun mempengaruhi atau menggoyahkan keputusan Viona. Ketimbang harus bercerai, tentu ia lebih memilih untuk menuruti permintaan istrinya tersebut. Belum lagi ada alasan lain yang membuat Elfathan tidak bisa berkutik. Membuatnya mau tidak mau menuruti apa pun itu yang Viona minta kepadanya. "Tapi ini udah terlanjur, Al. Mana mungkin bisa mundur apalagi dibatalkan. Aku udah lamar Alanna. Kedua keluarga kami sudah saling setuju bahkan pernikahan akan berlangsung dalam waktu dekat. Kamu sendiri tau gimana frustrasinya aku selama ini." Alfatih turut mendesah panjang. Sepertinya sudah tidak ada cara lagi selain pasrah merelakan Elfathan menikahi Alanna. Toh, di sini posisi Alfatih juga bukan siapa-siapa yang berhak melarang atau mencegah partnernya itu untuk membatalkan rencana pernikahan yang sudah tersusun rapi. "Tapi kalau boleh tau, kamu sendiri udah kenal sama Alanna sebelumnya?" Elfathan mengangguk. "Sebelum ketemu Viona, aku memang lebih dulu kenal dan dekat sama Alanna. Bahkan dia yang mengenalkanku dengan Viona." "Itu artinya kamu dan Alanna pada dasarnya sudah saling kenal satu sama lain dan punya hubungan yang bisa dikatakan dekat dalam artian sebagai teman?" "Mungkin bisa di bilang seperti itu." "Terus perasaan kamu sendiri ke dia seperti apa?" Diberondong dengan pertanyaan yang bertubi-tubi, Elfathan menarik wajahnya. Menautkan kedua belah alis, pria itu malah balik bertanya. "Maksud kamu?" "Ini kamu mau nikahin Alanna, sebenarnya kamu punya perasaan nggak sama dia walaupun sedikit? Aku nggak bisa bayangin aja kamu nikahin anak orang tanpa memiliki perasaan sama sekali." "Ya nggak usah dibayangin, Al. Aku aja pusing kalau kamu suruh bayangin pernikahan aku nantinya bakal gimana." "Terus, apa kamu mikir soal pandangan orang nantinya?" "Maksud kamu pandangan orang soal status Alanna?" tanya Elfathan memastikan arah pertanyaan pria di depannya. "Iya, kurang lebih begitu, " angguk Alfatih. Sebelumnya aku minta maaf bukan bermaksud untuk ikut campur dengan urusan rumah tangga atau pribadimu. Tapi, kali ini kamu emang harus pikirkan pandangan orang terhadap Alanna yang mau dijadikan istri kedua. Takut aja dia malah dianggap orang ketiga, atau perusak hubungan rumah tanggamu dengan Viona. Kalau itu sampai terjadi, kasihan Alanna, El. Itu jelas jadi beban untuk dia di kemudian hari." Elfathan mengangguk. Sebenarnya ia sudah memikirkan hal ini jauh sebelum Alfatih bertanya kepadanya. Karena hal ini lah Elfathan memutuskan untuk tidak mengundang banyak orang hadir ke acara pernikahannya yang kedua. "Kamu doakan aja aku bisa menghandle ini semua, Al. Aku nggak berani berandai-andai. Nggak berani juga banyak janji atau bicara. Yang pasti, aku berusaha melakukan yang terbaik dan yang aku bisa semaksimal mungkin." Alfatih menganggukkan kepala. Dalam hati tentu berharap di kemudian hari tidak terjadi hal-hal *** "Nanti, kalau udah resmi menikah, kamu harus mesra gini juga ya ke Alanna." Elfathan tersenyum hambar. Saat ini ia tengah berbaring dalam posisi memeluk Viona. Hampir 60 menit waktu Elfathan habiskan untuk mendengarkan istrinya itu bercerita. Ada banyak soal yang Viona bahas malam ini sebelum tidur. Dari persiapan pernikahan yang sudah mencapai 95% dan sekarang berganti dengan pembahasan soal berbagi ranjang dengan calon istri kedua Elfathan, yaitu Alanna. "Vio, emang kamu nggak sedikit pun cemburu kalau nantinya aku tidur sama Alanna?" Viona mendongak, wanita itu tersenyum kemudian menggeleng. "Kalau aku cemburu, buat apa aku repot-repot paksa kamu untuk nikah lagi, El?" "Yakin kamu nggak kenapa-kenapa kalau nantinya aku tidur sama Alanna dan melakukan ----" "Hal-hal layaknya yang suami istri lakukan?" potong Viona cepat. Masih terus tersenyum, wanita itu kemudian memberi tanggapan. "Tenang aja, aku nggak bakal cemburu atau gimana-gimana. Jadi, kamu nggak perlu merasa nggak enak segala macam. Cukup perlakukan aja Alanna seperti kamu memperlakukan aku." Elfathan kali ini berdecak. Entah terbuat dari apa hati istrinya itu. Bisa-bisanya dengan begitu enteng memberikan pernyataan seolah sedikit pun tidak ada beban. "Kamu emang aneh." "Aneh gimana?" "Di mana-mana, nggak ada istri yang rela di madu apalagi sampai suaminya menikah lagi. Lah kamu? Kenapa malah kegirangan liat aku nikah lagi." "Udahlah, nggak usah dipikirkan soal itu," kata Viona. "Yang pasti aku ikhlas lahir batin kamu nikah lagi. Itu sebabnya, aku minta kamu perlakukan Alanna seperti kamu biasanya memperlakukan aku." Detik itu juga Viona memutar posisi tubuhnya hingga berada di atas tubuh sang suami. Sambil tersenyum, wanita itu pelan-pelan menunduk. Detik selanjutnya mendaratkan kecupan-kecupan lembut di sepanjang wajah Elfathan. "Mata indah ini nantinya harus bisa juga memandang ke arah Alanna layaknya kamu memandangku selama ini," ucap wanita itu sembari mengecup kedua mata Elfathan secara bergantian. Terus turun lantas berhenti di kedua pipi, kemudian hidung, lalu berhenti di bibir. "Bibir ini juga nantinya bakal jadi milik Alanna. Aku harap, setelah menjadi suami Alanna, kamu juga sering muji dia. Rayu dia, ucapin dia dengan kata-kata sayang seperti apa yang biasa kamu lakukan padaku." Kemudian Viona mengecup, lalu memagut bibir Elfahan dengan lembut. Sementara Elfathan sendiri hanya diam saja. Tidak sedikit pun membalas apalagi menanggapi apa yang Viona katakan kepadanya. Pikirannya sibuk melayang-layang. Membayangkan apa yang akan terjadi setelah dirinya nanti benar-benar sudah resmi menjadi suami dari Alanna.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD