Bermuka Dua

1807 Words
Satu jam berlalu begitupun dengan dokter di depan sana yang telah menyudahi materinya. Benar kata Steven, vidio saat dokter itu tengah melakukan operasi diputar selama materi berlangsung. Itu artinya selama satu jam Erden di hadapkan pada darah. Hanya vidio memang, baunya saja tidak dapat tercium di penciumannya. Namun tetap saja, matanya masih bisa melihat dengan jelas bagaimana cairan kental itu menjadi daya tarik lebih saat dia menatap vidio tersebut. Mati-matian dia menahan hasratnya, taringnya bahkan hampir keluar tadi. Untung dia dan Steven duduk di bangku paling belakang, jadi tidak ada yang menyadari gelagat anehnya. "Kau keringat dingin." ucap seseorang padanya membuat Ervan menoleh. "Ambillah, untukmu." ucapnya lagi menyerahkan sebuah tissue. Erden tidak tau bagaimana cara gadis ini melihat bulir-bulir air di dahinya, Steven yang di dekatnya saja tidak melihatnya. "Terimakasih." ucap Erden singkat mengambil tissue dari sang gadis. Gadis itu tersenyum senang, terlihat semburat merah di pipinya, kentara sekali jika dia sedang tersipu malu. Steven heran, Erden berucap singkat dengan wajah datar saja reaksi gadis itu sudah seperti ini, bagaimana kabarnya kalau Erden tersenyum? Baiklah, Erden mulai bingung sekarang. Bukankah Erden sudah menerima tissue dan berterimakasih? Tapi kenapa gadis itu masih di sana dan tersenyum padanya? Sungguh, Erden tidak tau harus berbuat apa, dia tidak pernah menghadapi seorang gadis sebelum ini. Melihat tak ada pergerakan apa-apa, Erden kemudian bangkit. "Ehem. Ayo kita pergi." ucapnya pada Steven lalu berjalan lebih dulu mengabaikan gadis tadi yang masih setia menatap kepergiannya dengan senyuman. "Ah, i-itu__" gantian Steven yang tergagap sekarang. "Maafkan dia kalau tidak sopan. Aku permisi." ucapnya cepat dan langsung berlari mengejar Erden. "Aaaaa~ dia menerima tissue dariku! Senangnya~" ucapnya girang sambil melompat-lompat tidak jelas. "Hey diamlah! Kau berisik sekali!" teriak seseorang yang sepertinya sedang bermain game bersama teman-temannya. Sempat mendelik tak suka, namun kemudian kembali tersenyum gemas. "Yang penting aku bahagia. Aaaaa!" teriaknya lagi dan kini di balas teriakan kesal dari teman-teman sekelasnya yang masih berada di sana. Sedangkan di sepanjang koridor Steven terus saja menggoda Erden. Tatapan tajam Erden bahkan dianggap lelucon oleh manusia satu itu. Jadi Erden membiarkan saja Steven ingin berbicara apa. Sampai saat langkah Erden tiba-tiba terhenti barulah Steven berhenti berbicara. Erden berhenti dengan tatapannya menatap lurus sebuah objek di depan sana, mengikuti arah pandang Erden. Profesor Martin sedang berjalan menuju mereka sambil tersenyum seperti biasanya. "Prof." sapa Steven tersenyum membuat sang profesor ikut tersenyum. "Ah, saya lupa nama kamu." ucapnya. "Stevan, Prof." ucap Steven dan profesor mengangguk paham sambil menggumam nama Steven seperti mengingatnya. "Erden." panggil profesor tersenyum pada Erden yang masih menatapnya dengan tatapan tak terbaca. Sedikit rasa kesal timbul pada diri Steven. Dia sudah lama di sini dan sang profesor bahkan tak mengingat namanya, sedangkan Erden? Hah, Erden memang mudah di ingat, jadi tak apa, hanya seorang dosen bukan wanita yang dia suka. Jadi tidak masalah. "Ya, Prof." jawab Erden singkat dan padat. "Kau ada waktu? Bisa ikut bersamaku?" tanya Profesor Martin. Erden tak langsung menjawab, masih memikirkan untung ruginya dia ikut dengan profesor yang satu ini. Bukan apa-apa, profesor ini sudah masuk ke dalam daftar hitamnya, dia berbahaya, ayahnya saja dapat dibunuh oleh sang profesor. Melirik Steven yang masih berdiri di sana. Mereka berencana pulang bersama hari ini. Erden perlu meminta izin bukan? Erden masih punya sedikit sopan santun omong-omong. "Ah, tidak apa. Kau pergi saja, kebetulan teman-temanku juga ingin bertemu denganku." ucap Steven seakan mengerti tatapan Erden. Erden tau itu hanya sekedar formalitas agar sang profesor tidak merasa tidak enak hati. "Baiklah." ucapnya menatap Profesor Martin. "Mari." profesor memberi jalan dan melempar senyum pada Steven sebelum pergi. • • • • Sampai di suatu ruangan yang Erden tebak itu adalah ruangan pribadi Profesor Martin. Erden hanya mengikuti sambil terus menerka untuk apa dia di bawa ke sini. "Duduklah." sang profesor mempersilahkan dan lagi Erden hanya diam tapi tetap menuruti perintah yang diberikan padanya. Lagi, sebagai formalitas dan rasa hormat, Profesor Martin membuatkan minuman untuk Erden. "Kau tidak keberatan kita di sini? Saya hanya ingin mengobrol ringan denganmu." ucap Profesor Martin meletakkan secangkir kopi di depan Erden. "Tak masalah." jawab Erden singkat. Justru ini bagus. Dia bisa memulai rencananya dari sini bukan? "Jujur saja. Kau sedikit mirip dengan sahabat lama saya." ucap sang profesor memulai obrolan. Seketika Erden ingin tertawa kencang rasanya. Sahabat katanya? Sahabat mana yang dengan tega membunuh sahabatnya sendiri? Jangan sampai Erden membuat profesor ini menyusul ayah dan ibunya saat ini juga. "Benarkah? Apa wajah saya terlihat tua?" tanya Erden bergurau. Profesor Martin tertawa kecil mendengarnya, dan menggeleng kemudian. "Tidak, bukan begitu. Tapi kau benar-benar mirip dengannya. Itulah kenapa saya selalu ingin dekat denganmu. Setidaknya rasa rindu saya terobati saat melihatmu." ucapnya lirih. Mendecih, memaki, dan mengumpat untuk manusia di depannya ini adalah hal yang Erden lakukan, walaupun tidak terucap langsung dari mulutnya. Ayolah, dia semakin dibuat muak oleh manusia bermuka dua di depannya ini. "Ah, bagus kalau begitu. Setidaknya secara tidak langsung saya sudah membuat Anda senang." balas Erden dan Profesor Martin hanya mengangguk menyetujui. Banyak lagi yang mereka bicarakan. Lebih tepatnya Profesor Martin yang banyak berbicara di sini, sedangkan Erden hanya membalas seadanya sambil terus memaki dalam hati. Selain pandai menghilangkan nyawa, sang profesor juga lihai dalam berbohong. Semua yang dia ucapkan memang masuk akal. Bagi yang tidak tau kebenarannya maka akan dengan mudahnya percaya dan jatuh pada perangkapnya. But, come on, Erden knows all the truths. Jadi yang Erden lakukan hanya mengikuti kemana alur sang profesor. Dia ingin lihat sejauh mana manusia tua ini membual dan berbohong padanya. Drrtt! Drrtt! Ponsel sang profesor bergetar. Dapat Erden lihat ada panggilan telepon di sana. "Permisi sebentar, saya angkat telepon dulu." ucapnya dan Erden hanya mengangguk sebagai jawaban. Profesor Martin mengambil ponsel itu dan berdiri agak jauh dari Erden, membelakangi pemuda itu. Cukup lama, Erden mulai memperhatikan sang profesor, lebih tepatnya bagian lehernya. "Bagaimana kalau kukuku menancap di sana?" gumamnya bertanya pada dirinya sendiri. Erden mengangkat jari telunjuknya lalu kuku panjangnya dan runcing muncul. Erden menyeringai, berjalan mendekat kearah profesor yang masih tidak mengetahui situasi. Sama sekali tidak bisa merasakan kalau sebentar lagi maut akan menjemputnya. Ceklek! Profesor Martin berbalik mendengar pintu ruangannya di buka. Di pintu masuk ada seorang gadis yang menatapnya, juga menatap Erden yang masih dalam posisi awal. Duduk diam di sofa sana. Profesor Martin mengakhiri sambungannya dan berjalan ke arah gadis itu. "Kenapa dia ada di sini?" tanya gadis itu pada profesor, menunjuk keberadaan Erden. Erden mengerti. Awalnya dia juga bingung kenapa gadis ini masuk dengan begitu santainya ke dalam ruangan ini. Dia berdiri dan menghampiri mereka berdua. "Saya harus pergi, Prof. Saya ada janji lain." ucap Erden menatap mereka bergantian. "Ah, begitukah." Erden mengangguk singkat. "Saya permisi." Erden langsung berlalu dari sana tanpa menunggu jawaban dari sang profesor dan tanpa menatap gadis yang ada di sana. "Ck. Dia sama sekali tidak sopan. Aku tidak suka sikapnya itu." ucap gadis itu menatap kesal kepergian Erden. Sang profesor tersenyum dan mengusap surai sang gadis. "Kepribadiannya memang seperti itu. Dia anak yang sopan dan baik." ucapnya membenarkan. Gadis itu tidak memberikan tanggapan. Menurutnya tak ada kata sopan dalam diri Erden. "Sial! Kenapa gadis itu datang tiba-tiba!" geram Erden menggerutu sepanjang jalan. Padahal sebentar lagi dia sampai pada tujuannya. Benar-benar gadis yang menyebalkan. "Selamat hari ini belum tentu selamat lagi esok hari bukan?" gumamnya seakan memberi semangat pada dirinya sendiri. Erden menyeringai. "Kita lihat saja nanti." lanjutnya kemudian masuk ke dalam mobil mewahnya, mengendarainya menuju kediamannya. • • • • Seorang pemuda sedang menikmati langit malam di rooftop. Berbaring di lantai dengan kedua tangannya yang menjadi bantalan. Langit agak mendung saat ini, namun belum juga menumpahkan airnya. Seketika bayangan masa lalu singgah di ingatan membuatnya mau tak mau mengulas kembali kenangan itu. "Paman, ini apa?" tanya seorang anak kecil padanya. "Ini namanya tabung reaksi." jawab paman tersenyum lembut. "Yang ini?" anak itu menunjuk tabung yang lain. "Itu juga sama." "Kenapa bentuknya berbeda tapi namanya sama?" lagi anak itu bertanya. Pertanyaan yang cukup berbobot untuk anak umur lima tahun. Dan pria yang dipanggil paman itu tersenyum lembut sambil berjongkok, mensejajarkan diri dengan tinggi badan anak itu. "Sesuatu yang berbeda tidak harus memiliki nama yang berbeda pula." ucap paman. "Bentuknya berbeda karena kegunaannya juga berbeda." lanjutnya saat melihat raut bingung anak itu pada kalimatnya yang pertama. Kini anak laki-laki itu mengangguk paham. "Sayang." seorang wanita masuk dan tersenyum menatap anak kecil itu. "Ibu!" pekiknya senang langsung berhambur ke pelukan sang ibu. "Kau mengganggu Paman lagi?" tanya ibu menangkup wajah anaknya. Anak itu menggeleng. "Tidak. Aku hanya bertanya. Paman pintar, aku suka beryanya padanya." jawab si kecil membuat paman tertawa kecil. "Jadi Ayah tidak pintar?" seorang laki-laki dewasa muncul kemudian merangkul sang istri. "Ayah juga pintar. Tapi Paman tampan." jawabnya membuat sang ayah melotot kaget. "Hahaha, anak kecil ini sudah tau soal begituan ternyata." ucap paman. Sedangkan sang ayah sudah cemberut di sana membuat anak kecil itu tertawa. "Ini bawalah. Tunggu Paman di dalam ya. Kita belajar lagi setelah ini." ucap paman memberikan dua buah tabung reaksi pada anak kecil itu. "Baik, Paman." si kecil mengangguk patuh dan masuk ke dalam ruangan yang biasa di pakai oleh mereka untuk belajar. "Bagaimana dia?" tanya ayah pada paman. "Dia cepat belajar Tuan. Dia jenius sama sepertimu dan Tuan besar. Persis sekali. Dan dia anak yang baik dan lemah lembut seperti istrimu." jelas paman tersenyum. Suami istri itu tertawa pelan mendengar pujian yang ditujukan pada mereka. "Kau selalu memujiku berlebihan. Kau tau betul apa yang aku tanyakan, Jo." ucap sang suami. "Bagini, Tuan." ucap Jo lalu menghembuskan nafas panjang. Terlihat berat untuk mengatakannya. "Anak Tuan dan Nyonya adalah keturunan dari vampire murni. Banyak yang akan mengincarnya, dan itu adalah sebuah ancaman besar baginya." ucap Jo mulai menjelaskan. "Ramalan vampire terdahulu memang benar adanya. Keturunan vampire murni yang dapat bertahan hidup akan membawa kehancuran bagi bangsanya dan membawa keberuntungan bagi manusia. Itu akan segera terjadi, Tuan." lanjutnya menundukkan kepala. Sepasang suami istri itu hanya terdiam. Dia tau ini semua, dan kenyataannya adalah hanya anak mereka lah yang dapat lahir dengan selamat dan tumbuh dengan baik. Itu artinya, anak mereka adalah vampire murni yang di maksud. Sang istri lebih dulu tersadar dan menatap Jo. "Jo, aku, suamiku dan ayahku sudah mempertaruhkan nyawa untuk menjaganya, sampai saat ini. Jika suatu saat kami tidak bisa menjaganya lagi, bisakah kamu yang melanjutkannya?" ucap sang istri. "Istriku benar. Kami tidak tau bisa bertahan sampai kapan. Yang jelas, dia harus tetap tumbuh. Tolong, lindungi dia dimanapun dia berada. Aku mohon." sambung suaminya. Jo tampak berpikir, bukan untuk menolak tapi dia ragu. Benarkah dia bisa menjalankan tugas ini? Dia hanya takut gagal dan mengecewakan. "Aku akan melakukannya untuk Tuan dan Nyonya, aku berjanji. Kalian sudah banyak membantuku selama ini." jawab Jo akhirnya membuat suami istri itu tersenyum senang. "Terimakasih, Jo. Kami percaya padamu." ucap istrinya dan angguki oleh sang suami. "Aku sudah berjanji untuk melindungimu. Maka akan kutepati walau nyawaku menjadi taruhan nantinya." ucap pemuda itu masih menatap langit di atas sana. • • • •
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD