Hasil

1742 Words
Pagi-pagi sekali, pemuda dengan julukan penghisap darah itu sudah terbangun dari tidurnya. Bahkan matahari belum menampakkan diri di atas sana. Entahlah, dia hanya terbangun lalu tidak bisa tertidur lagi. Erden sama sekali tidak melakukan kegiatan apapun selain berdiri di depan jendela besar kamarnya, menatap ke langit. Terhitung sudah 20 menit lamanya. Ekspresi wajahnya tidak terbaca, entah apa yang pemuda itu pikirkan saat ini hingga melamun sebegitu dalamnya. Bahkan kehadiran Kaza pun dia tidak menyadarinya. Tak seperti biasanya, kadar kepekaan Erden itu kuat, dia saja bisa tau seseorang datang ke kamarnya walau saat dia tertidur. "Kau melamun?" Kaza bertanya berdiri tepat di samping Erden. Erden tidak terkejut sama sekali karena kehadiran Kaza. Dia hanya diam dan berdeham pelan sebagai jawaban. "Kau sedang memikirkan sesuatu?" tanya Kaza lagi. Menurutnya Erden tidak biasanya seperti ini. Apa terjadi sesuatu yang tidak dia ketahui? "Kurasa aku memikirkan ini setiap kali aku bangun tidur." jawabnya setelah cukup lama terdiam. Kaza hanya menatapnya, meminta penjelasan lebih tepatnya. "Matahari pagi." ucap Erden kemudian menolehkan kepalanya menatap Kaza. "Bagaimana rasanya?" lanjutnya bertanya. Kaza terdiam. Dia tau itu bukanlah pertanyaan dalam artian yang sesungguhnya. "Kau setiap hari merasakannya bukan?" Kaza benar-benar tidak harus menjawabnya. Erden kembali menatap ke arah jendela. Di sana, perlahan cahaya mulai muncul, itu tandanya matahari akan terbit. Erden tersenyum melihatnya. "Yang aku tau dari internet, matahari pagi itu hangat. Katanya lagi sangat bagus untuk daya tahan tubuh." ucapnya lagi kemudian terkekeh setelahnya. "Kau tau? Aku sempat mempercayai Tuhan. Dulu banyak manusia yang menceritakan tentang Tuhan di tempatku. Tapi mungkin sekarang tidak lagi." Kaza tetap diam, membiarkan Erden berucap sepuasnya. Kaza tau ada banyak hal yang ingin Erden keluarkan. Erden sedikit bergeser hingga tubuhnya terlindung oleh dinding saat sinar matahari itu merambat melalui celah tirai. "Lihat. Tuhan tidak adil padaku. Disaat orang-orang menganggap matahari adalah kehidupan, sedangkan aku kebalikannya." lanjutnya menatap lengan Kaza yang terkena cahaya matahari. Perlahan Erden mengulur tangannya hingga jari-jarinya terkena cahaya matahari. "Kau gila!" sentak Kaza menghentikannya. Erden hanya tersenyum tipis menatap dua jarinya yang mendapat luka bakar dari cahaya itu. Sampai sekarang dia tidak pernah tau kenapa cahaya matahari pagi sangat fatal baginya. "Kaza, kau tau? Ini menyakitkan. Sungguh." ucapnya lirih menatap Kaza dengan tatapan sendu. Tatapan yang bahkan tidak pernah Erden tunjukkan pada siapapun. Kaza terdiam setelahnya. Dia juga tidak bisa berbuat lebih. Dia memang tidak akan pernah mengerti dengan apa yang Erden rasakan dan alami, tapi setidaknya dia tau bagaimana tidak membuat keadaan semakin buruk. Perlahan Kaza melepas genggaman tangannya dari Erden. Dan Erden yang berlalu dari hadapan Kaza tanpa sepatah katapun. Meninggalkan Kaza yang menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Niatnya ingin memberikan hasil tes lab pada Erden. Tapi sepertinya dia akan menundanya. "Rasa sakit itu akan hilang nantinya Erden. Percayalah." gumam Kaza sebelum beranjak pergi dari kamar Erden. • • • • Matahari sudah beranjak naik, rasa panas mulai terasa di luar sana. Tapi pemuda bermanik legam itu baru saja turun dari kamarnya dengan sebuah tas punggung di bahu kirinya. Dia memang ada kelas siang hari ini. "Kemana saja kau baru turun di jam segini?" tanya Teo tanpa mengalihkan tatapannya dari televisi di depan sana. Erden mendengus. Selain handal dalam meretas, manusia satu itu juga handal dalam menghancurkan mood seseorang. Erden sedang tidak ingin berdebat saat ini. Mengabaikan Teo, Erden berjalan menuju meja makan. Ada Kaza di sana yang sibuk dengan ponselnya. "Aku mungkin pulang agak sore. Ada kelas tambahan hari ini." ucap Erden meneguk air mineral milik Kaza. "Baiklah. Jangan lupakan obatmu." ucap Kaza memperingati. "Ada di dalam tasku. Aku juga sudah meminumnya tadi." kaza hanya mengangguk menanggapi. Erden berbalik namun Kaza menghentikan langkahnya. "Aku ingin memberimu sesuatu." ucap Kaza lalu pergi berjalan menuju ruangannya. Erden hanya mengedikkan bahu dan berjalan menuju sofa di mana Teo masih asik menonton acara di layar tv. "Kau. Berapa umurmu?" tanya Erden tiba-tiba membuat Teo mengernyit heran tapi tetap menjawab. "Hampir 20. Kenapa bertanya?" kini Teo yang bertanya. "Kupikir kau masih 5 tahun. Tontonanmu seperti ini." Erden menatap layar televisi yang menampilkan kartun jepang yang terkenal dengan baling-baling bambunya itu. Erden hanya bingung, tontonan sang hacker, penyandang gelar The Flash ini, doraemon? Hey, yang benar saja. Walaupun tidak tertarik sedikitpun dengan acara tv tapi Erden sedikit banyaknya tau. Plak! Kepala belakang Erden menjadi sasaran. "Diamlah. Kau vampire tidak akan tau." ketus Teo terlihat kesal dengan alis menukik tajam namun tak sekalipun mengalihkan pandangannya dari layar di depan sana. Erden terkekeh melihatnya. Apa dia tengah merawat seorang bayi? Perhatian Erden teralihkan pada Kaza yang berjalan mendekat. Ada selembar kertas di tangannya. Erden coba menebak kira-kira apa itu. "Lihatlah. Ini hasil lab kemarin." Kaza memberikan kertas itu dan di sambut antusias oleh Erden. Entahlah, dia hanya merasa kalau kali ini akan sesuai dengan harapannya. Membacanya sebentar, beberapa kali malah, hanya untuk memastikan apa yang dia baca itu benar. "Is it true?" Erden bertanya pada Kaza. Kaza hanya mengangguk dan tersenyum samar. Sekali lagi, Erden membacanya lalu tersenyum. Bukan senyum bahagia, senyum miring, senyum hangat atau semacamnya. Senyumnya terlihat sendu, senyumnya terlihat lebih tulus daripada ucapan syukur. Erden menyandarkan kepalanya di sandaran sofa dan menutup matanya. Dia bahagia tentu. Tapi rasa sedih juga singgah di hatinya di saat bersamaan. Ingatan akan kenangan paling buruk yang pernah dia alami tiba-tiba beruntun masuk, seolah mengingatkan dia pada titik terendahnya waktu itu. Seolah memaksanya untuk segera melakukan tindakan detik ini juga. Teo menyadarinya lalu mematikan siaran televisi dan beralih menatap Erden, menatap kertas di tangan Erden tepatnya. "Perjalananmu hampir sampai Erden." ucap Kaza membuat keduanya menatap Kaza. "Setidaknya jangan lagi menyerah dengan keadaanmu." lanjutnya membuat Erden tersenyum. Kaza memang selalu bisa mengerti kata-katanya. "Aku bahkan baru memulainya bagaimana bisa aku menyerah." jawabnya seiring terbitnya seringaian di wajah tampannya itu. Erden tiba-tiba bangkit dan berjalan keluar tanpa berkata apa-apa lagi pada kedua sahabatnya itu. Membawa aura tajam nan menyeramkan. "Kau jangan gegabah Erden!" teriakan Teo berhasil menghentikan langkahnya tanpa berbalik menatap Teo. "Kau hanya membalas dendam. Jangan menjadi monster. Ingatlah kata-katamu sendiri." lanjutnya membuat kepalan tangan Erden perlahan melemah. Tak menjawab, tidak juga berbalik untuk sekedar melihat ekspresi Teo yang menatapnya penuh kekhawatiran. Erden hanya berdiri diam di sana sebelum kakinya kembali melangkah meninggalkan kawasan manssionnya yang mewah. "Kau mengenalnya lebih dulu dari diriku. Kau tentu tau dia seperti apa." ucap Kaza menepuk pelan bahu Teo. Teo menatapnya lalu menghembuskan nafas gusar. "Karena aku tau itulah sebabnya aku mengatakan itu. Auranya bahkan sudah berbeda tadi." jawab Teo membuat Kaza terdiam. Ya, Kaza tau itu. • • • • Erden memarkirkan kendaraannya dengan cepat dan sembarangan. Tak peduli dengan mahasiswa lain yang berteriak protes padanya, emosi mengedepankan semuanya. Kata-kata Teo terus menggema di kepalanya. Ingin menuruti dan mengikuti perkataan Teo, namun instingnya lebih dulu mencegah dan berkata jangan. Dia sudah berjalan terlalu jauh, sudah mencari bahkan ke berbagai pelosok dunia sekalipun, dan saat sekarang pencariannya membuahkan hasil apakah tidak pantas untuknya langsung bertindak? Pada dasarnya, dia bukanlah manusia yang memikirkan semuanya dengan hati dan perasaan. Dia mengikuti insting dan langsung bertindak. Itulah dia. Tapi kali ini berbeda. Dia berhenti. Dia kembali mengulur waktu. Tangannya yang tadi terkepal kuat, nafasnya yang menderu berat dan terkesan terengah, kini perlahan dia menahannya. Di depan sana sang profesor sedang berbincang hangat dengan beberapa mahasiswa. Terlihat seperti biasa. Ramah dan menyenangkan. Sang profesor bahkan tertawa renyah di sana. Darah Erden terasa mendidih melihatnya. Profesor itu bak manusia yang bahkan tak tega untuk membunuh semut kecil sekalipun, terlalu suci dan baik. Ingin sekali Erden meneriakkan kata pembunuh di depan wajah sang profesor. "Mari kita buat lebih menyenangkan." gumamnya masih menatap tajam pada objek di depan sana. "Setidaknya setelah ini kau tau bagaimana kesakitanku." "Dan kau akan tau seberapa besar dendamku." lanjutnya dengan nada rendah menahan amarah. Erden berbalik dan berjalan menuju kelasnya. Sebentar lagi kelasnya akan di mulai. "Ada apa dengannya?" gumam seseorang yang melihat kepergian Erden. "Dia terlihat sangat marah pada Profesor Martin." lanjutnya mengalihkan tatapan pada Profesor Martin yang berjalan menjauh setelah berbincang dengan mahasiswa tadi. • • • • "Kau terlihat aneh hari ini." ucap Steven menatap Erden di depannya. Erden menegakkan kepala menatap Steven tanpa perlu repot menanggapi ucapan Steven. "Kau sedang dalam masalah? Di kelas tadi kau sering melamun." lanjut Steven terus berbicara. Yaa, hanya Steven yang memiliki stok kesabaran yang banyak dalam mengajak Ervan berbicara. "Bukan urusanmu." jawab Erden membuat Steven berdecak. "Menjadi urusanku sekarang. Wajah kusutmu sangat mengganggu pemandangan." cibir Steven. Erden mendelik tajam mendengarnya. Jika di rumah ada Teo, maka di sini ada Steven. Hancur sudah harapannya untuk hidup tenang. "Kalau begitu pergilah. Aku tidak memintamu ada di sini." sekali lagi jawaban menohok dari Erden. Seakan sudah kebal dengan itu, Steven hanya terkekeh menganggap ucapan Erden lelucon. "Ah ya__" "__Ada apa denganmu tadi siang? Kau terlihat marah saat datang ke kampus." tanya Steven. Kali ini Erden yang bingung. Apa mereka sempat bertemu tadi? Erden rasa tidak. Atau__ "Aku melihatmu tadi. Kau terlihat marah menatap Profesor Martin." lanjutnya yang mengerti tatapan Erden. Memasang raut biasa sebisa mungkin. Erden tidak mungkin menunjukkan keterkejutannya terlalu kentara, itu akan membuat Steven semakin curiga. "Bukan pada profesor, bukankah di sana banyak orang? Ya, salah satu diantara mereka." jawab Erden lancar dan santai. Terkesan seperti itulah yang sebenarnya terjadi. "Ada apa? Kau membuat masalah? Aku rasa kau tidak dekat dengan yang lain selain aku di sini." ucap Steven lagi. "Memangnya kau selalu bersamaku setiap saat? Apa yang kau tau tentang apa yang aku lakukan." ucap Erden mengaduk-aduk jus mangga di gelasnya. Steven mendecih mendengarnya. Jawaban Ervan memang tidak ada yang enak di dengar. "Daripada belajar memakai pisau bedah, lebih baik kau belajar cara berbicara yang baik dan sopan. Rasanya aku ingin merobek mulutmu agar kau tidak lagi bisa bicara." kesal Steven berhasil membuat Erden terkekeh pelan. Steven melirik jam di pergelangan tangannya. "Ayo kembali ke kelas. Sebentar lagi dosen datang." ucapnya bangkit. "Aku tak berniat masuk." balas Erden singkat. "Kenapa? Ayolah, ini akan seru. Aku dengar ada dokter bedah yang datang ke sini nanti. Menggantikan Mrs Lia untuk memberikan materi." jelas Steven membuat Erden menatapnya. "Kenapa dokter bedah?" tanya Erden bingung. "Ya apa lagi? Materi kita sebelumnya pengangkatan sel kanker otak. Dokter itu yang akan menjelaskan lebih rinci." ucap Steven lagi. "Biasanya mereka akan menunjukkan vidio saat mereka melakukan operasi. Ya, itu cukup membantu membuatku paham materinya." lanjut Steven mengingat-ingat sebelumnya yang juga pernah terjadi seperti ini. Erden sempat terdiam beberapa saat. Operasi ya? "Ayolah cepat. Kau ikut 'kan? Materi kali ini penting." Erden menatapnya lama sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Tentu." ucapnya. "Aku akan ikut." lanjutnya. • • • •
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD