Amanda berguling-guling di atas tempat tidur, seprainya sudah kusut dan berantakan. Gadis bertubuh gempal itu sudah berulang kali berusaha memejamkan matanya, namun kantuk tak juga menghampirinya. Mungkin hal itu disebabkan oleh hal menyebalkan yang dialaminya tadi di sekolah, dia tertidur saat pelajaran matematika. Bu Isma guru pelajaran yang mengampu tidak terlalu ambil pusing dengan dirinya yang kerap tertidur di kelas, namun perlakuan menyakitkan datang dari teman-teman sekelasnya yang perempuan.
Terlintas lagi di benaknya, saat Natasya dan teman se-geng-nya tertawa terbahak saat dia terbangun dan menyisakan air liur yang masih mengalir dari sela bibirnya.
Gadis itu memukul gulingnya untuk menghilangkan gemas yang masih dirasakannya sejak siang. Betapa malunya dia saat mengingat dirinya dengan air liur yang mengalir dan membasahi meja lalu melebar ke pipinya.
“Bodoh, bodoh, bodoh!” kata gadis bertubuh gempal itu lagi sambil memukul dengan keras guling yang tergeletak di atas kasur itu. Terlintas lagi bayangan Bu Isma yang tadi ikut tersenyum dengan olokan teman-teman sekelasnya.
“Memalukan sekali, Manda. Itu memalukan sekali.” Gadis itu mengutuk dirinya sendiri lalu membenamkan wajahnya di atas bantal yang berbau apek.
Terdengar ketukan di pintu beberapa kali, Amanda membalikkan badannya sambil menduga siapa yang mengetuk pintu kamarnya. Itu pasti adalah Bundanya, karena memang tidak ada orang lain selain Bundanya di rumah ini. Tidak mungkin juga yang ada di balik daun pintu kamarnya itu adalah Arios, kakak kelas idolanya yang sampai sekarang masih meracuni benaknya.
“Manda ... Kamu sudah sholat Isya?” Terdengar suara Bunda dari balik pintu.
Amanda tersenyum, sudah pasti itu suara Bundanya yang tadi mengetuk. Arios itu hanya tokoh fiksi di n****+ yang sedang ditulisnya walaupun sejatinya mantan ketua Osis SMA Pilar Bangsa itu adalah nyata. Yang fiksi dari pemuda itu adalah kedekatannya dengan Manda.
“Manda?” terdengar suara Bunda lagi yang membuyarkan dialog imajinernya.
“Iya, Bun?” jawab Manda akhirnya,
“Kamu sudah sholat Isya belum?”
“Sudah, Bun,” kata Manda.
Gadis itu menelan ludah karena baru saja dia mengucapkan kebohongan kepada satu-satunya orang tuanya. Sebenarnya dia belum menunaikan apa yang ditanyakan oleh Bundanya, dia hanya malas melakukannya.
“Sudah makan belum?” tanya Bundanya lagi dari balik pintu.
“Belum, Bun.”
“Ayo makan, Bunda barusan beli sate di Mas Imron.”
Amanda Maharani Utami terkesiap mendengar apa yang diucapkan oleh Bundanya itu. Sate Mas Imron itu adalah salah satu dari sekian banyak makanan yang disukainya. Dengan cepat dia bangkit dari tempat tidurnya lalu mengayunkan langkah kakinya membuka kunci pintu kamarnya.
“Bunda kapan ke Mas Imronnya? Kok tiba-tiba sudah beli saja,” kata Amanda sesaat dia menemukan Bundanya setelah membuka pintu kamar.
“Tadi sambil lewat pulang mengantar jahitan.”
“Oh, Pantesan. Kok enggak minta diantar aku?’
“Bunda lihat kamu tadi lelah sekali. Langsung masuk kamar sehabis sholat Magrib. Bunda enggak tega minta diantar kamu,” Bunda Manda menjelaskan alasannya.
Gadis berambut keriting itu mengikat rambutnya yang berantakan seraya mengangguk pelan. Dia merasa bersalah tidak mengantar Bundanya tadi, sepulang sekolah langsung masuk ke persembunyiannya gara-gara bete dengan kejadian di sekolah.
“Yey, malah bengong. Ayo kita makan, Manda,” kata Bunda sambil menepuk bahu anak satu-satunya itu. Gadis bertubuh gempal itu memaksakan tersenyum disela terkejutnya.
“Ayo, Bun. Enggak sabar rasanya menikmati sate Mas Imron.” Amanda menggamit tangan Bundanya lalu mengajaknya menjauh dari depan pintu kamar.
Mereka berdua mengayunkan langkah menuju meja makan yang terletak di ruangan yang sama dengan dapur. Seekor kucing warna orange mengikuti langkah mereka ke tujuan sambil mengibaskan ekornya, sesekali makhluk berkaki empat itu berjalan di sela kaki majikannya yang bertubuh gempal itu.
Bunda mengambil nasi untuknya dan untuk anak gadis semata wayangnya yang selalu ingin dilayani. Terlihat ada lima belas tusuk sate di piring pipih yang terletak di bagian tengah meja. Perempuan berusia empat puluh tahun lebih itu mengambil tiga tusuk sate untuknya dan memberikan sisanya untuk Manda.
Anak gadis bertubuh gempal itu memakan nasinya dengan lahap, dengan cepat 12 tusuk sate di piringnya tandas, menyisakan bekas bumbu kacang di piringnya. Amanda mengangkat piringnya dan menjulurkan lidahnya ke wadah bekas makannya untuk membersihkan sisa kacang sate yang melekat.
Sang Bunda menggelengkan kepalanya melihat kelakuan anak gadisnya, dia lalu melanjutkan makannya yang baru setengah. Bekas tusuk sate tergolek di samping piringnya, masih ada dua tusuk sate ayam di piringnya. Terbesit air liur Manda melihat sate milik Bundanya, dalam hatinya dia bertaruh jika dia meminta salah satunya pasti diberikan oleh Bundanya.
“Bunda ...” kata gadis gemuk itu dengan nada manja.
“Iya, sayang?” Bunda menghentikan suapan nasinya yang sudah menyentuh bibir.
“Bolehkah aku minta satu lagi satenya?” kata Amanda dengan menyematkan sebuah senyum di wajahnya.
Bunda melihat dua tusuk sate yang ada di piringnya, perempuan itu lalu meraih salah satunya dan memberikannya untuk Amanda. Sebuah senyum kecil terlihat di wajah satu-satunya orang tua Amanda itu.
“Terima kasih, Bunda,” ujar gadis bertubuh gempal itu sambil meraih sate yang dijulurkan Bundanya.
“Iya, Sayang,” kata perempuan itu sambil melanjutkan makan lagi.
Amanda terkekeh dalam hatinya, benar saja apa yang diduganya tadi, jika diminta salah satunya pasti diberikan oleh Bundanya. Dia yakin jika diminta keduanya juga pasti diberikan, tetapi dia tak tega melakukannya.
Ada dua gelas besar berisi teh hangat di hadapan mereka. Bunda memang selalu menyiapkan untuk minum mereka berdua. Amanda meraih salah satu gelas itu dan meneguk perlahan airnya.
“Kita masih ada gula enggak, Bun?” tanya Amanda setelah meletakkan kembali gelasnya di atas meja.
“Gula? Untuk apa, Sayang?”
“Aku ingin minum teh manis, Bun.”
“Saran Bunda jangan minum teh manis kalau mau tidur, enggak baik buat tubuh kamu, Sayang.”
“Tapi aku mau minum teh manis, Bun. Sepertinya zat manis dalam tubuhku mulai terkikis habis ni. Bagaimana nanti kalau ada cowok melihatku dan dia enggak tertarik karena aku enggak manis menurutnya.”
“Iya, tapi jangan sering-seing ya minum teh manisnya. Enggak baik buat tubuh.”
“Iya, Bun. Di mana gulanya, Bun?”
“Di tempat biasa, di dalam rak.”
“Okey, Bun,”
Gadis berbadan gempal itu bangun dari kursinya, sebuah bunyi decit kursi sedikit terdengar saat dia bangun. Amanda langsung menuju ke tempat yang biasa untuk menyimpan gula. Dia mengambil lagi gelas besar, mengisi dengan air panas dari termos, ditambahkannya teh celup dan dua sendok gula pasir.
Amanda membawa gelas besar yang masih mengepul itu ke meja makan, menemani Bundanya yang belum selesai makan.
“Bunda belum selesai juga makannya?”
“Iya, kamu seperti yang baru tahu saja, Bunda kan memang lama makannya, mengunyahnya lama jadi otomatis menjadi lama juga makannya.”
“Semangat, Bun. Aku temani Bunda sambil minum teh manis ya.”
“Kamu kok buat lagi tehnya, Sayang? Mengapa enggak menghabiskan yang sudah ada saja? Yang Bunda buatkan.”
“Tehnya sudah hangat, Bun. Enggak enak tahu kalau teh manis hangat, aku sukanya teh manis panas seperti ini,” kata Manda berdalih sambil mengangkat gelasnya yang masih mengepul.
“Oh, menurut Bunda sama saja.”
“Itu kan menurut Bunda, menurut aku beda.”
“Iya ya, berbeda masing-masing seleranya ya, Sayang?”
“Iya,” Amanda mengangguk,” Bunda aku mau nanya dong.”
“Nanya? Mau bertanya apa, Sayang? Biasanya kamu kan selalu mencari tahu semuanya lewat bantuan google, tidak biasanya bertanya dengan Bunda.”
“Kuota internetku tinggal sedikit, Bun. Khawatir pas google nanti malah lompat ke Youtube. Aku mau menggunakannya untuk upload naskah novelku nanti malam.”
“Oh, begitu.” Sebuah anggukan kecil terlihat melengkapi kalimat yang diucapkan oleh Bunda.
“Iya, besok Bunda bisa belikan aku kuota internet lagi enggak, Bun?”
“Insyaallah ya, Sayang. Semoga ada rezekinya besok,” ujar Bunda sambil berusaha menyematkan senyum di wajahnya, Ada sesuatu yang sedang disembunyikannya dari anak semata wayangnya itu. “Kamu katanya mau nanya tadi?”
“Begini, Bun. Tadi kan Bunda bilang kalau minum teh manis saat mau tidur itu enggak baik buat tubuh. Apa memangnya efek negatif dari itu, Bun? Jujur aku agak kepikiran jadinya saat Bunda bilang begitu.”
“Ada beberapa yang Bunda ketahui, dulu pernah baca tapi lupa di mananya. Dampak negatif gula itu dia antaranya adalah peningkatan berat badan, meningkatkan risiko mengalami Diabetes dan tekanan darah tinggi dak lebih cepat pikun.”
“Wah, menyeramkan juga ya itu di bagian peningkatan berat badan, Bun. Badanku mau sebesar apa nanti jika terus-terusan meningkat? Ini saja rasanya sudah berat banget, Bun.”
“Nah itu, makanya kamu kurang-kurangin konsumsi gulanya.”
“Tapi bagaimana jika zat-zat manis di tubuhku terkikis dan habis? Bagaimana jika mereka yang melihatku biasa saja enggak ada manis-manisnya?”
“Hal itu tidak ada kaitannya dengan konsumsi gula, Sayang. Orang itu menjadi sahabat, menjadi teman bukan karena hanya manisnya saja, ada kalanya ikatan itu berasal dari daya tarik yang lainnya. Daya tarik itu bisa dari menyenangkan karena suka berguyon, menyenangkan karena orangnya sopan, menyenangkan karena orangnya pintar. Banyak hal lain yang bisa membuat orang tertarik.”
Gadis bertubuh gempal itu mengangguk-angguk seraya meminum teh manisnya, benaknya merekam apa yang tadi disampaikan oleh Bundanya baik-baik. Ternyata banyak jalan untuk membuat diri menarik untuk orang lain, terlebih untuk dirinya yang memang dilahirkan dalam keadaan fisik tak cantik, tubuh gendut dan kulit gelap.
Bukankah Amanda Maharani Utami itu sosok Maha Perfect yang dipuji karena kecantikannya? Yang dikagumi karena otaknya yang mempunyai ingatan kuat sehingga mengantarkannya menjadi juara umum di sekolah?
Amanda menghela napas panjang, apa yang ada di dunia nyata sangatlah berbeda dengan kisah yang terjadi di n****+ yang sedang ditulisnya. Cerita-cerita hasil imajinasinya itu di-upload ke salah satu platform online. Tidak ada bayaran yang didapatkan dari sana sementara ini karena memang sistem p*****t-nya menggunakan sistem view pembaca. Jika tidak banyak yang baca itu berarti tidak akan ada penghasilan yang didapatkannya dari menulis.
“Kebiasan kamu tuh, bengong di depan orang.” Suara Bundanya mengembalikan gadis berbadan gempal itu dari dialog imajinernya.
“Aku bukan bengong, Bun. Aku sedang menelaah apa yang Bunda katakan tadi dan merekamnya baik-baik.”
“Oh, Bunda kira kamu sedang berkhayal apa, Sayang.”
“Enggak, Bun. Aku kalau berkhayal di depan ponsel sambil mengetik novel.”
"Semangat ya anak Bunda mengetik novelnya, semoga bisa menghasilkan uang dari hasil memeras otaknya." Perempuan itu mengepalkan tangannya lalu mengangkatnya ke atas, sebuah senyuman kecil terlihat di wajahnya.
"Aamiin, terima kasih, Bun. Aku mau pamit ke kamar ya, mau ngetik."
"Iya, Sayang," kata perempuan itu seraya merapihkan piring-piring kotor yang ada di atas meja.