Saat makan siang lantai dua Cafe Benazir sudah dipenuhi oleh banyak pengunjung, kebanyakan mereka berseragam putih abu. Banyak yang sudah tidak berseragam lengkap lagi, bagian atasnya sudah digantikan dengan kaos atau kemeja lain. Mereka berasal dari sekolah-sekolah yang berbeda yang berada tak begitu jauh dari cafe. Kebanyakan mereka adalah siswi-siswi yang gemar berkumpul dengan genk-nya. Hanya terlihat ada beberapa siswa di sana yang di temani dengan pasangannya masing-masing, mereka sedang terbuai asmara tanpa peduli dengan lingkungan sekitar.
Beberapa pengunjung dari mereka berasal dari satu sekolah dengan Arios dan Amanda, SMA Pilar Bangsa atau lebih sering disebut dengan SMA PB. Beruntung siswa favorit itu duduk membelakangi mereka jadi banyak yang tidak menyadari siapa dirinya jika tidak melihat wajahnya secara langsung. Jika saja terlihat wajahnya, makan siang dengan Amanda akan menjadi sangat tidak nyaman.
Dari meja yang terhalang sepasang siswa sekolah lain, segerombolan siswi nampak melihat ke arah mereka sambil berbisik-bisik. Jika dilihat dari gelagat mereka sepertinya siswi-siswi itu mengenali sosok Arios walaupun melihatnya dari belakang.
Dari posisi duduknya, Amanda melihat salah satu dari mereka berdiri dan berjalan menghampiri meja di mana ada dirinya dan Arios. Gadis itu diminta oleh teman-temannya untuk mencari tahu kebenaran dugaan tentang sosok yang sedang duduk membelakangi.
“Hai!” sapa gadis berpakaian seragam serba ketat itu.
Arios menoleh ke arah suara berasal, siswi itu tersenyum. Mantan Ketua OSIS itu mengernyitkan dahi sambil menatap ke arah gadis berseragam yang berada di sampingnya. Sepertinya Arios tidak mengenali gadis yang ber-badge sama dengan miliknya dan Amanda.
“Ya? Ada yang bisa dibantu?” ujar Arios datar sambil menatap tajam ke arah sosok yang ada sisinya.
“Enggak, Kak,” gadis itu memaksakan tersenyum walaupun terlihat gugup. “Aku hanya memastikan Kakak adalah Kak Arios, ternyata memang benar.”
“Iya ini aku, Arios. Kamu ...”
“Aku Irene, Kak. Kelas 10 IPS 1,” katanya sambil mengulurkan tangan ke arah Mantan Ketua OSIS itu. Arios menjabat tangan siswi berkacamata itu.
“Halo, Irene,” kata Arios dengan memaksakan tersenyum ke arah siswi itu.
Terlihat gurat ketidak nyamanan di wajah Mantan Ketua OSIS SMA PB itu. Irene mengulurkan tangannya juga ke arah Amanda seraya menyebutkan namanya kembali. Gadis berkaca mata itu agak terkejut saat menyadari siapa gadis yang sedang duduk di hadapan Arios.
“Astaga, ini Kak Manda ya?” kata siswi kelas 10 IPS 1 itu. Mata Irene berbinar saat menyadari siapa yang ada di hadapannya. “Ini Kak Manda yang populer itu? Yang juara sekolah itu ‘kan?”
Suara gadis berkaca mata itu mulai terdengar mulai histeris, dia nampaknya ingin memberitahukan teman-temannya yang berada tak jauh darinya.
“Bukan,” ujar Manda singkat dengan sebuah senyum kecilnya.
“Ah, ini pasti Kak Manda yang itu, aku yakin sekali. Aku pernah melihat Kak Manda saat pengumuman nilai akademis tertinggi di sekolah.”
“Iya, tapi aku bukan Manda yang populer. Namaku Amanda Maharani Utami.”
“Iya, Kak. Maksud aku Kak Manda yang itu. Aku suprise banget lho bisa bertemu Kakak di sini, bersama dengan Kak Arios lagi yang juga famous di sekolah. Rasanya aku seperti bertemu pasangan selebritis yang menjadi idola.”
“Sudahlah, jangan lebay kayak begitu,” ujar Amanda sambil tersenyum kecil. “Siapa tadi namamu?”
“Irene, Kak Manda.”
“Iya, Irene. Kami juga manusia biasa kok, sama seperti kamu, sama -sama makan nasi. Ini lihat saja aku dan Kak Arios habis makan nasi goreng.”
“Iya, Kak Manda. Tetapi Kakak berdua spesial di mataku dan teman-teman, jadi sesuatu banget saat bertemu kalian,” Irene masih menyisakan senyum dan binar di matanya. “Baiklah aku mohon pamit ya, Kak. Teman-teman sudah memberi kode supaya kembali ke meja, pesanan sudah siap. Aku enggak sabar memberitahukan mereka aku bertemu dengan Kak Manda dan Kak Arios bersamaan.”
“Oke, Irene,” ujar Amanda yang dibarengi anggukan kepala Arios yang juga menyematkan sebuah senyum di ujung bibirnya. Siswi itu membalikkan badannya meninggalkan meja di mana tadi ada dua orang yang dikaguminya itu.
‘”Irene, sebentar,” panggil Arios. Gadis berkaca mata itu menghentikan langkahnya saat namanya disebut, dia kembali lagi ke meja di mana sepasang idolanya berada.
“Iya, Kak? Ada apa?” tanya Irene dengan wajah serius.
“Aku minta tolong, jangan beritahukan mereka aku di sini bersama dengan Manda, atau jika kamu terpaksa memberitahukan bilang kepada mereka aku sedang tak ingin diganggu.”
“Oke, Kak. Aku mengerti. Aku bilang saja Kak Arios sedang enggak mau diganggu ya.”
“That’s nice. Thank you, ya” Arios membuat huruf ‘o’ dengan jari telunjuk dan jempolnya.
“Aku pamit lagi ya, Kak,” ujar Irene sambil melambaikan tangannya.
Gadis berkaca mata itu pun kembali ke meja di mana teman-temannya berkumpul untuk makan siang. Tak lupa dia menyampaikan pesan yang tadi Arios minta, tentu saja hal itu dimaklumi oleh teman-temannya Irene.
“Mengapa muka Kakak seperti itu? Enggak suka ya diganggu fans?” ujar Amanda setelah matanya memastikan Irene sudah kembali lagi ke teman-temannya. Arios menghela napas panjang sambil memaksakan sebuah senyum hadir di wajahnya.
“Kadang ada momen di saat aku enggak ingin diganggu sama sekali, Manda.”
“Resiko seorang selebritis begitu, Kak. Memang begitulah fans, mereka hanya ingin mengusir dahaga ingin bertemu dengan idolanya saja dengan menapikan kenyamanan pujaannya. Beruntung fans yang ini mengerti dengan keinginan Kakak.”
“Bahasamu berat, Manda,” kata Arios sambil menggaruk-garuk kepala bagian belakangnya. “Ah, aku baru ingat, kamu ini ‘kan seorang Novelist ya? Pantas saja bahasamu berat.”
“Kakak tahu dari mana aku seorang Novelist?” ujar Manda sambil mengernyitkan dahinya. Dadanya tiba-tiba deg-degan dengan kalimat yang di dengarnya.
“Dari mana ya? Aku lupa siapa yang bercerita, tapi anak SMA PB juga.”
Amanda memasang wajah yang serius, dia berusaha menduga siapa yang telah membocorkan identitasnya sebagai penulis n****+ online. Padahal dia tidak ingin diketahui identitasnya itu, dia ingin para fans-nya di dunia fiksi tidak mengenalnya di dunia nyata. Itulah alasannya mengapa dia menggunakan Nefertiti sebagai penname.
Tak sengaja kedua mata bulat gadis itu melihat jam yang ada di dinding cafe, waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Dikarenakan terlalu menikmati momen dengan Kakak kelasnya dia hampir saja terlewatkan sesuatu dengan Bundanya. Amanda ada janji dengan pahlawan tanpa jasanya di rumah satu jam ke depan.
“Ya Allah, aku harus segera pulang, Kak,” katanya sambil menepuk dahinya dua kali.
Arios yang sedang menikmati sisa jus mangga di gelasnya melihat ke arah Amanda, matanya melihat jam dinding yang tadi dilihat gadis yang ada di hadapannya.
“Ada apa, Manda? Apakah kamu ada acara lain hari ini?”
“Bunda tadi pagi berpesan katanya aku paling telat jam tiga sore ini harus sudah sampai di rumah, Kak.”
“Mengapa? Ada apa? Apakah kamu memang selalu diatur seperti itu?” kata Arios memberikan tiga tanya sekaligus di kalimatnya.
“Banyak sekali pertanyaannya, Kak,” ujar Amanda dengan tersenyum lebar. “Bunda tidak menceritakan alasannya mengapa aku harus pulang jam tiga, biasanya sih Beliau enggak masalah aku pulang jam berapa pun. Mungkin hari ini mau mengajakku keluar, shopping, camping, travelling. I don’t know. Bunda enggak menceritakannya kepadaku.”
“Wah asyik dong, aku selalu iri kepada orang yang masih mempunyai sosok ibu, Manda.” Suara Arios terdengar mengandung beban sehingga membuat suaranya agak tercekat. Amanda menatap sosok di depannya dengan wajah serius.
“Maafkan aku, Kak. Aku enggak tahu kalau Kakak sudah enggak mempunyai Ibu lagi.” Ada rasa penyesalan yang tersirat di nada suara gadis bermata bulat itu.
“Iya. Begitulah, Manda. Kadang aku merindukan sosok yang tak pernah kukenal itu. Menurut cerita Ayah, Ibu meninggal saat berusaha melahirkan adikku di rumah sakit. Adik aku pun tak selamat karena lambat ditangani dokter.”
“Ya Allah, Kak. Maaf jika kalimatku justru mengingatkan kisah lama Kakak.”
“Enggak, enggak apa-apa, Manda. Aku cuma merindukannya saja tetapi aku juga bingung karena sama sekali Bunda tidak ada fotonya di rumah, jadi aku susah membayangkan wajahnya. Memang agak aneh sih jika di zaman sekarang tidak ada sama sekali foto yang tersisa,” ujar Arios dengan memaksakan untuk tersenyum.
“Maaf ya, Kak. I don’t mind it,” ujar Manda dengan raut menyesal.
“It’s okey. Enggak usah diingat-ingat lagi, itu hanya membuat d**a sesak saja ‘kan? By the way keluarga kamu masih lengkap ‘kan, Manda?”
Gadis ber-sweater kuning itu menghela napas panjang, terlihat sekali dia memaksakan mengukir senyum di wajahnya. Arios mengenyitkan dahinya, dia menduga ada sesuatu yang belum diceritakan gadis iti kepadanya.
“Aku kebalikan dari Kakak, jika Kak Arios tidak ada ibu aku kebalikannya, aku tak ada ayah.”
“Maafkan aku, Manda.”
“Enggak usah meminta maaf, Kak. Santai saja, aku juga tak pernah hirau dengan siapa ayahku. Aku cukup bahagia dengan hadirnya seorang Bunda saja di rumah.”
“Ternyata kita ada kemiripan ya, Manda.”
“Mirip dan cenderung sama ya, Kak,” Arios mengangguk setuju dengan yang diucapkan oleh gadis cantik di depannya.
“Yuk, kita pulang, Manda.”
“Pulang, Kak? Aku masih betah di sini.”
“Tadi kamu bilang ada janji dengan Bunda kamu jam tiga. Ayo aku antar pulang, aku enggak enak jika nanti aku lah yang menjadi penyebab kamu tidak bisa menunaikan janji kepada Bundamu, Manda. Yuk, kita pulang,” kata pemuda itu sambil berdiri dari duduknya dan tanpa menunggu kata iya dari Amanda, Arios sudah meninggalkan meja menuju kasir dan membayar apa yang mereka nikmati tadi.
Gadis bermata bulat itu tergopoh mengikuti langkah Arios setelah menyempatkan meraih tasnya yang tadi diletakkan di lantai keramik cafe.
Sebenarnya Amanda ingin sekali bisa menikmati hari ini lebih lama dengan Arios, Mantan ketua OSIS SMA PB itu. Apa daya ada pesan Bundanya yang harus dilaksanakan, walau dia belum tahu apa yang akan dia lakukan bersama pahlawan tanpa tanda jasanya itu nanti.