Bel sudah meraung setengah jam lalu, para siswa dan sebagian guru sudah kembali ke rumahnya masing-masing. Sebenarnya masih ada Kepala Sekolah dan staf di dalam ruangan namun tetap saja sekolah terlihat lengang karena tak terlihat manusia yang berkeliaran. Amanda berjalan santai menyusuri selasar kelas, di tangan kanannya nampak sebuah n****+ yang lumayan tebal. Gadis ini pulng lebih lambat dari biasanya karena tadi menyelesaikan dulu membaca n****+ yang sudah berada di ending cerita.
“Sepi sekali siang ini sudah seperti hati,” kata gadis ber-sweater kuning itu dengan sebuah senyum tersemat di bibirnya. “Entah hati siapa, yang pasti bukan hatiku karena sudah diisi dengan hadirnya Kak Arios.”
Akhirnya gadis cantik itu tiba di parkiran motor sekolah, motornya nampak tinggal sendiri saja di sana. Terlihat tak jauh dari kendaraan roda duanya ada dua orang pemuda yang sedang bercakap-cakap, dia adalah sang Security sekolah dan mantan Ketua OSIS SMA PB.
Sebuah kebetulan yang menyenangkan sekali bertemu kembali dengan dua sosok populer yang ada di sekolah. Jhony Pantau yang selalu membuat siswi-siswi histeris dengan ketampannya ditambah dengan Arios Sumpah Palapa, Mantan Ketua OSIS SMA PB yang sudah pasti menjadi idola para kaum hawa yang masih berseragam putih abu.
Amanda sangat menyukai kedua sosok yang sedang serius berbincang itu, tetapi jika diminta harus memilih sudah pasti dirinya akan memilih Arios dibandingkan dengan Jhony Putra yang kerap dia plesetkan dengan Jhony Pantau itu. Alasannya adalah karena chemistry yang dirasakannya saat bersama dengan Mantan Ketua OSIS itu lebih dahsyat dari pada sedang bersama dengan sang Penjaga Keamanan Sekolah .
Seekor nyamuk menggigit lengan gadis itu, tidak mengejutkan hanya gatal yang dihasilkannya membuat gadis itu tak bisa cepat move on kembali mengetik naskah novelnya di ponsel.
“Menyebalkan sekali, lagi asyik merangkai cerita dengan Abang dan Kakak Ganteng malah buyar digigit nyamuk,” ujar Amanda tersungut dia menggaruk tangan kanannya yang tadi menjadi korban.
Gadis bertubuh gempal itu menurunkan kakinya dari tempat tidur dan meletakkan ponselnya di atas seprai. Matanya mencari-cari lotion anti nyamuk yang biasa disimpan di atas meja belajar.
“Ke mana sih itu Autan? Padahal biasanya di sini.” Gadis itu membongkar-bongkar tumpukan buku pelajaran yang berantakkan di atas meja belajarnya.
Matanya menangkap sachet lotion anti nyamuk itu ada di bawah meja, gadis bertubuh gempal itu berusaha meraihnya dengan sedikit membungkukkan badan. Namun hal sederhana yang biasanya mudah dilakukan oleh orang lain untuk Amanda cukup menyulitkan, bagian perutnya yang lumayan besar menjadi pengganjal saat membungkuk.
“Astaga, susah-susah diambil malah sudah habis,” kata Amanda sambil melemparkan bungkus kosong lotion anti nyamuk itu ke lantai dengan emosi.
Gadis bertubuh gempal itu melihat jam dinding, dia menghela napas panjang saat melihat jarum pendek alat penunjuk waktu itu sudah berada di angka 11. Sudah tidak mungkin baginya keluar rumah untuk membeli lotion anti nyamuk karena waktu sudah lumayan malam, jarak antara rumahnya dengan warung Mang Samad Belo sebenarnya tidak terlalu jauh. Untuk tiba di sana harus melewati kebun kosong yang katanya sering ada makhluk berambut panjang dengan gaun putih.
“Kayaknya malam ini aku harus merelakan diri berkelahi dengan nyamuk, Autan habis dan enggak mungkin beli juga ke Warung Mang Samad Belo.”
Amanda melangkahkan kakinya kembali ke tempat tidur, lalu merebahkan tubuh gempalnya di atas seprai putih itu. Tangannya meraih ponsel yang tadi sempat ditinggalkannya gara-gara makhluk kecil bersayap dan menyebalkan itu. Dia membaca ulang apa yang baru saja diketiknya, tangannya bersiap kembali menuangkan lanjutan dari n****+ yang baru lima paragraf.
“s**t!” kata gadis itu dengan kesal dan bangun dari rebahannya. “Kalau sudah ada yang ganggu pasti kering lagi mood untuk melanjutkan cerita. Otak rasanya stuck kalau ada gangguan.”
Gadis bertubuh gempal itu kembali meletakkan ponselnya ke atas tempat tidur, kali ini agak keras. Beruntung walaupun terbanting, telepon genggam itu baik-baik saja karena terbentur benda yang lembut.
Amanda merebahkan dirinya kembali ke atas tempat tidur, matanya menerawang menatap langit-langit kamarnya.
“Semoga reader-ku enggak complain besok gara-gara aku enggak upload naskah,” kata gadis itu lirih. “Aku tiba-tiba bad mood untuk nulis malam ini gara-gara nyamuk enggak ada akhlak itu.”
Gadis berkulit cokelat itu menggaruk kembali tangannya yang tadi sempat dicium oleh serangga bersayap itu.
“Semoga saja mereka enggak kecewa dan akhirnya memilih membaca n****+ lain dan meninggalkan novelku. Jika itu terjadi bagaimana aku mempunyai cuan yang cukup untuk membeli laptop? Tapi kapan juga aku akan bisa membeli laptop kalau pembacaku hanya beberapa orang saja? Susah juga menulis di aplikasi yang membayar author-nya berdasarkan view.” Sebuah helaan napas melengkapi dialog imajinernya.
“Semoga saja aku bisa cepat mempunyai laptop, walau enggak tahu dari mananya sih,” sebuah senyum kecil terlihat di wajah gadis bertubuh gempal itu. “Sekarang mengkhayal saja dulu, walau enggak tahu kapan akan menjadi nyata. Enggak enak banget nulis n****+ menggunakan ponsel, jari rasanya sakit semua, belum lagi saat nulis aplikasinya tiba-tiba crash atau ponsel restart sendiri.”
Amanda meraih ponselnya kembali dan menyalakan data internetnya, dia sengaja selalu mematikan jaringannya saat tidak digunakan di rumah. Tujuan utama yang dilakukannya itu adalah supaya lebih hemat penggunaa kuotanya, lagi pula untuk apa juga dia menyalakan internet di ponselnya karena memang tidak ada orang khusus yang ditunggunya untuk chat.
Beberapa detik saat Amanda menyalakan data internetnya, ponselnya seperti stuck karena banyak chat yang masuk. Padahal baru sehari saja dia tak menyalakannya, ratusan pesan masuk ke ponselnya yang hanya mempunyai RAM 2 Gigabyte itu. Pesan-pesan yang berubah menjadi ribuan itu berasal dari grup penulis n****+ yang diikutinya, ‘Hai, Novelist’. Entah apa yang mereka bahas sejak kemarin sampai sekarang di grup, Amanda tidak mau mengetahuinya karena kadang hanya ber-ghibah.
Ada sebuah pesan yang mencuri perhatiannya, letak chat itu berada di bawah grup penulis n****+ online itu. Itu artinya baru saja masuk beberapa detik lalu. Mata Amanda memandangi tak percaya pesan itu.
“Benarkah apa yang kulihat ini? Ada apa Kak Arios nge-chat malam-malam seperti itu? Apakah dia rindu? Apakah dia ingin membahas apa yang terjadi di Cafe Marginalia itu,” kata Amanda dengan sebuah senyum kecil di wajahnya. “Enggak mungkin, itu ‘kan hanya imajinasiku yang kutuliskan dalam n****+ dan memang tak pernah terjadi dunia nyata. Aku yakin di kehidupan sebenarnya Kak Arios tidak mengenalku. Tapi ini dia mengirimkan pesan. Ada apa ya? Dari mana juga dia mendapatkan nomor ponselku?”
Benak Amanda dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa dia jawab kecuali dengan mencari tahu isi dari chat yang dikirimkan Mantan Ketua OSIS itu kepadanya. Dengan berdebar hati dia klik pesan itu dan membacanya dengan berdebar.
“Assalamualaikum, apakah benar ini nomor Amanda Maharani Utami, siswi kelas 10 MIPA 1 SMA Pilar Bangsa?” tulis pesan yang dikirim oleh Arios itu.
Amanda menghela napas panjang, ternyata isi pesan itu adalah sebuah pertanyaan yang mau tak mau harus dijawabnya.
“Ada apa Kakak tampan itu menanyakan itu?” Amanda mengernyitkan dahinya seraya berpikir. “Mungkin ada yang ingin ditanyakannya atau sedang pendataan siswa SMA PB untuk eksul atau apalah?”
Gadis bertubuh gempal itu menggerakkan jemarinya untuk membalas chat yang dikirimkan oleh idolanya di sekolah itu.
“Iya, Kak. Ini aku Amanda. Ada yang bisa aku bantu?” tulis gadis itu sambil tersenyum.
Ada kebahagiaan yang merambati hatinya saat merangkai huruf menjadi kata itu menjadi kalimat. Amanda menekan tombol kirim, dalam sedetik jawaban yang dikirimkannya sudah centang dua biru. Arios ternyata langsung membaca balasan yang dikirimkannya. Sungguh menyenangkan sekali.
“Alhamdulillah, langsung dibalas. Aku pikir akan sedikit bersabar menunggu balasan karena biasanya seorang penulis n****+ pasti sibuk,” tulis pesan yang dikirimkan oleh Arios itu, sebuah emoticon tertawa melengkapi chat-nya.
Gadis bertubuh gempal itu mengernyitkan dahinya saat membaca kalimat balasan Arios itu, Mantan Ketua OSIS itu mengetahui dia adalah seorang penulis n****+.
“Bagaimana Kak Arios tahu bahwa aku ini seorang penulis n****+? Memang sih dia sudah mengetahui aku penulis dengan nama pena Nefertiti tapi itu kan di bab yang aku tulis di n****+. Bagaimana dia mengetahuinya?”
Amanda menelusuri ingatannya tentang bagaimana identitas Nefertiti bocor kepada orang yang tak seharusnya. Bagaimana saat Arios membaca namanya yang digunakan di n****+ tersebut? Bagaimana jika dia mengetahui bahwa dia disandingkan dengan sosok Amanda yang maha perfect di dunia imajinasi tetapi ternyata kebalikannya di dunia nyata?
“Yah, kayaknya aku ditinggal tidur ni,” tulis pesan susulan dari Arios itu.
Ternyata Mantan Ketua OSIS yang menjadi idola Amanda itu menunggu balasannya. Apa yang sedang terjadi ini merupakan sebuah mood booster sekali untuknya kembali menulis.
“Enggak, Kak. aku masih melek, kok. Belum tidur.”
“Oh, kirain. Soalnya balasnya lama sih, aku kan enggak sabar menunggu chat selanjutnya.”
Enggak sabar menunggu chat selanjutnya? Amanda menggaris bawahi kalimat yang ditulis oleh Arios dari ujung sana itu. Amanda merasa apa yang sendang terjadi ini adalah mimpi, tetapi ‘kan dia belum tidur. Bagaimana mungkin dia bisa bermimpi? Atau kah ini imajinasinya lagi yang sudah mulai menguasai walau dia tidak sedang menulis n****+?
Amanda menepuk pipinya dengan telapak tangan kanan dengan keras, rasanya sakit. Jadi apa yang sedang terjadi ini benar-benar nyata dialaminya langsung walau semanis mimpi.
Gadis bertubuh gempal itu menggerakkan jemarinya untuk membalas chat Arios, berulang kali dia mengetik dan menghapusnya kembali karena merasa apa yang ditulisnya tidak sesuai dengan yang diinginkannya.
“Aku hanya sedikit suprise aja, Kak. Bagaimana Kakak mengetahui aku ini seorang penulis n****+?” Pesan itu terkirim beberapa detik kemudian langsung centang biru.
“Boleh aku telepon? Maaf jika aku lancang, Manda. Itu pun jika kamu berkenan dan enggak menganggu,”
Saat membaca balasan Arios, Amanda merasa sesak napas namun berkombinasi dengan kegembiraan yang meledak. Hanya chat-an saja sudah menyenangkan untuknya apalagi jika Mantan Ketua OSIS itu meneleponnya.
“Boleh, Kak. Silahkan,” balas Amanda dengan deg-degan.
Detik selanjutnya, ponsel gadis bertubuh gempal itu berdering di tangannya. Tertulis nama sang pemanggil di layar telepon genggamnya itu. ‘Kakak Idola’ tertulis di sana, bukan nama Arios. Amanda menekan tombol untuk menerima panggilan itu.
“Assalamualaikum. Selamat malam, Manda,” ujar suara di ujung sana sebagai pembukaan.
“Waalaikunsalam, Iya, Kak?” kata Amanda seraya merayu dirinya sendiri untuk tidak grogi.
“Maafkan aku jika mengganggu waktu istirahatmu.”
“Jangan khawatir, enggak ganggu kok, Kak, aku belum tidur. Baru nulis beberapa paragraf mood hilang gara-gara digigit nyamuk.”
“Oh, alhamdulillah jika aku enggak mengganggu. Aku senang akhirnya bisa menelepon seorang penulis n****+ famous yang ternyata adik kelasku di SMA PB.”
“Biasa saja, Kak. Aku bukan siapa-siapa, apalagi penulis famous. Bagaimana Kakak mengetahui nomor aku, Kak? Seingatku aku tidak mencantumkan nomor telepon di akun menulis.”
“Bagaimana aku mengetahuinya nanti aku ceritakan, Manda. Aku hanya ingin bilang aku suka n****+ yang kamu tulis. Apalagi dengan menggunakan namaku, aku merasa menjadi siswa paling tampan di SMA PB dengan narasi yang kamu tulis,” kata Arios yang disambut senyum kecil Amanda walau pemuda di ujung sana itu tidak melihat apa yang dilakukannya.
“Terima kasih ya, Kak. Maafkan aku enggak izin menggunakan nama Kakak.”
“No big deal for me, santai aja, Manda. Aku suka kok, aku jadi lebih terkenal nanti.”
“Terima kasih ya, Kak Arios.”
“My pleasure, Manda. Boleh dong kapan-kapan kita bincang-bincang di kantin sekolah untuk membahas n****+ kamu.”
“Kedengarannya menyenangkan sekali, Kak. Tapi, aku ...”
“Tapi apa? Jangan khawatir aku yang traktir,” kata Arios di ujung sana sambil tertawa.
“Enggak bukan itu, Kak. Aku ....”
Amanda menghela napas dalam, bagaimana dia mengatakan bahwa sosok Amanda Maharani Utami itu tidak se-perfect yang ditulisnya di dalam n****+.