[2] Dua Juta Satu Malam

1304 Words
"Ayolah, Wil. Kalo nolak, berarti belum move on." "Ini bukan perkara move on atau belum, Rei, tapi tidak pantas bagi seorang tenaga pendidik main ke kelab." Wiliam bersikeras menolak ajakan temannya. "Tapi kalo nggak ada lo, nggak lengkap kita." "Kalau gitu jangan ke kelab." "Wil, kapan lagi kalo nggak sekarang? Mumpung Genta lagi mode hayu diajak ke mana aja." "Silakan kalian main tanpa saya." "Astaga ... bapak dosen yang satu ini." Reinaldi mendengkus. "Toh, di sana lo gak bakal ketemu dosen lain atau mahasiswa, Wil. Nggak bakal ada yang kenal lo." "Apa pun, saya ini harus jadi contoh yang baik." Genta mengangguk-angguk. Setuju dengan Wili. "Ya ampun! Demi pesta lajang gue. Kita, kan, udah janji tiap salah satu dari kita ada yang mau nikah, wajib ngadain pesta lajang sebelum hari H, tempatnya ditentukan sama yang mau merit. Kayak lo dulu, udah dua kali malah lo. Dan ini sekarang gue yang mau sold out. Ayolah ... ini akan jadi kunjungan terakhir gue ke kelab. Habis itu gue pasti udah gak bisa main-main ke sana lagi sekadar buat melepas penat." "Cari tempat lain," tukas Wiliam. Hari itu .... "Gak." Reinal kekeh pada keinginannya. "Kalo lo nolak, fix berarti lo mau gue salamin ke kakak gue." Oh, ya ... Reinal ini mantan adik ipar Wiliam, omong-omong. Satu-satunya orang dari keluarga mantan istri yang masih dekat dengannya. Karena mau bagaimanapun, dibanding menikahi kakak Reinal, berteman dengannya itu jauh lebih awal. Teman kecil malah. Persahabatan yang tak lantas hancur hanya karena hubungan Wiliam berakhir dengan saudara perempuan Reinaldi. Lagi pula itu sudah lama berlalu. Namun, kenapa juga Reinal selalu mendikte bahwa dirinya belum move on, padahal sesudah bercerai dengan kakak Reinal ini, Wiliam bahkan sudah menikah lagi, meski sudah cerai lagi. Yeah ... itu yang membuat Reinal membawa-bawa kalimat 'belum move on' sebagai bahan bujukan supaya Wiliam mau memenuhi apa yang dia inginkan. Kadang-kadang manjur, sih. Seperti saat ini. Wiliam mendengkus. Dengan berat hati, dia duduk di salah satu kursi kelab itu. Tatapannya awas, barangkali ada kenalannya di kampus. Namun, dosen mana yang mainnya ke tempat tidak beradab ini? Mungkin hanya Wiliam. Jadi, mungkin dia juga setidaknya bisa duduk dengan tenang. Tak akan ada yang mengenalinya sebagai dosen di salah satu kampus. Namun, bagaimana jika itu mahasiswa? Ya, itu lebih tidak mungkin lagi ... seharusnya. Tapi banyak anak muda nakal, apalagi di kota besar ini. "Gue non-alkohol, ya!" ucap Genta, dia juga harus menjadi contoh kakak yang baik untuk adik-adiknya di rumah. Mana boleh minum alkohol, sekali pun tempat mainnya setidak patut bangunan jedak-jeduk itu. Minimal saat pulang nanti tidak ada bau alkohol atau lagak mabuknya. "Saya juga." Dia sudah lama berhenti 'minum', tepatnya sejak memutuskan untuk bercerai dari kakak Reinal ini. Yang mana karenanya, hubungan rumah tangga itu tidak bisa dilanjutkan. Sudah beda prinsip dasarnya. Walau masih se-amin, tetapi sudah tidak se-iman. Wiliam tidak bisa membawa serta istrinya yang dulu masih sama-sama muda, masih sama-sama keras kepala, untuk bersama-sama memeluk agama yang membuat nama William Ghamaliel Emilius menjadi Wiliam Budiman. Sekadar informasi. "Oke, oke." Karena itu, Reinal pun memilih minuman non-alkohol. Tak bermaksud mengajak teman-temannya bermaksiat, hanya saja dia sedang rindu suasana ini. Dulu sering datang berdua dengan Wiliam. Sudah lama sekali. Makanya itu, Reinal ambil kesempatan 'pesta lajang' di sini. Semoga dapat dimaklumi. "Kalian nggak mau joget?" Wiliam melirik Genta, Genta meliriknya. "Oke, nggak ada joget-jogetan. Tapi jangan nolak buat permainan satu ini, ya!" Posisi Reinal sebagai anak bungsu dari mami-papinya, lalu Genta anak sulung + tulang punggung sekaligus mengambil peran orang tua untuk ketiga adiknya, dan Wiliam hidup mandiri sejak memutuskan pindah agama, itu membuat sosok Reinal jadi yang paling kekanakan di antara mereka. Namun, percayalah ... Reinal banyak berjasa bagi mereka. Reinal adalah sahabat yang akan selalu ada dan datang saat dipanggil. Belum lagi sisi kekanakan Reinal yang sanggup memberi penghiburan karena Wiliam dan Genta sama-sama garing, sama-sama kaku. Jadi, terkadang Wiliam dan Genta tak berdaya. Tak peduli usia mereka sudah menapaki angka 30-an saat ini. "Buat seru-seruan aja," kata Reinal. "Oke. Siapa yang mau muterin botolnya?" "Saya saja," tukas Wiliam. Di bawah lampu disko, di tengah riuhnya ingar-bingar kelab itu, mereka bertiga duduk serius mengitari meja kecil di mana ada botol yang lalu Wiliam putarkan. *** "Boleh saya gabung?" Berisiknya suasana kelab tidak membuat Lena luput dari seseorang yang datang. Detik di mana Marlena menoleh dan menatap tepat di wajah orang itu, lalu--oh, Astagfirullah! Lena betulkan letak topeng merah di wajahnya. Dia lalu memutus tatapan. Bukankah itu Bapak Wiliam? Lena refleks berdeham. Gelagat itu dianggap persetujuan, di mana Wiliam merasa dipersilakan. Dia pun duduk di sisi wanita bergaun merah dan satu-satunya orang yang memakai topeng di sini. Setidaknya, belum ada orang lain lagi yang terlihat bertopeng di kelab ini. Ya ampun, ya ampuuun! Debar di d**a Lena meningkat, ser-seran di dalam sana. Bagaimana bisa? Oh, itu betul Pak Wili, bapak dosennya, kan? Kawan Bang Genta? Yang detik selanjutnya berkata, "Berapa tarif kamu satu malam?" W-what?! Mereka bertatapan. Mata Lena agaknya membulat, sedangkan sorot mata Wiliam ... menyesatkan di mata Marlena. Apa katanya? "Berapa tarif kamu satu malam?" Bapak dosen yang terhormat ... bertanya berapa tarif satu malam pada wanita di kelab? Saking syoknya, Lena lalu melarikan tatapan pada sudut lain kelab ini dan dia bertemu pandang dengan ... Bang Genta? Gila. Dia pun tak sengaja menumpahkan minumannya, jemari Lena menubruk gelas kecil itu, gerak tubuhnya betul-betul gradak-gruduk. Bagaimana tidak? Sontak Wiliam menyentuh dua sisi lengan wanita bergaun merah ini, juga topeng di wajah yang ... argh! Berhasil. Lena tendang burung beserta dua telurnya, lalu lari dari sana sebisa-bisa. Dengan menghindari tatapan Bang Genta, yang sepertinya ada Mas Reinaldi juga. Di mana dua laki-laki dewasa itu, Genta dan Reinal tertawa. Tentu saja, mereka sangat terhibur. Terlebih aset Wiliam ditendang oleh seorang wanita dalam kelab. Kok, bisa? Maksud mereka, respons wanita tadi agaknya jauh di luar ekspektasi. Wiliam pun belum sempat menjelaskan bahwa dia sedang dalam mode kalah bermain 'Truth or Dare'. Genta dan Reinal masih asyik tertawa. "Ternyata masih ada cewek waras di sini, ya? Aset Wili bagus padahal, sebagus wajahnya. Tapi ditendang, lho!" Agaknya, Genta takjub. "Iya, ya? Minimal dia ngasih harga. Kan, lumayan merasa dapet Wili walau bo'ong." Reinal nyengir dua jari. Wili mendesis, geram dia. Terkhusus kepada dua temannya. Nyaris jadi pusat perhatian tadi. Tanpa membalas ucapan sinting mereka, Wiliam pun menandaskan minuman non-alkoholnya, lalu beranjak. "Eh, Wil, mau ke mana?" "Kamar mandi." Genta dan Reinal tertawa lagi. *** Mampus! Lena rasa ... dia tersesat. Ditambah semakin jauh kakinya melangkah justru semakin mengerikan lirikan mata orang-orang. Fix, Marlena ketakutan. Topeng di wajahnya tidak banyak membantu, gaun merah bin ketat membuatnya semakin berada di jalan buntu, ada laki-laki yang membuatnya tersudut. Lari! Lena bahkan melepas sepatu heels-nya. Dengan panik mencari jalan keluar. Tempat ini begitu asing dan menyesakkan di kala dia tanpa Hilda, Fio, dan Zeedan. Tadi saja ada laki-laki yang bertanya berapa tarifnya. Seorang Bapak Wiliam. Mengerikan! Pandangan Lena kepada kawan Bang Genta yang itu sepertinya sudah tidak lagi sama selepas malam ini berlalu. Andai di detik pelariannya, Lena tidak kembali bertemu dengan sosok itu. Yang membuat Lena dilema antara menunjukkan siapa dirinya agar dibantu keluar dari sini dengan segala risiko atau-- "D-dua juta!" Lena meremas kemeja Pak Wili, menyembunyikan tubuh gemetarnya, juga wajahnya di depan d**a bidang itu. "Satu malam ... dua juta," katanya, memperjelas. Lena pun merapat. Apakah laki-laki yang mengejarnya masih ada? Jangan sampai tertangkap pria itu, Lena lebih baik dengan pria ini. I mean, Bapak Wiliam Budiman. Please .... Dua juta itu terjangkau, bukan? Toh, nanti saat iya jika Pak Wili mau mengapa-apakannya, Lena tinggal buka topeng dan membuat perjanjian saja. Ya, demikian hasil pikiran Lena yang super singkat. Hingga satu detik setelahnya, pinggang Lena merasakan sebuah lingkaran lengan yang kukuh dan hangat. "Wanita ini milik saya," kata Bapak Wiliam Budiman, tanpa tahu bulu kuduk Lena meremang. Gi-gila! MARLENA ... GILA KALI KAU, MARLENA!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD