"Kunci mobil dan ponsel saya ada di sana," katanya.
Di tempat yang terdapat sosok Bang Genta, kan? Dengan terus menunduk dan mencubit erat lengan kemeja Pak Wili, Lena mencoba menahannya. Dia tidak mau pergi ke situ, tetapi tak mau ditinggalkan juga.
Di malam itu.
Namun, mau tak mau, pada akhirnya Lena pasrah membawa langkahnya dengan amat berat ke hadapan dua orang tersebut; Bang Genta dan Mas Reinaldi. Di mana pergelangan tangan Lena digenggam jemari Pak Wili.
Lena berharap-harap cemas seiring langkahnya menuju ke sana, berdebar kencang dadanya, dengan rambut panjang yang Lena juntaikan agar sedikitnya menutupi sebagian wajah bertopeng ini. Semoga tak ada yang mengenali, khususnya Bang Genta.
Lena takut tamat riwayatnya. Kalau ketahuan, bisa-bisa diceramahi siang dan malam, dilarang keluar selain untuk kuliah, lalu ponselnya pun disita macam anak sekolah yang disuruh belajar tekun oleh orang tuanya, plus dikawal ke mana-mana setidaknya selama tiga bulan, juga dimata-matai tanpa sepengetahuan Lena oleh tiga abangnya yang punya banyak relasi. Pokoknya, 'RIP' kebebasan.
"Lho, lho ... apa ini, Wil?"
Suara Mas Rei.
"Dapet, lo?"
Itu Bang Genta.
Entah bagaimana ekspresi di raut mereka, Lena menunduk dalam, takut ketahuan.
Yang di mata Reinal agak aneh gelagat wanita bergaun merah itu, Genta juga menelisik. Ingin melihat parasnya, tetapi wanita tersebut terus menghindar. Terlihat jelas ketidaknyamanannya. Namun, saat Wili melepaskan cekalan itu, sang wanita justru tidak terima, dengan kembali mencekal lengan Wili seolah tak mau dilepas.
"Wow ...."
Suara Bang Genta lagi.
Wili agaknya bingung juga. "Saya cuma mau ambil ponsel."
Yang lalu ponsel tersebut disodorkan oleh Reinaldi.
Lena masih menciut, menunduk, dan bersembunyi sambil tangannya memegang lengan Pak Wili erat-erat. Bodoh amat, dah! Sebetulnya ini kode agar segera berlalu.
"Wil, jadi?" Mas Rei berkata lagi. Malah ngajak ngobrol.
Duh!
Wili dan dua temannya bermain kode mata, tetapi percayalah tidak tersampaikan dengan baik maksudnya. Yang mana di pikiran Genta, Wiliam urung sekadar bermain. Alias mau memakai wanita bergaun merah itu. Genta agak terkejut, sih, jika memang demikian. Kiranya Wiliam duda kuat iman. By the way ... Genta, kok, seperti familer akan perawakan wanita tersebut, ya?
Reinal juga agak terkejut. Niat seru-seruannya apakah berakhir serius? Tapi setahunya, Wiliam bukan pria yang suka melakukan hubungan one night stand. Baik saat masih se-iman dengannya maupun ketika sudah log out.
"Saya duluan."
Itu saja kata Wiliam.
"Lha ... Wil! Kita balik gimana?!" Mengingat keduanya menumpang di mobil Wili, Genta yang teriak.
Persetan dengan mereka, toh bisa naik taksi online atau lainnya.
Omong-omong, ....
"Efek nendang tadi jangan-jangan itu cewek jadi berubah pikiran? Kepincut karena udah nyentuh walau pake kaki?"
Genta juga heran. Perasaan tadi Wiliam ditendang, ditolak mentah-mentah, tetapi sekarang kenapa alur ceritanya jadi berubah?
Satu hal yang pasti, bisa jadi perempuan itu berubah pikiran karena merasa Wiliam adalah 'barang bagus', sayang kalau dilewatkan. Mungkin, ya. Genta sedang merumuskan penilaian berdasarkan pertimbangan dari segala aspek.
Dari segi fisik dan tampang, Wiliam itu kesukaan warga +62. Pacar Genta saja pernah genit kepada Wili, hal yang membuat retak hubungan. Putus, deh. Namun, Genta tidak membenci Wili. Dia justru pernah terpikir untuk mengenalkan sobatnya ini kepada si bungsu kelak kalau Lena sudah dewasa, tetapi waktu itu Wiliam malah menikah dengan kakak Reinaldi dan akhirnya Genta tahu kalau ternyata Wiliam nonmuslim. Undangan pernikahannya di gereja. Sebagai sahabat, Wili tidak pernah menunjukkan agama apa yang dia peluk. Tak ada bahasan soal itu juga dari Reinaldi. Dan tak mungkin Genta berteman dengan mempertanyakan 'agama kamu apa?' Itu kurang sopan.
Di sini, Genta bukan sosok yang taat beribadah. Jujur, salat lima waktunya masih suka bolong-bolong dan ketika Wiliam tidak kelihatan salat sewaktu nginap di rumahnya, dulu, Genta tidak curiga sampai ke 'apa agamanya'. Wiliam juga tidak mengenakan aksesori macam kalung bandul salib milik Reinal. Malah pernah memakai sarung Genta saat itu, kelihatan pro macam akang-akang santri melilit sarungnya. Lagi pun banyak juga orang yang cover-nya macam Wili, tetapi agamanya seperti Genta.
Dan ngomong-ngomong, langsung kandas niatnya untuk memperkenalkan Wiliam kepada Marlena. Sampai detik ini tidak pernah lagi mikir ke sana, apalagi Wiliam menyandang status duda dua kali. Namun, masih apik penilaian Genta terhadap kawannya yang itu ... sebelum malam ini melihat sendiri bagaimana Wiliam memasukkan wanita bergaun merah tersebut ke dalam mobilnya. Kayaknya, Wiliam tidak se-Masya Allah itu.
Ya, Genta dan Reinal mengekori sobat mereka. Berencana mau pulang juga. Seketika keseruannya jadi 'berbahaya'.
"Lo yang tanggung dosanya, ya, Rei."
"Nggaklah. Bagi dua kita."
***
Masih tentang malam itu.
Di dalam mobil Pak Wili.
"Buka saja topengnya," kata beliau.
Tidak, tidak!
Untuk bicara pun Lena sampai mengondisikan suaranya supaya tidak dikenali sebagai Marlena. Ya, meskipun akan ketahuan juga. Namun, selagi masih bisa menyamar, Lena akan terus mempertahankan agar tak dikenal.
Wiliam melirik perempuan di sisinya.
Lena sedang membenahkan gaun yang ketika duduk, pahanya jadi semakin terekspos. Asli, Lena menyesal memenuhi ajakan teman-temannya. Sejak awal dia tahu kelab malam tempat yang buruk untuknya. Kalau salah satu abangnya tahu, Lena pasti dimarahi habis-habisan. Belum lagi soal semembahayakan apa tempat itu, bisa-bisanya dia mengesampingkan risiko hanya untuk sebuah 'kesenangan' sesaat.
Sesat.
Lena merutuk.
Habis ini dia janji mau salat Tobat.
Kadang, teman yang baik belum tentu lingkungan bermainnya juga baik. Lena mesti pandai-pandai bergaul, tetap harus ada batasan. Tak dia persalahkan kawan-kawannya, hanya saja menyalahkan diri sendiri yang kurang kuat memegang teguh prinsipnya.
Sedang asyik merutuki diri sendiri, Lena dibuat menoleh karena ekor matanya seakan melihat pergerakan tidak sopan dari Pak Wili. Yakni laki-laki itu membuka kemejanya. Tepat di perhentian lampu merah.
Namun, saat hendak bersuara, Lena didahului oleh tindakan gerangan yang melempar kemeja tersebut ke atas pangkuan, dan lagi Pak Wili masih memakai kaus di balik kemeja ini. Menyimpan dasinya di dashboard.
O-oke.
Lena hampir berpikir dirinya akan dilecehkan, hampir juga dia menilai jauh lebih buruk sosok bapak dosennya.
"Tutupi dengan itu," ucap Pak Wiliam.
Tapi ternyata beliau mematahkan segala pikiran buruk Lena. Sedikit demi sedikit.
Tanpa kata, Lena menutupi pahanya dengan kemeja putih Pak Wili. Detik selanjutnya mobil kembali melaju dan Lena ambil kesempatan untuk bicara.
"Soal dua jutanya ... a-apa bisa dibatalkan?"
"Setelah menendang 'masa depan' saya?" Agak ditekan dua kata bertanda kutip itu.
Lena menelan kelat saliva. "Kalau gitu ... biar aku yang bayar aja, tapi hubungan satu malam kita pupus. G-gimana?"
Tatapan Lena berpaling di saat Pak Wili membalasnya.
Bisa gila!
Lena meremas jemari di atas pangkuan. Jantungnya tidak bisa dikendalikan baik gemuruh maupun detakannya sama-sama menggila secara berantakan.
"Di mana rumah kamu, sebutkan alamatnya."
Ada lidah yang Lena gigit gemas, dia tentu tidak bisa mengatakan itu. Selagi dirinya yang asli ini tidak dikenali oleh Pak Wili, Lena masih ingin terus berlagak menjadi orang lain.
Jadi, Lena sebutkan alamat apartemen Zeedan.
Ya, itu saja.
Entah kenapa Lena jadi merasa sangat lega. Setidaknya kalau di sana, Lena bisa duduk di lobi atau nanti mampir ke mal beli baju ganti dan pulang. Lokasinya dekat dengan tempat tinggal Zeedan daripada Hilda atau Fio.
Kalaupun Lena sebut rumah tinggal Fio atau Hilda, rasanya kurang pas. Bagaimana kalau Pak Wili ikut masuk dan minta bertemu keluarga--I mean, wali Lena di rumah itu. Tanpa kompromi dulu, bisa-bisa ketahuan bahwa dirinya adalah Marlena.
Sip.
Apartemen Zeedan paling aman.
Dan Lena benar-benar diantarkan ke sana.
"Te-terima kasih," ucapnya tergeragap. Masih menghindari tatapan lelaki dewasa itu.
Wiliam ikut turun dan Lena menyerahkan kemejanya. Namun, ditolak.
"Bawa dan pakai saja."
Begitu katanya.
Karena tidak mau berlama-lama, gegaslah Lena pamitan dengan berterima kasih sekali lagi karena Pak Wili yang membebaskannya tanpa ada adegan 'cinta satu malam'.
Eh, eh ... apaan itu?
Lena buru-buru melarikan diri mumpung predatornya mempersilakan.
Ya, Lena pikir begitu. Sampai saat dia hendak duduk di sofa lobi, ternyata Pak Wili mengikuti. Menatap sangsi.
Allahu!
Lena berdiri lagi. Beranjak ke arah lift. Menekan tombol naik. Plis! Dia sudah mau menangis.
Sayangnya, tubuh bongsor Pak Wili berdiri kukuh di sisi Marlena. Ikut masuk ke lift itu di kala pintunya terbuka, lalu berdiri di belakang Lena.
Argh!
Mau teriak, salto, atau apalah gitu di sana sambil menangis brutal. Ini laki kenapa mesti ikut segala, sih?!
Terlihat dari pintu besi pantulan Pak Wili dan dirinya, Lena berdiri kaku, agaknya menggigil oleh sorot mata pria itu.
Pak Wili masih tidak tahu sedang berdiri dengan siapa, bukan? Tidak tahu bahwa ini Lena mahasiswa sekaligus adik dari kawannya, ya, kan?
Ya, kalau nanti tahu, Lena bisa balas mengancam. Apa pantas seorang dosen wara-wiri di kelab malam?
Bodohnya, Lena tidak sempat memotret gerangan di sana. Tak ada bukti. Duh!
Pintu lift terbuka.
Langkah Lena semakin berat saja.
Fine!
Dia berbalik sekeluarnya dari lift. Menghadap Pak Wili yang juga menghentikan pijakan. Menatapnya.
"Aku udah nyampe. Terima kasih." Maksud lain dari mengusir.
Namun, kuang keras kodenya. Pak Wili justru melangkah maju, membuat Lena waswas sendiri. Jangan bilang mau ikut masuk? Gawat, dong! Lena tidak tahu kata sandi unit Zeedan.
Siapa pun, tolong! Lena merasa sangat terancam. Dia menelan kelat saliva.
Detik di mana tangan Pak Wili terjulur, meraih ujung dagu Lena dengan telunjuk, saat itulah Lena merasa Dewi Fortuna berpihak padanya; membawa keberuntungan dengan bunyi telepon. Suaranya langsung Lena respons, dia tahu itu dering dari ponselnya di dalam tas, sehingga Lena dapat mengelak sentuhan pucuk telunjuk Pak Wili sambil melipir menjauh.
Amat sangat beruntung!
"Sayang!"
Kalau di chat, Lena pasti bubuhkan emot menangis yang air matanya tumpah-tumpah.
Sayang?
Zeedan pasti bingung.
Ya, itu telepon dari Zeedan. Jauh-jauh Lena dari Pak Wili, meski lelaki itu masih menatap awas padanya.
"Halo, Len? Lena, kan?"
Pak Wili tidak akan mendengar suara Zeedan, hanya suara Lena.
"Ha-halo? Sayang? Ih, kok, putus-putus? Di chat aja, Yang."
Jari Lena sampai gemetar mengklik tombol merah di layar, lalu menatap Pak Wili sejenak. Dia tidak ketahuan, kan? Tadi suaranya dibuat-buat. Dia juga mengetik secara kilat pada kontak Zeedan, mengirim pesan.
Lena: [Dan, tolong password apartemen kamu apa? Urgent.]
Lena: [Aku di sini, tapi tolong kasih tau dulu pinnya. Nanti aku jelasin.]
Oh, Pak Wili mendekat.
Ya Allah, Ya Allah!
Langkah beliau amat sangat memorak-porandakan kestabilan detak jantungnya.
Untung Zeedan langsung membalas. Gegas Lena tekan angka-angka itu di papan kunci unit Zeedan setelah menghafalnya dengan kilat.
Nah, terbuka!
Namun, kenapa kaki Pak Wili menahan daun pintu ini di kala Lena hendak menutupnya?
KENAPA?
MAU APA?!
Tatapan mata Lena seakan meneriakkan isi kepalanya untuk sosok Bapak Wiliam yang Terhormat di sana, menatap tajam wajah Marlena.