[6] Jangan, Ya, Dek, Ya

1673 Words
"Murah sekali dua juta." Dengar? Itu sindiran dan Lena tahu siapa pemilik lirihan suara barusan. Dia embuskan napasnya dengan jengkel, lalu berbalik dan betul saja di belakangnya ada Bapak Wiliam yang tidak Budiman. Di dapur rumah Bang Genta. "Bapak mau ngapain?" Biarlah Lena alihkan topiknya. "Saya lapar. Genta bilang ada telur di kulkas, mau saya olah." Benar-benar mengeluarkan telur dari sana. Beginilah, Bang Genta membuat rumahnya jadi basecamp, di mana teman-teman gerangan dipersilakan masak sendiri kalau memang sudi. Namun, urusan minuman selalu meminta Lena yang suguhkan. Dan di situ Lena sedang masak mi. Dia juga lapar. Melihat ada mi instan di rak atas, gegas saja dirinya olah. Dicampur cabai dan sayuran hijau. Sekarang Lena memilih bungkam, tidak berkata-kata lagi. "Mengonsumsi mi instan itu tidak baik untuk kesehatan." "Asal nggak berlebihan," tukas Lena. Dia tuangkan mi tersebut ke dalam mangkuk beserta kuah-kuahnya. Uh, aromanya sedap sekali. Sedangkan, Pak Wili sudah mulai mengocok telur. "Konon konsumsi telur juga bisa bikin bisul." Posisi mereka bersebelahan. Agaknya untuk menatap Pak Wili, Lena harus sedikit mendongak. "Dengar," katanya, "bisul dapat terjadi karena faktor makanan ataupun minuman yang tidak bersih dan mengandung bakteri penyebab bisul. Penyebab bisul yaitu infeksi bakteri S. aureus pada folikel rambut. Bakteri ini akan menginfeksi jika terdapat luka gores atau gigitan serangga pada kulit. Begitu saja tidak tahu." Marlena kontan terperangah. Dia tahu Pak Wili ini dosen, tetapi bukan ensiklo' atau wikipedia hingga perkara bisul saja dapat dijelaskan serinci itu, padahal beliau hanya dosen di jurusan Sastra Indonesia pada mata kuliah Digitalisasi Naskah. "Kalau mau mengaitkan telur, kaitkan dengan jerawat kamu. Baru saya benarkan." Woi! Bawa-bawa jerawat, kurang asem sekali. Itu, kan, hal paling sensitif pada diri wanita selain soal berat badan. Lena kontan mencebik. "Bodoh amat, deh. Anggap aku tuli sejenak." "Ucapan adalah doa." "Amit-amit, Ya Allah!" Sambil berlalu membawa mangkuk minya. Lena duduk manis di ruang tengah, bersandar pada sofa dan dia lesehan, tak lupa menyalakan televisi. "Lho, kamu masak mi cuma buat diri sendiri aja, Len?" "Abang kalo mau, buat sendiri aja atau itu ada Pak Wili." Lena seruput kuah minya. Eh, dia tersedak. Uhuk-uhuk! Demikian suaranya. Yang Genta ledek dengan, "Kan, kan. Makanya kalau masak mi, masakin juga buat Abang." Di rumah itu hanya ada tiga orang; Genta, Marlena, dan Bapak Wiliam. Di mana dua kakak Lena yang lain pergi dengan urusan masing-masing. Mas Reinal juga tidak ikut hadir di sini, katanya sedang sibuk urus pernikahan. "Wil, di kampus Lena bandel, nggak?" "Saya dosennya, bukan pengawalnya." Mendengar itu, Lena ikut tertawa. Bang Genta menabok punggung sobatnya dengan akrab. "Maksud gue, mana tau lo pernah denger atau pernah liat Lena jelalatan." Alamak! Tidak. Lena memberi kode. Berhubung lokasinya dengan dapur tidak ada pembatas, jadi dia bisa menjangkau sorot mata Pak Wili di sana. Posisi Bang Genta terhalangi pintu kulkas, sedang mengambil air dingin. Lena pun menyilangkan tangan dan geleng-geleng kepala. Pak Wili mengabaikan kodenya. "Kurang tahu, tapi anak seusia Lena memang sedang di fase nakal-nakalnya. Harus dijaga ketat. Kalau perlu, patroli di ponselnya." "Itu, sih, melanggar privasi!" Lena tidak terima. Kalau di kampus dia memang ciut dan melempem karena kawan abang yang ini amat sangat killer bin profesional, tak terasa aura teman kakaknya, jadi Lena sungkan dan memilih tidak berurusan. Beda kalau di rumah, Lena bisa ikut menimpali obrolan mereka, apalagi ini tentangnya. Maka dari itu, mampus saja dia dapat dosen pembimbing macam Mister Wiliam. Sebaik apa pun hubungan Lena dengan beliau yang selaku kawan Bang Genta, tetap cara main gerangan amat profesional, memperlakukan Lena seperti mahasiswa lainnya. Gegas Lena buka ponsel dan mengirim pesan di grup persohiban. Lena: [Betewe, Guys, aku dapet dospemnya Pak Wili. Ada yang sama?] Hilda: [Ih, njir. Mampus kamu, Len.] Fio: [Lebih baik kamu ubah dari sekarang materi skripsinya, ganti dospem.] Zeedan: [Lebay kalian.] Hilda: [Bukan gitu, Dan. Tapi emangnya kamu nggak pernah denger alumni kita yang skripsiannya di bawah bimbingan Pak Wili?] Fio: [Si paling susah diajak ketemu, tipe yang maunya dikejar-kejar mahasiswa, udah gitu bab satu aja revisinya bisa sampe lima kali. Apa kabar yang lainnya? Kalo nggak botak, ya, kurus kering nanti kamu, Len, perkara stres dapet dospem macam beliau.] Hilda: [Karena beliau itu amat sangat perfeksionis. Huhu ... jangan, ya, Dek, ya. Jangan.] Zeedan: [Tapi setau gue, mahasiswa yang skripsinya dibimbing Pak Wili itu nilainya tinggi-tinggi.] Fio: [Tinggi kalo kamu stres buat apa, Dan? Lebih baik keselamatan mental daripada selamat nilai skripsi, tapi kondisi mental berantakan.] Hilda: [Asal lulus juga udah Alhamdulillah, nggak, sih? Wkwk.] Lena: [Ih, kok, serem? (T . T) ] Hilda: [Asli, Len.] Zeedan: [Tenang, Lena. Lagian Pak Wili bukannya temen abang kamu, ya? Mana tau ada angin segar.] Hilda: [Selagi bukan istrinya, aku rasa belum aman, sih.] Fio: [Mana tau yang jadi istri Pak Wili juga tertekan, makanya beliau duda dua kali, kan? Eh, bukannya gimana, ya.] Lena: [Iya lagiii. Huaaa! Terus nasib aku gimana? Masa udah melangkah sejauh ini harus ngulang? Sayang waktunya, gak, sih?] Hilda: [Tapi nanti kalo dospemnya Pak Wili, bisa jadi makin lama kelar skripsinya, Len.] Zeedan: [Udahlah, semangatin aja. Gue yakin Lena sanggup. Pak Wili gak seserem itu. Bismillah.] Fio: [Kamu nonmuslim lancar ngetik bismillah juga, ya, Dan? Hehe.] Zeedan: [Lha, kalian yang muslim juga suka bilang astaga-astaga. Wkwk.] Lena: [Asal bukan asyhadu .... @Zeedan] Dia cekikikan. Malah terhibur membaca isi room chat dengan kawan. Tak terasa, Lena pun selesai makan. "Sudah mi instan, pakai nasi pula." Wiliam geleng-geleng kepala. Melihat bekas makan Lena yang rupanya ada jejak nasi. "Nggak pa-pa. Mi instan pakai nasi seleraku!" tukasnya. Sudah, ah. Lebih baik masuk kamar. *** Sepulang dari rumah Genta, di mana dia ada projek digital bersama--masih ranah kecil-kecilan, bersama Reinal juga, tetapi hari ini Reinal tidak bisa hadir sebab sedang fitting baju pengantin. Wiliam meletakkan ponsel di meja. Sejenak dia cek dan terdapat notifikasi pesan masuk. Zeedan: [Kasih kemudahan buat Lena, ya, Bang. Dia sahabat Zeedan.] Wiliam pun alih ke kamar mandi tanpa membalas pesan tersebut. Ngomong-ngomong soal Marlena, ternyata dia 'laris' juga. I mean, banyak laki-laki yang minat padanya. Pertama, Reinal. Walau hanya sebatas 'senang' biasa. Kedua, Zeedan. Walau tidak ditunjukkan, tetapi Wili bisa merasakan percikan asmara dari sang adik untuk sosok Marlena. Ketiga, Kean. Konon, itu tetangga Genta dan merupakan pacar Lena dulunya. Yeah, pantas tiap kali melihat dirinya, Kean selalu kelihatan sentimen. Tertanda semenjak Lena memasuki mobilnya kala itu. Wili tidak peduli, sih. Namun, lucu saja. Wili cukup terhibur dengan kekonyolan adik bungsu Genta. Bisa-bisanya memberi harga dua juta. Itu, sih, yang paling membekas. Wili teguk air mineralnya, habis itu membuat salad buah. Semenjak tahu dirinya oligospermia, Wili jadi mengubah gaya hidup lebih sehat. Memang dulu dia sering minum alkohol dan merokok, macam cerutu juga pernah. Wili menikah di usia 20 tahun, cerai dengan Ellen di umurnya yang ke-25. Sejak saat itu, Wiliam tidak pernah konsultasi ke dokter lagi. Waktu demi waktu, Wiliam tidur lebih awal dan bangun pukul empat pagi. Dia olahraga dulu, minimal lari keliling kompleks setelah salat Subuh sampai fazar menyingsing. Habis itu menyiapkan sarapan sambil bertelanjang d**a, lalu mandi dan cukuran, kemudian makan. Oh, ponselnya bergetar. Satu pesan baru telah masuk. Wili membacanya dari layar notif. Marlena: [Asalamualaikum, Pak. Saya Marlena dari kelas Sastra Indonesia B, mahasiswa bimbingan Bapak. Kiranya, kapan Bapak ada waktu? Saya mau bimbingan skripsi. Terima kasih.] Begitu saja sudut bibir Wili terangkat satu, lanjut makan dengan tenang di dalam kesunyian itu. *** "Gimana, nih? Belum dibaca-baca sama Pak Wili." "Tuh, kan, aku bilang juga apa, Len. Ganti dosbim aja." "Fio, ganti dosen pembimbing itu nggak bisa seenak udel," tukas Zeedan. "Prosedurnya kita harus ulang dari awal. Belum lagi milih judul, milih kajian materinya, ribet. Jalani aja, Len. Gue semangatin." Bibir Lena mengerucut. Dari tadi dia sedang galau perkara chat dosen pembimbing. Kalau Bu Marta, sih, sudah dibalas. Nah, ini Pak Wili dari pagi sampai mau sore pun cetang dua biru saja tidak. "Ya udah, sabar aja, Len. Kalo udah frustrasi banget, nanti kamu ngeluh aja sama Bang Genta." "Ide bagus, Hilda." "Pak Wili suka main ke rumah kamu, kan, Len? Tagih aja pas itu. Tanya-tanya. Bimbingan juga sekalian." "Masalahnya beliau ini manusia paling profesional di kampus kita, kan, Fio? Kalian juga tau. Tapi nanti aku coba, deh." "Iya, tuh. Coba dulu." Zeedan setuju. Mereka sedang nongkrong di kafe depan kampus. Hanya Lena yang apes soal dosen pembimbing sepertinya. Hilda malah dosbimnya yang mengejar, menyemangati agar lekas digarap skripsinya, sampai ditanya mau menikah atau tidak; kalau mau, ya, cepat selesaikan skripsinya. Humoris pula dosbim Hilda, tuh. Lena agak iri. Nah, kalau Zeedan dan Fio, rupanya mereka dapat dosen pembimbing dua yang sama. Fio jelas kesenangan sebab bisa bareng Zeedan selalu. Pun, dosen-dosen pembimbing mereka ramah dan tidak sesibuk Bapak Wili ini. "Eh, dibales!" Spontan membuat terkesiap teman-temannya yang sedang diam. "Dibales, Guys, dibales!" Lena gembira sekali. Zeedan pun tersenyum senang mendengarnya. "Jadi, apa katanya?" tanya Hilda. Lena membacakan pesan balasan dari Pak Wili. "Waalaikumsalam, Wr. Wb. Besok habis zuhur, ya." "Mantap!" Zeedan acungkan jempol. "Semangat, Len!" "Bales lagi, tanyain di kampus dan di ruang mana. Nanti miskom bahaya. Bicara soal tempat ketemuan sama dosbim juga krusial, Len." "Oke, Hil." Gegas Lena ketikkan balasannya. Sekian menit berlalu. "Padahal lagi online, kok, chat aku gak dibacanya lama banget, sih?" Kesal. "Sabar, Lena." Zeedan menyodorkan milkshake milik Lena, kepada Lena tentunya. "Minum dulu. Kalo mau nambah, pesen lagi aja. Yang itu gue traktir." "Ih, mau juga, dong, ditraktir Zeedan!" seru Fio. Hilda pun sama. "Iya, sana pesen aja." "Len, mau sekalian dipesenin, nggak?" tawar Hilda, hendak beranjak. "Nggak, Hil. Habis ini aku pulang, kok." "Yah ... masa pulang?" Lena pun pamitan. Tak lupa berterima kasih kepada mereka. "Gue anter, ya, Len?" "Gak usah, Dan. Bawa motor, kok." Dan setibanya di parkiran, dia pakai helm pink, padahal motornya laki, lalu melajukan kendaraan roda duanya. Kalau Lena tidak bawa motor, itu artinya dia sedang malas mengemudi, jadi diantar Bang Gilang. Lampu merah, Lena berhenti. Pas sekali di sisi kanan mobil yang mana jendelanya turun, dibuka dari dalam, Lena kontan menoleh. Oh, Pak Wili. "Bahaya sekali bawa moge jinjit-jinjit." H-hei! Kaca jendelanya kembali naik, tepat di kala lampu kembali hijau. Kan, Lena belum sempat mengumpat. Ya Allah, sabar, Ya Allah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD