[7] Malaikat Maut

1412 Words
Sekadar informasi, bukannya mau flexing atau pamer gaya hidup mewah, tetapi kendaraan di pelataran rumah Lena yang menjelma garasi itu ada empat. Sesuai jumlah orangnya, hanya beda jenis saja. Ada satu mobil milik Bang Genta, lalu dua moge beda warna punya Bang Nandar dan Bang Gilang, terakhir motor matic kebanggaan Lena. Setidaknya hanya motor itu yang dia kendarai tanpa perlu jinjit-jinjit. Namun, karena ternyata ada momen di mana motor matic Lena dipinjam abangnya, alhasil dia pun diajari motor nungging alias moge. Terkadang Bang Gilang kalau kencan sukanya bawa matic sebab itu permintaan sang pacar. Ngomong-ngomong, moge Bang Gilang berwarna hitam, lalu Bang Nandar warna putih. Kendaraan tersebut hasil merayu Bang Genta dengan memperlakukannya bak raja di rumah ini selama satu tahun. Bayangkan! Bang Nandar bersedia memijat beliau, begitu pun Bang Gilang melayani itu dan ininya. Lena agak terbantu, sih, waktu itu. Tentu, tanpa harus merayu, Lena ditawari sendiri oleh Bang Genta soal kendaraan, asal tidak request mau motor apa, sedikasihnya saja. Sekarang Lena mau rebahan dulu. Lelah, pusing, tetapi ponselnya bergetar dan dia melihat nama Pak Wili di layar. Sosok yang belum dia maki-maki secara langsung. Ah, tapi kalau ada kesempatan pun sepertinya Lena memilih maki-maki dalam hati. Pak Wili: [Di ruang dosen.] Just it. Balas tidak, ya? Kalau tidak ... tidak sopan, kan, ya? Walau menyebalkan, tetapi beliau ini dosen. Statusnya sebagai teman Bang Genta lemah, soalnya ini Bapak Wiliam Budiman. Si paling profesional. Lena: [Baik, Pak. Terima kasih.] Dibubuhi emotikon sungkem. Seperti biasa, langsung centang dua abu dan sampai pagi pun begitu. Lena mencebik. Ngapain juga dia lihat room chat-nya dengan Pak Wili? Ini masih pagi, lho. Muncul pesan baru dari nomor yang sudah Lena hapus, tetapi dia tahu siapa gerangan. [Len, ibu sadar.] Dari Kak Kean. [Ibu pengin ketemu kamu.] Dan yang disebut ibu itu adalah orang tua Kak Kean, tetangga Lena, lebih jelas lagi yaitu sahabat dari ibu Lena, sempat Lena anggap sebagai orang tua kedua ... sebelum Kak Kean merusak segalanya. [Kakak mohon datang, ya, Len. Ibu manggil-manggil kamu.] Kabarnya waktu itu koma, makanya Kak Kean sering kelihatan ada di rumah sebelah. Rumahnya jadi kosong kalau tidak ada Ibu Mala, Kak Kean yang sesekali membersihkannya. Demikian, Lena menghela napas berat. Bukannya apa, dia orang yang sangat tahu terima kasih dan ingat jasa-jasa ibu Kak Kean pada keluarganya selepas jadi yatim-piatu. Jadi, mustahil dapat menghindari permintaan beliau itu. Lena memang membenci putra Bu Mala, tetapi bukan berarti Bu Mala harus mendapat cipratan kebencian itu darinya. Bulan lalu tersiar kabar bahwa Bu Mala kecelakaan dan koma, lalu sekarang .... "Bu Mala udah sadar, Bang." Lena mengumumkan berita tersebut kepada tiga kakaknya. Bang Genta, Bang Nandar, dan Bang Gilang langsung menoleh. *** Dulu .... "Kamu udah nggak sama Kean, ya, Len?" Hari itu. "Nggak bilang-bilang, sih, kamu kalo udah putus sama Kean? Abang, kan, jadi malu tadi pas Kean ke sini, kiranya mau ngapel. Eh, ternyata cuma mau kasih undangan. Bukan nama kamu lagi, Len, yang tercantum. Parah, nih. Abang nyebut dia ipar, lho, tadi." Lena menatap sodoran kertas berplastik dari Bang Gilang. "Kapan putusnya kalian?" Yang Lena gigit bibir bagian dalam. Membaca silabel nama pengantin di sana. Cassandra Santika & Kean Panji Pangalila. Undangan pernikahan. Untuk Marlena. Seketika gemuruh di d**a tak dapat Lena kendalikan, dia kehilangan ritme tenangnya. Padahal baru saja Lena menghubungi Kak Kean, bertanya soal kejelasan hubungan sebab merasa digantung. Mempertanyakan keseriusannya yang meminta Lena menunggu dua tahun. Sebentar lagi, tetapi semakin ke sini malah semakin terasa menghilang. Oh, jadi ini jawabannya? Telak. Meski begitu, Lena bilang, "Dari tahun lalu udah nggak sama dia lagi, Abang aja kudet." Sambil berlalu, membawa serta kertas undangan itu. Sesak. Lena tutup pintu kamar. Bang Gilang tampaknya tidak curiga karena memang jarang melihat Lena intens dengan Kean seperti awal masuk SMA. Pun, tak ada yang merasa janggal dengan itu karena pasti berpikir toh cinta monyet zaman putih abu. Lena tidak cerita soal janji Kak Kean yang memintanya menunggu selama dua tahun itu, yang katanya mau langsung menikahi Lena sehabis lulus sekolah nanti. Iya, sih ... Lenanya saja yang bodoh karena memercayai kalimat bullshit itu. Namun, ini Kak Kean. Seseorang yang dia kenal sedari kecil, tetangganya pula dulu, dan orang yang Lena cintai di masa menggebu-gebunya itu. Menikah? Belum genap dua tahun, tetapi nama lelaki itu sudah tercantum mendahului janjinya, dengan nama perempuan yang bukan Marlena Utama pula. Wajar kalau dia menangisi hal itu, kan? Sakit rasanya. Patah hati pertama Lena, dari si cinta pertama juga. Sebelum dengan Kak Kean, Lena pernah pacaran dengan Bang Aji memang, tetapi demi apa pun tanpa perasaan karena SD kelas 6 versinya mana paham soal cinta-cintaan. Praktis Lena mengirim banyak sekali pesan kepada kontak gerangan, berikut memfoto undangan di tangan. Lena: [Apa maksudnya ini?] Lena: [Aku rasa di antara kita bahkan belum ada kata putus.] Lena: [Bukannya Kak Kean minta aku nunggu dua tahun? Ini apa, Kak?] Lena: [Sumpah, ya. Aku benci Kakak.] Lena: [Jadi selama ini susah dihubungi, tuh, karena ada cewek lain?] Lena: [Berengesekk, ya, ajg.] Lena: [HARUSNYA KALO GINI, MINIMAL PUTUSIN AKU DULU!] Lena: [BERBULAN-BULAN WAKTU AKU HABIS BUAT MIKIRIN COWOK YANG KUPIKIR LAGI SIBUK KULIAH KARENA UDAH SEMESTER TUA, WAJAR NGGAK BISA SE-FAST RESPONS DULU BALES CHAT-NYA, WAJAR NGGAK ADA KABAR SEHARIAN, WAJAR UDAH JARANG TELEPON DAN VIDEO CALL.] Lena: [Bgst.] Lena: [Taunya emang selingkuh.] Sambil menangis Lena ketik dan kirimkan pesan penuh emosinya, berapi-api, kata kasar pun dia keluarkan walau disingkat. Dan kalian tahu apa balasan dari Kean? [Maaf, Len.] [Kita putus.] Seperti itu. Baru saat itu pula. Lena sampai tertawa tanpa suara, tetapi air mata semakin deras alirannya. Sungguh ... hatinya dibuat porak-poranda, sukses besar Kean menghancurkannya. Jadi, wajar kalau sekarang Lena sampai punya prinsip mau jadi jomlowati saja, kan? Tanpa batas waktu, Lena tak tahu kapan dia siap menerima cinta baru. By the way, dia bersama ketiga abangnya telah tiba di sana, di rumah sakit tempat ibunda Kak Kean dirawat. Sebelum itu, diam-diam Lena mengembuskan napas berat, juga dia remas sisi celananya. Akting dimulai! Lena tersenyum ramah kepada Bu Mala, yang mana ada Kak Kean di sini. Namun, bukan mereka yang membuat Lena sudi berkamuflase, melainkan ketiga abangnya. Salah Lena yang tidak menunjukkan patah hatinya, dulu, salah Lena yang tidak mengadu kepada satu saja dari mereka itu, dan salah Lena yang ikut datang ke acara nikahan Kak Kean dengan tiga abangnya, tanpa raut tersakiti. Jadinya, yeah ... begini. Hati Lena retak lagi. *** "Len, sabar." "Harus sesabar apa lagi aku, Dan? Ini udah lebih dari habis zuhur. Udah lewat asar malah!" Emosi Lena sedang tidak stabil di hari itu gara-gara mood paginya buruk. Ditambah sekarang janji temu dengan Pak Wili, beliau ngaret parah! Janjian habis zuhur, Lena menunggu dari sebelum azan berkumandang. Ditunggu-ditunggu, eh, tahu-tahu azan Asar terdengar. Fix, semua lelaki kurang ajar! Busuk! Apalagi janjinya itu. "Sumpah, ya. Paling gak banget aku sama orang yang nggak bisa nepatin janji, apalagi soal janji menyangkut waktu." Lena mendumal. Dadanya kembang-kempis emosi, amat membara, berapi-api. "Habis zuhur, lho, Dan. Habis zuhur! Ini udah lewat asar. Sesibuk-sibuknya orang, sibuk yang gimana, sih? Minimal kasih kabar bisa, kali!" "Len, udah." No! Lena masih sebal dan dia perlu meluapkan unek-unek yang bercokol di benaknya. Lisan Lena pun terasa ringan tanpa hambatan saat ini. "Hellow ...! Kita hidup bukan di zaman batu yang nggak ada benda secanggih hape. Tinggal kring atau ting, deh. Telepon, kek. Chat, kek. Masa gitu aja nggak sempet?" "Lena--" "Padahal aku lihat beliau online, tahu, Dan! Kenapa, sih? Chat aku juga gak dibaca. Centang abu terus. Apa emang sengaja karena itu aku? Ada masalah apa Bapak Wiliam yang tidak Budiman itu sama aku?" Pokoknya kesal, kesal, kesal! Lena sensitif kalau soal janjian waktu dan menunggu. "Ngalah-ngalahin presiden, yakin! Atau emang lagi urus anggaran negara makanya ... ah, nggak. Orang-orang yang notabene wakil rakyat aja masih sempet main game, tuh!" Zeedan mengembuskan napas pasrah. Ah, sudahlah. Lena berdecak. "Semua cowok sama aj--!" Aduh. Dia berbalik dan hidungnya menubruk brutal sebidang d**a manusia. Auto tersentak mundur, Lena pegangi hidung dan agaknya dia mendongak menatap ... Pak Wili? Sudah dikata, Zeedan pasrah menatap Lena yang ditatap tajam oleh Bapak Wiliam yang katanya tidak Budiman. "Ikut saya." Alamak! "Dan ...." Angkat tangan. "Semangat, ya." Zeedan menepuk pundak Marlena. "Susul, tuh, dosbim lo. Keburu jauh." HUWAAA! Suara teriakan batin Lena yang suci. Semoga dia masih bisa bernapas dengan benar esok nanti. "Tolong sampaikan ke Fio sama Hilda, ya, Dan. Aku minta maaf kalo selama ini--" "Lena, plis! Pak Wili itu dosen, bukan malaikat maut. Udah sana!" Ta-tapi ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD