[5] Khodam Maung

1733 Words
William Ghamaliel Emilius, dari namanya saja tecermin bahwa dia bukan pemeluk agama yang sama dengan Genta. Namun, Genta tidak tahu sedetail itu perihal namanya. Hanya tahu bahwa silabel 'William' sudah lumrah dipakai nama anak seluruh bangsa beragam agama. Hingga ketika Wiliam mengirim undangan, meminta Genta datang sebagai groomsmen, semacam pengiring pengantin pria, Wili mendapati raut terkejut di wajah Genta. Namun, agama adalah perihal yang sensitif. Tak mereka bicarakan, yang penting toleransinya. "Wah ... batal, deh, gue cem-cemin lo buat jadi ipar, Wil. Haha!" katanya. Dulu, tentang Wiliam yang masih double L, William. Sebelum ganti jadi 'Wiliam'. "Memangnya kamu mau pasangin saya sama adikmu yang mana? Ginandar?" "Sembarangan! Dia cowok." Itulah makanya Wiliam terkekeh. "Saya masih normal." Well, setahunya Genta punya adik tiga. Ginandar anak kedua, lalu Regilang, dan terakhir Marlena. Namun, yang benar saja! Marlena masih kecil. Wiliam saat itu berusia 20 tahun, bisa jadi Marlena masih SD. Kan, bedanya 9 tahunan. Genta juga tertawa. "Maaf, ya. Saya sudah menemukan pasangan." Dan wanita itu adalah kakak dari Reinaldi. "Ya elah, canda doang gue. Lagian ternyata kita beda 'server', ya?" Beda agama maksudnya. Wiliam mengulas senyum tipis. "Meski begitu, saya harap kamu bersedia datang." Ya, dulu. Itu sudah berlalu. Sebelum hari H pernikahan, sebelum ada rencana menikah, Wili dan Reinal suka menjaili adik Genta yang bungsu. Kedapatan Marlena suka salah tingkah. Khas remaja. "Wil, Wil, coba lo liatin Lena tanpa kedip, nanti dia salting brutal kayak waktu itu." Saat-saat Marlena menyuguhkan tiga cangkir teh di meja, Wiliam memandanginya tanpa berkedip sebagaimana instruksi Reinal. Kejailan Wili sampai di sana saja, beda dengan Reinal yang sampai menggombal. Membuat pipi Lena semu-semu merah jambu, lalu terbirit masuk, yang kemudian mesem malu-malu. Lucu. Nanti sesudahnya Genta ngomel-ngomel. "Jangan kayak gitulah. Entar bungsu gue cepet puber. Itu aja akhirnya dia putus dari cinta monyet pertamanya beberapa bulan lalu." "Anak sekecil itu sudah pacaran?" Genta mengangguk. Agak kesal akan fakta tersebut. "Dari kelas enam SD. Temennya Gilang, tuh, si Aji. Nggak tau gimana jadi pacaran sama Lena. Gue omelin sampe nangis." Reinal terbahak. "Galak amat, lo!" Wiliam pun melegut teh hangat buatan Marlena. Baru pulang sekolah sepertinya, masih pakai seragam. Wili tahu bahwa orang tua Genta sudah lama tiada. Di sini, Gentalah yang jadi wali mereka, tulang punggung. Itu yang membuat Wili kagum dan senang berteman dengan Genta. Pemikirannya kadang lebih dewasa daripada usia. Sementara dirinya, anak kedua dari tiga bersaudara, yang mana papi-maminya masih ada, juga keluarga 'lebih dari' sekadar berkecukupan. "Eh, bentar. Gue salat dulu." Genta berlalu. "Betewe, salat itu ibadahnya orang muslim," ucap Reinal. "Saya tahu." "Mereka ibadahnya lima waktu, denger-denger." Wiliam tidak menyahut. Yang lalu Lena muncul dengan jilbab di kepala. "Om, bilangin abang, Lena udah berangkat ngaji gitu, ya! Tadi udah teriak, sih. Lagi salat." Sambil memakai sandalnya. "Siap, Cantik. Tapi gimana kalau sebut 'mas' aja? Mas Rei. Jangan om." Reinaldi haha-hehe. Lena pun mengangguk dan pergi. "Kalo abangnya bukan Genta, udah gue ajak log in ke server kita, dah, itu si Lena." I mean, diajak masuk ke kepercayaan yang dia peluk. Reinal menyukai Marlena. Dia bisa menunggu Lena versi dewasanya. Namun, tidak berani serius karena dinding penghalangnya amat tinggi. Suka buat seru-seruan saja. Wiliam, sih, tidak tertarik. *** Dalam pernikahan Wiliam bersama kakak Reinaldi, di masa-masa itu dia bahkan sempat tinggal di luar negeri. Semuanya terasa menyenangkan walau sudah sangat jarang bermain dan bertemu teman-teman. Wili fokus pada bisnis sekaligus rumah tangganya. Dia punya platform edukasi yang disebutnya 'bisnis' itu. Khususnya tentang belajar berbahasa, baik English dan Indonesia. Sayang, rumah tangga Wili hanya bertahan selama lima tahun saja. Terlalu singkat, bukan? Dan di tahun-tahun terakhir, Wili dengan istrinya lebih sering cekcok sengit semenjak dia berbagi soal niat hijrahnya. "Kamu nggak cinta sama aku, Wil!" "Cinta!" "Kalau cinta, kamu nggak bakal ninggalin aku!" "Makanya aku minta kamu untuk ikut sama aku, Ell. Dari lama kita udah bahas ini." "Tuh! Sama Tuhan aja kamu nggak cinta, gimana sama aku? Padahal aku udah terus memihak kamu, aku terima apa adanya diri kamu. Kurang, Wil? Dan kamu malah mau ninggalin Tuhan kita, terus gimana aku bisa percaya kalau kamu selamanya nggak akan ninggalin aku segimana aku yang setia sama kamu!" "Ellen! Ini bukan soal itu dan kamu tahu--" "Apa pun, Wil! Sekarang gini, kamu tetep di sini dan teruskan hidup dengan kepercayaan kita atau pergi memeluk kepercayaan lain dan itu berarti kita nggak bisa sama-sama lagi. Karena aku nggak mau imamku beda keyakinan." "Ellen ...." "Pilih!" Amat berat bagi Wiliam, yang di tengah perjalanan menikahnya, dia ingin hijrah. Ada hal yang membuatnya merasa hilang arah di pernikahan itu, lalu jati dirinya diketemukan dengan arah baru. Meski dalam kepercayaannya, perceraian tidak dilegalkan. Namun, jika sudah tidak se-iman yang merupakan prinsip utama, rasanya sulit untuk terus dipertahankan bagi Wiliam, terlebih Ellen pun memintanya untuk memilih. Demikian, Wiliam bersaksi bahwa dia siap mempertanggungjawabkan pilihannya. "Maaf ...." Air mata menggenang di pelupuk Ellen bersama segudang kemarahannya. Bertahun-tahun lalu. Wiliam dinyatakan oligospermia. Kecil kemungkinan untuknya bisa punya keturunan, sedangkan Ellen adalah anak perempuan satu-satunya dan anak pertama. Adik-adiknya masih kecil, Ellen saja menikah dengan laki-laki sepantar sang adik. Lantas, ketika kumpul keluarga, Reinal bahkan tak tahu akan masalah ini, orang tua Ellen selalu menekan soal momongan. Selalu. Sampai Ellen ikut stres walau masalahnya ada di Wili. Sering membicarakan soal itu dan selalu berujung pada pertengkaran. Program bayi tabung, Ellen tidak mau. Adopsi, apalagi itu. Sambil Wili melakukan semacam pengobatan baik konsultasi medis dan herbal, malah diketahui oleh orang tua Ellen, di situ puncaknya. Wili kehabisan rasa percaya diri. Ellen juga sempat ber-silent treatment lama sekali. Orang tua Wili mendengar kabar tersebut, malah jadi menambah cekcok antar keluarga. Semakin memanas. Mereka saling ikut campur. Usia Wili masih 23 tahun saat itu, ditambah dia harus menyelesaikan tesisnya. Kacau. Lalu yang dilihat adalah kehidupan Genta. Wili tahu temannya itu memiliki segudang masalah, khususnya ekonomi dan perannya sebagai wali. Wili tidak bercerita, justru Genta yang berbagi kisahnya. Wili hanya mendengarkan. Entah dari celah sempit yang mana, kisah Genta jadi bernilai inspiratif dan Wili meminta Genta sharing lebih banyak soal itu. Demikian, selepas hijrah dan benar-benar ikhlas melepas orang-orang kecintaan, terutama Ellen dan mami-papi, Wiliam menikah lagi. Kali itu dengan janda anak satu. Ah, tak terasa semuanya sudah berlalu. Sekarang yang ada hanyalah sosok Wiliam yang baru. Yang kembali 'sendiri' dan mungkin selamanya akan tetap begini. Lintas jejaknya dirasa buruk sekali. "Eh, tumben. Biasanya nggak pernah mampir!" Hari itu. Wiliam memasuki kediaman saudaranya, dia sodorkan kertas di meja, bertuliskan angka-angka. Sang adik baru saja kembali dari kampus sepertinya. Duduklah di depan Wiliam, meraih kertas tersebut. "Kata sandi baru. Selagi masih ingin tinggal di sini, jangan biarkan orang selain Abang tahu." Wait! Agaknya, kening Zeedan mengernyit. Mencerna situasi yang terasa amat kebetulan. Soalnya nggak mungkin Bang Wili tahu bahwa Zeedan telah mengirimkan sandi apartemen ini kepada Marlena, ya, kan? Tapi, kok .... Rasanya perlu mengecek CCTV. Bisa jadi waktu itu .... Sialnya, meski tinggal di sini, akses CCTV-nya hanya diizinkan Bang Wili yang tahu. Zeedan sebatas menempati, menumpang. But, dia jadi curiga. Sayang seribu sayang, tak bisa serta-merta Zeedan tanyakan kepada Lena. Kan, hubungannya dengan Wiliam Budiman dirahasiakan. Baru kali ini Zeedan menyayangkan kerahasiaan tersebut, padahal yang awal-awal ngide adalah diri sendiri. Lantas, bagaimana ini? *** "Len, bikinin minum buat Wili!" Dengar? Lena bahkan baru pulang sehabis dari kampus dan emosinya telah dibuat gonjang-ganjing oleh Kean sebelum masuk ke rumah ini. Belum juga punggungnya mendarat sempurna di kasur, teriakan Bang Genta mengusik tanpa terkecuali. "Len, lihat kaus kaki Abang, gak?" Ini lagi satu. Abang nomor dua, Ginandar Utama, yang sekalinya ada di rumah pasti always bertanya di mana barangnya. Kali ini kaus kaki. "Yang biru dongker, tuh, Len." Baru saja Lena jalan ke dapur, langkahnya dicegat oleh lelaki berkaus putih itu. Karena Lena mengabaikan, Nandar langsung menghadang dan bertanya ulang, "Kamu simpan kaus kaki Abang di belahan dunia mana, sih?! Dicari-cari nggak ketemu. Sana, cariin dulu! Urgent." Memang selalu begitu. Nasib jadi adik bungsu rasa babu. Sialan! Harusnya jadi bungsu itu, apalagi perempuan one and only di keluarga Utama, Lena jadi ratu. Bukan malah bungsu rasa pembantu. Ck! Kalau sedang capek, kan, bawaannya jadi emosi jiwa. "Lena!" "Len!" "Marlena!" "Sumpah, ya!" Tak tahan lagi, Lena meledak di detik tiga abangnya panggil-panggil nama dia. "TANGAN AKU CUMA DUA, KAKI JUGA CUMA SEPASANG, JADI TOLONG KALO NGGAK BISA NGURUS URUSAN SENDIRI DAN MINTA BANTUAN AKU, SATU-SATU!" Oke, sip. Gilang, Ginandar, dan Genta diam seketika. Tadi Gilang mau minta hotspot. Merasa wifi di rumah sedang gangguan. Adik mereka murka, adalah waktu di mana tiga makhluk batangan di kediaman itu mingkem seketika. Lena mencebik, dia lanjutkan langkahnya. Pertama-tama, temukan kaus kaki Bang Nandar dulu. Ginandar. Kakak Lena nomor dua. Begitu dapat, dia lemparkan. Pas sekali, kaus kaki itu mendarat di d**a Bang Nandar. "Kalo cari barang selain pake mata, pake akal juga, dan jangan cari di satu tempat aja!" Kaus kaki itu terselip di bongkahan pakaian dalam Ginandar. "Satu lagi," ungkap Lena penuh penekanan saat bilang, "ambil baju di lemari tuh yang bener! Capek aku ngerapiin, udah dilempit baik-baik, diambilnya asal narik. Selain awut-awutan, pakaian yang udah ditata jadi ambyar dari tempatnya. Beresin!" Nandar elus d**a. Lena galak. Memang galak, tetapi selain kepada Lena, mau minta bantuan ke siapa? Ngurus rumah, urus diri sendiri, bahkan urusin tamu yang datang untuk disuguhi minuman selalu Lena ... sejak tahun-tahun lalu ibu mereka menyusul ayah ke alam baka. Soalnya mereka--yang laki-laki--silih tidak mau. Ah, ya, Marlena Utama namanya. "Silakan." Lena letakkan dua gelas teh hangat rendah gula di meja. Bodoh amat tadi ngomel-ngomel garang dan di situ ada pak dosen. Bodoh amat! "Sorry, ya, Wil," bisik Genta, "sindrom bulanan. Kayaknya lagi kedatangan tamu makanya keluar khodam maung." Lantas, Genta terkekeh. Geli sendiri oleh ucapannya. Kalau Lena dengar auto diamuk lagi. Dan di sini, Wili tidak mau tahu, kok. Hanya ... agak kaget saja. Ternyata kecil-kecil cabai rawit juga, tiga lelaki dewasa itu sampai kicep. Ralat, empat dengannya. "Jadi, tadi kita bahas apa, Wil? Udah sampe mana?" Lupa. "Belum jauh, bahkan belum ke inti. Masih sampai laki-laki yang suka mangkal di depan pagar rumah kamu. Sepertinya dia kurang suka sama saya." Mengingat sorot matanya tadi tampak amat sangat memusuhi. Sudah dua kali Wili mendapati sorot mata begitu dari pria yang bahkan kenal dengannya saja tidak. Dan mereka orang yang sama. Oh, tentu. Bukan mau bicara soal ini tujuan Wiliam datang ke rumah Genta. Namun, tatapan pria kenalan Marlena itu, membuatnya sedikit ingin me-notice. "Kean, bukan?" Mana Wili tahu!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD