Arka, Rangga dan Agus duduk di kursi panjang yang ada di pinggir lapangan bola. Kedua cowok itu tepatnya Arka dan Rangga sudah basah dengan keringat dan nafasnya sedikit ngos ngosan karena selesai bermain bola sedangkan Agus sibuk dengan ponselnya.
"Siapa nama cewek itu?” Tanya Arka ketika melihat Laura dan Ari berjalan melintas tidak jauh dari mereka.
“Siapa?” Tanya Rangga balik. Tidak mengerti maksud pertanyaan sahabatnya.
“Yang lagi jalan sama Ari,” Jawab Arka.
Pandangan Rangga tertuju pada gadis jangkung yang berjalan bersama teman sekelasnya.
“Aku tau dia tapi aku lupa namanya. Kalau nggak salah dia anak IPS.”
Arka memperhatikan Laura. Dia merasa bersalah dengan kejadian kemarin. Tidak seharusnya dia melempar Laura dengan pen.
“Gus, Agus.” Panggil Rangga pada Agus.
“Apa?” Jawab Agus yang masih fokus dengan ponselnya.
Tiba-tiba Rangga mengambil ponsel Agus dan membuat cowok berbadan kurus itu kesal.
“Apa-apan, sih. Ngambil ponsel orang sembarangan. Nggak tau apa lagi enak-enakan chatting sama anak SMA sebelah.” Agus merebut ponselnya dari tangan Rangga.
“Lagian kamu di panggil nggak nyaut."
“Emang ada apa?”
“Kamu tau siapa nama cewek itu?”
“Cewek yang mana?”
Dalam pikiran Agus cewek yang dimaksud Rangga adalah cewek cantik, mungkin anak baru atau murid pindahan yang sangat cantik. Jarang sekali dia melihat Rangga menanyakan soal cewek.
Agus mengedarkan pandangan mencari cewek cantik yang ada disekitar mereka.
“Cewek yang lagi jalan sama Ari.” Jelas Rangga.
Mata bulatnya tertuju pada Ari yang berjalan dengan Laura.
“Itu Laura. Anak 3 IPS 1. Sebenarnya cantik, sih, tapi anaknya pendiam. Malah kalau boleh di bilang dia lebih cantik dari pada Dinda and the geng.”
“Di otak kamu isinya cuma cewek.” Olok Rangga.
“Eh, jangan salah. Aku itu paling pinter nilai mana cewek cantik, cewek muka biasa-biasa aja, sama cewek muka pas-pasan. Dari pada kamu deket sama cewek juga nggak."
“Tapi dari semua cewek yang kamu taksir nggak ada yang mau sama kamu.”
“Bukanya mereka nggak mau sama aku tapi aku yang nggak mau sama mereka." Sergah Agus tidak mau kalah.
Rangga tertawa mendengar penjelasan Agus. “Terserah apa kata kamu.”
“Memangnya kenapa? Kata ibu aku, aku ini paling ganteng.”
“Ya iyalah, paling ganteng. Saudara kamu aja enam dan kamu cowok sendiri."
“Tapi ngapain kamu tanya soal Laura? Naksir, ya?” Goda Agus.
“Arka yang tanya."
Pandangan Agus berpindah pada Arka yang duduk disebelah Rangga.
"Jangan bilang Arka naksir Laura. Matanya sungguh jeli kalau ngelihat cewek cantik."
“Kemarin kamu kemana? Kok, nggak ikut kelas fisika?" Pertanyaan Rangga menyadarkan Arka dari lamunannya.
“Aku di kelas Chacha. Pusing sama cewek-cewek yang berantem."
“Mereka berantem juga soalnya ngerebutin kamu. " Rangga terkekeh.
“Aku heran sama kamu.” Sela Agus. “Dari dulu selalu direbutin cewek-cewek padahal muka kita sebelas dua belas.” Agus menatap kaca spion yang ia bawa sambil menyugar rambutnya.
Ocehan Agus membuat Arka dan Rangga geli kemudian pergi meninggalkan pemuda itu. Mereka berdua pergi meninggalkan Agus tanpa cowok kurus itu sadari. Setelah tahu di tinggalkan, Agus mengejar sahabat-sahabatnya dan ngedumel kesal.
Arka, Rangga dan Agus berteman sejak SMP. Sampai SMA pun mereka bertiga masih bareng terus dan selalu sekelas.