7 - SIR LUCAS KINGSTONE - Avindale's Trap

1211 Words
*Sir Lucas Kingstone* Dia! Aku yakin gadis berambut merah yang tiba-tiba saja muncul di danau itu dia. Setelah sekian lama, baru kali ini ada perempuan yang bisa membuatku sedikit kehilangan kendali diri. Jika saja bukan karena sepupunya datang, mungkin akhirnya akan berbeda. Kusesap jus buah yang kubawa di tangan kanan. Sengaja aku menjauh dari keramaian usai kejadian tadi. Berdiri di sudut area jamuan dekat kolam renang untuk menenangkan diri, sekaligus diam-diam mengawasinya dari jauh. Aku tidak menyangka ada yang bisa ke sana. Taman rahasia yang tanpa sengaja kutemukan itu, telah menjadi persemayaman terakhir Marry Ann dan juga putra kami yang belum sempat terlahir ke dunia. Tempat itu sangat tersembunyi, dan berada di balik bukit batu. Ada danau kecil limpahan air terjun tertampung sebelum mengalir ke sungai. Pemandangan indah yang kupersembahkan untuk mendiang istriku tercinta. Hari ini adalah lima tahun peringatan kematiannya. Aku sengaja datang untuk berdoa dan menghias makamnya dengan menanam bunga-bunga. Namun, saat ke danau untuk membersihkan diri, aku menemui gadis berambut merah itu di sana. Mula-mula kukira dia peri danau atau hantu yang melayang di atas permukaan air. Ah, aku sempat merasa sudah gila. Namun, begitu melihat kakinya yang memijak dasar danau, barulah aku yakin dia manusia. Seketika itu aku sadar, dia telah masuk wilayah berhargaku tanpa izin. Aku yakin, dia adalah seorang mata-mata yang dikirim untuk melakukan sabotase. Jika tidak berniat memata-matai, tidak mungkin dia punya tekat untuk naik turun tebing hingga sampai ke sana. Terlepas dari penampilannya yang cukup menarik, gadis seperti itu pasti sangat licik. Aku harus berhati-hati. "Sir Kingstone?" "Oh? Ya," jawabku sedikit terkejut. Panggilan tadi membuyarkan semua lamunanku. Seorang gadis bergaun hijau lumut tiba-tiba sudah berdiri di sebelah. Rupanya mereka sudah selesai makan. "Anda memiliki Manor yang sangat indah. Saya sangat terpesona dengan detail arsitektur dan penataan interiornya," kata murid Avindale itu lagi. "Thank you, Miss," jawabku singkat. "Silakan menikmati hidangan penutup, para pelayan sudah menghidangkannya. Saya permisi." Aku berdiri, sengaja meninggalkannya di sana. Malas saja meladeni perempuan agresif, mirip Regina. Tanpa menoleh, aku berjalan ke arah taman. Ada sebuah bangku besi di sana. Dari sudut yang cukup tertutup rerimbunan ini aku masih bisa mengamati orang-orang di tepi kolam. Sejujurnya, aku malas berbasa basi dengan mereka. Undangan makan siang untuk Avindale ini, adalah sebuah kesalahan. Mulanya aku hanya mengundang Avindale untuk melihat beberapa koleksi lukisan. Penilaiannya sangat kubutuhkan, sebelum melelang lukisan itu dengan harga pantas. Namun dia malah menjebakku. Alih-alih mencari istri untuk dirinya sendiri, Avindale malah menyodorkan murid-muridnya. Entah sampai kapan orang-orang akan berhenti menjodohkanku. Walau gadis-gadis ini adalah para Lady yang jelas sangat terhormat dan punya selera tinggi, tapi hanya ada satu wanita yang akan menempati posisi tertinggi di hatiku, Marry Ann. Dia tak tergantikan. "Tertarik yang mana?" bisik Avindale. Tiba-tiba saja dia sudah menghempaskan diri di sebelah. Satu tangannya memegang gelas sampanye. "Seharusnya aku sadar dengan jebakanmu dari awal," balasku. "Pilih saja, Lucas. Jika tidak, bibimu yang akan memilihkan," katanya lagi. "Kukira kita sahabat. Tidak kusangka kau berkomplot dengan wanita tua itu." Aku geram dibuatnya. Apalagi membawa-bawa adik Almarhum Ayah yang juga ibu tirinya, Aunty Regina. "Jangan mempersulit posisiku, Lucas. Kau tahu sendiri kan, bagaimana sikap ibu tiriku itu jika keinginannya tidak dituruti?" tambahnya, lantas mengangkat gelas untuk bersulang. "Kenapa bukan kamu saja yang dipaksa memilih, lalu menikahi gadis-gadis itu?" sanggahku. "Jika aku menikah, maka akan kupilih lukisan sebagai istri. Kau tahu itu kan?" "Insane!" "Hahahaha. That's me!" Dia menyeruput gelas dan mengosongkan isinya. "Siapa dia?" tanyaku, menunjuk gadis yang mengenakan wig hitam. Harusnya dia berambut merah, sewarna bibirnya. "Mana?" tanya Avindale. "Gadis yang menghadap kemari, di sebelah si blondie." "Oh, si trouble maker. Lukisannya seburuk attitudenya. Jangan pilih dia, kau akan membuat ibu tiriku sakit jantung." Aku memandangnya dengan tatapan 'itu sebuah ide bagus'. "No, no, no, you wouldn't dare!" Avindale terlihat panik. "Try me," jawabku tegas. "Kau memaksaku memilih. Jadi, tolong beritahukan pada Aunty Regina, jika aku sudah punya pilihan. Aku punya hak untuk memilih sesuka hatiku bukan?" Puas rasanya membalas perlakuan Avindale. Lagi pula aku dan gadis itu punya sedikit urusan yang harus diselesaikan. Win-win solution. "Okey, terserah. Tapi tolong, jangan mengeluh jika nanti terjadi sesuatu yang tidak diinginkan," ujarnya memberi peringatan. "Kemungkinan terburuknya adalah dia yang akan menderita, bukan aku," jawabku pelan dan tegas. "Oke. Let's do the business," ucap Avindale sambil melangkah pergi. Dia meletakkan gelas di salah satu meja, lantas menghampiri gadis yang kumaksud. Siapa namanya tadi, Adel, atau ... entahlah. "Girls! Attention please!" teriak Avindale sembari menepukkan kedua telapak tangan. Sangat tidak elegan. Harusnya dia menghasilkan suara menggunakan gelas dan memukulnya dengan sendok untuk menarik perhatian. Walau begitu, seluruh perhatian para gadis, kini tertuju pada Avindale, termasuk juga Rachel. "Baik, terimakasih Ladies. Untuk kunjungan kita kali ini, selain menjamu dengan makan siang, Sir Lucas juga menawarkan sebuah liburan gratis di Manor. Seperti kalian tahu, bahwa musim panas akan sangat menyenangkan jika diisi dengan berbagai kegiatan. Ada banyak tempat bagus di sini untuk membuat karya lukis yang indah. Jadi, bagi siapa pun yang beruntung akan mendapatkan kehormatan untuk tinggal di sini selama musim panas." Hah? Aku tidak pernah menawarkan apa pun! Tepukan tangan dan suara riuh rendah terdengar seperti sorakan dukacita bagiku. Bagaimana bisa Avindale malah menjerumuskan aku dalam situasi seperti ini? Ini tidak bisa dibiarkan! Aku bergegas menghampiri pria eksentrik yang menjadi sepupu gara-gara bibiku menikahi ayahnya itu. "Excuse me Ladies." Dengan satu tangan kuraih kerah kemejanya di bagian belakang. Lantas menyeretnya pergi dari kerumunan para gadis. "Avin!" geramku. Kulepas cengkeraman begitu kami sudah agak jauh. "Tenang, Lucas, tenang. Dengar dulu penjelasanku." Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah. "Kau ingin aku menaksir lukisanmu, bukan?" "Iya, tentu saja. Itu tugasmu!" "Oke, aku tidak akan memungut bayaran kali ini. Sebagai gantinya, berikan fasilitas liburan di sini untuk seorang gadis yang jadi pilihanmu. Lalu, perkenalkan dia pada Regina. Masalahmu selesai, aku juga. Cukup adil bukan?" jelasnya. Aku masih bergeming. "Aku tahu jika kau pelit," cibirnya. Kupelototi dia. "Hei, hei! Aku juga malas sebenarnya mencampuri urusan pribadimu. Kalau bukan karena ancaman Regina untuk menghentikan suplai, aku tidak akan repot-repot memaksamu." Aku mendengkus. "s**t! Dia selalu menghantuiku!" umpatku kesal. "Tenanglah, Bro. Dia hanya ingin kau punya keturunan. Dia tidak rela darah Kingstone terhenti padamu. Yah, walaupun dia sudah menjadi istri ayahku, tapi sepertinya kehormatan yang diberikan Ratu pada keluarga kalian menjadi obsesinya. Dia ingin pewaris. Dan kau tahu dia tidak akan berhenti sebelum mendapatkan keinginannya." Avindale memberikan tatapan pasrah padaku. Yah, bibiku itu memang seorang wanita agresif yang ambisius dan sangat manipulatif. Dia selalu punya cara mendapatkan semua keinginannya. Wanita yang berbahaya. "Oke, fine. Hanya satu gadis. Ingat itu!" "Si rambut hitam itu kan?" "Kau tidak tahu namanya?" "Aku hanya tahu nama belakangnya Watson. Otakku terlalu berharga untuk mengingat nama orang yang tidak penting," jawabnya dengan nada meremehkan. "Watson? Bukankah dia sepupu si blonde?" tanyaku meyakinkan. "Aku juga tidak peduli pada silsilah keluarga mereka," jawabnya, "yang penting mereka lancar membayarku." Sungguh menyebalkan. "Yang kau pedulikan hanya lukisan dan suplai keuangan," cibirku. 'Yeah, kau sangat mengenalku!" Avindale menepuk-nepuk punggungku. "Oke. Fine. Jika kau yakin ini bisa menjauhkanku dari Regina, maka beberapa ratus dolar akan masuk rekeningmu. Kutunggu di atas." "Yes, Sir!" Setelah memberi hormat ala tentara, dia kembali ke kerumunan gadis yang mulai gelisah. Aku pun berbalik pergi. Kepalaku berat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD