Tidak mendapat respon yang diinginkan, dia kembali menegakkan badan, tapi tidak mengubah jarak.
"Hmmm, menarik. Namun, melewati batas properti pribadi seseorang bukanlah hal yang sepele. Sebuah pelanggaran yang bisa membuat seseorang masuk penjara."
Aku tersentak mendengar ancamannya. Walau sedikit limbung, tapi tetap berusaha untuk biasa saja.
"Sa-saya tidak mengerti maksud Anda, Tuan." Sial! Suaraku terdengar seperti rintihan, benar-benar tidak meyakinkan.
Mendadak dia melangkah maju, membuatku terpaksa mundur hingga punggungku menyentuh dinding. Kedua lengannya terulur, telapak tangannya menyentuh dinding, memerangkapku. Dia mengembuskan napas berat. Seketika itu penciumanku diselimuti oleh aroma mint dan kopi. "Aku bicara tentang seorang gadis berambut merah yang menyusup ke tanah pribadiku," kata-katanya lirih, tapi tegas.
"Maaf, Anda salah orang." Aku spontan mendongak, menantangnya.
"Well, well, well. Rupanya masih tidak mau mengaku." Tangannya meraih pipiku, lantas mengambil beberapa helai rambut yang menjuntai.
Aku terbelalak memandangi rambut asliku yang lolos tidak tertutup wig.
"Sudah kubilang, aku tidak mudah melupakan seseorang, Nona," ucapannya mengirimkan getaran yang membuat seluruh bulu kudukku berdiri.
Buru-buru kutarik rambut itu dari tangannya. Namun, dia malah menangkap pergelangan tanganku.
"Jadi, bisa kau jelaskan kenapa harus menutupi rambut indahmu?" tanyanya dengan nada mengintimidasi. "Apakah kau seorang mata-mata? Siapa yang mengirimmu?"
"Ma-maaf, Tuan. A-aku sudah ditunggu teman-teman," kataku setelah berhasil mengumpulkan keberanian.
"Kau tidak akan ke mana-mana sebelum mempertanggungjawabkan semua perbuatanmu, Nona." Tangannya semakin erat mencengkeram pergelanganku. Pandangan matanya menghujam, membuat detak jantungku semakin berlompatan.
"A-ku, aku ... ."
"Anda ingin masuk penjara?"
Mataku terbelalak seketika. "Pe-penjara?"
"Iya, tempat orang-orang yang diputuskan bersalah dalam pengadilan menjalani hukumannya. Dibutuhkan bukti kuat agar bisa mengalahkan jaksa penuntut umum, juga meyakinkan juri jika kau tidak bersalah. Atau minimal ada dua saksi kunci, itu pun harus memberikan alibi yang kuat."
Aku menelan ludah dengan susah payah.
"Dan ... kau pernah ke penjara?" tanyanya, dengan nada rendah yang mengintimidasi.
Entah karena menggeleng cepat-cepat, atau karena pengaruh ancaman pria ini, membuatku sedikit pusing.
"Percayalah, penjara itu bukan tempat yang cocok untuk seorang gadis. Di sana hanya ada sekumpulan pelaku kriminal. Aku tahu itu, karena pernah di sana."
Aku sudah membuka mulut untuk membantah, tapi ....
"Atau ... aku perlu membuatmu kembali mengingat pertemuan kita dengan mengulangi peristiwa pagi tadi?"
Mati aku!
"Baik-baik, aku mengaku!" jawabku putus asa.
Dia membebaskan tanganku. Sementara bibirnya membentuk garis lurus. Bukan sebuah senyuman, tapi lebih seperti senyum kemenangan.
"Jelaskan padaku, kenapa kau masuk tanpa izin! Apakah kau sengaja ingin memata-mataiku? Siapa yang mengirimmu?"
Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang baru saja dilontarkan oleh Lucas.
"Aku bukan mata-mata! Aku hanya ... hanya ... ."
"Hanya apa? Teruskan!"
Aku tidak mungkin mengatakan padanya jika dulu aku tinggal di sini. Uncle John sudah mewanti-wanti agar aku tidak pernah menyebutkan identitas lamaku. Terutama pada orang asing. Jika tidak, para tentara merah akan membawaku pergi.
"Nona, bisa kau jelaskan apa urusanmu melewati batas tanah milikku?" tanyanya tidak sabar. Lucas makin mencondongkan tubuh. Kini wajahnya hanya berjarak beberapa senti dariku. Embusan napasnya yang memburu, semakin membuatku susah konsentrasi.
Aku membuka mulut, tapi tidak ada suara yang keluar. Napasku tersekat. Rasanya d**a jadi sesak, seolah yang kuhirup bukan udara, melainkan aroma pria di hadapanku.
"Siapa namamu?" tanya Lucas dengan suara serak.
"Adel!" panggil seseorang.
Spontan Lucas mundur, dan melepaskan kungkungannya. Kami berdiri tegak saling berhadapan.
"Oh, maaf." Tatiana mendekat. "Dari tadi kucari dirimu, aku khawatir kenapa di toilet lama sekali?"
"Maaf My Lady, saya ada sedikit urusan dengan Nona ini," jawab Mr. Kingston sopan. "Hanya sekedar ingin tahu namanya."
Aku mengangkat dagu, tanpa ragu memperkenalkan diri, "Perkenalkan, saya Adelle Black Leverton. Sepupu jauh Lady Tatiana Marriane Leverton." Sebuah perkenalan formal, setelah kami sama-sama berada dalam posisi etiket yang layak.
"Maafkan saya yang kurang sopan, Lady Tatiana. Silakan Anda kembali ke tempat jamuan. Saya masih memiliki urusan yang sangat penting dengan Lady Adelle," kata Lucas tanpa basa basi.
"Tapi—" Suara protesku terpotong, saat Lucas memberikan tatapan yang cukup mematikan. Jelas-jelas ancaman masuk penjara tergambar di wajahnya.
"Mohon Maaf, Tuan Kingstone. Kalau boleh tahu, ada masalah apa Anda dengan sepupu saya? Eh, maksudku memang Adelle agak urakan orangnya. Tapi, dia tidak bermaksud untuk tidak sopan," bela Tatiana.
"Hmmm, begitu ya?" Satu alis matanya terangkat. "Baiklah, kita akan membicarakannya nanti setelah jamuan usai. Saya minta, Nona Adelle untuk tidak meninggalkan tempat tanpa seizin saya."
Setelah mengatakan itu, Lucas melangkah pergi, kembali ke area jamuan. Setelah pria itu cukup jauh, sikap formalku pun buyar.
Bahuku melorot saat napas lega berembus. Punggungku bersandar pasrah pada dinding di belakang. Aku mendongak, sembari bernapas lewat mulut.
"Lady Adelaide Lorraine Watson! Kau bikin ulah apa lagi kali ini!" sergah Tatiana, khawatir. Dia menyentuh pundakku dengan tidak sabar. "Jelaskan padaku sekarang!"
Aku menatapnya, "I am sorry my dear, sorry ... secret garden yang kumasuki tadi pagi ... maksudku, tanah itu ... ternyata sudah jadi milik Sir Kingstone sekarang," ujarku lemas.
"What? Jadi ... maksudmu ... rumah ini ... rumahmu dulu?"
Aku mengangguk lemah.
"Oh, maafkan aku Adel," kata Tatiana sembari memelukku. "Ini pasti berat buatmu. Maafkan aku, aku tidak tahu."
"Its okey Dear," jawabku begitu pelukan kami terurai. "Yang kukhawatirkan adalah dia menuntut karena masuk properti tanpa izin dan mengancam untuk menjebloskanku penjara."
"Oh, tidak! Itu tidak boleh terjadi. Lagi pula saat kau masuk ke sana kan tidak tahu jika tanah itu sudah berpindah kepemilikan." Tatiana menggeleng sembari menutup mulutnya dengan tangan.
Sungguh, dalam keadaan panik pun attitude-nya patut diacungi jempol. Kadang aku merasa kalau Ana memang sangat cocok untuk menjadi seorang putri, atau ratu. Entahlah, pembawaannya begitu alami dan karismatik.
"Yah, tapi sepertinya Sir Kingston tidak berpikir seperti itu. Entahlah, Ana. Aku bingung. Apa yang harus kulakukan? Uncle John bisa membunuhku kalau tahu keadaanku seperti ini." Aku memijit kening.
"Dia tidak perlu tahu, My Dear. Bukankah sudah kubuatkan identitas baru untukmu!" pekik Tatiana.
"Ya, ya, kau benar. Itu cukup untuk melindungi nama baik Uncle John. Jika aku sampai dipenjara, tolong tutupi masalah ini dari Uncle John, lanjutku memelas.
"Tidak itu tidak akan terjadi! Kamu jangan berpikir ngaco, Adel! Akan kuminta bantuan Papa kalau itu sampai terjadi. Tidak akan kubiarkan kau dipenjara!" Tatiana menggengam tanganku untuk memberikan semangat. Dia sungguh murah hati, tipe sahabat yang akan sulit tergantikan.
"I put my life in your hand." Dia memang bisa kuandalkan.
"Oke! Sekarang mari kita kembali ke jamuan, sebelum makin banyak orang bertanya-tanya. Lagi pula, wajahmu sangat pucat. Kau pasti sudah sangat lapar," katanya mencairkan ketegangan.
"You know me so well. Kau benar, aku sangat kelaparan. Dan masalah ini, membuatnya lima kali lebih parah. Otak yang bekerja, butuh asupan lebih," candaku, lantas tersenyum sembari menampakkan gigi.
Tatiana tertawa lirih sembari menutup mulutnya dengan tangan. Lagi-lagi menunjukkan manner yang sangat sempurna.
"Come!" Dia menggandeng tanganku, lalu kami berjalan beriringan kembali ke tempat jamuan.
"Main course sudah dihidangkan?" tanyaku.
"Yeah, beef steak ukuran besar dengan saus black pepper, kesukaanmu."
"Yah! Kau menyiksaku my Dear," ucapku sembari mengelus-elus perut, mencoba menenangkan suara protes yang terdengar sangat nyaring.
"Hihihi."
Tawa tertahan Tatiana membuatku semakin ingin cepat-cepat sampai di meja. Air liur sudah berkali-kali kutelan. Jika bukan gara-gara Sir Kingston, pasti saat ini aku sudah kekenyangan. Ah, sungguh sebuah paradoks. Dia juga yang mengadakan jamuan makan ini.