CK BAB 7

1414 Words
CINTA KEDUA 7 Oleh: Kenong Auliya Zhafira Romantis terkadang bisa berbeda makna pada setiap pasangan. Semua tergantung bagaimana cara menyikapinya. Apabila menyukai hal-hal beraroma mewah, maka kesederhanaan bukanlah sebuah keromantisan. Begitu juga sebaliknya, jika orang tersebut menyukai kesederhanaan, hal sekecil apa pun akan terasa romantis. Meskipun hanya sekadar berjalan kaki sambil bergandengan tangan. Kedua orang yang tengah belajar mencintai secara sederhana hanya saling pandang mendapatkan pertanyaan dari tetangga. Memang jika dilihat, mereka lebih romantis karena boncengan berdua di atas roda dua dengan tangan berpegangan erat. Belum lagi ditambah pakaian dan gaya rambut seperti anak muda semakin menambah kecantikan. “Romantis itu begini, Fan ... motor merek yang lagi viral, istri udah cantik dan wangi, tangan dan leher ada hiasan, dan jalan-jalan tentunya. Kamu tidak malu apa sama wanita di sebelahmu? Sepertinya belum mandi. Tapi, masih manis, sih ....” Tetangga yang hanya selisih beberapa rumah tapi sesekali nongkrong bareng jika bertemu kembali membandingkan tentang keromantisan. Nesha seketika menatap dirinya sendiri dari atas hingga bawah. Memang benar. Namun, baginya romantis itu bukan hanya sekadar penampilan, tetapi tentang kenyamanan. “Apa aku ada yang salah? Salahku hanya belum mandi saja. Dan tidak makai hiasan,” tanyanya dalam hati. Selama pria di sebelahnya tidak berkomentar akan penampilannya, mau sejelek apa pun tidak akan membuat percaya dirinya hilang. Sementara Arfan diam-diam mengepalkan tangannya erat. Ada ketidakrelaan wanitanya mendapat ucapan tidak mengenakkan. Meskipun dalam hati ia sadar kalau belum bisa membahagiakan seorang Nesha dalam hal materi. Akan tetapi, kedua tangan yang selama ini terus bergandengan mampu membuatnya berusaha ingin memberikan samampunya. “Ya ngapain harus malu jalan sama istri sendiri karena dia belum mandi? Justru wanita cantik itu adalah saat baru bangun tidur. Bukan karena polesan lipstik dan bedak tabur.” Arfan akhirnya berani menjawab pertanyaan yang beberapa menit lalu seakan menurunkan harga dirinya sebagai lelaki. Pria yang masih berada di atas roda dua malah tertawa. “Halah! Itu omong kosong! Wanita bangun tidur itu bukannya cantik, tapi bau jigong!” ucapnya seakan puas membandingkan wanitanya yang terlihat lebih segalanya. Arfan sontak melangkah mendekat, “Das—” Akan tetapi, geraknya berhenti ketika merasakan genggaman tangan wanitanya semakin erat. Nesha seolah memberi isyarat gelengan kepala agar tidak menanggapi lebih jauh. “Udah, Mas ... biarin aja,” ujar Nesha lirih. “Kan, kita mau jalan-jalan,” ujarnya lagi. Sembari menahan segala ego, Nesha menarik tangan sang pria untuk melanjutkan acara jalan pagi. Namun, sebelum menjauh, ia sengaja menyempatkan diri membisikkan sesuatu. “Buat apa romantis dengan cara kalian kalau ujungnya punya bulanan yang membuat dompet meringis? Lebih baik seperti kita. Hidup seadanya seperti rasa gula yang manis,” bisik wanita yang sedikit tahu kehidupan mereka dari sang mertua. Ya, Nesha kerap tahu dunia luar dari cerita sang mertua. Karena waktunya habis bersama kata, ia kerap menjadi pendengar ketika wanita yang dihormati sang pria mencari teman bicara. Kedua orang yang begitu bangga akan hidupnya seketika terdiam, lalu melajukan roda duanya tanpa menoleh. Sementara Arfan melihatnya dengan tatapan penuh tanda tanya. Ketika beralih melihat wanita di sebelahnya, ada senyum puas yang menarik perhatiannya. “Kamu bilang apa ke dia? Kok, bisa pergi gitu aja? Padahal tadi aku pengin kasih pelajaran, loh ... malah kamu tahan,” tanya Arfan sembari menarik pelan genggaman tangan untuk memulai kembali perjalanan. Nesha masih saja tersenyum, “Ya, kan, betul. Lagian ngapain juga ladenin orang kayak mereka? Masa baru menikmati waktu berdua malah terlibat adu kata, kan, tidak lucu.” Pria yang tahu betul wanitanya tidak suka terlibat masalah terlalu lama mengacak kepala hingga membuat hijab berantakan. “Dasar! Masih aja tidak suka lihat aku marah-marah,” ujar Arfan yang belum menemukan perubahan pada diri seorang Nesha sejak mengenalnya. Hanya perasaan rindu yang semakin hari berubah menjadi tumpukan hasrat. “Ish! Jangan acak-acak jilbab, jadi rusak, Mas!” Nesha sedikit tidak terima. “Tidak cukup udah ngacak-ngacak hati tiap hari apa?" keluhnya lagi sembari merapikan hijab agar terlihat lebih baik. “Maaf, Sayang ... tapi, bukan mauku ninggalin kamu sama Ibu. Aku cuma mau kasih hidup yang layak buat kamu. Jadi, tolong bersabarlah,” ujar sang pria yang berusaha menjadi sempurna di atas segala ketidaksempurnaan. Nesha seketika menghentikan langkah, menatap pria yang kini ikut menatapnya. Tanpa memberi tahu pun, ia bisa melihat dari sorot mata seorang Arfan menyimpan begitu banyak kerinduan yang sama seperti dirinya. Jadi, tidak seharusnya menjadikan keadaan sebagai kesalahan akan ketidakberdayaan hidup bersama. “Kita pulang aja gimana? Tidak jadi jalan-jalan?” tawar Nesha dengan wajah serius. Senyum pun tidak lagi ia terbitkan di wajahnya. “Kata tadi pengin jalan-jalan dan beli jajan? Sekarang minta pulang. Jadi, maunya kamu apa?” jawab Arfan bingung. Tentang keinginan wanita sampai detik ini, ia masih meraba dan menerka. Karena dirinya memang bukan cenayang yang bisa tahu tanpa bertanya. “Maunya aku ....” Nesha mendekatkan diri tanpa mengalihkan tatapan sedikit pun, lalu melanjutkan ucapannya, “Maunya aku, kamu.” Dengan berjinjit sebisa mungkin, wanita yang selalu kalah melawan perasaan mengecup singkat bibir sang pria. Entah mendapat keberanian dari mana, Nesha membuang malu di jalanan untuk suasana yang memberi dukungan juga kesempatan akan satu kecupan. Tanpa diduga, Arfan justru menahan gerak wanitanya yang hendak mengakhiri kecupan. Tangan kanannya sigap menarik pinggang Nesha hingga jarak semakin dekat. Empat mata yang bertemu di satu titik seakan tahu apa yang berada dalam pikiran masing-masing. “Ternyata kamu berani cium duluan. Aku pikir dulu hanya sebatas lelucon tulisan. Dasar ... ini yang dari dulu buat aku tidak bisa pergi dari kamu, Sha ... kamu itu terlalu murni jika berurusan dengan hati. Dan itu mampu menahan langkahku untuk berhenti dan terus memikirkanmu. Meskipun aku tahu, kisah kita dulu adalah sebuah kesalahan. Tapi, sekarang kamu adalah sumber segala kebahagiaan. Aku sayang banget sama kamu, Sha ...,” ucapnya dalam hati, lalu mengecup pelan bibir yang tidak pernah ragu menyambutnya meski sempat ia lupakan dan tinggalkan. Nesha memilih menutup matanya ketika merasakan sesuatu yang lembut menyentuh bibirnya. Sesuatu yang dulu pernah begitu ia dambakan, yakni kecupan. Sekarang bukan lagi menjadi khayalan, tetapi kenyataan. Sungguh, rencana Tuhan memanglah indah jika berhasil berdamai bersama kesabaran. Meski tidak dapat tertebak, tetapi rasa yang setiap hari bersemi terus ada dan semakin jelas terbentuk. Kedua manusia yang tengah diserbu lautan rindu tidak lagi mempedulikan keadaan sekitar. Arfan tidak sadar jika kelakuannya mengundang tatapan orang. Akan tetapi, sebagian mereka tahu apabila Arfan dan Nesha adalah pasangan baru yang terpisah jarak. Jadi, hanya gelengan kepala yang mereka berikan sebagai tanggapan melihat dua insan tengah dimabuk asmara. Ketika kedalaman kecupan mesra terasa semakin dalam, Arfan sengaja melepas dan menarik diri dengan pelan. Ia dapat melihat wanita yang dulu kerap berkata rindu sedang menutup kedua matanya. Bibir yang dijanjikan hanya untuknya kini menjadi kenyataan. Bahkan, janjinya memberi kecupan tanpa peduli keadaan diri seorang Nesha mampu ia tepati tanpa takut. “Sayang ... kita pulang aja. Buka matamu ...,” bisik sang pria tepat di telinga wanita yang memang menahan rindu sebesar pegunungan. Nesha membuka matanya, menatap sekeliling yang ternyata berada di tepi jalan. Ingatan tentang adegan yang dulu pernah ditulis dalam n****+ akhirnya berbalik pada diri sendiri. Di mana tokohnya melakukan adegan ciuman di tengah jalan tanpa peduli keadaan sekitar. Persis seperti yang sekarang terjadi. “Pu-pulang? Kan, janji mau jalan-jalan,” jawabnya sedikit gugup. Namun, tidak memungkiri ada bunga bermekaran bisa melihat sang pria dalam jarak begitu dekat. “Yakin? Kata tadi minta pulang. Tidak mau melanjutkan yang tadi?” tanya Arfan memastikan lagi keinginan wanitanya sembari mengedipkan mata manja. Bukannya menjawab, Nesha justru memberi tamparan mesra pada bahu sang pria. “Ish! Tidak usah ngeledek terus!” rajuknya. “Sakit, Sha! Ditabok lagi! Bukannya dipeluk karena baru ketemu,” keluh pria yang baru tahu ada panas akibat sentuhan telapak tangan wanitanya. Ia pikir hanya sebuah canda semata tentang ini, tetapi nyatanya memang berani. “Ya, maaf ... habisnya kamu iseng terus! Udah iya juga mau ajak jalan-jalan. Yang tadi terusin aja nanti malam,” ujar Nesha dengan menahan senyum agar tidak terlihat jelas ada bahagia di sudut bibir. “Dasar, ngeyel! Iya udah, ayo ...,” jawab sang pria yang akan selalu mengalah untuk seorang Nesha. Bahkan, cubitan manja di pipi tidak lupa ia berikan karena terlalu gemas dengan sikap wanitanya yang kadang masih seperti bocah. Keduanya tidak pernah menyadari ada seseorang yang diam-diam memperhatikan tingkah mereka dengan d**a memanas. “Kenapa kamu sama dia bisa tertawa lepas dengan canda yang begitu recehan? Tapi, saat dulu bersamaku, kamu terkesan cuek dan tidak peka? Apa memang bahagiamu ada bersama seorang Nesha? Wanita yang membuat jurang pemisah di antara kita?” -----***----- Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD