CK BAB 6

1421 Words
CINTA KEDUA 6 Oleh: Kenong Auliya Zhafira Melihat seseorang yang mempunyai tempat istimewa di hati melakukan kebiasaan tidak baik rasanya membuat gemas. Pesan selayaknya perhatian yang sejak dulu kerap diberikan tenyata sama sekali tidak dilakukan wanitanya. Di mana selalu menulis meski kantuk menyerang. “Dari dulu kenapa kamu tidak bisa berubah tentang satu hal ini, Sha ... aku sudah berapa kali bilang kalau ngantuk itu tidur. Jangan nulis!” ujar pria yang memang pernah menjadi saksi akan perjuangan seorang Nesha dalam menulis. Perlahan, Arfan melangkah mendekati wanita yang terlihat lelah. Wajahnya masih tidak berubah seperti pertama mengenalnya. Ia masih ingat dengan jelas ketika Nesha kerap mengirimkan foto-foto hanya untuk membuat dirinya tidak lupa. “Sayang ...,” bisik sang pria sembari membelai lembut rambut kehitaman yang terikat asal. Bahkan, Arfan memberikan kecupan lembut beberapa kali untuk membangunkan wanitanya. “Tidurnya pindah, yuk? Jangan sambil duduk begini,” bisiknya lagi. Nesha mengerjapkan mata beberapa kali. Bayangan pria yang selalu merajai hati dan pikiran terlihat samar di hadapan wajahnya. Akan tetapi, raga yang terlalu lelah kembali membuatnya tertidur. Mungkin prianya hanyalah sebuah ilusi karena rindu yang selalu ada setiap hari. Arfan yang menyaksikan mata itu sempat terbuka semakin menahan tawa sekaligus menghujani seluruh wajah Nesha dengan kecupan. Namun, ia urungkan karena raga yang mungkin sama-sama lelah karena hal berbeda. Dengan hati-hati, pria yang dulu kerap memberikan air mata membawa tubuh wanitanya dalam gendongan. Kemudian membaringkannya di tempat tidur. “Selamat tidur, Sayang ...,” ucap Arfan sembari mengecup singkat bibir yang dulu pernah dijanjikan hanya untuknya, lalu setelahnya ikut terlelap di belakangnya. Kedua tangan tidak lupa meraih perut layaknya sebuah pelukan. Keduanya berusaha bergandengan untuk memeluk mimpi yang sempat hancur sebelumnya. Ketika azan berkumandang, wanita yang tidak sadar telah berpindah tempat perlahan membuka kedua mata. Ia menghirup sejenak aroma wangi yang mulai menjadi candu dan rindu untuknya. “Seperti bau Mas Arfan," gumamnya dalam hati, lalu menatap tangan yang melingkar di perutnya. Perlahan, Nesha memutar tubuh agar bisa menatap wajah pria yang tidak pernah bisa melupakan meski pernah berusaha melakukannya. Telunjuknya seketika terangkat, menyentuh wajah sang pria dari dahi lalu turun hingga ke bibir. Walaupun tidak setampan Arjuna, tetapi baginya mampu menjadikan diri selayaknya Dewi Sinta. “Jadi, semalam yang aku lihat bukan mimpi? Ish! Dasar masih saja suka bohong! Katanya pulang hari ini, malah tahunya sudah di depan mata,” gumamnya lirih serupa bisikan. Arfan yang sebenarnya sudah terjaga sengaja membiarkan wanitanya melakukan semaunya. Ia tahu, pasti ada banyak rindu dalam dirinya. Bahkan, kata-kata yang masih menganggapnya pembohong terdengar cukup romantis. Ya, dulu ia pernah sengaja berbohong akan jati diri selama masa perkenalan. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu mampu membuka hatinya untuk membuka topeng yang menutupi wajahnya. “Maafkan, aku, Sha ... karena dulu sering membuatmu menangis. Aku janji, jika sekarang kamu menangis, itu hanya karena bahagia, bukan luka,” janjinya dalam hati. Ketika sentuhan masih terasa di wajah, Arfan kembali sengaja mengeratkan pelukan. Hal itu membuat wanitanya berada lebih dekat dalam genggaman. Akan tetapi, kali ini ada penolakan. Ya, Nesha berpikir bangun untuk membantu sang mertua di dapur. Seperti biasa yang kerap ia lakukan meski hanya sebisanya. “Mas, aku mohon lepasin ... aku mau bantu Ibu dulu," mohonnya dengan suara lirih karena tahu pasti prianya bisa mendengar. Sang pria seketika membuka matanya, “Tidak usah bantu Ibu hari ini. Bisa? Ibu pasti ngerti. Atau kamu tidak kangen sama aku?” tanya Arfan sengaja menggoda. “Ish! Bukan itu, Mas ... kalau kangen selalu setiap hari. Tapi ini beda lagi. Aku takut semakin jadi terkenal di sini. Aku tidak mau Ibu marah-marah lagi mendengar omongan tetangga karena punya mantu malas kayak aku," jelas Nesha seakan meminta pengertian. Arfan mengacak rambut wanitanya sembari tersenyum, “Dasar, kamu! Bisa aja. Ya udah, tapi cium dulu. Di sini,” ujarnya dengan menunjuk bibirnya sendiri. “Katanya tadi kangen setiap hari?" tanyanya kemudian. Nesha yang memang tidak bisa berbohong tentang perasaan mengecup lembut bibir prianya. Bibir yang dulu kerap diam jika terjadi sesuatu dan berjanji banyak hal. Kecupan itu ia lepaskan setelah 47 detik bersamaan senyum malu-malu. “Udah ... sekarang lepasin tangannya,” pintanya. “Oke. Tapi, kita salat jamaah dulu. Baru kamu bantu Ibu,” jawab sang pria sembari mengusap pipi wanita yang dulu tidak lelah berkata rindu. Bahkan, hingga detik ini masih sering mengatakannya meski dirinya hanya pria penuh kekurangan. “Iya udah, ayo.” Keduanya bangun bersama dan menunaikan salat subuh berjamaah. Lima menit setelahnya, Nesha langsung menuju dapur. Sang mertua terlihat sudah sibuk memilah sayuran untuk menu pagi ini. Ia pun melangkah cepat dan mensejajarkan diri di samping wanita yang dihormati sang pria. Sang mertua melirik, menatap menantu yang tiba-tiba berada di dekatnya. Ada rasa heran kenapa Nesha ikut membantu seperti biasa di saat Arfan baru kembali. “Sha?! Kamu ngapain? Bukannya sama Arfan malah bantu Ibu. Ibu bisa masak sendiri. Kamu temenin suami saja. Kan, jarang ketemu,” tanyanya penasaran karena malah menemani dirinya mempersiapkan pagi. “Tidak apa, Bu ... sama Mas Arfan kan, bisa nanti,” jawabnya jujur adanya. “Memang kamu tidak ingin kangen-kangenan?" tanya sang mertua dengan senyum menggoda. “Ya ingin. Tapi, nanti saja. Toh, dia mungkin masih lelah. Lagian juga, kan, dia tidak balik hari ini juga,” jawab Nesha terdengar seperti tidak keberatan sama sekali. “Ya sudah. Terus sekarang mana Arfan-nya? Kok, tidak ikut bangun? Dia udah salat?” “Sudah, Bu ... tadi jamaah di kamar,” jujur wanita yang memang terjatuh sayang sejak pertama mengenalnya. Meski butuh waktu memahami perasaannya, tetapi tidak menyurutkan doa bisa bersama untuk hidup yang lama. Sang mertua hanya menanggapi dengan anggukan kepala, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya sebagai ibu. Dengan adanya Nesha di sisi semua akan berjalan lebih cepat. Ketika semua menu hampir selesai, keduanya pun berbagi tugas, yakni sang mertua menyiapkan sarapan di meja dan Nesha membersihkan rumah. Bagi seorang Nesha, menyapu lantai sudah menjadi kebiasaan. Entah hari-hari biasa atau pun menjelang weekend akan selalu menjadi kegiatannya di pagi dan sore setelah merasa buntu tentang tulisan. Akan tetapi, kali ini berbeda. Ada pria yang begitu dirindukan setengah mati berada di atap dan dalam keadaan yang sama. Sungguh, takdir jodoh dari Tuhan itu memang benarlah sebuah rahasia. Kini pria yang dulu hanya diperjuangkan lewat doa menjadi sandaran dari goda uji coba dunia. Ya, Nesha bisa melihat jelas seorang Arfan yang tengah membersihkan roda dua kesayangannya. Walaupun model lama, tetapi kalau untuk sekadar jalan-jalan tidak memalukan. “Mas ... tumben dibersihkan entu motor? Mau ke mana?” Nesha bertanya ketika menyapu telah sampai di teras. Pria yang masih sibuk dengan kain lap hanya menoleh sekilas. “Mau tanya banyak atau mau ngajak?” godanya sengaja agar bisa mendapat kesempatan berdua. Nesha tertawa. “Dasar tidak peka!” ucapnya tidak jelas karena terhalang tawa. Arfan justru semakin ingin tertawa melihat tingkah wanita yang tidak pernah disangka menjadi bagian setengah hatinya kali kedua. Dalam hati ia tahu kalau Nesha ingin meminta waktunya meski hanyalah sekadar jalan-jalan keliling desa. “Ya elah, ngambek. Ya udah ayo, kalau mau jalan-jalan. Tapi, jalan kaki. Gimana?” usul sang pria. Wajah yang beberapa menit lalu terlihat suram seketika berbinar. Bagi seorang Nesha entah itu jalan kaki atau roda dua yang utama adalah bersama sang pria. “Beneran, Mas? Nanti mampir beli jajan di deket pertigaan sana,” jawabnya sembari membayangkan asyiknya jika hal itu menjadi nyata. “Iya, Sayang ... ya udah, mau sekarang apa gimana?” tawarnya. “Nanti, mandi dulu.” “Enggak usah mandi. Biasa juga enggak mandi. Udah begitu aja, tetep cantik, kok.” Arfan sengaja menggoda entah yang ke berapa kali. Selain memang karena cantik, ia tahu betul kalau wanitanya hanya mandi sekali sehari. Bukan karena tuntunan menulis, tetapi karena malas. Nesha mengerucutkan bibirnya. “Gombal!” Sang pria justru tertawa terbahak melihat wajah wanitanya, lalu menggenggam jemari yang telah menulis ribuan kata. Arfan mengusapnya lembut, mengecupnya sekali, lalu menautkan jemari dan menggenggam kuat. “Aku, kan, udah pernah bilang kalau tidak bisa lagi mengobral tulisan. Jadi, mana mungkin jualan gombal sama istri sendiri. Udah sih, ngambeknya. Kita jalan sekarang?” tawarnya setelah mengingatkan lagi janji yang dulu. Wanita yang mulai lebih paham sifat prianya seketika mengangguk setuju. “Ya udah, ayo.” Keduanya berjalan menyusuri jalan setapak dengan bergandengan tangan. Biarlah pagi ini ia menjadi menantu tidak tahu diri. Di mana sang mertua tengah menyelesaikan pekerjaan, sedangkan dirinya justru menikmati waktu berdua. Akan tetapi, baru beberapa langkah terdengar suara yang mampu menghentikan acara jalan pagi keduanya. “Cie, pasangan romantis tapi miris! Jalan-jalan itu pakai motor! Bukan pakai kaki! Itu namanya bukan jalan-jalan!” -----***----- Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD