CK BAB 8

2003 Words
CINTA KEDUA 8 Oleh: Kenong Auliya Zhafira Waktu yang telah berlalu memang tidak bisa kembali. Bahkan, untuk memperbaiki kesalahan pun mungkin adalah hal yang percuma. Hanya ada sesal yang tersisa dan mengendap di d**a dengan kekal. Ya, wanita yang masih diam memperhatikan prianya dulu terlihat begitu bahagia tanpa beban hanya bisa tersenyum getir. Entah siapa yang harus disalahkan ketika perpisahan itu terjadi, ia tidak tahu. Karena memang terlalu banyak konflik yang menghantam dari segala sisi. Bahkan, kehadiran seorang Nesha tanpa sengaja mampu mengisi setengah kekosongan hati sang pria. “Mungkin salah jika menjadikan Nesha jurang pemisah di antara aku dan Arfan dulu. Karena nyatanya, wanita itu mampu membuat Arfan menjadi diri sendiri. Senyum itu terlihat apa adanya. Tapi, kenapa saat dulu bersamaku, kamu tidak bisa demikian? Apa aku terlalu menuntut kesempurnaan darimu?” tanya wanita yang tidak lain adalah Wening—mantan istri pertama Arfan. Tanpa terasa d**a yang sejak tadi terasa panas perlahan berganti nyeri. Seandainya dulu tetap memilih bertahan dalam segala bentuk ketidaksempurnaan seorang Arfan, mungkin saat ini wanita yang tengah berjalan sambil bergandengan tangan adalah dirinya, bukan Nesha. Akan tetapi, sebagai wanita normal, ia juga menginginkan hidup tanpa kekurangan dalam hal apa pun. Baik itu dari segi materi dan juga kepuasan diri. “Kenapa aku jadi tidak rela melihatmu sekarang bahagia dengan Nesha? Aku tidak pernah tahu kalau perasaan yang Nesha tawarkan begitu besar padamu. Hingga dia tidak peduli dengan segala kekuranganmu. Aku akui kalah dalam hal ini. Tapi, kenapa harus sakit saat melihat kemesraan sederhana kalian? Kemesraan yang dulu sering aku keluhkan,” tanyanya lagi dengan penyesalan yang tidak lagi berarti. Ketika tengah menatap dua manusia penuh kemesraan semakin menjauh dengan hati nyeri, tiba-tiba ada seseorang berdiri di belakangnya. Wanita yang tidak lain adalah mantan mertua sedang memperhatikan gerak Wening begitu seksama. Bahkan, matanya mencoba mengikuti arah pandang yang terlihat menyedihkan. Dari kejauhan, ia bisa hafal jika objek yang dilihat adalah anak dan menantunya. “Wening?!” Sang mantan mertua pura-pura memanggil agar tatapan itu terputus. “Kamu ngapain berhenti di jalan begini? Apa ada sesuatu yang menarik hatimu?” tanyanya basa-basi. “Ibu?! Tidak ada apa-apa, sih. Hanya ingin berhenti saja,” jawab Wening sembari menatap penampilan mantan mertua yang masih memakai celemek. “Ibu habis masak? Tidak dibantuin Nesha? Sebagai menantu yang baik bukannya dia harus membantu Ibu, ya? Kok, malah jalan-jalan. Seperti tidak punya sopan santun,” tanyanya lagi dengan memberi pertanyaan yang sengaja menyindir untuk meluapkan kekecewaan akan hubungannya dengan Arfan dulu. Wanita yang pernah menganggap seorang Wening mantu idaman mencoba menarik napasnya dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Setelahnya menjawab, “Kamu sebenarnya kenapa sama Nesha? Salahnya apa? Saya tahu kamu adalah tipe orang yang akan berterus terang jika tidak menyukai seseorang. Apa Nesha salah jika menggantikan posisimu sebagai istri Arfan? Apa kamu tidak ingat saat dulu Arfan tetap memintamu tinggal meski dia juga merasakan sakit?” Bu Maryam membuat jeda sejenak untuk mengambil napas, lalu melanjutkan lagi perkataannya. “Saya tidak tahu alasan apa yang sebenarnya mengawali perpisahan kalian. Tapi, kalau boleh jujur, saya melihat banyak cinta dan luka di mata Nesha. Itu yang membuat saya menerima seorang Nesha, wanita yang memiliki cara sendiri menghadapi hidup di antara segala kekurangan. Dan kamu tahu, saat saya tidak sengaja mendengar ucapanmu di warung tentang bagaimana cara Arfan membahagiakannya, dia hanya tersenyum. Jadi, tolong ... sebagai wanita yang pernah menjadi ibu kedua untukmu, jangan lagi menyalahkan Nesha. Tidak ada wanita mana pun menginginkan memiliki perasaan untuk hati yang salah. Jika, akhirnya takdir menyatukan mereka, itu adalah kuasa Tuhan. Apa kamu paham?” jelasnya dengan kata yang cukup panjang kali lebar. Pelan, Wening mulai mencoba mengerti apa yang mantan mertua katakan. Namun, belum mampu mendinginkan hatinya yang panas. Ia tidak menyangka kalau Nesha mampu membuat Bu Maryam memiliki perhatian yang begitu besar. Sementara untuk dirinya dulu perlahan berubah seiring berjalannya waktu. Hal itu semakin menambah panasnya d**a. Entah karena kekurangan Arfan atau memang pernah merasakan sakit karena wanita di depannya. “Sepertinya Ibu sangat menyayangi Nesha,” tanya Wening tanpa ragu ketika menyadari perbedaan itu. “Apa kamu melihatnya seperti itu? Sikap saya akan selalu sama jika untuk menantu. Tidak ada perbedaan antara kamu dulu dan Nesha sekarang. Saya dulu menyayangimu layaknya anak perempuan, begitu juga pada Nesha. Kamu mau tahu apa yang membedakan? Nesha itu tipe orang yang bisa menahan geraknya jika disudutkan kesalahan. Kalau kamu? Jika kamu sudah tidak menyukai orang maka tidak segan menunjukkan lewat sikap dan cakap. Tanpa tahu apakah itu menyakiti atau tidak,” ungkapnya jujur tanpa menutupi hal-hal baik yang dulu pernah terjalin. Sebagai wanita yang membesarkan Arfan penuh kasih, ia bisa merasakan apa pun tentang keadaan sang anak. Baik saat dulu bersama Wening dan ketika mengenalkan Nesha sebagai pengganti. Memang di antara keduanya menyimpan banyak cinta di sorot mata kehitaman itu, tetapi ketika membawa Nesha bukan hanya melihat cinta. Terlihat ada luka di mata keduanya yang saling mencari dan mengharap kebahagiaan. “Sudah lah ... dulu kamu yang memilih pergi dan ingin lepas dari Arfan. Saya sadar, Arfan memang terlahir dari wanita sederhana dan tidak berada sepertimu. Jika dulu membuat hidupmu serba kekurangan, saya minta maaf. Itu bukan salahnya, tapi salahku. Karena tidak bisa memberikan kehidupan seperti anak lain untuk Arfan,” imbuhnya lagi seakan kegagalan kapal pertama Arfan memang karena dirinya. Seketika wanita yang mengiakan semua penuturan mantan sang mertua tertawa. Ya, kehidupan yang terus bergerak maju membuatnya kalah melawan keadaan. Bahkan, mendorong hati untuk pergi dan membuat celah untuk seorang Nesha bisa masuk. Namun, semua itu kini tinggal sejarah. Sejarah yang akan terus terukir dalam buku kenangan. “Ibu dari dulu tidak berubah. Selalu menjadi tameng untuk kesalahan Arfan. Apa selama ini dia tidak pernah memberi tahu alasan terbesar perpisahan kami? Saya yakin kalau Nesha sebenarnya tahu. Mungkin benar kata Ibu, saya yang memilih pergi. Karena alasan itulah yang menjadi sumber dari segala masalah yang ada.” Wening melangkah pergi begitu saja setelah mengatakan apa yang selama ini dipendamnya dalam hati. Sebuah alasan besar seorang Arfan yang membuatnya memilih pergi dan menghadirkan Nesha pada biduk kapalnya. Walaupun itu sempat menyakitkan, tetapi kini ia tahu, bahagia seorang Arfan bukan lagi ada padanya. “Mungkin seharusnya aku belajar menerima kenyataan. Di mana aku tidak lagi menjadi matahari untukmu. Tapi, entah kenapa melihatmu bisa sehangat itu pada Nesha, masih tersisa rasa sakit. Seandainya dulu aku kekeh bertahan saat kamu terus berusaha memperbaiki segalanya, apa mungkin tawamu juga akan lepas dan sehangat itu? Karena kenyataannya, kita justru lebih sering saling diam di akhir perdebatan,” lirihnya dalam hati sembari terus melangkah menyusuri jalanan. Ada harapan semua rasa sakit itu tertinggal pada jejak kaki, lalu menghilang ketika hujan turun membasahi bumi. Sementara Bu Maryam menatap kepergian mantan menantunya dengan perasaan entah. Kepalanya mendadak dipenuhi banyak tanya tentang alasan terbesar yang membuat Arfan menyerah pada kapalnya. Selama ini ia tidak pernah tahu akan hal itu. Meski katanya Ibu adalah tempat mengadu segala hal, tetapi Arfan tidak menceritakan ada alasan besar di balik perpisahannya. “Saya perlu bertanya sepertinya. Mumpung dia ada di rumah juga. Tidak ada salahnya membuka kenangan lalu agar hati bisa keluar dari rasa penasaran,” ujarnya, lalu masuk kembali ke rumah untuk membersihkan diri setelah bergelut dengan masakan. Tentang Nesha yang katanya menantu tidak tahu sopan santun biarlah menjadi angin lalu. Karena dirinya pun menyuruh keduanya menikmati waktu yang diberikan. Setidaknya ia tidak menjadi penghalang kedua setelah kerinduan mereka terpisah oleh jarak. Di tempat lain, dua manusia yang dipertemukan dalam dunia biru tengah berjalan pulang setelah memilih beberapa jajanan. Satu kantong hitam berayun manja di tangan wanita yang pernah berhasil menjadi peran terbaik untuk drama yang dituliskan Tuhan. Tangan yang tetap bergandengan selama perjalanan semakin menambah senyum di wajahnya secantik bulan sabit. Sang pria pun ikut tersenyum melihat wanita di sampingnya yang kini mulai jarang meneteskan air mata. Entah terbuat dari apa hatinya yang masih selalu meminta dirinya untuk tetap ada dan baik-baik saja. Ya, hatinya tidak memungkiri ada bahagia bisa memenuhi janji itu hingga detik ini. Bahkan, perlahan ia mulai melakukan hal yang dulu pernah dibuat candaan. Seperti sekarang, jalan kaki berdua dan membeli jajanan sederhana lalu kembali pulang. “Kamu tidak lelah?" tanya Arfan yang mulai merasakan lelah pada kakinya. Mungkin karena efek baru kembali dari kota. Nesha menggeleng, “Kalau jalannya sama kamu tidak ada kata lelah. Sejauh apa pun itu, asal sama kamu.” “Heleh! Masa pagi-pagi aku udah kenyang rayuan,” jawab sang pria sedikit menyelipkan canda. “Ya, tidak apa. Malah kebetulan. Biar aku sama Ibu bisa hemat uang belanja. Apa tiap hari aku rayu kamu aja, biar kenyang? Kan, nanti kamu bisa nabung lebih banyak,” jawab Nesha yang selalu bisa mengimbangi canda sang pria. Arfan seketika menjitak kepala wanita yang kadang asal bicara. Meskipun ia tahu hanya sebuah gurauan. “Kamu kalau ngomong itu yang bener, Sayang ... itu sama aja kamu nyuruh aku puasa setiap hari. Katanya nyuruh aku makan yang banyak biar tidak kurus. Lupa?!” ujar sang pria mengingatkan lagi apa yang dulu sering ia dengar saat dirinya dalam masa rapuh. “Sakit, Mas!” keluh Nesha, “tidak perlu pakai dijitak segala. Bukan lupa, pura-pura lupa aja,” lanjutnya lagi yang masih belum puas menggoda sang pria. “Biar aja sakit. Biar sadar kalau ngomong itu tidak boleh sembarangan. Awas aja kalau sampai ngomong macam-macam seperti dulu. Bukan hanya dijitak, ditampol juga nanti,” ujar Arfan yang masih mengingat betul ketika Nesha berkata ingin menjual diri karena kehidupan mengajaknya bercanda. Ya, dulu Nesha pernah berpikir ingin menjual diri ketika hidupnya pernah hancur dan terjebak pada pernikahan dengan cinta yang memudar. Sebuah ikatan yang membuat mimpinya menjadi penulis harus menyala dan padam tidak tentu. Namun, mengenal pria yang kini berada di sisi membuatnya kembali menemukan mimpinya. Bahkan, selalu memberi dukungan meski hasil belum memuaskan. Tidak pernah menghakimi dan memberi omelan ketika tengah terjebak beberapa judul. Hal itu benar-benar ia tepati saat Tuhan menuntun takdir pada titik sekarang. “Makasih kamu udah selalu ada hingga detik ini. Selalu membenarkan jalanku yang salah. Aku masih tidak percaya kalau kita akhirnya bisa bersama. Bahkan, kamu juga tidak marah saat tahu aku tidur dengan hape di dekat kepala. Maaf, jika hadirku dulu membuat kita terluka dan juga kehilangan satu sama lain. Tapi, memang perasaan yang dulu ada hingga detik ini tidak berubah. Aku sayang sama kamu apa pun keadaan kamu," ucap Nesha tiba-tiba tanpa bisa mencegah gerimis yang perlahan membasahi pipi. Arfan seketika menghentikan langkah, lalu membawa wanita yang hadir tanpa sengaja dalam dekapan. Ada nyeri apabila mengingat perjalanan kisah yang dulu bersemi di tengah ketidakberdayaan. Bukan inginnya untuk menumbuhkan rasa di luar kuasanya. Namun, perasaan itu memang benar nyata hadir di antara tumpukan hati Wening dan Nesha. Meski Tuhan akhirnya menggariskan kehilangan untuk mendapatkan. “Ssstt! Kamu tidak perlu minta maaf terus, Sha ... di sini aku yang salah. Aku yang tidak bisa membahagiakan dia dan juga kamu. Makanya dia memilih pergi. Tapi, kamu kekeh di sini meski tahu aku bukan pria baik dan jauh dari kata sempurna. Jangan nangis lagi. Kan, kamu udah pernah janji tidak akan nangis lagi. Lupa?” ujar sang pria berusaha menenangkan ketika wanitanya kembali membuka kisah lalu. “Baiknya kita masuk rumah. Ini udah sampai. Takut Ibu nungguin,” ujarnya lagi yang mendapat persetujuan dari Nesha. Ketika baru sampai di depan pintu, wanita yang memang menunggu kepulangan anak dan menantu sudah berdiri menyambutnya dengan wajah serius. “Akhirnya kalian pulang juga. Ibu ingin bicara. Penting,” ucapnya tanpa senyum di wajah. Keduanya menurut, lalu duduk berjejeran di depan wanita yang memang memiliki tempat tertinggi sebagai ibu dan mertua. “Ibu mau bicara penting apa?” tanya Arfan membuka pembicaraan. “Ibu mau tanya satu hal. Ibu harap kalian jawab jujur tanpa menutupi. Ibu ingin tahu alasan besar apa yang dimaksud Wening ketika perpisahan dulu itu terjadi?” Kedua manusia yang setuju merahasiakan alasan besar itu seketika saling pandang. Entah harus jujur atau memberi tahu membuat mereka dilema. “Apa harus Ibu tahu tentang alasan besar itu? Sedangkan aku sama Nesha menyimpannya untuk diri sendiri. Aku tidak mau kebahagiaan yang baru tercipta kembali lenyap karena ini.” -----***----- Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD