Retha membuka mulutnya dengan lebar-lebar. Saking lebarnya, kepalan tangannya saja bisa masuk ke dalam mulutnya itu. Dia mulai memasukkan roti bakar dan menggigitnya, hingga coklat meleleh di dalamnya hampir keluar dari roti.
Dia akan bertanding nanti, sehingga harus mengisi energi yang ada di dalam dirinya, sebanyak mungkin.
Di sebelahnya ada Akhtar. Keduanya duduk bersama di kursi kosong yang ada di gedung satu. Cowok itu juga tengah makan sekarang.
Bedanya, Akhtar makan burger, dengan tangan kanan memegang saos sachet, sesekali akan menambahkan saos pada burger.
Ngomong-ngomong, keduanya tidak sengaja bertemu di kantin tadi, lalu kemari dan duduk bersama. Sambil menunggu giliran Retha bertanding.
"Eh Tha!!"
Cewek bernama lengkap Aretha Kazumi Masayoshi itu sontak menegak, ketika namanya di sebut tiba-tiba oleh Akhtar, setelah mereka saling diam tadinya.
"Apa?"
"KPOP apaan sih?"
Retha mendelik, jadi ternganga selanjutnya.
Ya siapa nggak bingung kalau di tanyai begitu sama cowok??
"Ha?"
"Kata Savita, lo demam KPOP," sahut Akhtar, yang kemudian mendesah samar, "Kata dia juga, bias lo Cha Eun Woo sama Kim Mingyu. Emang, bias tuh apaan sih?" lanjutnya bertanya.
"Elo kenapa tiba-tiba tanya soal KPOP ke gue?" Retha melongo begitu saja.
"Ya...nggak papa. Cuma pengen tau," jawab Akhtar seadanya.
"KPOP tuh kayak sejenis musik. Tapi asalnya dari Korea Selatan. Bukan dari Indonesia," tuturnya jelas, lalu kembali membuka mulutnya, dan menggigit ujung roti bakar satunya.
"Kalau bias?"
"Kalau bias tuh idola," sahut Retha sambil menyeringai tipis.
Akhtar menarik nafasnya panjang, kemudian mendesah, "Ohhhh...."
"Kenapa? Muka lo kayak kusut gitu, pas denger kata idola??" tanya Retha jadi penasaran.
"Nggak papa sih. Cuma dari sini, gue jadi tau, kalau selera cowok lo, pasti tinggi," katanya setengah bergumam.
Retha mengangkat sebelah alisnya tinggi. Merapatkan bibir, dan diam- diam kembali memakan roti bakar. Bingung juga harus menanggapi apa.
"Lo suka ngoleksi album juga?"
"Enggak. Gue mah nge-fangirl modal kuota sama poster doang," seru Retha sambil meringis, terkekeh dengan bodoh setelahnya.
"Kenapa? Setau gue, Masayoshi tuh keluarga terpandang. Lo bisa beli kalau lo mau. Bahkan kalau perlu, lo bisa timbun tuh di kamar lo. Nggak bakalan bikin keluarga lo bangkrut juga kan?" celoteh Akhtar.
"Ck, gue nggak mau. Kalau ketauan papa, pasti gue di marahin," balasnya jadi manyun, "Papa gue tuh.......galak. Kak Artha aja yang udah gede, pernah tuh di hajar habis-habisan sama papa, waktu kepergok pergi ke club."
Akhtar mengangkat sebelah alisnya. Lalu melirik Retha lagi.
Gadis berponi rata itu membenarkan posisi duduk, "Keluarga gue disiplin. Semua garis keturunan Masayoshi, termasuk sepupu-sepupu gue, harus tunduk sama peraturan. Kita semua di tuntut buat pinter. Karena kata opa gue, cuma orang berbakat yang punya tempat baik di dunia ini," kata Retha yang mendadak jadi curhat.
"Tapi kata Dafi, si Tilo---"
"Tilo emang bandel di sekolah. Tapi, lo belum tau aja kalau di rumah, dia tuh nurutnya kayak apa," potong Retha.
Akhtar merapatkan bibir. Diam-diam langsung paham.
"Kalau keluarga lo?" tanya Retha, membuat Akhtar jadi agak mendelik.
"Nggak ada yang spesial kok. Keluarga gue, keluarga religius. Semua anaknya harus paham ilmu agama dari umur mereka masih sepuluh tahun. Lo kan tau sendiri, gue masih ada darah Arab-nya," tutur Akhtar.
Retha merapatkan bibir.
"Kenapa lo masuk sekolah umum? Biasanya, orang tua sejenis orang tua lo tuh, bakalan masukin anaknya ke pondok pesantren?" tanya Retha.
"Sempet di tawarin, tapi gue nolak."
"Kenapa?"
Akhtar kembali menggigit burger di tangannya, mengunyahnya sebentar, lalu bersuara, "Kalau gue masuk ke pondok pesantren...gue nggak bisa ketemu sama lo dong?" tanya Akhtar, sambil menyeringai tengil, sengaja menggodai.
Retha mendelik. Diam-diam menarik wajahnya mundur, saat wajah Akhtar lebih dekat dengannya. Yang tak lama jadi mendecih, menonyor kecil jidat pemuda itu.
Akhtar terkekeh kecil, melihat wajah memerah Retha.
"Tapi kata Savita...lo tuh petingginya berandal sekolah lo. Emang bokap, nyokap lo nggak tau?"
".........Nggak. Yang mereka tau, gue pinter," jawab Akhtar seadanya, lanjut makan burger.
Retha manggut-manggut, jadi paham.
"Besok kan Minggu. Jalan sama gue mau nggak?" ajak Akhtar penuh harap.
"Hah?" Retha tersentak kaget.
"Kita makan bareng.....di restoran Korea. Kata Dafi, ada tobbeoki enak di jalan Panglima Polim. Gue kok yang traktir. Gimana?"
Garis wajah Retha perlahan berubah. Menatap cowok tampan di depannya dengan tatapan sulit di artikan.
Melihat reaksi itu, membuat Akhtar jadi manyun, "Nggak mau ya? Ya udah kalau nggak ma--"
"MAU KOK GUE," potong Retha jadi nge-gas. Yang kemudian meruntuk, sambil menepuk bibirnya sendiri, karena terlalu semangat.
Akhtar yang semula tergelak, jadi terkekeh geli melihatnya.
Retha jadi mencuatkan bibir kecil, menabok Akhtar yang masih terus menertawainya.
"Ya nggak usah salting juga kali Tha," goda Akhtar, membuat Retha makin melotot.
Tak memperdulikan Retha yang kini masih melotot padanya, Akhtar justru tersenyum kecil, dan kemudian, lanjut menuangkan saos di roti burger.
Sampai tidak lama......
"RETHA PERIH........" pekik Akhtar seraya memejamkan matanya.
Retha yang baru hendak makan roti bakar lagi, jadi menoleh kaget.
"Anjir, lo udah gila? Ngapain lo olesin saos sambel ke mata lo?" pekik Retha langsung ternganga-nganga.
"Lo kira gue sebego apa sih? Saosnya muncrat ke mata gue," balas Akhtar jadi balik ngomel, sambil mengusap sebelah matanya dengan tangan.
"Ck, ayo ikut gue!"
Tangan Retha langsung meraih jari- jemari tangan Akhtar satunya. Dia menuntut cowok itu untuk keluar dari gedung olahraga, menuju wastafel terdekat.
Dan mulai ribut, membasuh mata Akhtar yang terkena saos.
"Masih perih nggak?"
Akhtar mengedip-ngedipkan matanya sebentar, hendak memastikan kalau matanya sudah aman atau belum.
"Belum. Masih perih," sahut Akhtar sungguh-sungguh.
"Coba sini! Gue pengen lihat," suruh Retha sambil meraih wajah Akhtar dengan dua tangannya, membuatnya reflek mendekat pada cowok itu.
Akhtar agak memendekkan tubuhnya, sehingga Retha lebih mudah, melihat matanya yang kemasukan saos.
Tidak sadar saja, kalau dari jauh, ada sosok Vian dan Agam, yang fokus mumpeng melihat keduanya.
"WOY KAWAN-KAWAN!" panggil Vian menirukan gaya Upin-Ipin, pada Tilo, Karrel, Azka dan Billy yang lagi berdiri tak jauh darinya.
"SINI DAH, CEPETAN! ADA YANG LAGI ROMANTIS-ROMANTISAN!!" seru Vian lagi, melambai-lambai riang pada Tilo dan lainnya, menyuruh mereka untuk mendekat segera.
Karrel, Tilo dan Billy, sontak saja langsung bergegas mendekat. Mereka bahkan saling dorong, dengan sewot, ingin sampai lebih dulu. Sementara Azka menyusul di belakang.
"Siapa yang lagi cipokan njir, siapa?" tanya Tilo langsung heboh.
"Romantis-romantisan dodol. Ngapa jadi cipokan dah?" Billy mengomeli, sambil menonyor kepala Tilo.
"Mana haa, mana?" tanya Karrel jadi ikutan kepo juga. Sempat mendorong badan Tilo dan Billy supaya menjauh darinya. Agar tak terganggu.
"Tuh-tuh, si Retha lagi sama anak Taruna Jaya Prawira," kata Agam memberitahu.
Karrel mendelik, agak melotot. Kini jadi menggerakkan kepala ke arah dua sejoli yang lagi berdiri, sambil berhadapan. Dengan tangan Retha menangkup pipi Akhtar, dengan cowok itu agak melebarkan kedua kakinya, supaya badannya lebih rendah, sejajar sama Retha.
Hal yang di lakukan Karrel, di ikuti oleh teman-temannya yang lain.
Vian agak menarik diri mundur, supaya tak ketauan Retha.
"Itu Akhtar nggak sih?" tanya Azka berbisik-bisik heboh.
"Lo kenal?" tanya Billy kaget.
"Enggak. Cuma tau. Dia anak basket sekolahnya. Tapi bukan kaptennya sih setau gue," balas Azka, sambil melihat ke arah mereka lagi.
"Ganteng banget sat," oceh Agam jadi heboh setengah mati.
"Mereka pacaran ya? Kok gue baru tau, kalau Retha bisa demen sama cowok?" Vian berseru juga.
"Til, lo kok nggak cerita-cerita sih, kalau adek lo lagi deket sama cowok?" tanya Billy.
Tilo mendelik, "Dih, gue aja baru tau."
"Lihat deh, lihat! Mereka lengket banget njir." Agam makin jadi.
"Retha kalau sama gue, nggak pernah se-intens itu. Boro-boro intens njir, gue masuk kamarnya aja, langsung di tendangin sama dia," kata Tilo protes sendiri. Tak terima kalah sama cowok baru itu. Padahal, Retha sepupunya. Tapi lebih dekat sama cowok lain.
"Dih, gue lihat Retha perhatian ke orang lain kayak gitu aja nggak pernah," sungut Azka.
"Dia kan jutek banget sat. Gue sapa aja, nggak pernah tuh, dia lempar senyum ke gue. Jadi terganggu kan gue-nya. Nggak berani nyapa lagi."
Mereka mendelik, saat Retha agak mendekat wajahnya pada wajah Akhtar. Meniup-niup mata cowok itu, yang kalau di mata mereka ber-enam, posisi keduanya seperti orang yang akan berciuman.
Wah, romantis sekali.
Sudah seperti sinetron Ikatan Cinta.
Bahkan, Karrel yang sejak tadi diam pun, jadi mendelik kecil, ternganga begitu saja melihatnya.
"Wah anjeng," pekik Karrel tau-tau sudah emosi.
Cowok tampan itu, bahkan lagi berancang-ancang untuk pergi ke sana, berniat membubarkan mereka berdua dari zinah nyata.
"WEEEEEHHHHH-WEEEEEHHHH!!" tahan Billy, Vian, Agam dan Tilo kompak. Kaget juga karena Karrel tiba-tiba ngamuk begini.
"SANTAI SAT, SANTAI!! LO MAU NGAPAIN DAH??" sembur Tilo langsung galak.
Karrel mendelik, "Lo nggak lihat kalau sepupu lo mau ciuman njing, sama tuh cowok?" tanyanya langsung sewot dan melotot, "Gila ya lo, biarin mereka ciuman?" lanjutnya yang langsung marah-marah.
"Bukan euy, bukan. Itu si Retha lagi niupin matanya Akhtar," lapor Vian.
"Kalem elah slur! Ngapa jadi elo yang panas dah?" sewot Tilo.
"Siapa yang panas??" pekik Karrel langsung meninggi, membuat Tilo tersentak, menciut takut.
Azka diam-diam mendelik, melihat sahabatnya uring-uringan gitu.
Karrel mendengus begitu saja, lalu menoleh. Diam-diam jadi mengkerut malu, ketika yang di katakan Vian tadi benar.
Retha hanya meniup mata Akhtar.
"Ck, tetep aja njing. Tuh cowok kegatelan banget sama Retha. Aghrr... sialan." Ke-lima temannya menatap Karrel dengan cengo. Bingung juga, kenapa Karrel berlebihan begini.
"Lah, cembokur pak?" tanya Billy seakan baru sadar.
Vian mendelik, ikutan terkejut juga mendengarnya, "Naksir Retha lo Rel? Katanya cuma cinta sama Denta," kata Vian menyindir nyaring.
Karrel mengumpat, "Siapa naksir siapa hah?" tanyanya tak terima.
"Ya...elo kayak cemburu gitu," balas Tilo membantu temannya menjawab.
"Cemburu pala lo? Gue cuma nggak suka ada anak sekolah gue, ciuman di tempat umum gini. Bikin malu tau nggak," katanya menjelaskan.
Azka ternganga, "Lah, kan si Retha nggak ciuman. Lo tetep masih nggak terima gitu tadi. Mana ngatain Akhtar kegatelan," ocehnya membalas.
Karrel tersentak.
LAH??? IYA YA???
"Dah lah, gue mau nyari Denta," kata Karrel dengan tampang tak peduli, yang kemudian bergegas pergi.
"Cih," umpat Agam.
Sementara itu, Karrel mendecak. Melirik sebentar ke arah Retha dan Akhtar yang kini berbincang, dengan cewek itu yang kembali melihat mata Akhtar. Seperti memastikan sesuatu.
Diam-diam, dia menggerutu. Lalu mengacak-acak rambutnya, bingung juga, kenapa jadi frustasi begini.
"Tuh cewek, pinter juga," omelnya di sepanjang jalan, "Baru aja tadi sama gue, sekarang dah sama cowok beda lagi. Calon-calon fuckgirl tuh," lanjut Karrel masih ngomel-ngomel.
Sampai di belokan koridor, tanpa sengaja dia bertemu Alex dan Dira yang lagi suap-suapan pisang keju, dengan gaya sok romantis.
Memang, mereka berdua adalah couple Dharma Wijaya yang selalu loveydovey di setiap kesempatan. Entah mengapa, Karrel jadi sewot sendiri melihat keduanya.
Setau Karrel dari Denta, panggilan keduanya panda bunda.
"Ck, ngapain sih lo berdua?" sentak Karrel tak terima, membuat Alex dan Dira yang lagi cekikan, jadi tersentak.
"Buta lo? Lagi suap-suapan nih," balas Alex yang tadinya mendelik.
"Kalau suap-suapan ya di kantin sana. Ngapain di sini? Ngalangin jalan gue tau nggak. Nggak usah sok paling mesra deh! Putus mampus," katanya langsung sewot, membuat Dira dan Alex kompak ternganga-nganga.
"Dih, ember. Mau gue mesra sama Panda kek, mau gue salto di lapangan sama Panda kek, urusannya sama lo apa ya?" kata Dira tertawa tak habis pikir sama cowok ini.
"Sinting ya lo?" sewot Alex juga, "Iri kan lo, gara-gara jomblo?" serunya, ikutan tak habis pikir, sama cowok yang jadi rival bos-nya ini.
Karrel mengumpat. Mendecak, lalu pergi meninggalkan keduanya, yang kini malah kompak cengo.
Saat di tengah jalan, dia berpapasan dengan Nugraha--anak Dharma Wijaya yang juga masuk list musuhnya, karena dia berteman dengan Gasta.
Keduanya saling bertatapan, saat jarak sudah dekat.
"Apa?" tantang Karrel hendak maju.
"Lah, apaan dah?" tanya Nugraha jadi bingung sendiri.
"YA ELO APA, NATAP GUE KAYAK GITU. NANTANGIN??" pekik Karrel, sudah tak tahan ingin menonjok.
Nugraha ternganga. Perasaan, dia tuh natap Karrel gara-gara ini cowok liatin dia mulu dari tadi.
"SIAPA YANG NANTANGIN SAT?" seru Nugraha berusaha berani.
"Ini apa namanya kalau bukan nantangin gue? Berani lo?" sewot Karrel jadi melotot.
"LAHHHH? Mabok kaporit lo?" tanya Nugraha ternganga, sekarang jadi maju, ingin melawan.
Karrel mendelik, "Mundur g****k, mundur! Gigi lo nyeremin," usirnya dengan galak, membuat Nugraha mendelik.
"AWAS LO!!" pekiknya langsung menendang p****t Nugraha, kembali melangkah.
Meninggalkan Nugraha yang kini misuh-misuh karena kelakuannya.
Tapi, saat baru dapat beberapa langkah, Karrel malah menabrak dinding di depannya, karena sudah ada di ujung koridor. Dia yang tidak siap menghindar, sontak saja jadi merasakan ngilu di jidatnya.
Tau apa yang terjadi setelahnya...
"Lo ngapain berdiri di sini sih b*****t? Siapa yang naroh dinding di sini hah, SIAPA???" katanya sudah ngamuk-ngamuk sewotan.
"HAHAHAHAHA, RASAIN. EMANG ENAK KEJEDOT???"
Nugraha yang melihat kejadian itu, sontak saja terbahak keras. Karrel mendesis jengkel, karena kepalang malu, dia memutuskan segera pergi.
Sampai tak lama melangkah, Karrel tersentak. Kenapa dari tadi dia sewot sendiri sih? Padahal, tujuan utama dia pergi dari gedung olahraga, untuk mencari Denta.
***
"Habis makan, lo mau kemana?" tanya Denta penasaran.
"Ke gedung satu," balas Karrel.
"Bukannya gedung satu itu buat turnamen badminton ya? Lo mau nonton siapa?" seru Denta dengan alis yang terangkat sebelah.
"Ada pokoknya," balas Karrel sambil tersenyum kecil.
"Cewek lo ya?" tanya Denta langsung heboh sendiri.
"Ck, bukan. Lo kan tau, yang gue taksir itu cuma elo," balasnya.
"Tapi Rel...kok gue ngerasanya enggak ya," kata Denta meringis.
"Hah, apanya?"
"Ya...gitu. Gue kayak ngerasa, lo lagi naksir dua cewek."
"Enngak, lah. Siapa bilang?" pekik Karrel langsung nge-gas.
"Itu cuma feeling gue aja kok. Kalau emang bener...kenapa nggak lo kejar dia aja?"
"Siapa sih Nta? Gue nggak lagi naksir sama siapa-siapa. Selain elo," katanya langsung nyolot.
"Retha."
"Retha? Dah gila ya lo?" semburnya, "Gue aja berantem mulu sama dia," lanjutnya nge-gas.
"Justru itu. Biasanya kan, cinta itu bermula dari benci."
"Cih, nggak percaya gue," kata Karrel berusaha menyangkal.
"Terus, atlet badminton yang mau lo tonton siapa. Retha atlet juga kan?"
"Ya...iya." Karrel mengkerut malu, “Tapi gue nggak mau nonton di—"
"Nah, ketauan kan, kalau lo naksir sama dia," seru Denta.
"Gue nggak naksir," katanya membela diri, jadi nge-gas, "Gue cuma pengen nonton, pertandingan badminton aja kok. Serius," katanya sok tegas.
Denta memanyunkan bibirnya.
"Jadi...lo nggak suka Retha?"
"Enggak," nggak tau maksudnya.
Denta mendengus, "Padahal, gue tuh berharapnya, lo beneran naksir sama dia," kata Denta bersungut.
"Kenapa? Lo terbebani sama perasaan gue?" kata Karrel.
"Bukan. Gue cuma nggak tau, gimana caranya ngebales perasaan lo. Selama ini, lo selalu baik sama gue," katanya dengan pelan.
"Di sisi lain gue pengen putus sama Gasta dan bales perasaan lo. Tapi di sisi lainnya juga, gue sendiri nggak tau, kenapa gue nggak bisa lepas juga dari dia." Denta mendongak, menatap Karrel tepat, "Rel...lo tau sendiri, dia yang jadi penyembuh luka, waktu gue udah nggak bisa percaya sama cowok karena Azka. Tanpa gue sadar, kalau dia cuma nambahin luka yang sama."
Karrel merapatkan bibir.
"Gue nggak minta buat lo bales perasaan gue." Karrel mendesah dengan samar, "Gue cuma bilang sama lo waktu itu, kalau lo udah ngerasa capek sama Gasta, bilang ke gue," tuturnya halus dan lembut.
"Seenggaknya, kalau ada cewek lain yang lo suka juga, gue ngerasa lebih lega. Tau nggak sih, gue ngerasa jadi jahat karena nggak bisa suka sama lo. Padahal lo ganteng. Aneh ya?"
Saat keduanya melangkah, Karrel tanpa sengaja bertubrukan dengan Ivon yang lagi berjalan bareng Gista.
"Jalan pakek mata!" semprot Karrel langsung galak.
"Jalan pakek kaki g****k!" kata Ivon balik mengomeli.
"Mata juga. Emangnya lo mau hah, jalan ngerayap kalau nggak punya mata? Dasar b**o," sewot Karrel lagi.
Ivon melotot.
***