15 | Pelindung Terbaik

3192 Words
Karrel melangkahkan kakinya yang panjang pada lantai marmer, gedung mall besar ini. Suaranya terdengar cukup nyaring, walau suasana di lantai dua ini tidak sepi. Sudah hampir satu jam, sejak dia memasuki mall, Karrel masih bertahan juga di sini. Dengan tangan yang menenteng paper bag yang berisi sepatu basket barunya yang akan di pakai untuk babak final dalam turnamen RIPU Cup besok, kini, cowok itu mulai menaiki eskalator menuju lantai tiga. Lantai yang di khususkan untuk area food court dan bioskop. Semakin melangkah, entah mengapa pikirannya kini tertuju pada Retha. Kejadian di koridor beberapa hari lalu, dimana Retha dan dirinya sama- sama terjatuh dengan posisi cewek itu berada di pelukannya, masih terus membekas di pikiran Karrel. Sebenarnya, apa yang membuatnya kepikiran? Sejak awal, yang dia suka adalah Denta, bukan Retha. Namun, mengapa Retha berhasil membuat jantungnya merasa berdebar-debar? Karrel sadar, ini berbeda. Sejak awal, hubungan dia dengan Retha tidak bisa terdefinisikan. Entah teman, atau justru musuh. Aretha Kazumi Masayoshi. Cewek itu selalu menentangnya. Tidak sama sekali menunjukkan rasa tertarik padanya, dan untuk apa seorang Karrel harus kepikiran?? Tapi anehnya, Karrel merasa cewek itu memiliki magnet tersendiri di dalam hidupnya. Retha berhasil, membuat dirinya, seorang Karrel Davian Andara, merasa jadi tertarik dan penasaran pada sosok jutek yang hobby julidin orang itu. Seperti contohnya, saat di Indomaret. Karrel sendiri bingung, mengapa dia harus membelokkan mobilnya, saat cowok itu sadar ada Retha di sana. Cih, cewek jutek kayak Retha, mana mungkin membuatnya jatuh hati?? Immpossible. Sampai ketika dia hendak berbelok ke area food court, cowok itu mendadak menghentikan langkah, ketika dia melihat sosok Gasta dan Denta yang tengah berseteru hebat. Karrel diam di tempatnya, kini jadi memandangi mereka lama. "Kamu tau Nta, aku sayang kamu dan akan selalu kayak gitu. Sorry, untuk kali ini aku nggak bisa," Gasta mengusap kepala Denta lagi, "Maaf, ya!" "Bullshit, Gas! Lo itu bullshit!" Denta menyentak, lalu berdiri meninggalkan Gasta, masuk ke dalam bioskop sendiri. Gasta terkejut mendengar sentakan itu, berniat untuk mengejar. Tapi lagi- lagi ponselnya kembali berdering. "Sorry, Nta!" Tak ingin memikirkan apapun, Gasta segera berlari terburu-buru, keluar dari tempat ini. Di sudut lain, Denta berhenti, memutar tubuh menghadap ke arah tempat Gasta berdiri tadi. Senyum miris gadis itu terbingkai jelas. Sampai pada akhirnya dia berfikir, bahwa kali ini dia akan kembali kalah seperti dulu. Karrel diam-diam memandangi kejadian itu nanar. Gimana bisa dia menyimpulkan tertarik pada Retha, sementara hatinya masih sakit, saat melihat Denta menangis begitu?? Yah, Karrel sadar, sebagian hatinya, masih tertuju pada cewek itu. Denta itu sok kuat. Selalu berhasil membuat semua orang percaya bahwa dia baik-baik saja. Lihat saja sekarang. Dia berusaha untuk tidak menyedihkan, dan mengobati luka hatinya sendiri. Bagaimana mungkin, cewek bar-bar yang selalu terlihat ceria itu, tidak membuatnya jatuh cinta??? "Hadeh, kenapa lagi sih Nta? Ngapain lo tangisin? Jelas-jelas dari awal lo tau kalau dia lebih sayang Melody." Denta menggeram menyedihkan. Karrel mendesah. Mengusap matanya sekali, yang entah sejak kapan sudah berair. Cowok itu berusaha untuk tersenyum ceria, melangkah tenang, dengan gaya sok asik. "Eh, ada Denta? Sendirian aja ya Nta?" Denta nyaris melompat ke arah lain, ketika sapaan tidak terduga datang dari pemuda jangkung berwajah setengah bule. Kulitnya yang putih kontras sekali dengan hoodie hitam yang dia kenakan. Salah satu telinga Karrel juga di tindik, tetapi anehnya tidak membuat pemuda itu urakan, malahan keren. Siapapun yang melihat, pasti akan terpesona. Apalagi dia sosok yang gampang tertawa. Meski kadang juga datar. "a***y lo Rel? Ngagetin aja," kata Denta sambil mengusap dadanya, lalu menghembuskan nafasnya kasar. Karrel tersenyum miris. Lihat kan, bagaimana Denta pintar sekali untuk menyembunyikan lukanya??? "Sejak kapan lo di sini? Kenapa tiba- tiba banget nongolnya?" seru Denta. "Lumayan lama, sampai gue tau kalau lo habis galau gara-gara dia pergi, iya kan?" tanya Karrel mencoba untuk terkekeh, kali saja Denta ketularan ikut tertawa. "Hah?" Denta terkejut tentu saja. Jadi, Karrel melihat semuanya? Bukannya senang, Denta justru menampol lengan Karrel dengan sebal, "Lo ngikutin gue ya?" pekiknya. "Ya nggak, lah. Pede amat deh, Nta?" "Ya terus, kenapa lo bisa tiba-tiba ke sini coba? Nggak mungkin kalau kebetulan," balas Denta sebal. Karrel terkekeh, "Teori kebetulan yang lo bicarain itu bener. Gue emang lagi ada di sini. Beli sepatu." Karrel mengangkat sepatu yang di belinya, untuk pertandingan final besok. Saat melihat Gasta dan Denta, dia awalnya berpikir, bahwa hubungan keduanya sudah baik-baik saja. Dan tidak di pungkiri, dia senang melihat Denta tidak tersingkirkan sekalipun Melody kembali. Tapi nyatanya, dia salah besar. "Oh." Denta mengangguk faham, gadis itu tersenyum kemudian. "Lo pinter juga ya Nta, kalau di suruh pura-pura bahagia gini?" tanya Karrel sambil menoel pipi Denta, "Jadi aktris aja sana! Pasti bayaran lo gede." Senyum Denta perlahan memudar begitu mendengar ucapan Karrel. *** Karrel membelokkan Ferarri putih miliknya dengan kecepatan pelan, pada bangunan mewah berdesain kontemporer tersebut, setelah sempat mengantar Denta pulang tadinya. Bangunan putih berlapis marmer yang di kombinasikan dengan batu alam berwarna coklat tersebut, berdiri kokoh berjajar pada jajaran yang serupa mewahnya. Rumah itu terlihat sangat sepi, padahal, hari belum terlalu malam. Ngomong-ngomong, itu bukan rumah keluarga Andara, melainkan milik keluarga Masayoshi. Yah, ini rumah Tilo temannya. Mereka berencana untuk main PS, bersama Billy, Vian, dan juga Agam. Azka tak ikut kali ini. Namun, sesaat hendak memasuki pintu utama rumah itu, Karrel jadi menghentikan langkah, saat melihat Retha yang sudah nangkring di gazebo depan rumah itu, dengan laptop yang menyala di pangkuannya. Awalnya, Karrel berniat untuk tidak peduli. Tapi kini malah tersentak, saat melihat Retha berulang kali harus mengusap wajahnya. Tanpa pikir panjang, dia langsung bergerak mendekat. "Ngapain lo di rumah Tilo??" Karrel kini mendelik, saat Retha mendongak dengan mata dan hidung memerah. Kelihatan sekali, bahwa Retha baru selesai menangis. "Loh-loh, lo kok nangis?" pekik Karrel jadi panik seketika, "Kenapa Tha? Siapa yang bikin lo nangis kayak gini? Cerita sini sama gue!!!" lanjut Karrel sambil memegang bahu cewek itu. Retha yang awalnya terkejut dengan kehadiran Karrel, kini terdiam agak lama, mendenguskan hidungnya yang memerah dengan ingus meluber. Sampai akhirnya kembali menangis dan merengek kecil. "Rel.....huhuhuhuhu...." "Kenapa sih Retha?" tanya Karrel kini jadi melembut, membuat darah Retha langsung berdesir, "Ada apa? Lo habis jatuh ya? Mana yang sakit?" lanjutnya jadi cemas, sambil memastikan tubuh Retha tidak ada yang luka. Tumben sekali cowok itu jadi manis? Tak peduli, Retha kembali menangis lagi, "Hiks, kenapa sih Rel.....? Kenapa dia mesti pergi coba? Dia nggak boleh mati Rel. Huhuhuhuhu......" lanjutnya tersedu-sedu dengan lebay. "Siapa yang nggak boleh mati? Cowok lo sekarat?" tanya Karrel makin panik. Retha mendelik, dengan sebal, cewek itu menabok bahu Karrel, dan lanjut menangis lagi, "Gue jomblo Rel. Lupa ya lo......huhuhuhuhu." "Ya terus....siapa yang nggak boleh mati, siapa?" tanya Karrel agak kalut, apalagi Retha semakin lebay menangisnya. Karrel jadi bingung. "Hiks...masa dia tiba-tiba ngilang gitu aja sih Rel? Padahal habis nolongin di kolam renang. Tapi langsung ilang tanpa jejak," rengeknya tak rela. "Lo habis tenggelam?" tanya Karrel jadi melotot kini, "Kapan Tha, kapan? Tapi nggak papa kan sekarang?" "Bukan Rel...." Nangisnya makin jadi. "Terus, yang lo maksud ngilang itu siapa? Lo di PHP-in cowok ya?" tanya Karrel heboh, "Siapa yang PHP-in elo. Ngomong sini sama gue, biar gue aja yang nyamperin, terus hajar dia," kata Karrel jadi sewot sendiri. Tak terima. Retha ternganga, kini jadi sibuk meraih tisu dari dalam kotaknya, dan mengeluarkan ingusnya, membuat Karrel mendelik tak habis pikir. Ni cewek, nggak ada jaga imagenya sama sekali di depan gue. Gerutunya. "Makanya Tha, kalau baru di deketin cowok, jangan langsung pakek hati!! Baper kan lo?? Kalau udah di tinggal, lo sendiri yang nangisin," oceh Karrel jadi mengomeli sekarang. "RETHAAAA, KALAU UDAH SELESAI NANGIS, ITU TISUNYA LANGSUNG DI BUANGIN KE TEMPAT SAMPAH LOH YA!! ENTAR NYOKAP GUE NGAMUK KALAU ADA TISU MERATA-RATA." Suara cempreng Tilo terdengar dari dalam rumah, tapi orangnya tidak kelihatan, membuat dua remaja itu sama-sama menoleh. Retha mencuatkan bibirnya kecil, kini jadi memandangi Karrel, "Gue udah nonton episode ini tiga kali, tapi tetep aja nangis. Huhuhuhu," katanya balik nangis lagi. Karrel ternganga-nganga. Bengong beberapa saat. "Kasihan banget sama Dan Oh Rel, di tinggal Haru pergi. Hiks Rel...lo mesti lihat ini," kata Retha yang langsung menunjukkan laptop pada Karrel. Karrel dengan tampang bodohnya langsung melihat. Mendelik seketika, saat melihat gadis bermata sipit dengan rambut pendek, menangis sejadi-jadinya di lapangan, sendirian. AH ELAH!!!!!!!! DRAMA KOREA. "Lah ini kan ada Haru-nya. Ngapain di tangisin sama dia?" Karrel menunjuk cowok lainnya, yang berdiri di pinggir lapangan, melihat cewek itu nangis. "Itu bukan Haru. Itu Baek Kyung. Tunangannya Dan Oh. Tapi Dan Oh nggak suka Baek Kyung," kata Retha langsung menceritakan. "Oh..." Karrel manggut-manggut. Yang tidak lama, jadi tersentak, sesaat baru tersadar. Ternganga memandang Retha. "Lo nangis karena drama Korea?" tanya Karrel tercekat tak percaya. Pertanyaan itu, spontan membuat Retha melengkungkan bibirnya ke bawah lagi. Sedih. "Cowok yang dia suka ilang tiba-tiba Rel. Sakit hati nggak gue? Sakit hati lah. Nangis nggak gue? Nangis lah. Ya kali nggak nangis," jawab Retha jadi sewot sendiri. "Penulis komiknya yang ilangin Haru. Karena di anggep keberadaan Haru itu, jadi ancaman buat komiknya," kata Retha kembali bercerita. Karrel ternganga mendelik. Pemuda itu diam sejenak, berusaha untuk tidak meledak, dan memaki cewek yang ada di sampingnya ini. "Gue udah nonton drama ini berkali- kali. Tetep aja suka. Lo sendiri, udah nonton belum yang Extraordinary You? Mau gue copy-in?" tanya Retha langsung ceria. Entah kemana wajah sedih yang sempat singgah tadi. "Hah, film apaan tuh? Bokep ya?" "Bukan, b**o," sembur Retha jadi menabok bahu Karrel, "Drama yang gue tonton ini maksud gue. Judulnya extraordinary you. Bokep mulu ya lo," lanjutnya dengan sebal. "Kamu yang luar biasa?" tanya Karrel mengartikannya dalam bahasa Indonesia. "Hmm..." Retha manggut-manggut, "Gimana, mau? Bagus loh." Karrel melengos, "Nggak lah. Entar gue ketularan gila kayak lo, nangisin hal-hal nggak guna," cibirnya. "Ck, elo kalau nggak tau soal drama Korea, nggak usah sok deh," balas Retha jadi sewot lagi. "Yee, apa sih?" Karrel jadi sewot juga. "Yang nggak bisa bedain Sehun sama Lee Jong Suk, diem-diem aja ya!" kata Retha menyindir sarkas. "Anj---" "THA, SI KARREL UDAH DATENG BELUM YA?? TADI GUE DENGER SUARA MOBILNYA, KOK ANAKNYA NGGAK ADA? ATAU MOBILNYA TETANGGA?????" Itu suara nyaring Tilo lagi. Karrel yang sudah menggeram, ingin sekali maju, dan mencekik cewek itu, langsung tersentak dan menoleh. Dengan sebal, dia berdiri, melangkah memasuki rumah. Meninggalkan Retha yang kembali tersedu-sedu lebay, menatap laptopnya. *** Gasta menatap lawan bicaranya tajam. Sementara kedua tangannya sudah di masukkan ke dalam jaket hitamnya. Sedang pemuda yang menjadi lawan bicara Gasta, hanya menyeringai sinis, seolah tidak ingin ambil pusing. Laki-laki itu berujar untuk yang kedua kalinya, "Jauhin cewek gue, lo denger?" katanya tajam. Karrel tertawa sinis, lalu kemudian membuang ludahnya sebentar ke sisi kanan tubuhnya, "Cih! Menurut lo, gue bakal turutin perintah lo? Jangan mimpi!!" Karrel maju satu langkah mendekat, "Lo tau kan, gue nggak main-main kalau udah suka sama cewek?" tanyanya menatap Gasta tidak senang. Tatapan Gasta berubah dari tajam menjadi dingin, "Mau lo apasih?" "Gue tau jelas, kalau lo udah tau mau gue apa Gas. Gue mau cewek lo, gue cinta sama dia. Lo masih nanya juga, mau gue apa?" Karrel tertawa sinis. Karrel melanjutkan, "Dasar g****k! Putusin aja sana! Kalau emang lo nggak bisa jaga dia. Biar dia, gue aja yang jagain," sambungnya enteng. Tangan Gasta terkepal, "Gue masih bisa nahan diri, buat nggak nonjok muka lo sekarang," kata Gasta dengan kilatan mata tajam. "Gue mau, lo jauhin cewek gue!" ujar Gasta untuk yang kesekian kalinya. "Dan biarin dia pacaran sama cowok b******k kayak lo? Gue nggak segila itu Gas," kata Karrel tersenyum remeh, "Gue kadang bingung, kenapa ada manusia sesetan lo dan Melody?" Karrel mengatakan dengan ekspresi dingin. "Gue nggak habis fikir, kejahatan apa yang di buat cewek yang gue sukai, sampe pantas menerima perlakuan sampah dari orang yang dia cintai." Karrel diam, memberi jeda guna mengambil nafas. Dia melirik sekeliling gedung tempat dimana dia dan Gasta berada sekarang. Sangat sepi dan juga gelap. Hanya cahaya remang-remang yang masuk melalui celah ventilasi. Sedangkan Gasta, pemuda itu menghembuskan nafas pelan. Dia mencoba tetap tenang. "Rel, lo nggak tau apa-apa! Lebih baik lo diem!" Pernyataan datar dari Gasta sukses membuat Karrel tertawa miris. "Bener, gue emang nggak tau apa-apa, tapi kebersamaan lo dan Melody sekarang aja udah cukup menjelaskan sesampah kalian berdua, right?" kata Karrel sambil mendesah sebentar, lalu kemudian menatap Gasta lagi. "Bahkan setan aja minder Gas, lihat kelakuan lo. Mana ada, orang waras yang bawa cinta pertamanya, di pertandingan pacarnya? Otak lo udah hilang apa gimana?" "Melody maksa buat ikut, karena dia pengen lihat Den--" "Dan lo segoblok itu buat izinin tanpa peduli hati cewek lo gimana? Emang sih, lo berdua udah nggak ada otak dan perasaan," Karrel memotong cepat, malas mendengar alasan yang di buat-buat, "Iya, kan? Pantes. Alasan ini lebih masuk akal sebenarnya." Gasta menatap Karrel, seolah penuh peringatan agar tidak mengatakan sepatah kata apapun, "Berhenti, atau lo tau akibatnya nanti?" "Sekarang coba lo raba hati lo sendiri Gas! Siapa sebenarnya yang lo cinta? Melody...atau Denta?" Karrel masih melanjutkan tanpa gentar, toh dia dan Gasta memiliki ilmu bela diri di level yang sama. Bukan hal besar, jika mereka terlibat baku hantam sekarang. "Kalau emang lo nggak cinta sama Denta, kenapa nggak coba lo lepasin dia, buat gue, misalnya." Karrel menyeringai sinis setelahnya. "Gue tau Gas, lo bebas terbang kemanapun, tapi lo patahin sayap cewek yang gue cinta sampai dia bener-bener lumpuh total di tempatnya dan nggak bisa gerak kemana-mana. Apa lo fikir ini adil?" Wajah Karrel tampak serius, tidak ada seringaian jahat seperti saat mereka bertemu di pertempuran. Kedua mata Karrel terlihat memerah. "Lo ngikat Denta, dengan status sialan itu, tanpa lo mau tau, dia bahagia atau enggak pacaran sama cowok kayak lo," tukas Karrel dingin. Gasta terpaku, merasa tertohok oleh kalimatnya. "Bukankah itu menyebalkan, Gas? Dia yang mati-matian sayang sama lo, tapi lo justru balik arah gitu aja, karena cinta pertama lo dateng lagi," kata Karrel penuh penekanan, "Padahal, dia udah pernah gitu aja ninggalin elo, kan?" "Dasar penghianat!" hardik Karrel. Gasta melangkah mendekati pemuda itu, menarik kerah jaket Karrel, menyandarkannya di mobil pemuda itu, hingga punggung Karrel berbenturan keras menghasilkan debam nyaring. Dia meringis. "Apa gue salah? Faktanya memang begitu kan?" Karrel meraih tangan Gasta, agar dia sedikit melonggarkan impitan yang semakin mencekik. "Gue nggak selingkuh, anj--" BUGH Kalimat Gasta terhenti, saat kepalan tangan Karrel melayang keras di pipi kanannya. Dia memekik, belum sempat bereaksi ketika Karrel menarik paksa tubuhnya kasar. Melemparkan ke dinding gedung, kemudian mencengkram rahang Gasta menempelkannya ke dinding. "Apa lo lupa, haa? Cinta pertama yang selalu lo bangga-banggain itu, yang udah buat semuanya benar-benar rusak, Gas!" tekan Karrel pada setiap kalimatnya, membuat kepala Gasta langsung tertoleh ke arahnya. "Clarissa Maharani, lo nggak lupa siapa dia, kan?" tanya Karrel sukses membuat tenggorokannya tercekat. "Lima November, hari kematian Clarissa. Dan apa lo nggak inget, kalau Melody yang bikin Rissa mati?" "Rissa mati bukan karena Melody, tapi dia bunuh diri, b******k!" BUGH Dengan sekuat tenaga Gasta menendang perut Karrel agar menjauh. Ingin kembali melayangkan tinjuan tapi Karrel sudah lebih dulu mencengkram bahunya. Menariknya kasar, menonjok wajah Gasta sangat keras sampai membuatnya mundur. "YA, DAN MELODY PENYEBAB UTAMA RISSA BUNUH DIRI!!" teriak Karrel nyalang, dia benar-benar marah sekarang. Karrel ingat gadis malang dengan wajah babyface yang sangat cantik itu. Clarissa Maharani namanya. Sahabat kecilnya, sekaligus gadis yang dengan bodoh, tergila-gila pada Gasta. Gadis yang memiliki tubuh mungil, dengan otak yang sangat pintar. Gampang membaur dan suka sekali tertawa. Mengingat gadis itu, membuat Karrel tersenyum miris. Karrel menarik nafasnya sebentar, kemudian melanjutkan. Meski dia tidak mau repot-repot melihat Gasta. "Kalau bukan karena ke egoisan Melody sialan itu, supaya lo nggak dateng ke taman malam itu, dengan hapus semua chat Clarissa di ponsel lo, ini semua nggak akan terjadi Gas!" Karrel maju, meraih jaket Gasta menariknya membuat pemuda itu terbatuk, agak terangkat di depannya. Wajah Karrel memerah menahan emosinya yang sudah menggebu- gebu. Dadanya menyesak, mengingat gadis yang memiliki akhir hidup sangat tragis di usia nya yang masih muda. "NGGAK MUNGKIN ADA KEJADIAN RISSA DI PERKOSA GAS!!" teriak Karrel benar-benar nyalang. "Karena gue percaya, lo tetep bakal dateng ke taman sekalipun gue tau, kalau hati lo bukan untuk Rissa." Dada Karrel naik turun setelah mengatakannya. Sedang Gasta hanya diam membatu di tempat dia berdiri, dengan tangan Karrel yang masih memegang jaketnya. "Melody begitu takut kalau sampai lo suka sama Rissa. Emang, apa hak dia Gas? APA HAK DIA, GUE TANYA!!" "DIA MASIH CEWEK GUE HARI ITU GAS, TAPI DIA JUGA CINTA SAMA LO!!" sentak Karrel sangat murka. Gasta diam, tertegun begitu saja melihat Karrel semurka ini. Dia tau, kesalahannya dulu, membuat Karrel begitu membencinya. Hingga membuat hubungan keduanya yang berawal dari teman, menjadi rival seperti sekarang. Yah, Gasta ingat siapa gadis itu. Clarissa Maharani. Demi Tuhan kematian gadis itu bahkan masih menjadi kenangan pelik untuknya. Dan malam ini, Karrel kembali mengingatkannya, pada kejadian di masa lampau, yang nyaris berhasil Gasta lupakan. "Melody semenjijikan itu di mata gue Gas. Sampai gue bener-bener nyesel kenapa gue pernah jatuh cinta sama cewek b*****t kayak dia!" BUGH "JAGA MULUT LO, ANJING!" Hardik Gasta nyalang, menatap Karrel dengan sangat tajam. Karrel bangun, melayangkan tinjuan untuk membalas Gasta. Awalnya Gasta berhasil menghindar, tetapi tidak lama, Gasta langsung terkapar. BUGH Karrel tersenyum miring, kembali melayangkan tinjuan pada Gasta yang masih terkapar dari bawahnya. Nafas Gasta memburu cepat dan terengah kewalahan, bergerak dengan fokus agar serangan Karrel tidak melumpuhkannya. BUGH Gasta tidak tinggal diam ketika Karrel terus memukuli wajahnya. Kini dia yang menyerang, dengan menendang perut Karrel, membuat pemuda itu termundur ke belakang. Setelahnya Karrel terkapar, Gasta menarik kerah Karrel di detik itu juga dan berdesis. "Gue masih cukup baik, buat nggak bunuh lo hari ini! Gue mau, mulai detik ini lo jauhin cewek gue!" tukas Gasta tajam, sementara Karrel jadi tersenyum miring. BRUK Gasta terkena pukulan Karrel lagi. Sampai dia meludah ke sisi samping, berusaha untuk bangun dengan dua kepalan tangannya yang bertumpu pada lantai gedung dan nafas yang susah di hela. Tidak terhitung berapa kali Karrel menghajarnya, meski dia pun membalas dengan total yang nyaris serupa. Kekuatan keduanya memang sama, tidak heran jika keduanya tidak ada yang mau mengalah. "Gue nggak menghabiskan waktu kalau buat main-main, Gas." Karrel menjawab tegas. "Gue cinta Denta. Kalau emang yang lo cinta itu Melody, lepasin Denta. Dia nggak bahagia sama lo! Dia menderita pacaran sama manusia gagal move on kayak lo." Tenggorokan Gasta terasa tercekat mendengar penuturan Karrel barusan. Apa katanya? Denta tidak bahagia dengannya? "Lepasin dia! Biarin dia sama gue. Karena selama kalian masih terikat pacaran, gue nggak leluasa buat deketin Denta," kata Karrel sambil tersenyum miring. "Bukannya gue sama Denta cocok, Gas? Gue fikir....kami akan jadi pasangan yang serasi dan saling melengkapi. Dia queen bee di Dharma, dan gue king di Cendrawasih. Menurut lo gimana?" "A-apa?" BRUK Satu pukulan Karrel, mendarat telak di rahang Gasta. Begitu keras, sampai dia terpental ke belakang. Gasta meringis, memegang hidungnya yang langsung mengalirkan darah segar. Ucapan Karrel berhasil mengecoh konsentrasinya, jika keduanya tengah bertarung. "Apa lo nggak tau, senyesel apa Azka sekarang, karena nyiain Denta gitu aja? Sebelum lo ikutin jejaknya, fikir baik-baik, sebanyak apa lo cinta sama Denta." Pemuda tampan itu berlalu dingin dari sana, mulai menaiki mobilnya lagi, tanpa menoleh ke arah Gasta lagi. Sedang Gasta cuma bisa terdiam, menatap mobil Karrel yang sudah melaju meninggalkannya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD