12 | Setan Betina

4869 Words
Karrel diam, ketika sosok Melody—mantannya tiba-tiba berada di depannya. "Hay Karrel, udah lama ya kita nggak ketemu," sapa Melody mencoba untuk mengajak berjabat tangan. "Kamu apa kabar?" tanya Melody. Karrel tersenyum sinis, "Gue baik, sebelum lo dateng. Gue bahkan selalu berharap, buat kita nggak usah ketemu lagi," katanya sarkas. Denta menautkan alisnya semakin tidak mengerti. Sebenarnya ini ada apa? Mengapa dirinya berada di posisi yang serba tidak tau begini? Mereka saling kenal? Sejak kapan? "Lo apa-apaan, sih?" sentak Gasta langsung marah. "Gue bicara fakta, Gas. Buat apa dia balik ke sini lagi, setelah kerusakan hebat yang dia perbuat satu setengah tahun yang lalu," kata Karrel jadi sengit. Melody bungkam seketika. "Elo nggak tau apa-apa!" tukas Gasta sangat tajam. Karrel terkekeh sinis, "Lo lupa, dia bahkan pergi setelah semuanya udah berantakan. Hebat banget," sindir Karrel, menyeringai iblis. "Dia pergi bukan karena itu." "Halah bullshit!!" sentak Karrel. Denta jadi meringis, melihat Karrel yang terlihat kalap begini. Meski dia bosgeng, Denta tidak pernah tau marahnya Karrel itu bagaimana. "Rel, aku nggak ber--" "Gue nggak butuh penjelasan apapun dari mulut lo. Dasar sampah!" umpat Karrel, menatap benci gadis itu. "Jaga ucapan lo, anjing!" teriak Gasta berniat mengamuk. "Kenapa jadi elo yang nyolot sih, Gas? Yang di katain sampah kan cewek ini, bukan elo. Kenapa elo sewot?" tanya Denta angkat suara. Dan tepat, Gasta langsung bungkam seketika, sadar jika masih ada Denta di sebelahnya. Karrel terkekeh sinis, merangkul pundak Denta dengan tenang, tanpa memperdulikan raut wajah Gasta yang sudah mengeruh karena perbuatannya ini. "Nta, emangnya lo nggak pengen tau, siapa cewek di sebelah pacar lo ini?" kata Karrel sengaja menekankan kalimat pacar, agar gadis berwajah sok polos itu mendengar. Denta mengangguk sesaat, kemudian mengalihkan pandangannya pada Gasta, "Dia siapa, Gas?" tanya Denta mencoba untuk tetap tenang. "Dia....Melody," sahut Gasta. Melody yang tadi menunduk, jadi mendongak melihat ke arahnya. "Tanya dong Nta! Melody itu siapanya Gasta," ujar Karrel lagi, kemudian menyeringai sinis menatap Melody. Denta berdehem sebentar, mencoba mempersiapkan diri, "Dia...siapanya elo, Gas?" tanya gadis itu. Gasta merapatkan bibirnya sebentar, lalu bersuara, "Sepupu gue," balas Gasta, cowok itu langsung menepis tangan Karrel yang masih bertengger di pundak Denta. Melody langsung tersenyum pahit, ketika jawaban Gasta barusan terus berputar di kepalanya, seperti kaset rusak. Dadanya bahkan menyesak, entah karena apa alasannya. Hanya...sepupu? Dan rasanya, dadanya lebih sakit lagi, ketika melihat Karrel merangkul pundak Denta. Bukankah...Melody cinta pertama Karrel? Pacar pertama cowok itu juga. Kenapa di sini kelihatannya kalau Karrel menyukai Denta? Semudah itu, cowok itu melupakan dirinya??? Melody sadar, dia terlambat datang. "Yakin cuma sepupu? Bukannya dia ini cinta pertama lo ya?" kata Karrel sengaja. "Rel! Bisa lo diem?" sentak Gasta benar-benar naik pitam di buatnya. Karrel melengos, "Apasih Gas, gue bicara fakta kali. Cewek di samping lo ini kan, emang bukan cuma sepupu, tapi cinta pertama lo juga, kan?" "C-cinta pertama?" tanya Denta terbata. "Iya Nta, cinta pertama. Aneh ya mereka, sepupu kok saling cinta, kan najis!" umpat Karrel, kedengaran gondok. Denta memejamkan matanya sesaat, menatap Gasta lagi, "Bener, Gas?" Gasta mengusap wajahnya frustasi, menarik tangan Denta agar menjauh dari Karrel, "Itu udah dulu, Nta. Sumpah!" katanya. Alis Denta terangkat. Gadis itu sudah berniat untuk angkat suara, tapi Melody mendekat padanya. Gadis cantik bermata sipit itu, menjulurkan tangannya, berniat mengajak Denta berjabat tangan. "Melody...sepupu Gasta!" ucapnya sambil tersenyum mencoba riang. Denta melirik tangan cewek itu sebentar, mencoba untuk tersenyum. "Denta!" balasnya, sambil meraih tangan Melody. "Tenang aja, Nta. Itu cuma masa lalu kok, nggak perlu di ungkit. Kan, Gasta udah pacaran sama lo," kata Melody mencoba terkekeh. "Ah? Oh, iya sih," Denta meringis. Karrel tertawa sinis, "Ha ha ha, lucu sekali. Palingan bukan Denta yang ngungkit. Tapi justru elo dan Gasta yang saling bernostalgia nantinya." Denta menyikut perut Karrel agak keras, "Lo kenapa sih, tiba-tiba jadi kompor mledug begini?" omelnya sebal. "Hah? Gue?" "Diem aja, deh!" seru Denta dongkol, dia bahkan hampir terhasut tadinya. "Karena si cantik Denta yang nyuruh gue diem, ya udah, gue diem." Karrel dengan sengaja memancing keributan lagi dengan merangkul pundak Denta. "Singkirin tangan lo!" Gasta menyentak tangan Karrel dari pundak kekasihnya. Cowok itu langsung menarik tangan Denta, agar gadis itu merapat padanya. Denta hanya bisa pasrah saat tubuhnya di tarik begitu keras. "Oke-oke, gue pergi aja. Males di sini, isinya orang munafik semua." Karrel tersenyum pada Denta, "Nta, kalau mereka berdua nyakitin elo, lo langsung ngomong sama gue!" "Lo fikir, lo siapa?" seru Gasta sarkas. "Calon pacar Denta, setelah dia putus sama elo. Ahh, gue jadi nggak sabar nunggu hari itu." "Nggak usah gila deh, Rel!" umpat Denta mencoba sabar. Karrel terkekeh, lalu berjalan pergi. Mengabaikan Gasta yang kini mengumpat, bersiap maju untuk menyerangnya. Tapi lebih dulu di tahan oleh Denta. Walau tidak lama setelah itu, garis wajah Karrel langsung menurun. Cowok itu melirik sekilas ke arah belakang, dimana Denta kembali berbicara dengan Melody dan Gasta. Menghela nafasnya panjang, merasa miris sendiri karena Melody datang lagi ke Jakarta. Gue cuma berharap, lo nggak jadi g****k aja Gas, setelah dia dateng. Karrel yakin, Denta tidak akan baik- baik saja setelah ini. Mendesah samar, Karrel melanjutkan langkah, kembali ke tribunnya. Dimana teman-temannya sudah sibuk mengobrol dengan geng-an Retha. "Ini beda cerita sama Malin Kundang kali Yan," cerocos Tilo sambil nunduk menatap ponsel miringnya, "Kalau Malin Kundang kan ngelawan ibunya, kalau game ini lawan temen sendiri," lanjut pemuda itu, masih fokus pada game war-nya bersama Vian. Agam melengos, "Jaman sekarang ya, temen bisa jadi musuh, musuh bisa jadi temen. Parah sih," katanya menimpali. "Nah itu, setara sama sistem politik Indonesia kan?" Retha jadi nyamber ikutan nimbrung. Ingat betul kalau ayahnya politikus terkenal, yang musuhnya dimana-mana. "Setuju gue," heboh Billy, "Ibarat pepatah, bagaikan serigala berbulu ketek," lanjutnya menggebu-gebu, tapi buru-buru di tonyor oleh Rika. "Domba nyet, domba," kata Rika langsung membenarkan. "Lah, udah ganti ya?" Billy cengo. Retha di samping Tarisa sudah ngakak menertawai itu. "HAHAHA, KETEK KATANYA. BAU DONG???" Eva si ratu receh sudah ngakak tak karuan. Tilo melengos. Tak ambil pusing dan masih merunduk pada ponselnya yang berwarna gold itu, "Ini game apaan dah? Ngendap-ngendap gitu anjir, berasa kek intel gue," celoteh cowok itu, bingung sendiri dengan game yang baru di download-nya. "Game ini emang gitu Til. Di bagi jadi dua kubu. Crew mate sama suporter," balas Vian menjelaskan, sok tau. Zheta jadi menoleh, "Hah, suporter?Imposter kali," katanya nyamber. Tau betul soal game yang mereka bahas. "Ck, bunuh-bunuh orang nih game nya. Berdosa banget anying," kata Tilo protes lagi. "Gue jadi inget psikopat di Indonesia. Bisa-bisanya gitu, habis ngebunuh nuduh orang lain," seru Agam tiba-tiba, membuat yang lain jadi mengeryit bingung. "Kebiasaan warga +62 banget tuh cuy. Lempar tangan sembunyi batu," sahut Billy dengan wajah songong. Retha mendelik, "Kebalik OON," kata cewek itu sewot. "Ya kalem dong a***y!" kata Billy jadi balik nge-gas. Tidak tau saja, pakar permasalahan yang membuat Vian babak belur adalah nge-gas ke Retha tadi. Tilo mengumpat, menabok kepala Billy begitu saja, "Elo dari tadi a***y- a***y mulu ya Bil," katanya sensi. "Tau nih, a***y tuh berpotensi pidana tau nggak," kata Vian ikutan membela Tilo. Billy menoleh, "Masa sih? Lagian kalau kata a***y di pidana, netizen masih banyak kata selain kata anjay." Retha menjetikkan jarinya, "Anjir." "Anjing." Agam menimpali. "Anjrit." Tarisa yang lagi main t****k ikut-ikutan angkat suara. "Anjim," Eva lagi-lagi ikut nimbrung. "Anjas...mara," kata Savita, di tabok duluan sama Zheta. "Itu artis," koreksinya sebal. "Lagian, kata a***y tuh belum tentu nge-bully," kata Billy saat Tilo sudah berniat membantah lagi. "Contohin Bil!" kata Agam yang ada di kubu cowok itu. "Anjayyyyy sakit," kata Billy, "Kesakitan." "a***y ini gimana?" seru Agam tau-tau ikutan, "Kebingungan." "Cintaku bukan di atas anjayyy!" kata Tarisa yang nyanyi tiba-tiba. Retha menggeram sebal, "Itu lagu t****k pinter," sahutnya membuat Tarisa mingkem. "Lagian Til, kalau gue nongkrong sama temen-temen komplek gue, gue ngomong a***y mereka nggak baper. Kecuali, gue ngomong a***y sambil mutusin kepalanya, itu baru pidana," kata Billy tanpa dosa, membuat Retha dan yang lain terbahak oleh kalimatnya. "Mulut lo sampah bener Bil-Bil," seru Karrel yang baru datang tak habis pikir oleh teman-temannya, walau dia ikutan ngakak juga. "Eh Yan, inget, utang lo sepuluh ribu di gue. Bayar ya besok!" celoteh Savita yang baru ingat, cowok itu ada utang padanya. "Heh? Yang mana?" Vian jadi menoleh dan melotot. Entah lupa beneran atau pura-pura. "Yang minggu kemarin, buat bayar parkir mobil lo," oceh Savita, "Ehh, enggak jadi sepuluh ribu. Bunganya udah tumbuh." "Yakali bah, mainnya bungaan," kata Karrel langsung protes, dan duduk di sebelah Retha, membuat cewek itu reflek menggeser pantatnya, supaya Karrel bisa duduk. "Makanya temen lo suruh bayar. Dia ada utang kas banyak juga di gue," kata Savita makin ngotot. "Apaan sih, duit sepuluh ribu doang di ributin," timpal Zheta dengan jutek. "Lumayan loh Zhe, bisa buat beli mie ayam di depan sekolah," kata Tarisa langsung membela. "Udah naik seribu lagi Sa," koreksi Retha. Mereka sudah berdebat masalah uang. Bahkan sekarang, kasusnya sudah merembet ke Agam yang pernah korupsi duit palakan, sejumlah dua puluh ribu, membuat Karrel jadi melotot pada cowok itu. Semuanya gara-gara si Vian yang keceplosan. Dasarnya, cowok itu juga memang ember sih aslinya. Agam dengan tidak berdosanya justru memprotes ke Vian, "Ck, elo kan gue suruh diem nyet. Udah gue sogok loh." "Dih, cuma seribu sogokannya. Ya kurang lah," balas Vian tanpa dosa. Sementara Azka yang sejak tadi diam, justru sibuk melihat ke arah tribun suporter SMA Dharma Wijaya. Cowok itu mengerutkan kening, menepuk pundak Karrel begitu saja. "Itu...yang namanya Melody kan?" seru cowok itu tiba-tiba, membuat tidak hanya Karrel yang menoleh, tapi Retha dan lainnya juga. "Hah, Melody? Mantan lo pas SMP kan Rel?" Tilo menimpali. Rika langsung melebarkan matanya. Retha ikutan melongokkan kepalanya, melihat cewek yang tengah ngobrol bersama Gasta dan Denta. "Hmmm," Karrel mengangguk pelan. "Gila. Mau ngapain lagi dia?" tanya Rika langsung sewot. Lalu menoleh pada Karrel, "Rel, lo nggak jadi gila kan, dengan cinta ke Melody lagi, pas tau dia balik ke Jakarta?" Retha diam-diam mengerutkan kening, tak paham mengapa Rika jadi sesewot itu. Pun dengan yang lain. "Ya nggak lah. Ya kali njir, gue balik naksir tuh cewek," balas Karrel tidak kalah sewot. "Bagus deh." Rika lega. Karrel melengos, memandang ke arah tribun Selatan lagi. *** Karrel mengambil sebatang rokok dari dalam bungkusnya dan menyulutnya dengan pematik api. Dia kini mulai menghisapnya dengan mata terpejam, sambil duduk menyender pada dinding belakang perpustakaan sekolah ini. Sesekali, Karrel akan membulatkan mulutnya, sambil mengeluarkan asap dari dalam sana, yang membuat asap itu jadi berbentuk lingkaran kecil, saking gabutnya dia. Keramaian lapangan indoor maupun outdoor, sama sekali tidak menarik lagi baginya. Dia memilih duduk menyendiri di sini. Lebih damai. Sampai tiba-tiba, cowok itu jadi merasa frustasi, mengingat Melody mantan nya yang tiba-tiba datang ke Jakarta. Bukan karena dia masih cinta, TIDAK. Jelas perasaan itu sudah mati sejak lama. Sejak gadis itu memilih untuk pindah ke Surabaya. Hanya saja, dia merasa ada yang janggal, seperti akan ada sesuatu yang besar terjadi. Karrel tiba-tiba jadi dejavu. Seperti ada sekelebat memori lama, yang kembali mencuat ke permukaan. Clarissa Maharani--sahabatnya yang sudah berpulang lebih dulu. Munculnya Melody, membuat Karrel jadi teringat cewek itu. Bahkan yang ada di pikiran Karrel sekarang, cowok itu seolah ketakutan. Seperti akan ada kejadian yang buruk terjadi lagi di Jakarta. Tapi apa??? Karrel mengumpat. Mengacak rambut coklatnya dengan sangat gemas, dan meruntuk mengapa se-frustasi ini. "Karrel!!!" "APA???" Retha yang sempat bernapas lega, karena dia berhasil menemukan Karrel di sini, jadi tersentak kaget seketika, saat cowok tampan dengan prawakan jangkung itu, tiba-tiba meninggikan suaranya dengan tak santai. Retha yang awalnya agak ternganga kecil, jadi mengatupkan bibir. Gadis itu diam sendiri, sambil menggaruk tengkuknya, merasa ragu. "Kenapa?" tanya Karrel dingin. Suara cowok itu tertata datar sekali, tidak seperti Karrel biasanya yang sewotan. "Anu...lo di suruh sama pak Andreas beli air minum buat anak-anak yang mau tanding," kata Retha hati-hati, paham betul cowok itu lagi sensitif sekarang, "Nih duitnya. Oh ya, kata pak Andreas, di suruh beli empat kardus," lanjutnya, menyerahkan beberapa lembar uang pada Karrel. Karrel melengos, "Kok gue sih? Si Jayden kemana? Kan dia ketos-nya," balasnya tak mau di suruh. "Dia lagi ngurusin anak-anak yang lagi cidera," balas Retha. Karrel mendecak, "Suruh Azka aja lah. Dia kan wakilnya. Masa apa-apa gue mulu?" sahutnya sewot. "Azka lagi di suruh sama pak Toyo, buat ambil bola ke sekolah, sama Vian juga," balas Retha lagi. "Ya udahlah, daripada ribet, mending elo aja yang beli," seru Karrel tidak mau ambil pusing. "Gue?" tanya Retha cengo. "Ck, tinggal beli aja apa susahnya sih Tha? Noh di depan sekolah ini ada indomaret. Lo tinggal beli aja di situ. Berisik banget," oceh Karrel yang di balas dengusan malas oleh Retha. "Ya menurut lo, gue bawa itu empat kardus ke sini, sendiri? Heh, gue ini cewek loh," katanya balik protes. Karrel melirik, "Cih, gue baru sadar kalau lo cewek," balasnya tanpa dosa membuat Retha melotot. "Udahlah, sana beliin! Lo kan bawa motor, jadinya gampang," suruhnya. "Mager," katanya menolak. Retha mengatupkan bibirnya, jadi mendengus tak habis pikir, "Ayo dong Rel! Ah elah, elo mah durhaka bener jadi murid. Lagian itu anak-anak lo butuh minum. Tega lo biarin mereka dehidrasi pas tanding?" kata Retha menarik paksa lengan Karrel. Karrel mendecih, "Lagak lo Tha. Tinggal bilang kehausan aja, sok dehidrasi segala," nyinyir Karrel kumat lagi. "Ribet lo. Cepetan dong Rel!!" umpat Retha masih terus berusaha menarik Karrel agar berdiri. "Iya anjir, iya. Udah berdiri nih gue. Puas kan lo???" kata Karrel ngomel- ngomel, lalu bangkit dari duduknya. Retha mencebikkan bibirnya saja. "Tapi sama lo ya, kalau beli." Retha mendelik, "Apa sih, kok malah jadi sama gue? Yang di suruh kan elo. Enggak mau ah, berangkat sendiri aja sana. Cowok kan lo? Masa tinggal beli aja nggak berani?" "Ck, elo kayak gitu..." kata Karrel langsung ngambek dan balik duduk lagi ke posisi semula. "Lah, ngambek?" pekik Retha tak habis pikir dengan cowok ini, "Sono Rel, buruan beliin! Ini kok malah jadi duduk lagi sih?" katanya ngomel. "Tha, gue nggak mau kalau nggak ada temennya. Malu. Gue juga takut di godain pegawainya entar," balas Karrel sambil melihat Retha. Dia sudah kapok, pernah jadi korban sepik, mbak-mbak yang kerja di mini market depan. "Halah. Di godain doang. Tinggal lo godain balik lah. Biasanya juga gimana. Sok ganteng banget lagian," kata Retha jadi menoleh sebal pada cowok itu. "Mata lo sini gue godain," seru Karrel jadi nyolot seketika. Retha melengos. "Bodo ah. Pokoknya, lo beliin empat kardus. Jangan lama-lama ya! Udah di tungguin sama pak Andreas soalnya," kata Retha dan langsung berbalik. "Retha!!" Gadis itu tersentak, mendengar suara serak parau pemuda itu menyebutkan namanya. Dia langsung menoleh. Retha mencibir begitu saja, saat melihat Karrel mencuatkan bibir bawahnya kecil, alias manyun. Yang kesannya di mata Retha jadi sok imut. Retha tau, cowok itu pasti lagi pasang wajah melas, supaya dia kasihan. CUIH, PINTARNYA!! Dapet ilmu darimana dia?? "Jijik tau, lo jadi sok imut begitu," kata Retha setengah meledek, membuat Karrel jadi menatap cewek itu sinis. "Suruh si Rika aja lah nemenin. Entar gue panggilin anaknya. Gue udah mau balik soalnya," kata Retha. "Entar malah lama," seru Karrel, lalu mendelik saat tersadar, "Lah, lo balik duluan? Nggak nonton pertandingan gue?" lanjutnya kaget. "Males." Karrel mendesah. Menurunkan bahu jadi melemas. Lalu menolehkan kepala ke arah lain. "Terserah lah," kata Karrel tak peduli. "Apaan sih lo, jadi sok ngambek gitu sama gue?" kata Retha bingung, "Gue mesti balik duluan, karena di suruh bokap gue. Oma gue baru dateng dari Jepang, dan nyariin gue. Makanya gue mesti pulang. Lagian, pertandingan gue masih lusa," lanjutnya menjelaskan. Karrel diam saja, tidak menjawab. Kini malah merunduk dengan tangan kiri menopang kepalanya, dan tangan kanan sibuk nulis sesuatu di lantai keramik, dengan wajah yang sendu dan memelas, entah karena apa. Sambil sesekali melirik ke arah Retha, yang belum beranjak pergi juga. SIALAN-SIALAN!!! Retha jadi tidak tega melihatnya. Cowok itu punya ilmu hitam apa sih, sampai buat orang lain, tidak tega untuk menolak permintaannya? "Ya udah deh Rel, gue temenin lo beli minum. Ayo buruan, sebelum pak Andreas nyariin," kata Retha menoel- noel pundak Karrel, seperti tengah membujuk anak balita. "Bodo. Gue udah males," balas Karrel kedengarannya gondok. "Rel, ayo ah! Nggak usah sok manyun begini dong! Kayak anak kecil tau nggak," sahut Retha jadi jengah. Karrel melirik sinis, tak menjawab. ANJENG! Dah berani banget ngacangin. "CK, IYA-IYA GUE NGGAK PULANG KOK. GUE DI SINI TERUS, NONTON PERTANDINGAN LO SAMPEK KELAR." Tau apa yang terjadi? Wajah Karrel langsung cerah. Cowok itu kemudian berdiri dengan senyum mengembang, "Yuk beli!!! Keburu di cariin anak-anak," kata Karrel balik sok cool lagi. "Cih, dasar guguk." Retha mencibir. Karrel tidak menjawab. Cowok itu hanya senyam-senyum. Jangan tanya dia kenapa, Karrel sendiripun juga bingung, kenapa dia malah tersenyum bodoh begini. Retha melengos pelan, "Jadi beli nggak sih?" tanyanya balik jutek. Karrel mengangkat sebelah alisnya tinggi, "Ya....ayo!!!" katanya mulai melangkah, dengan Retha berjalan tenang di sebelahnya. "Motor lo dimana?" tanya Retha jadi menoleh, "Entar kita bawa dua kardus aja dulu. Nggak mungkin juga kan langsung bawa empat kardus?" oceh Retha sepanjang koridor lantai satu sekolah ini. "Ya di parkiran Tha. Masa di WC," kata Karrel membalas santai. Retha mendelik, "HA HA HA, lucu sekali," sindirnya sarkas. Karrel terkekeh pelan, lalu mengacak rambut cewek itu dengan gemas. Tak lama, jadi memandangi gadis cantik berkulit putih yang jadi menggerutu sambil menabok lengannya, karena tidak suka rambutnya di bikin berantakan oleh Karrel. "Elo suka gitu ya emangnya...pakek poni?" Karrel menanyai alasan Retha pakek poni rata. "Iya. Gue nggak pede kalau nggak pakek poni," balas Retha tenang. "Kenapa? Jidat lo lebar?" Retha nyaris ingin menendang p****t cowok itu. "Nggak lah." "Terus? Ada jerawatnya?" Retha melengos, "Muka gue kecil tau. Nggak cocok kalau nggak pakek poni. Makanya gue pakek poni mulu," kata Retha jadi menyeringai kecil, sambil menata poni ratanya. Karrel mengangkat sebelah alisnya. Lalu merapatkan bibir, mengiyakan begitu saja. Wajah Retha kembali datar lagi, sama sekali tak terusik walau cowok itu memandanginya lekat sekarang. Sampai tiba-tiba.... "KARREL!!!???" Karrel mengumpat pelan, saat suara tak asing itu terdengar. Cowok tampan itu lalu menghela nafasnya panjang, dan entah setan darimana, Karrel memilih merapat pada Retha yang kini kebingungan mencari suara cewek yang memanggil Karrel. Sekarang, Retha lebih bingung lagi, ketika Karrel merangkul pundaknya, menariknya lebih dekat. "Jadi temen gue yang baik. Oke??" bisik Karrel pada Retha, membuat cewek Jepang itu merinding. Hendak protes, tapi jadi terkejut. Dan detik berikutnya, mata cewek itu jadi melebar, melihat seorang gadis cantik berkulit kuning langsat, dengan mata sipit, tau-tau sudah berdiri di depan keduanya, memasang senyum lebar yang ramah. Cewek itu Melody. Senyumnya semula mengembang, jadi sirna saat dirinya melihat lengan Karrel bertengger manis, di pundak gadis cantik di sebelahnya. Wajahnya jadi mengendor, namun Melody tetap berusaha mengendalikan dirinya. "Aku mau nanya, tadi kenapa kamu jutek banget ya ke aku? Apa karena kamu nggak enak sama Gasta?" tanya Melody memberanikan diri. Karrel hanya menghembuskan nafas, malas menggubris. Melody mendesah, "Aku udah balik ke Jakarta. Kamu nggak pengen ngomong apapun sama aku? Mumpung nggak ada Gasta. Aku tau, kalian berantem waktu aku pindah. Ya kan?" Lagi-lagi, cewek itu berusaha agar Karrel mau berbicara dengannya. Tapi sia-sia, Karrel masih bungkam. Melody kemudian melirik Retha yang kini memperhatikannya. Melody lalu tersenyum ramah pada cewek Jepang itu, "Karena ada temen kamu ini ya, makanya kamu diem??" tebak Melody lalu memberikan kekehan geli. Retha lantas memicingkan matanya, melihat kepedean cewek ini. Sudah jelas-jelas, Karrel enek lihat muka dia. Masih aja ngotot. "Hai, kenalin aku Melody. Pacarnya Karrel---" "Mantan," koreksi Karrel dingin. Retha diam-diam, menahan kekehan geli, melihat wajah pucat pasi cewek di depannya ini. Wajahnya sih polos. Tapi di mata Retha, polosnya tuh polos-polos munafiqun. "Loh Rel--" "Nggak usah ngada-ngada lo jadi cewek! Sejak kapan kita masih pacar an? Lo sendiri kan yang minta putus waktu itu," kata Karrel jengah. "Justru itu, makanya aku ngejelasin," sahut Melody lagi, kemudian melihat Retha, "Elo bisa pergi dulu nggak? Gue mau ngobrol empat mata dulu sama Karrel," katanya jadi mengusir. Retha mendelik, "Oh...oke." "Lo di sini aja!" titah Karrel balik merangkul Retha lagi, kemudian melirik Melody sinis, "Kalau mau ngomong, ngomong aja! Nggak usah ngusir-ngusir Retha," katanya judes. "Pacar kamu ya? Aku kira...kamu suka sama Denta," cicitnya polos. "Urusannya sama lo apa?" tantang Karrel menaikkan rahang. "Rel, pasti ada lah urusannya sama aku," kata Melody jadi parau. Karrel mencibir kesal. "Denger ya Mel, mau gue cinta Denta kek, gue sayang Retha kek. Lo ada hak apa ngatur-ngatur?" sinis pemuda itu, membuat Retha mendelik, menyikut perut cowok itu begitu saja. "Siapa yang sayang siapa? Gue nggak mau," kata Retha berbisik membuat Karrel diam-diam mengumpat, karena Retha tak membantunya. Melody yang tak mendengar kalimat Retha, merasa kesal. Apalagi melihat Retha bisik-bisik manja begitu. "Kalian ngapain sih?" pekiknya tak terima, merasa tak di anggap di sini, "Rel...aku masih sayang loh sama kamu," katanya jadi agak meninggi. "Dih," nyinyir Retha. Tak habis pikir dengan cewek di depannya ini, yang tak punya malu, mengungkapkan rasa sukanya pada Karrel blak-blakan. Melody melengos, menatap tak suka cewek bernama Retha itu. Retha pun tak mau kalah, dengan menatap balik Melody dengan sengak. Dugaannya benar, kalau cewek yang namanya Melody ini tidak beres. Lihat saja, wujud aslinya sudah kelihatan. Tinggal menunggu waktu. "Eung...Rel!!" Melody agak mendekat, membuat Karrel reflek mundur. "Apaan sih lo?" kata Karrel galak, membuat Melody menciut takut. "Kamu masih marah soal aku yang sempet suka sama Gasta?" tanyanya dengan suara serak yang dalam, "Aku minta maaf. Tapi sumpah Rel, aku nggak ada maksud suka dia. Kamu juga yang salah, nggak pernah ada waktu buat aku," katanya membela diri, membuat Retha tak tahan untuk tidak menyelatuk. "Kalau minta maaf tuh, ya minta maaf aja mbak. Nggak usah membela diri kayak gitu. Niat minta maaf, apa cari sensasi?" kata Retha menggurui. Karrel tergelak. Hampir tertawa. "Hm, namanya juga Melody sok polos Putri munafiqun Tha," timpal Karrel, menyeringai bangga. Ternyata, Retha cukup pintar, di balik parasnya yang jutek dan ekspresi bodohnya itu. Ucapan Retha sontak saja berhasil membuat Melody merasa tertohok. Rasanya, dia gemas sekali ingin mencakar wajah Retha. "Rel...maaf. Soal Clarissa, aku bener- bener nggak sengaja. Aku nggak ada maksud kayak gitu," kata Melody menjelaskan. Karrel hanya mengulum bibirnya. Benar-benar malas berbicara sama cewek di depannya. "Rel, ngomong dong!" Kali ini Melody lebih serius, "Jangan diem gini. Aku nggak tau, mesti gimana lagi buat ngadepin kamu. Aku bingung." "Ya udah, nggak usah ngadep ke dia. Ngadep ke Timur Laut aja sana," suruh Retha dengan wajah tanpa dosa. Karrel merapatkan bibir. Mati-matian menahan tawa. Walau detik berikutnya, wajahnya jadi dingin. Kembali datar, langsung membuang muka dan menarik tangan Retha untuk pergi. Melody mendecak, tak berlama-lama cewek itu berlari kecil menyusul. "Rel, jangan gini lah! Aku minta maaf. Kamu nggak tau aja, aku balik ke sini karena kamu," kata Melody sambil menunjuk d**a Karrel dengan jari telunjuknya. "Karena gue apa Gasta?" kata Karrel dengan suara serak yang tajam. Melody tersentak. Namun Karrel kembali melangkah dengan tangan kanan menggenggam tangan kiri Retha. Menarik cewek itu itu pergi. Kali ini, Retha pasrah saja, tidak lagi memprotes. "Karrel!? Kamu apa-apaan sih?" kata Melody balik mengejar, seakan tak lelah sama sekali, "Emangnya kamu nggak bisa dengerin penjelasan aku sekali aja. Sekali Rel," katanya lagi. Karrel mengumpat, menoleh sinis pada Melody, "Bisa lo berhenti buat ngusik hidup gue atau Gasta? Sumpah Mel, gue beneran udah muak sama tingkah gila lo," katanya sarkas. Retha melengos pelan. Mulai paham dengan situasi ini. "Aku bisa jauhin Gasta. Tapi aku nggak bisa jauhin kamu. Rel, kamu tau kan sesayang apa aku ke kamu?" pekik Melody, sudah akan menangis. "Ya nggak usah nangis gitu juga kali mbak. Drama," cibir Retha benar- benar merasa tak suka. "BISA LO DIEM??" bentak Melody sambil menunjuk Retha. "APA?? NANTANGIN??" pekik Retha balik menantang dan maju, membuat Melody agak gemetar, "Nggak usah nunjuk-nunjuk gue!" lanjutnya jadi menepis tangan Melody kasar. Melody menoleh pada Karrel. Seolah meminta di lindungin, "Rel--" "Elo yang harusnya diem," hardik Karrel dingin, "Dari tadi yang banyak bertingkah itu elo," lanjutnya datar, lalu menarik tangan Retha yang hendak emosi itu pergi. "Karrel!!" panggil Melody berlari mendekati dua remaja itu. Retha jadi menggeram sendiri, melihat gigihnya Melody memperjuangkan Karrel. "Kenapa kayak gini sih Rel sekarang? Kamu nggak mungkin segitu gampang nya lupain aku," kata Melody kekeuh. Kalau Gasta sudah dengan Denta, dia tidak ada alasan lagi untuk mengejar cinta cowok itu. Sementara sebagian hatinya, masih tertuju pada Karrel. Karrel menghembuskan nafasnya dengan jengah, "Pergi! Pergi yang jauh Mel! Jakarta udah nggak mau nerima parasit kayak lo," katanya singkat. Melody merapatkan bibirnya. Sebisa mungkin agar tidak bergetar, "Aku mau terus sama kamu. Kamu jangan kayak gini dong! Karena Denta kamu jadi kayak dingin ke aku? Atau karena cewek ini?" tanya Melody, membuat Retha tersentak sebentar. "Kenapa? Karena Gasta udah punya cewek sekarang? Jadinya lo mau balik sama gue?" tanyanya sinis, "Karena lo tau, udah nggak akan ada lagi harapan, lo sama dia. Gitu kan?" lanjutnya sarkas. Melody tersentak, bungkam seribu kata oleh kalimat cowok ini. Tak lama, dia meneguk ludahnya samar. Apalagi ketika Karrel menatapnya begitu sengit sekarang. "Gila ya lo?" umpat Karrel tak habis pikir, lalu beranjak pergi dan berjalan lebih cepat dari sebelumnya. Tentu saja dengan Retha yang terseok- seok mengikutinya, karena tangannya di seret paksa cowok itu. Melody menarik nafasnya dalam, kembali mengejar, "Nggak ada yang mikir kayak gitu. Aku nggak suka dia, aku sukanya sama kamu," pekiknya, menahan tangis. Karrel mendelik sinis, "Masih berani ya lo ngomong gitu, setelah lo sendiri yang mutusin gue dulu," katanya jadi nyaring dan meninggi. Melody mendesah, "Karrel, dengerin aku dulu! Aku dulu masih kecil. Aku bingung sama perasaan aku sendiri. Tapi aku tau sekarang, cuma kamu yang aku mau," katanya sok tegas, sambil memegang tangan Karrel. "Nggak usah sentuh-sentuh gue. Gue alergi sama benalu," katanya tajam, membuat Melody tertegun. "Rel...please! Udah stop! Aku nggak mau bahas itu lagi. Yang aku mau bahas itu, soal...hubungan kita." Retha diam-diam mendecih, saat mendengar kalimat cewek itu. Dan entah kenapa, tiba-tiba pengen julid, tapi ragu, karena bukan urusannya. "Urat malu lo dimana sih?" pekik Karrel tak habis pikir, "Hubungan yang mana lagi maksud lo? Lo lupa, antara lo dan gue, udah selesai dari lama. Lo yang milih pergi ke Surabaya. Dan gue baik-baik aja setelah lo pergi," lanjutnya dingin. "Gue makan teratur. Gue bisa tidur nyenyak. Gue bisa ketawa. Dan gue lebih bahagia waktu lo pergi. Paham nggak lo?" tanya Karrel mengangkat dagunya dengan angkuh. "Rel--" "Berhenti Mel! Mending lo balik ke Surabaya! Gue dan Gasta, kami udah sama-sama nggak ngarepin lo buat dateng," katanya dingin menusuk. Melody tidak tau, dari kapan air mata yang dia tahan, meluruh deras di pipi putihnya. Kalimat Karrel begitu menohok perasaannya. "Tapi Rel--aku sayang sama kamu." "Gue enggak," tegas Karrel, "Dengerin ya, omongan gue baik-baik! Dunia itu nggak selamanya berputar memutari elo. Jadi stop bertingkah, kalau lo bisa ngendaliin semuanya sesuka lo," kata cowok itu lagi. "Dulu...gue dan Gasta sama-sama suka sama lo. Tapi sekarang...udah beda. Udah bukan Melody yang jadi prioritas gue atau Gasta, tapi Denta." Retha mengangguk setuju, oleh kalimat cowok itu barusan. Entah kenapa, rasanya malah bahagia sekali melihat cewek tak tau malu ini, di hakimi oleh Karrel. Benar kata Rika, Karrel sekalinya ngomong kalau udah serius, nyelekit. "Karrel--" Karrel mendecak dan maju. "Mumpung gue masih sabar sekarang, mending lo pergi dari hadapan gue! Gue emang nggak bisa mukul lo, tapi gue masih punya Rika, Savita, Acheris sama Tarisa buat botakin elo," sahut cowok itu menyebutkan sahabat perempuannya dan juga sepupunya. Retha mendecak, "Gue juga dong Rel," kata cewek itu memprotes, karena tak di sebut oleh Karrel. "Ayo pergi Tha!" Bukannya menjawab pertanyaan Retha, Karrel malah balik menggandeng tangan Retha. Lalu membawa cewek itu pergi. "Rel, kamu harus tanggung jawab! Nggak bisa kamu pergi gitu aja!" kata Melody agak meninggi. Retha dan Karrel reflek berhenti mendadak. Langsung menoleh tajam pada Melody dan membelalak, saat cewek itu tanpa dosa mengucap kalimat tadi. Karrel sudah menoleh kanan kiri agak panik, takut ada yang mendengar dan salah sangka nantinya. Sementara Retha, menarik nafas dan maju mendekati Melody, sambil mengepalkan tangannya. "Mulut lo jangan nyampah! Di jaga kalau ngomong! Karrel grepe-grepe lo nggak pernah. Apanya yang harus di tanggung jawabin segala?" pekiknya sudah ingin ngamuk. Melody mengkerut, "Mak--maksud gue tuh, tanggung jawab sama perasaan gue," katanya gemetar. Retha melengos, menyilangkan kedua tangan di depan d**a angkuh, "Jujur ya, gue jadi kaum sejenis lo, beneran malu tau nggak lihat tingkah lo yang kayak gini!? Murahan. Please lah Mel, jangan rendahin martabat cewek cuma karena lo naksir Karrel. Dia udah nggak mau sama lo. Dewasa dikit!" kata Retha yang sudah tak tahan untuk tidak ikut menghujat cewek ini. "Jangan maksain sesuatu yang nggak akan kembali sama lo. Lo yang udah buang dia, dan sekarang lo sendiri yang mau pungut dia, di saat dia sendiri udah nggak mau buat lo pungut lagi," kata Retha tajam. "Kalau jadi cewek, mahal dikit. Jangan murah-murah banget lah! Dikit-dikit baper, dikit-dikit bilang sayang. Gue kasihan sekaligus risih tau lihatnya," kata Retha yang sebenarnya agak miris juga mengatakan 'dikit-dikit baper'. Padahal, dia juga semudah itu baper ke Karrel, walau belum masuk ke kategori cinta sebenarnya. Hanya sekedar baper. Karrel melengos keras, "Udahlah Tha, ayo pergi! Ngapain ngurusin ini cewek terus?" kata Karrel mendekat, merangkul Retha, dan menariknya untuk pergi. Membuat Melody diam-diam miris sendiri, melihat gadis lain lah yang kali ini di peluk Karrel. Padahal dulu, dirinya yang ada di posisi itu. Melody membuang muka. Tak kuat melihat ke akraban keduanya. Lalu menggigit bibir, menahan tangisnya yang hendak pecah lagi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD