29 | Bullying

2025 Words
Sementara itu... "Eh, mau hujan deh kayaknya. Bisa balik nggak ya kita nanti?" ucap Tilo sepanjang jalan, sambil melihat awan hitam dari koridor sekolah. "Bismillah, banjir-banjir," kata Agam langsung berdo'a, membuat Karrel reflek menonyornya. "Pantesan aja dingin," sahut Vian. "Sini-sini, gue angetin pakek kompor LPG," kata Billy tanpa beban, di balas dengusan sinis oleh Vian. "KARREEEEELLLL!!" "Mampus, suaranya pak Tar!" Pernyataan Agam, membuat ke-empat temannya yang lain mendelik kaget, lantas meringis ngeri. "Noleh kagak nih?" tanya Billy--sambil menyikut bahu Tilo yang berdiri di samping kanannya. Vian menggeleng cepat-cepat, "Kagak- kagak, ngapain? Orang Karrel doang yang di panggil tadi," katanya hendak kabur. "Eit-eit, mulut lo yang bener aja. Masa iya, gue doang yang nyamperin pak Tar?" sewot Karrel--tidak terima teman-temannya menjadikan dirinya tumbal untuk pak Tar. "Aduh b*****t, pakek jalan ke sini lagi," sungut Vian saat menoleh ke arah belakang. "Woy Rel, mau ngapain?" pekik Tilo saat sadar Karrel hendak melarikan diri dari pak Tar. Kentara sekali dia sudah mengambil mengambil ancang- ancang untuk berlari. "Mau mandiin gajah gue. Nggak lihat lo?" sinis Karrel, sudah tau mau kabur pakek nanya lagi. "KALIAN BER-LIMA, NGAPAIN DI SITU HAH???" teriak pak Tar. Ke-limanya kompak menoleh, dan saling senggol memberikan kode sambil tersenyum sok ramah pada pak Tar. "KE SINI KALIAN!! CEPETAN!!" "AAAAAAAAA......MENCAR GENG!!!" Aba-aba Karrel, dan langsung berlari ke arah Timur, di ikuti oleh Vian. Sementara Tilo dan Agam berlari ke arah Barat. Billy tidak ada pilihan lain selain kabur ke arah Selatan. "NANTI KETEMUAN DI KANTIN YA, GENG!!!" pekik Karrel, mengabaikan suara galak pak Tar. Retha dan Zheta yang baru keluar dari perpustakaan yang berada tidak jauh dari mereka, kompak mendengus geli. Terlebih Retha, yang malah tertawa ngakak, melihat Karrel nafsu sekali saat berlari. "Lucu ya Tha?" goda Zheta. Tawa Retha luntur begitu saja. Kini jadi menoleh sinis pada Zheta yang malah tertawa ngakak. *** Koridor lantai dua, yang dekat dengan toilet cewek, ramai oleh siswa dan siswi yang berhamburan keluar kelas. Tidak hanya dari koridor lantai dua saja, bahkan koridor satu pun tak kalah antusias-nya siswa-siswi yang berlarian hendak melihat aksi bullying yang di lakukan Davina bersama antek-anteknya. Salah satu siswi SMA Cendrawasih yang selalu di puja. Baik dari kalangan murid laki-laki maupun perempuan. Davina Kamalia Azzahra nama lengkapnya, terlahir dari keluarga Xelandra, sekaligus cucu terbungsu dari Abisam, salah satu dokter terkenal di Indonesia. Terlahir dari kalangan keluarga tidak biasa, membuatnya menjadi gadis arogan, congkak dan sombong. Sering di sebut-sebut sebagai Queen of SHS, membuatnya bak putri raja yang selalu di istimewakan. Tidak queen of SHS saja julukannya, melainkan ada sebutan lain untuk Davina, yaitu ratu Devil. Devil yang artinya iblis, sedangkan ratu adalah penguasa. Mungkin, kalian bisa menyimpulkan sendiri apa maksudnya. Seperti sekarang, Di koridor, tampak Davina dengan wajah angkuhnya, melipat kedua tangannya di depan d**a. Rahangnya sedikit dia naikan, sambil matanya memperhatikan gadis yang kini tengah menjadi bahan untuknya bersenang-senang. Senyum meremehkan tercetak di wajah cantik menawannya. Di sisi kanan dan kirinya, ada ke-tiga antek-anteknya, yang membantunya. "Gimana Vin? Udah puas belum lihatnya?" tanya salah satu teman Davina, sambil menyeringai jijik menatap korban mereka. "Di dandanin juga, dong, girls! Kan kasihan kalau cuma di siram doang? Entar yang ada, cantiknya ilang lagi. Nggak bisa di pakek buat godain cowok-cowok lagi dong?" kata Davina sambil menyeringai sinis. Setelah menyiram gadis di bawahnya ini dengan air bekas pel, milik mang Arip, saat pria berumur empat puluh tahunan itu, membersihkan toilet perempuan, dan Davina belum puas. Sampai Niken--si murid baru di kelasnya, sengsara. Cici tersenyum lebar, lalu mengeluarkan lipstik mahal dari dalam sakunya, lalu menyerahkannya pada Ody. "Ody!" Panggilnya, membuat Ody menoleh, "Nih ambil! Dandanin tuh si cabe-cabean." Lanjutnya membuat Davina yang melihat ikut tersenyum. Sementara Niken, yang sudah menangis sejak tadi, hanya bisa membulatkan matanya saat tau, niat jahat teman sekelasnya ini lagi. "Dy gue mohon, jangan!" Isaknya berusaha meminta belas kasihan dari empat gadis di depannya ini. Tapi, bukannya iba, justru mereka semakin gencar ingin mengerjai Niken. Toh salah sendiri, gadis ini yang membuat masalah. "Haduh Niken, bisa tenang dikit nggak sih? Kita cuma niat baik kok, dengan bikin elo makin cantik. Masa iya niat baik di tolak sih?" omel Nadia Azura. "Betul," timpal Ody. "Good," sahut Davina, puas sekali. "Cepet dong! Lelet banget, sih?" kata Nadia, merasa kegerahan di sini. Bahkan ke empatnya sudah menjadi tontonan publik sekarang, tapi sama sekali tidak ada yang menolong Niken. Yang ada malah mereka merekam kejadian, kemudian menjadikannya snapgram. "Sabar!" dumel Ody sewot. Sementara dia sudah menangkup wajah Niken, yang sedari tadi di gerak-gerakkan. Membuatnya susah untuk melukis wajah Niken dengan lipstik di tangannya. "Ody, ud-udah!!" Niken meronta ingin di lepaskan. "HEH, BISA DIEM NGGAK SIH?" sentak Davina mengamuk. "Gue mohon, jangan kayak gini! Gue nggak ada masalah sama kalian," isak Niken. Davina terkekeh sinis, "Nggak ada masalah kata lo? Lo udah godain cowok gue, dan masih bisa bilang, nggak ada masalah?" tanyanya. Niken menggeleng panik, "Sumpah, gue sama kak Iqbal cuma partner satu ekskul doang. Nggak ada apa-apa." "Nggak ada apa-apa tapi ganjen. Minta di anter pulang. Sehat lo?" sinisnya. "KALAU NGOMONG DI JAGA!" sentak Niken mulai naik pitam. "BERANI HAH? LO BERANI LAWAN GUE? AYO HADEPIN GUE!!!" teriak Davina murka, sambil mendorong bahu Niken. "MULUT SAMA TINGKAH LO YANG HARUSNYA DI JAGA ANJING!!" pekik Davina lagi, membuat Niken yang tadinya berani, kini mengkerut diam. "KENAPA DIEM? MALU, GARA-GARA TAKUT DI CAP PELAKOR SATU SEKOLAH???" Davina mendesah, berusaha untuk sabar, sambil menyikut perut Nadia pelan, "Bantuin gih! Gue udah gerah, pengen cepet-cepet pergi dari sini," katanya sambil menyeka keringat yang mulai membasahi pelipisnya. Nadia mengangguk patuh, kemudian berjalan di belakang Niken. Kemudian menjambak rambut cewek itu, hingga wajahnya langsung menengadah, menatap atas. Niken cuma bisa pasrah dan menangis untuk ini. Menahan malu serta tatapan mengejek dari beberapa murid lainnya. Shasa pun tidak datang. Entah ada dimana dia sekarang. Sementara itu, di dalam toilet, Retha terlihat baru keluar dari dalam satu bilik, setelah buang air kecil. Keributan di depan toilet, tentu saja dia tau. Tanpa bertanya, dia sudah tau siapa dalangnya. Siapa lagi kalau bukan Davina. Teman satu kompeknya itu, memang tidak bisa, barang sekali saja tidak membuat masalah di sekolah. Tapi, Retha tidak peduli. Dia tidak sebaik itu, untuk menghentikan kegiatan bullying Davina dan teman-temannya. Itu bukan urusannya. Dia pun sudah tau, bahwa Niken si murid baru yang terkenal sebagai sosok ramah dan lemah lembut lah, yang menjadi korbannya kali ini. Jujur, Retha membenci karakter yang terlalu menye-menye dan pengecut begitu. Retha mendesah samar. Kemudian mendekat ke cermin kaca yang ada di toilet. Cewek itu mulai sibuk merapikan rambut panjang dan poni ratanya yang imut itu. Berdehem sebentar, kemudian melihat kanan dan kiri hendak memastikan tidak ada orang. Cewek itu tersenyum kemudian, sambil melihat kaca. "Kaca oh, kaca! Katakan padaku, siapa gadis paling cantik di negeri ini?" kata Retha dengan senyum sok cantik, ala penyihir jahat di cerita Cinderella. Wajahnya kemudian merekah. "Ihh, bisa aja sih lo? Gue emang yang paling cantik. Thanks nih btw. Pinter banget bikin gue seneng," kata Retha sambil terkekeh pelan, merasa bodoh sekaligus malu di waktu bersamaan. Tawanya perlahan luntur, saat ada seseorang masuk, membuat Retha kembali memasang wajah stay cool. Mungkin, sebagian orang bisa menganggap Retha arogan, jutek, galak, misterius, padahal aslinya, dia punya karakter se-absurd itu, kalau lagi sendirian. Atau saat bersama Karrel. Sungguh, Retha tidak tahan jadi pendiam atau jaim, kalau sama cowok itu. Ngomong-ngomong soal Karrel, dia baru ingat kalau harus menemui cowok itu sekarang. Jadilah, Retha keluar dari dalam toilet. Tepat saat dia keluar, geng populer yang di ketuai oleh Davina, masih belum selesai juga melakukan aksi mereka. Mata Retha tanpa sadar jatuh pada sosok yang terduduk di lantai, sambil menangis tersedu-sedu. "Lemah banget anjir," gumam Retha tidak habis pikir, yang kemudian melotot lebar, saat air pel yang hendak Nadia siramkan pada tubuh Niken, mengenai sepatunya. "UDAH GILA YA LO?" semprot Retha pada Nadia, sambil melotot lebar. Retha lepas kandang. Davina langsung tutup mata seketika itu juga, saat melihat wajah galak Retha--teman satu kompleknya itu. Mau bagaimana juga, Retha tidak masuk menjadi daftar orang yang akan jadi korban bully-nya. Cewek itu juga temannya, walau tak dekat. Yang ada, Davina akan merasa malu kalau bully, cewek yang menjadi kesayangan para guru itu. "Mati lo, mati kena Retha," kata Ody ikut-ikutan heboh. Nadia mendelik, "Lah anjir, nggak sengaja sumpah," katanya panik. Retha makin melotot, "Sengaja ya lo? Kenapa? Ada masalah sama gue? Ayo maju sini, hadepin gue!" katanya jadi berkacak pinggang dengan sewot. "Gue tadi nggak maksud buat nyiram elo anjer," seru Nadia ikutan nyolot. Retha tertawa tak habis pikir, "Wah sialan. Elo yang cari masalah, kenapa elo yang nyolot?" "Dih, situ yang nyari masalah duluan main asal ngamuk," kata Nadia tak terima, tapi lebih dulu di tarik mundur oleh Davina yang panik. "Mata lo bisa biasa aja nggak? Nggak usah nantangin gitu!" kata Retha lebih nyolot dari sebelumnya, membuat Nadia mendelik, lalu ternganga kemudian. "LPG ya lo? Nge-gas mulu?" kata Nadia tak habis pikir dengan Retha, yang terkenal tak banyak ngomong, tiba-tiba ngamuk gini. "Nad, udah elah! Jangan cari masalah sama Retha!" bisik Ody heboh. Nadia menoleh, "Lah, kenapa? Takut lo pada, gara-gara dia gebetannya si Karrel?" sewotnya tak terima. "Bukan b**o. Temen gue nih," sahut Davina langsung cepat. Nadia melotot lebar, baru ingat. "Jadi cewek tuh bacotnya jangan gede- gede dong! Lo tuh kecil, nggak usah banyak gaya," cibir Retha angkuh, membuat Nadia ternganga-nganga. "Ngatain gue lo? Bacot lo tuh yang gede, kenapa gue?" semprot Nadia. "Aduh, tenang dong tenang!!" kata Davina yang jadi panik. "Temen lo nih," adu Retha. "Dih, gue? ELO," sembur Nadia. "Cot!!" Retha kemudian menoleh pada Niken. Nadia langsung tertawa kesal, "Anjir nih anak. Nyawanya berapa dah berani ke kita?" Retha menoleh kembali pada Nadia, "Kenapa? Nantang?" Saat dia melihat mata Nadia yang melotot padanya. "Weisss, kalem cil, kalem!" kata Karrel yang baru datang sambil menarik kerah bagian belakang Retha, saat cewek itu hendak maju. Niken langsung melebarkan matanya, saat melihat Karrel. Cewek itu tersenyum tipis, merasa lega karena cowok itu datang, untuk menolongnya. "Aduh Rel, gue kecekik," kata Retha sambil batuk-batuk, saat dia di tarik mundur, dengan kerahnya di pegang oleh Karrel. Benar-benar nggak ada adab sama sekali. "Di bilangin, anak kecil nggak usah banyak gaya!!" tegur Karrel pada Retha, sambil menonyor pipinya dengan jari telunjuk. "Gue udah gede," kata Retha tak terima. Karrel tidak menyahut, dan malah menoleh pada Davina, "Kenapa nih bocah centil bisa lo bully?" tanya Karrel, mengira kalau Retha di bully oleh Davina dan teman-temannya. Retha langsung melotot, di katai oleh Karrel bocah centil. "Gue nggak bully Retha. Yang gue bully tuh dia," kata Davina sambil menunjuk Niken. Melihat wajah kucel Niken yang kini menunduk, membuat Karrel langsung ngakak spontan. "Gila sih, hasil karya lo pada nih? Wow keren," puji cowok itu, membuat Niken tersentak. Tak menyangka akan mendengar ucapan seperti itu. "Kenapa? Mau bantuin gue bully dia?" tanya Davina, karena biasanya, Karrel yang menjadi partner-nya kalau soal beginian. Karrel menghela nafasnya panjang. Bahkan semua murid yang ada di sana tengah memperhatikannya sekarang. Mereka semua tampak senang melihat kehadiran Karrel di sini. Dia benar-benar sangat tampan. "Gue nggak ada waktu sih, buat ngurusin hal nggak guna," katanya tanpa beban. Davina mendecih sinis. "Terus, si Retha kenapa ada di sini? Dia mau nolongin?" tanya Karrel, lalu melirik Retha. "Cih, mulia sekali hatimu ini," lanjut Karrel entah memuji atau justru menghina, sambil menyentil jidat Retha keras-keras. Hal itu membuat Retha jadi langsung menganga kesal, dan melemparkan tabokan keras pada kepalanya. "Rel, ih!!" "Rel, ih!!" kata Karrel langsung mencibir, sambil menyenye. Niken langsung melongo. Baru tau sisi tengil seorang Karrel Davian Andara yang selalu dingin saat di depannya. Bahkan semua orang di sana, tidak terkecuali Davina, di buat tercengang dan ternganga kompak, melihat ke- duanya. "Ayo ke kantin, gue tungguin dari tadi, lama banget," gerutu Karrel langsung menarik tangan Retha untuk pergi. Tapi sebelum itu, dia sempat menoleh pada Niken yang masih menangis pelan di dekat kakinya. "Buat lo, jadi cewek nggak usah lemah! Di bully tuh di lawan, jangan diem aja. Apa-apa nangis, apa-apa nangis," kata Karrel muak sendiri, membuat Niken reflek mendongak, pada Karrel yang kini sudah pergi, bersama Retha. Sudah dua kali, dia memergoki Niken nangis, saat di bully Davina. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD