Seorang pemuda tampan dengan garis wajah pangeran yang memabukkan, terlihat melangkah tenang menuruni satu-persatu anak tangga menuju ke parkiran siswa. Sesekali, dia terlihat tersenyum sambil mengangguk, saat beberapa siswi centil menyapanya dengan sangat manis.
Karrel Davian Andara--cowok itu merogoh ponselnya dari dalam saku kemeja, hendak menghubungi Retha.
Karrel : Nyet, dimana?
Read
"Apaan sih? Sok mau nyuekin gue lo?" dengus Karrel malas.
Karrel : Ke parkiran, buru!
Read
"Yeeeuu anjeng," umpatnya tak tahan.
Karrel : Lima menit nggak nyampek parkiran, gue tinggal.
Read
"WAH, NANTANGIN GUE NIH?????" sembur Karrel sambil melotot pada ponselnya. Hal itu membuat beberapa siswi yang akan menyapanya dengan manis, langsung tersentak kaget dan mencelat ke belakang, karena terkejut setengah mati.
Dengan napas memburu kesal, Karrel melanjutkan langkah di koridor lantai satu, dengan bahu sebelah kanannya sudah tercantel tas ransel miliknya yang berwarna abu-abu tua itu.
Saat sampai di ujung koridor, menuju parkiran siswa, dia berbelok ke kanan dan langsung terkejut setengah mati, mendapati ada seseorang.
Karrel memilih agak mundur ke belakang, saat melihat ada seorang gadis tengah duduk sendirian di lantai, sambil menangis terisak, menelungkupkan wajahnya di antara lipatan tangan yang bertumpu pada lututnya yang di tekuk.
Karrel meringis.
Diam-diam langsung merinding, saat mengendus bau-bau horor di tempat ini. Karrel berniat melewati, karena tidak peduli juga, cewek di depannya ini punya masalah hidup apa, namun langkahnya mendadak berhenti lagi, dan keningnya jadi berkerut samar, ketika dia merasa rambut dan prawakan tubuh gadis ini nampak tidak asing.
"Loh, Retha??"
Karrel melebarkan matanya.
Reflek bergerak maju mendekat, dan langsung duduk jongkok di hadapan Retha yang sudah mengangkat wajah, mendengar pekikan Karrel barusan.
Karrel semakin terkejut, saat melihat pipi bulat cewek itu basah, dan kedua matanya juga sembab. Di tambah juga hidung Retha memerah seperti tomat.
Cowok itu langsung ternganga begitu saja, ketika Retha menatapnya, sambil mengenduskan hidung merahnya.
"Elo kalau mau galau, cari tempat yang bagusan dikit kali Tha. Horor tau di sini," oceh Karrel tanpa beban, membuat Retha diam-diam mendelik.
Sumpah ya, ini cowok minta di ulek aja mulutnya.
Karrel mendesah pelan, "Galau napa lo? Gara-gara cowok? Lah, cowok lo kan gue," katanya ngedumel sendiri.
Yang kemudian melebarkan mata, saat sadar sesuatu, "Di PHP Akhtar ya lo? Kan dah gue bilang, kalau mau menelin cowok jangan suka pakek hati. Baper kan lo? Nggak pengalaman sih," katanya sok menggurui dengan wajah sebal. Entah kenapa jadi kesal sendiri, saat berpikiran kalau Retha galau gara-gara Akhtar.
Mendengar itu, membuat Retha jadi langsung tersentak kaget. Mengangkat wajah dan langsung melayangkan tatapan horor pada cowok itu.
Karrel mendelik, melebarkan mata dan mengerjap-ngerjap pelan, "Elo nangis, kenapa nyai??" tanya Karrel dengan hati-hati.
"Cot ah Rel," kata Retha tak peduli, dan lanjut menelungkupkan wajah di antara lipatan tangan.
"Tha, kenapa sih?" tanya Karrel mulai khawatir, sambil memegang ke-dua bahu cewek yang mulai bergetar itu, sambil mensejajarkan wajah mereka.
"Hei, nangisin apa sih lo?" tanyanya dengan lembut, membuat hati Retha tanpa sadar berdesir.
"Nangisin gue lo?" katanya lagi, membuat Retha jadi mengumpat tanpa suara.
Cewek itu kembali mengangkat wajah, dan memandang Karrel. Bibir Retha tanpa sadar melengkung ke bawah, menahan tangis yang siap untuk meledak lagi. Dia merunduk dalam, dan mendengus kecil belum mau menjawab.
"Hiks, Rel......" ucapnya kembali nangis kejer, seperti tadi.
"Eh-eh, kok nangis lagi?" panik Karrel, tersadar Retha kembali diam, dengan mata yang basah.
"Kenapa sih Retha? Gue ada salah ya, sama lo?" tanyanya sambil menepuk pelan, kepala Retha.
"Gue gagal Rel," isaknya tak rela.
"Hah, gagal apa?" tanyanya bingung.
"Gue gagal tes seleksi," katanya mulai mengadu, sambil menangis.
"Tes yang kemarin itu?"
Retha mengangguk pelan.
"Iya. Gue nggak tau, kenapa gue cuma bisa dapet nilai segitu Rel. Gue belajar kok, nggak mungkin dapet nilai cuma sepuluh," katanya dengan tercekat, sambil terisak lagi.
Karrel tersentak, "Jadi...lo nggak lolos buat ikut cerdas cermat?" ulangnya terkejut setengah mati, membuat Retha kembali mengangguk dengan air mata yang mengalir deras di pipi.
"Terus gimana Rel?? Bisa mati gue, kalau papa tau," katanya jadi panik.
"Kok bisa sih Tha? Elo kan pinter. Nggak mungkin cuma dapet segitu. Pengujinya salah kali," ucap Karrel, berusaha positif thinking.
Retha menggeleng, "Enggak. Gue udah lihat LJK gue. Dan bener, jawab gue banyak yang salah. Tapi gue masih yakin, itu bukan LJK gue," katanya kembali terisak lagi.
Karrel tidak tau apa yang salah. Tapi, melihat Retha menangis begini, dia merasa dejavu. Jantungnya tiba-tiba berdetak tidak normal. Merasa ada yang sesak di dalam sana.
Meneguk salivanya kesulitan, Karrel berhasil mengingat siluet kejadian beberapa tahun lalu. Dimana dia melihat tangis yang sama, dengan waktu dan tempat yang berbeda.
Tidak salah lagi. Gadis itu memang benar-benar Retha, walau pandangan Karrel hari itu terhalang.
***
Angin semilir berhembus membelai kulit putih gadis yang kini tengah duduk di samping salah sebuah makam di daerah Jakarta Selatan.
Air matanya yang sedari tadi tak mau berhenti dari tugasnya.
Padahal, susah payah dia berusaha untuk tidak menangis, lagi. Dengan mengusap air matanya berulang kali.
Namun sayang, dia tidak akan pernah mampu melakukan itu, saat dirinya membaca setiap tulisan pada nisan hitam di hadapannya.
Bintang Reysie Aldevaro
Bin
Panji
Sementara itu, di bawah pohon yang rindang, seorang pemuda dengan usia tak berbeda jauh dari gadis itu, terlihat mengintip dari jarak lumayan jauh, tanpa berniat mendekat.
Bisa dia tebak, gadis itu adalah pacar Bintang.
Pemuda yang beberapa bulan lalu, terlibat kecelakaan karena balapan motor. Cowok itu Karrel, menggigit daging bibir bagian bawahnya, merasa kasihan dan bersalah di waktu yang bersamaan.
Meski tidak melihat wajahnya, Karrel bisa membaca, kesedihan cewek itu, tercetak begitu jelas.
"Aku selalu janji sama kamu buat gak nangis pas dateng ke sini, tapi aku gak bisa Bintang," katanya sambil terisak.
Jantungnya berdetak hebat, dengan suhu tubuhnya memanas. Tangan kanannya sibuk mencengkram tanah dengan taburan bunga di atasnya. Sementara, satu tangan kirinya dia gunakan untuk membelai nisan itu.
"Harusnya hal ini gak mungkin terjadi, kalau kamu nggak keras kepala waktu itu," isaknya.
Dari jauh, Karrel meruntuk.
Saat dia ikut merasakan sesak yang sama, melihat gadis itu menangis.
"Aku udah menang lombanya, kapan kita bisa pergi? Kamu janji kan, mau ajak aku ke Dufan?" katanya masih dengan d**a yang menyesak.
Retha memejamkan matanya, menahan sesak di dadanya, jika dia mengingat kejadian tragis malam hari itu. Dimana raga Bintang terpental jatuh ke aspal, bersamaan dengan motor besarnya.
"Apa yang lebih buruk dari kematian Bintang? Di saat aku harus hidup tanpa pilihan. Karena pilihan itu udah nggak ada," ucapnya lirih.
"Kamu udah terbang bebas di langit sana. Tapi aku masih di sini. Masih berharap banyak buat kamu dateng."
Karrel menghela nafasnya panjang. Ikut menatap nanar kejadian itu. Dia menggigit bibir bagian bawahnya, sambil mengusap air matanya.
"Gue nggak tau elo siapa. Tapi gue minta maaf. Gue nggak ada maksud bikin cowok lo pergi," gumamnya, yang kemudian memilih pergi dari tempat itu.
***
Karrel membasahi bibir bagian bawahnya sejenak, "Sini peluk!" ucapnya pelan, sambil meraih tubuh Retha, dan memeluk tubuh gadis itu dengan erat.
Mendapat pelukan tiba-tiba dari Karrel, membuat Retha melebarkan matanya. Dia masih tidak mengerti dengan maksud semua ini.
Tapi, tidak tau mengapa, Retha jadi kembali sesak, saat ingat bahwa dia tidak bisa lolos tahap selanjutnya.
Dia sempat hilang kata lama. Namun berikutnya, membalas pelukan Karrel dan makin tersedu, sambil terisak samar.
Sementara Karrel, menepuk-nepuk punggung gadis itu.
"It's okay Tha. Ini baru awal, kan? Masih banyak seleksi lomba lain, yang belum lo coba," katanya langsung menenangkan.
Retha masih tersedu kecil. Gadis itu langsung mengangkat wajahnya dan menatap Karrel, dengan bibir yang melengkung ke bawah.
Hal itu membuat Karrel jadi ikut menatap Retha, sambil tersenyum kecil. Retha mencuatkan bibir, tapi tetap mengangguk-angguk cepat akan ucapan Karrel tadi.
Retha menipiskan bibirnya sejenak, sebelum berkata dengan mata yang masih menyendu.
"Tapi...ini udah semester dua. Kalau kelas dua belas, nggak mungkin bisa ikut lomba-lomba lagi. Tinggal ada dua lomba di semester ini. Gue nggak tau, masih ikut lomba satunya apa enggak. Tapi gue butuh itu, buat bisa masuk UI, dengan piagam gue. Gue greget tau Rel, gara-gara LJK itu, gue kepikiran. Gue ngerasa, itu bukan LJK gue. Kayak ada yang ganti, tapi....AHH SUDAHLAH....."
Karrel tersentak, melongo kemudian, melihat Retha yang sudah tidak jelas dengan mengacak-acak rambutnya, frustasi sendiri.
Sementara Retha, dia amat sangat menyesal, dan greget, pengen seleksi ulang lagi, karena masih tidak terima dengan hasil tadi. Hal itu, membuat dia merengek-rengek sekarang.
***
Dengan langkah malas, Retha melangkah ke arah dapur. Melihat stok makanan di dalam kulkas.
Entah mengapa, tiba-tiba saja dia kelaparan di tengah malam seperti ini. Padahal, Retha sudah enak-enak tidur tadinya. Dan harus terjaga, saat cacing di perutnya berdemo, meminta pertanggung jawaban.
"Yah, kok nggak ada apa-apa sih di sini?" gerutu Retha, ketika melihat isi kulkasnya. Hanya ada air putih, es batu, dan sayur-sayuran mentah.
Gadis itu mendesah pelan, "Biasanya juga mama, sedia in roti sama buah. Habis semua, apa di sembunyiin kak Artha ya?" celoteh Retha, kali ini beralih pada rak gantung di atasnya.
Kali aja, ada mie instan yang bisa di masaknya.
Dan sialnya, tidak ada apapun di dalam sana.
Kemungkinan terburuknya, sang mama belum belanja bulanan.
Karena tidak ada apapun di dapur, Retha memilih beranjak menuju kamarnya lagi. Tangannya terulur mengambil ponsel yang tadinya dia charge. Melihat notifikasi masuk, yang belum sempat di baca nya satu persatu.
Whatsapp
Akhtar
Udah tidur, Tha?
Karrel
^___^
Abi
Malam Retha :"""))
Rika
PR matematika punya lo udah?
085607119401
Apa kabar?
"Sumpah ya, nih orang siapa sih? Tiap gue bales, nggak pernah di bales. Tapi nyampah mulu kerjaannya," gerutu Retha menatap nomor terakhir.
Tidak ingin peduli, Retha memilih untuk membalas pesan Akhtar dulu.
Karena pesannya di posisi teratas.
Akhtar : Udah tidur, Tha?
Retha : Belum, heheh
Akhtar : Kenapa? Tumben banget. Biasanya udah molor, wkwk
Retha : Laper gue, nggak ada makanan di dapur :(
"Bismillah, dia peka, kan?" gumam Retha seraya berdo'a.
Akhtar : Owh, ya udah beli aja sana! Jangan lupa makan ya, biar nggak sakit! Habis itu tidur :)
"Sial. Restoran mana yang masih buka jam segini, g****k?" gerutu Retha.
"Untung belum ngarep beneran gue sama Akhtar," dumelnya sinis.
Retha : Oh, oke :)
Akhtar : Hati-hati, udah malem juga.
"Udah tau kalau malem, harusnya lo beliin dong," katanya kesal.
Retha mengabaikan balasan Akhtar selanjutnya, ketika ada panggilan masuk dari Karrel. Dengan cepat, gadis itu menggeser tombol hijau.
"Kenapa?" tanyanya.
"Yee, biasa aja kali jawabnya," gerutu Karrel dari sebrang telepon.
"Ada apa nih, telpon princess?" seru Retha sambil rebahan.
"Iseng doang sih."
Bisa Retha dengar, bahwa pemuda itu terkekeh sendiri di sana.
Dasar gila.
"Muka sama sifat, sama semuanya. Nggak pernah jelas," makinya kesal.
"Dih, gue ganteng kali," bantah Karrel.
"Iya sih, ganteng. Kalau di lihat sambil merem. HAHAHAHAHA," Retha jadi ngakak, padahal tidak ada yang lucu.
"HA HA HA, lucu sekali," sinis Karrel merasa tak lucu, "Eh, gimana? Bokap lo ada marah?" tanya Karrel.
"Di marahin sih. Tapi nggak terlalu juga. Nggak kayak biasanya. Cuma di omelin doang tadi, di suruh makin rajin belajarnya," ucap Retha.
"Kenapa gitu?"
"Katanya, pilkada bentar lagi. Bokap nggak mau marah-marah terus," seru cewek itu dengan tenang.
"Oh gitu."
"Hmmm, sebenarnya, lo ada apa sih, nelpon gue malem-malem? Kurang kerjaan banget. Waktunya orang tidur kali," omel Retha.
"Tapi--lo kan belum tidur. Jadi, gue nggak ganggu dong."
"Nggak jelas banget," gerutu Retha.
"Bodo," katanya tak peduli.
"Cih."
"Emang, kalau nelpon elo, harus ada alasannya ya?"
"Nggak juga, sih."
"Ya udah, berarti terserah gue dong, mau nelpon elo apa enggak," omel Karrel, membuat Retha berdecak.
"Bodo amatlah, debat sama lo nggak akan menang juga. Bikin gue nambah laper aja."
"Lah, elo lagi laper?"
"Hm, ya udah sih telpon nya gue matiin. Mau tidur."
Tak menunggu jawaban dari Karrel, Retha langsung menutup sambungan telepon begitu saja.
"Aghhr monyet, mana makin laper banget lagi." Retha memegangi perutnya yang terasa melilit.
***
Tiga puluh menit, dan Retha cuma scrool-scrool aja, karena gabut, nggak bisa tidur.
Soal perut, dia masih kelaparan sekarang, tapi malas memesan makanan pakai ojol, atau sekedar keluar perumahan, membeli makanan.
Ini sudah jam dua pagi. Dia mana berani keluar rumah sendiri.
Mama, papanya pasti sudah tertidur pulas, sejak tadi. Perumahan, juga pastinya sudah sepi sekali.
Hingga dering telepon menyadarkannya.
Nama Karrel, tertera di layar.
Dengan ogah-ogahan, gadis itu mengangkatnya.
"Apa lagi, sih? Ini udah malem, lo ganggu tidur gue tau, nggak," celoteh Retha, sebal.
Apa maunya coba laki-laki ini?
Suka sekali mengganggunya.
"Emang, lo udah tidur?" sahut Karrel, seperti tidak merasa bersalah.
"Kalau udah, kenapa ngangkat telpon gue bisa cepet banget?" balas Karrel, tidak mau kalah.
"Baru mau tidur, tadi. Dan lo nelpon gue, itu sangat mengganggu tau." Sengit Retha.
"Ya udah sih, buruan keluar!"
"Hah? Maksud lo?"
"Gue ada di depan rumah lo. Cepetan ke sini!"
"Idih, males banget! Dingin tau. Ngapain gue mesti ke sana?"
"Emang lo aja yang kedinginan, gue juga," omel Karrel, dari sebrang telepon sana.
"Ya--terus? Lo se gabut itu, sampai tengah malam begini, di depan rumah orang. Ngapain, coba?" balas Retha, sinis.
"Buruan bukain!!!" semprot Karrel.
"Sumpah ya, ini cowok punya masalah hidup apa sih, gangguin gue mulu??" gerutunya kesal.
Namun dengan berat hati, gadis itu memilih untuk turun dari ranjang, dan keluar dari dalam kamar menuju ke depan, menghampiri Karrel yang katanya ada di depan rumahnya.
Ceklek
"KENAPA LAMAAA???" omel Karrel, saat Retha membukakan pintu.
Retha sontak saja terkejut mendapati keberadaan Karrel di kediamannya, dan mengomel seperti itu.
Tidak ada angin, tidak ada hujan, buat apa dia kemari?
"Gue pikir, lo udah mati tadi di dalem gara-gara kelaperan," celatuk Karrel asal, membuat mata Retha langsung memicing tidak senang.
"Lo, ngapain di sini? Pulang, sana!" usirnya, berniat menutup pintu, namun Karrel mencekalnya.
"Lo kalau kelaperan, ngeselin ya?" dumel Karrel, langsung nyelonong masuk ke dalam sana.
"Sopan banget lo, belum di suruh masuk udah masuk aja?" omel Retha, sambil berkacak pinggang.
"Nih, buat lo. Cuma martabak doang sih. Tapi lumayan lah, bisa ganjel perut lo."
Karrel memberikan dua kantong kresek makanan, ke arah Retha yang baru keluar dari gerbang.
"Hah? Buat apaan nih?"
"Katanya tadi lo, laper. Gimana sih?" oceh Karrel, kedengaran kalau tengah kesal.
"Eh?" Retha memekik terkejut, saat mendengar penuturan Karrel.
"Mau makan nggak? Atau gue ambil lagi nih?" celatuk Karrel.
"Y-ya mau, tapi--"
"Tapi kenapa?" tanya Karrel dengan suara yang serak, "Nggak suka ya, sama makanan yang gue beli?"
"Bukan gitu," sahut Retha.
Mata gadis itu langsung berkaca. Entah dorongan darimana, dia langsung mendekati pemuda itu, lalu memeluknya erat.
Sementara Karrel hanya terdiam, mematung di tempatnya.
"Kenapa lo baik banget, sih?" gerutu Retha di sela pelukan.
Karrel terkekeh kecil, "Ngapain nangis? Laper banget ya?" ledeknya.
"Atau baper, karena pacar yang bawain makanan?" ocehnya lagi, sambil tertawa pelan.
Retha melepas pelukan keduanya, sambil memberengut kesal.
"Ge'er lo," hardik Retha sebal.
Karrel jadi ngakak, "Ya biarin."
"Bucin banget sih Rel, sampai bawain makanan malem-malem? Padahal, kita pacaran juga cuma pura-pura."
Karrel mendengus, "Katanya harus senatural mungkin??"
"Ya iya, sih."
Retha jadi mengkerut, tapi tetap mengulum senyum di bibir, saat dia melihat bungkusan plastik di tangan.
"Tha!?"
"Kenapa?"
"Peluk lagi, dong! Tadi, gue belum siap. Masih kaget guenya," seru Karrel, di balas delikan oleh Retha.
Meski begitu, Retha akhirnya tersenyum dan kembali mendekat ke arah Karrel.
Lalu berjinjit, melingkarkan kedua tangannya di leher cowok itu. Tak tinggal diam, Karrel juga membalas pelukan itu. Melingkarkan tangannya, di pinggang ramping cewek itu.
Meski agak terkejut, karena tidak ada penolakan apapun dari Retha.
"Makasih, ya, pacar jadi-jadianku!" gumam Retha, di dalam pelukan.
"Sama-sama!" balas Karrel sambil tersenyum lebar.
"Kalau ada apa-apa, bilang ke gue! Mau emas, berlian sekalipun, gue beliin buat elo," kata Karrel, setelah pelukan keduanya terlepas.
Gadis itu tersenyum, baru kali ini Karrel melihat senyum Retha setulus itu. Kalau udah begini, kan jadi deg-deg an terus bawaannya.
"Hm, lo emang cocok sih, jadi fakboy sejati," kata Retha, santai.
"Apa-apaan ngatain gue fakboy?" kata Karrel, tidak terima.
Retha tertawa ringan, "Muka sama dompet memadai. Ganteng, dan tajir abis."
"Dasar!"
Karena gemas, Karrel mengacak-acak rambut Retha. Membuat si empunya mengumpat, saking kesalnya.
"Karrel!" panggilnya pelan.
"Kenapa?"
Retha mencuatkan bibirnya, "Lo bisa berhenti kalau lo mau. Kita nggak harus nurutin orang tua kita buat pura-pura pacaran gini," katanya.
"Gue santai sih Tha," balasnya sambil terkekeh kecil.
"Gue tau. Tapi gue nggak yakin, lo bakalan tetep santai, kalau Denta udah balik ke Indonesia," katanya, membuat Karrel menaikkan sebelah alisnya tinggi.
Retha mendesah samar, mendongak menatap Karrel tepat, "Kalau Denta beneran dateng lagi, dan perasaan lo ke dia masih sama, jangan langsung pergi gitu aja, ya! Biar gue aja yang pergi, jangan elo! Gue nggak mau, lo sama Denta di anggap jahat nanti."
Karrel menghela napasnya panjang. Dia bersandar pada dinding yang ada di belakangnya.
"Gue emang sempet sesayang itu sama Denta. Tapi, saat dia pulang nanti, gue juga nggak bakalan lupa kok, kalau gue udah nggak sendirian lagi," sahutnya.
Gimana bisa gue ngelakuin itu, kalau gue udah suka sama lo Tha.
Tapi malu mau bilang, batinnya mengkerut.
***