Sudah dua bulan dari kejadian Denta koma karena kecelakaan hari itu, dan raganya di bawa ke negeri kincir angin sana, Karrel seolah harus hidup seperti raga yang tak memiliki jiwa.
Rasa trauma yang begitu mendalam, melihat tabrakan itu terjadi tepat di depan matanya sendiri, kemudian membawa tubuh Denta yang sudah di lumuri dengan darah, keluar dari mobil yang hampir saja meledak itu sendirian, membuat ke-dua orang tua Karrel, memutuskan agar mencarikan dokter psikolog, dan membiarkan cowok itu tidak datang ke sekolah selama dua bulan terakhir ini.
Bahkan, saat ujian akhir semester satu, yang di gelar sebulan yang lalu pun, pihak sekolah terpaksa harus datang ke rumah keluarga Andara, dan memberikan cowok itu soal.
Sebagai keluarga yang menyandang status donatur terbesar di sekolah, tentunya itu tidak akan sulit baginya, untuk menerima perlakuan istimewa.
Selama dua bulan terakhir ini, tidak ada kabar apapun yang di terimanya dari keluarga Denta. Akankah gadis itu kembali padanya, atau kembali ke sisi sang pencipta, Karrel tidak tau.
Hanya do'a yang bisa Karrel minta dari Tuhannya. Berharap gadis itu pulang ke Indonesia dalam keadaan yang sehat, tanpa cacat apapun.
Semoga saja.
Beberapa hari terakhir ini, keadaan Karrel sudah lebih membaik. Cowok itu sudah mulai bisa bicara banyak, dan makan dengan teratur kembali. Rasa trauma itu, sedikit demi sedikit mulai hilang dari benaknya.
Dan sekarang, pemuda tampan yang mengenakan kaos santai berwarna merah itu, tengah berjalan tenang menapaki lantai bandara dengan kaca mata hitam bertengger di hidung, di susul oleh Bara--adiknya, yang kini tengah kerepotan, menggeret koper besar. Yah, Bara baru kembali dari Lombok, setelah berlibur sekaligus melakukan pendakian dengan para teman-temannya.
Bocah SMP kelas tiga itu, memang suka sekali merepotkan Karrel. Dia yang berniat untuk membuat genap, daftar dirinya tak keluar rumah selama dua bulan, harus gagal total, karena sore ini, di paksa sang mama untuk menjemput anak bungsu yang menjadi kesayangannya Barga.
"Kak!!" panggil Bara, yang kini malah menyesap s**u kotak, entah di dapatnya darimana. Cowok itu tengah menunggu jawaban, pada sosok tinggi yang sedang melepas kaca matanya.
Bara jadi meringis, menahan rasa julid. Wah, tampannya.
"Hmm??" sahut Karrel menggumam. Menoleh pada pemuda 15 tahun, yang memiliki garis wajah asia yang kental.
Perbedaan yang mencolok dari Bara dan Karrel, walaupun mereka kakak adik adalah, Karrel memiliki darah campuran Indonesia-Jerman, karena menurun pada gen ayahnya yang asli Indonesia, dan ibunya yang asli Jerman.
Sudah kentara sekali dari rahangnya yang tegas, kulit putih dan mata coklatnya. Jelas itu menegaskan darah luar pemuda tampan beralis tebal itu.
Sementara Bara--tidak. Kulit cowok itu sawo matang, dengan mata hitam yang pekat. Karena di dalam dirinya lebih banyak menurun gen dari sang ayah. Meski begitu, Bara memiliki paras yang tidak kalah tampannya seperti sang kakak. Dia memiliki tinggi menjulang, dengan rahang yang tegas, padahal baru 15 tahun.
"Kemarin pas di sana, gue habis daki gunung bareng cewek loh," kata Bara dengan gaya menyombong.
Karrel menoleh, wajahnya langsung merekah, "Oh ya? Cantik?"
Bara mencibir sebentar, "Buat gue ya kak. Nggak usah macem-macem lo!!!" katanya langsung posesif, membuat Karrel mendelik jengkel.
"Kenapa? Takut kesaing ya lo, sama gue?" tanyanya dengan dagu yang terangkat, "Iya sih, gue emang lebih ganteng daripada elo," ujarnya pede.
"Sombong," hardik Bara sebal.
Karrel melirik saja, "Namanya siapa?"
"Namanya Aiyana," sahut Bara sambil tersenyum malu-malu, seperti tengah di mabuk asmara.
Karrel mengumpat tanpa suara.
"Anak mana?" tanya Karrel lagi. Kali ini sambil memasuki Fortuner-nya yang sudah terparkir di area sana.
"Anak Jakarta Timur," balas Bara yang sudah selesai memasukkan kopernya di bagasi, dan masuk lewat pintu di sisi kiri.
"Seumuran sama lo?" seru Karrel sambil menjalankan mobilnya.
Bara menggeleng spontan.
"Kagak. Dia lebih tua setahun dari gue," balas Bara sambil menaik turunkan alisnya.
Karrel melotot kini, "Apaan sih lo? Naksir kok sama mbak-mbak," balas Karrel langsung protes.
"Yee, cuma setahun doang elah," delik Bara tak terima.
Karrel mendecak.
"Tipe lo, emangnya yang udah gede- gede gitu ya Bar? Kemarin aja naksir sama Denta, sekarang ganti lagi."
"Lah? Kan waktu itu lo bilang, kak Denta katanya buat elo aja. Ya gue ngalah lah. Kurang baik apa diriku ini????" balas Bara sewot.
"Halah," julid Karrel, "Gue udah ikhlas kok dia sama Gasta," sahutnya.
"Loh, emang kak Denta udah balik? Mami bilang, dia koma. Makanya lo kayak depresi gitu, gara-gara di tinggalin sama dia," katanya.
Karrel mengumpat lagi, "Depresi apa sih njing? Gue cuma trauma," balas cowok itu tak terima di katai gila.
"Cih, lagaknya trauma. Cowoknya aja bukan elo, tapi bang Gasta," sahutnya dengan tampang tanpa dosa.
Karrel ternganga. Dengan ganas, dia menggetok kepala Bara, menyuruh adiknya itu agar diam. Bara sempat mengerut sebentar, tapi sewot lagi.
"Gue aduin mami ya lo. Awas aja!!" ancamnya yang memang merasa kesakitan di bagian kepalanya.
"Aduin dah, aduin. Gue turunin lo di sini sekarang," kata Karrel sinis.
Bara mencibir saja.
"Oh ya kak, ngedeketin cewek gimana ya caranya? Gue nggak tau," curhat Bara dengan wajah sok menyendu.
Karrel langsung tertawa songong saat itu juga, "Ya tinggal lo deketin. Lo kan cowok, susulin dia ke Jakarta Timur sana. Nggak jauh juga lagian," balas cowok itu dengan tenang.
"Naik apa njir?"
"Becak," balas Karrel judes, "Ya naik motor lah," lanjutnya jadi nge-gas.
"Motor siapa? Gue aja belum di beliin papi motor. Katanya masih bocil."
"Nah, udah tau kalau bocil, ngapain lo naksir-naksir cewek segala," balasnya dengan sinis. Bara langsung manyun.
"Dah, bagi ke gue aja ceweknya. Pasti mau lah kalau sama gue," balas Karrel dengan wajah sengak belagu.
Bara langsung memicingkan mata, tak tahan untuk tidak menendang p****t kakaknya ini.
"Dia tuh......cantik banget kak, manis juga. Dia juga ada darah Jepangnya," kata Bara lagi, "Namanya aja, Aiyana Kazumiko. Keren kan?" tanyanya.
"Nah kan, cocok tuh kalau kawin sama gue," sahutnya cepat.
Bara mengumpat.
"Kenapa? Tipe gue emang yang ada blesteran Jepangnya Bar," balasnya dengan wajah santai.
"Sejak kapan? Lo bilang, tipe lo tuh yang asia-asia gitu, kayak kak Denta. Kok jadi Jepang?" tanyanya.
Karrel tersentak.
Menyadari kalimatnya barusan.
LAH??????
IYA YA????
BLESTERAN JEPANG??
Karrel meruntuk, karena tiba-tiba nama Aretha Kazumi Masayoshi, dan wajah judes cewek itu, malah muncul di dalam benaknya.
SIALAN.
Bahkan, Karrel juga merasa malu, kalau ingat dengan ucapannya dan Retha hari itu.
Kenapa coba, mulutnya langsung nyeplos tanpa bisa di rem? Ya kali dia bilang :
'sebenarnya, lo siapa sih? Kenapa gue bisa rasain banyak hal, di satu waktu yang sama???'
Sumpah, Karrel jadi gatal untuk menyumpal mulutnya sendiri dengan kain pel. Bisa-bisanya dia ngomong seperti itu, saat lagi berduka??
Pasti, Retha akan mengatakan dia tuh gila, buaya, playboy, atau mungkin fuckboy--kalau kata orang zaman sekarang. Cewek itu mungkin akan risih padanya. Karrel jadi malu, kalau mesti bertemu dengan cewek itu besok, saat di sekolah.
Ah, Karrel akan pura-pura lupa saja. Dia harus pandai acting, supaya tidak gugup.
"Tipe orang kan bisa berubah. Kalau sekarang, tipe gue yang cewek Jepang gitu. Kayak Aiyana contohnya."
"Punya gue!" semprotnya galak, "Gue tuh ngomong dari tadi, mau gue sepik sendiri. Nggak ada tuh, niat buat gue ngenalin lo sama dia," sewotnya.
Karrel jadi tertawa tanpa dosa.
"Chat dulu aja lah. Jangan langsung lo temuin. Yang ada dia risih."
"Bener juga sih. Gue juga belum tau, dia sekolah di SMA mana," balasnya.
"Ya sono njir, chat cepetan!" katanya langsung nge-gas.
"Malu..." Bara mencicit kecil, di balas decakan sewot oleh Karrel.
"Bagi sini nomornya! Biar gue selip," kata Karrel dengan cepat.
"Cukup teman makan teman ya kak. Nggak ada tuh ceritanya, saudara makan saudara," kata Bara sinis.
"Yaya, serah lo. Gebet aja sono. Lagian tu si Aiyana mana mau pacaran sama cowok tempe kayak lo," kata Karrel.
"Anjir, elo malah cowok tahu," balas Bara tak terima.
Karrel tersenyum miring.
"Oh ya kak, lo ada gebetan emang?"
"Ya ada lah. Lo kata gue nggak laku?" kata Karrel sewot kembali.
"Siapa?"
Karrel diam sebentar.
Kemudian ingat dengan satu sosok gadis cantik. Dan tak lama, jadi tersenyum-senyum bodoh sendiri. Bara sampai meringis di buatnya.
"Ada pokoknya," balasnya tenang.
"Cantik?"
"Lumayan. Anaknya lucu."
"Lah, Sule?"
"Heh, g****k!" umpat Karrel.
Bara mendengus, "Katanya lucu?"
Karrel kembali tersenyum, seperti di mabuk asmara, "Poni ratanya yang bikin dia imut. Tapi Bar...gue malu."
Bara mengumpat, "Tadi katanya udah yang paling pengalaman soal cewek. Mana hah, MANAAA????"
Karrel termundur kaget.
"Dasar ya kamu, tong kosong nyaring bunyinya," sinis Bara.
Karrel mencibir kecil.
"Ya gimana??? Retha jangankan di gebet. Di ajak kenalan aja udah keluar taring," kata Karrel ngeri sendiri.
"Oh...namanya Retha."
"Iya."
"Cantik?"
"Cantik."
"Cantikan mana sama kak Denta??" balas Bara.
Karrel mendecak, "Cantiknya Retha tuh...beda," sahutnya agak malu, saat mengakui Retha itu cantik.
"Ohhh, jadi sama Aiyana gue, masih cantikan kak Retha dong ya? Karena cantiknya kak Retha itu kan, BEDA."
Karrel mengumpat. Gatal sekali ingin masukin ampas rokok ke mulut Bara.
"Tapi...kasihan sih kak Retha, kalau dia nanti naksir sama lo. Elo kan gamon sama kak Denta," katanya.
"Siapa yang gamon? Gue udah lupa."
Bara melirik, "Nggak yakin gue. Entar kak Denta balik, lo juga balik naksir dia," kata Bara.
"Intinya kak, kalau lo belum siap buat naksir cewek lagi, jangan di paksain!! Kasihan ceweknya kalau dia beneran baper sama lo, tapi hati lo masih stay di kak Denta," tuturnya sok bijak.
Karrel melirik saja. Tidak tau kenapa adiknya jadi sok bijak begini. Cowok itu kembali fokus menyetir.
Sementara Bara, menoleh ke kiri, memperhatikan gedung-gedung yang di lewatinya.
"Widih, gede banget dah? Itu gedung apa istananya raja Salman?" celoteh Bara terpukau, saat melihat gedung pencakar langit di sepanjang sisi jalan. Karrel langsung mengumpat.
"Nggak usah norak deh lo! Lo bukan anak pelosok, yang baru pertama kali dateng ke Jakarta," semburnya sewot.
***
Sebuah bus yang menjadi alternatif angkutan umum bagi sebagian orang di ibu kota, baik pekerja, ibu rumah tangga, atau pelajar, nampak melaju tenang di sepanjang jalanan Jakarta Selatan, ketika beberapa saat lalu, sempat berhenti di depan salah satu halte--depan perumahan Griya Asri.
Sosok cantik Retha yang mengenakan hoodie putih, dengan bawahan rok kotak-kotak biru tua, yang terlihat baru memasuki bus, langsung berdiri dan bergantung pada pegangan bus. Bergabung bersama beberapa orang lainnya yang juga tidak kebagian tempat duduk.
Retha mencuatkan bibirnya kecil. Gara-gara motor scoopy miliknya di buat tabrakan Artha, beberapa hari yang lalu, Retha terpaksa setiap pagi harus berdesak-desakan untuk bisa mendapatkan bus. Motornya masuk bengkel, sementara di rumah hanya ada tiga mobil. Dan semuanya sudah punya pemilik masing-masing.
Retha bisa mengendarai mobil. Tapi boro-boro boleh bawa mobil sendiri ke sekolah, tempo hari lalu, dia minta mobil baru saja, langsung di omeli habis-habisan oleh papanya, karena katanya, umur Retha belum genap 17 tahun, sehingga fasilitas seperti mobil mewah--tidak akan di berikan.
Nyatanya, menjadi anak politikus terkenal, dan dokter bedah yang hebat, tak lantas membuat Retha hidup enak. Selain pelit, orang tua Retha juga terlalu over protektif.
Kadang dia iri dengan kehidupan teman-temannya, yang serba mewah, tanpa ada embel-embel kena maki orang tua gara-gara boros duit.
Retha mendengus.
Menatap ke arah gedung-gedung bertingkat yang di lewatinya, dengan bibir merapat. Kini, tangannya mulai tergerak mengambil hansed putih yang sudah terhubung dengan ponsel, dan memasangkannya di telinga.
Tiba-tiba, dia melamun. Mulai ngayal hal-hal yang indah.
Yah, namanya juga demam drakor, senggang waktu sedikit, pasti di pakek untuk ngehalu.
Sampai bus berhenti di salah satu halte pun, Retha tak terusik sama sekali.
Pikirannya hanya tertuju pada...kapan dia punya pacar kayak cowok di drama Korea??
Sebab, dia mulai agak menyesal juga, mengapa dua bulan lalu, dengan begonya, dia malah naksir cowok berandalan seperti Karrel. Cowok tukang nyebat dan suka sekali buat keributan di sekolah.
Dengar-dengar dari Tarisa, beberapa bulan lalu, dia, Acheris dan Savita juga sempat di ajak cowok itu main ke club--merayakan hari ulang tahunnya.
Retha jadi manyun, saat mendengar kabar itu.
Makin menipis aja, populasi cowok yang kayak di drama Korea.
Sampai beberapa detik berikutnya, Retha di buat tersentak kaget, dan nyaris terjungkal ke depan, ketika sang sopir menginjak gas secara tiba-tiba, ketika bus yang berhenti di halte tadi, hendak melaju kembali.
Tapi tidak jadi, sesaat dia melihat sebuah tangan besar, tau-tau sudah melingkar di pinggangnya. Posisinya, pemilik tangan itu memeluk dirinya dari belakang, dengan satu tangan.
Retha spontan menoleh.
Dan tidak lama, bola mata itu langsung melebar, ketika sosok pemuda tampan, yang di kenalinya berdiri di belakangnya sambil bergantung pada pegangan bus satunya. Sedikit merendahkan tubuh jangkungnya, membuat wajah mereka jadi sejajar.
Sejenak, Retha terpaku, ketika mata tajam itu berhasil mengunci matanya. Cewek cantik itu sadar, ia kehilangan satu tarikan nafas.
Meneguk salivanya kesulitan, ketika Retha tau, bahwa wajah cowok ini dan wajahnya, teramat dekat.
Bahkan, tanpa jarak dengan tubuh milik Karrel, yang masih memeluk perutnya dengan tangan kirinya.
"Karrel??"
Retha masih bengong. Tercekat saat mengatakannya. Antara percaya tidak percaya, karena cowok yang dua bulan ini menghilang, tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya.
"Hai!!" sapa Karrel, mengangkat satu telapak tangan kanannya, belagak sok cool sambil tersenyum tipis.
Suara Karrel membuat Retha spontan mengerjap, dan tersadar.
Kini jadi mengangkat sebelah alis, ketika Karrel malah bersikap smooth sekali. Padahal, biasanya hobby sekali nge-gas.
Retha diam-diam merapatkan bibir. Memicingkan mata, memperjelas pandangan, bahwa cowok yang ada di depannya ini adalah Karrel.
“Kangen gue nggak?”
Retha mendelik, "Lo ngikutin gue ya?" tuduh Retha dengan suara serak yang sewot. Yah, cewek itu lagi flu.
Senyum Karrel luntur begitu saja. Niatnya dia ingin damai, tapi cewek ini malah mancing-mancing ribut sama dia.
Karrel jadi ternganga.
"Yang ada elo tuh yang stalking gue. Tau banget kan lo, gue mau naik bus, makanya lo ikutan naik bus juga," kata Karrel balik menuduh.
Retha langsung tertawa, tak habis pikir sama kepedean cowok ini. Karrel tuh diam-diam minta di hujat sumpah. Mulut Retha jadi gatal.
"Stalking buapakmu??" dengus Retha sinis, "Heh pak, dari tiga hari kemarin gue emang udah naik bus. Yang naik bus duluan itu gue, bukan elo. Atau jangan-jangan...."
Retha dengan sengaja menggantung ucapannya barusan. Cewek itu malah menarik nafasnya panjang dengan gaya lebay, di campur sengak belagu.
Karrel mengeryit, "Jangan-jangan apa?" tanyanya tak paham.
"Elo....aahhh....dah gue duga sih. Lo tuh itu...." Retha mengangkat kedua tangan, membuat tanda kutip di udara dengan jari.
"Apa sih nyet?" sahut Karrel tak tahan karena cewek itu tidak to the point.
"Lo nganu ke gue," kata Retha dengan dagu terangkat.
"Nganu apaan dah?" sewotnya melotot kini.
"Lo beneran naksir gue ya? Ckck, gue tau sih, lo mana bisa nolak pesona Aretha Kazumi? Gue gitu," katanya dengan gaya sombong.
"Gue tau, lo pasti rela naik bus ini gara-gara lihat instastory gue tadi, kalau gue naik bus. Makanya lo susulin. Ya kan, ya kan? Dah lah, ngaku aja!" katanya pede.
Karrel termundur kaget. Mengkerut jadi malu, karena cewek itu tau.
"Dih, geeran banget lo," kata Karrel mendengus kecil, belagak sok biasa- biasa aja, "Motor gue mogok di deket halte tadi. Ya udah, gue suruh orang bengkel buat ambil. Eh, pas banget ada bis lewat. Ya gue langsung naik lah. Eh ada elo ternyata. Jadi, kesimpulannya, gue ketemu lo di sini, nggak sengaja kali," bantah Karrel.
"Oh..." sahut Retha angkuh.
"Oh doang?"
Retha mengumpat.
"Mau lo apa sih? Bisa jauh-jauh nggak dari gue?" katanya galak.
"Nggak mau. Mau gue deketin terus, sampek lo naksir gue," kata Karrel tanpa beban.
Retha ternganga, menoleh sinis pada cowok itu, "Heh, denger ya!" katanya menatap sengit Karrel, "Lo tuh nggak ganteng, jadi...nggak usah sok ganteng jadi orang!" tegas cewek itu, membuat Karrel langsung menaikkan alis.
"Lah, gue emang ganteng," balasnya.
"Jauh-jauh Karrel!! Gue nggak suka ya lo ngikutin gue gini!" pekiknya.
Karrel mendelik, "Sorry ya Retha, gue sama lo, bener-bener cuma kebetulan aja ketemu di sini. Paham??"
Retha merapatkan bibir, menahan u*****n.
"Nggak."
"Lagian, gue godain lo juga cuma iseng doang kok. Lo bukan tipe gue. Kenapa lo baper?" tantang Karrel jadi maju, dengan gaya angkuh.
"Menurut lo, lo itu tipe gue? NGGAK!" pekik Retha tak mau kalah.
"Ya udah," balas Karrel tak peduli.
"YA UDAH," balas Retha lebih nge-gas.
"Jangan nyesel, kalau suatu saat lo cinta mati sama gue!!!" kata Karrel mengancam.
"Oke. Awas aja kalau malah lo yang cinta mati sama gue!" balas Retha.
"OKE. Lagian, itu nggak bakalan terjadi," balas Karrel sewot.
Retha memicingkan mata. Tak lagi menyahut, dan memilih memandang jalan raya kembali.
Karrel jadi gatal untuk mencekiknya.
"Kok lo diem? Jawab lagi dong, biar lebih seru berantemnya," kata Karrel, membuat Retha ternganga.
Tanpa sadar, cewek itu menajamkan tatapan, memandang dingin cowok di depannya ini.
"Dasar sinting," desis Retha.
Karrel mengumpat, "Sumpah ya, nih cewek nantangin banget," dumelnya seakan penuh dendam.
Retha melotot tak takut.
"Kenapa??? Mulai penasaran ya sama gue? Dah gue duga sih, lo duluan yang jatuh cinta ke gue. Cih, dasar cowok ganjen. Baru di tinggal gebetan koma dua bulan, udah nyepik sana-sini aja lo," katanya dengan sinis.
"Mulut lo!" tegur Karrel melotot.
"Apa?" tantang Retha.
Karrel mengangkat sebelah alisnya, gatal sekali ingin mencubit gemas pipi gembul cewek itu.
"Lihat aja, gue bakal bikin lo naksir berat sama gue! Setelah gue berhasil bikin lo jatuh cinta, langsung aja gue tinggalin. Makan tuh patah hati!" kata cowok itu penuh percaya diri.
"Cih, yang ada gue yang bikin lo cinta mati ke gue. Kalau bisa, sampai lo jadi gila gara-gara nggak bisa dapetin gue."
"Dih, mana bisa kayak gitu?"
"Ya bisalah. Gue tinggal pelet lo, lebih simple kan?" kata Retha tak mau kalah.
"Astaghfirullah," seru Karrel sambil memegangi d**a, dengan lebay.
Retha mendelik, menahan u*****n.
"Nggak usah sok alim. Preman kayak lo ngerti gituan juga?" sinisnya.
"Ya ngerti dong, gue pernah ngaji," balasnya percaya diri.
"Dih," balas Retha tak minat.
"Awas lo!" ancam Karrel seperti anak kecil yang kalah main bola.
"Lo yang awas!" kata Retha balik mengancam.
Karrel mengeraskan rahang, menatap cewek jangkung itu tajam. Retha tak takut, dan balik melotot menatapnya dengan tajam dan dingin.
Keduanya saling bertatapan. Yang tak lama, kelopak mata Karrel perlahan jadi meneduh, menikmati iris mata coklat s**u milik cewek itu.
Membuat Retha makin tersenyum sinis, dan lebih melotot lagi.
Sampai.....
"Hatchi!!!!!"
"Hatchi!!!!!"
Karrel tersentak, saat Retha tiba-tiba bersin berkali-kali, membuat cowok itu memundurkan kepala, karena kena semburan jigong cewek itu.
Sementara Retha, terbatuk kecil setelahnya, dan segera menutup mulut, agar cowok itu tak tertular.
"Lah, elo sakit?" tanya Karrel dan jadi maju, lebih mendekat pada Retha.
Retha yang tengah terbatuk-batuk, jadi tersentak, dan melebarkan mata spontan, ketika merasakan sentuhan lembut di keningnya.
"Ngapain?" tanya Retha serak, tak paham cowok ini jadi perhatian.
Karrel mendecak.
"Lo demam, kenapa masuk sekolah sih???" omel Karrel sambil menarik pelan lengan Retha, agar cewek itu tidak jauh-jauh darinya.
"Apa sih lo?" semprot Retha, menepis segera tangan Karrel dari keningnya dengan sewot, "Gue cuma batuk sama pilek doang. Nggak us---uhuk-uhuk."
Gadis itu segera mengalihkan wajah, menutup mulut, kembali batuk-batuk. Yang sebenarnya juga menghindari tatapan tajam cowok itu.
"Ck, sakit aja masih bertingkah lo ya. Gimana kalau sehat coba??" sembur Karrel melotot tajam.
"Dih, gue diem kok," balas Retha.
"Ayo balik kalau gitu. Nggak usah ke sekolah," kata Karrel.
"Loh, kok gitu? Nggak mau. Gue ada ulangan," sahut Retha cepat.
"Kan bisa nyusul," bantah Karrel.
"Nggak mau Rel. Apa sih njir, jadi sok ngatur gini? Bapak gue lo?"
Karrel jadi ngumpat-ngumpat.
"Udah tau sakit tuh mingkem, diem! Nggak usah banyak gaya," tegasnya sok galak, membuat Retha mendelik.
"Gue ada tes lari juga. Dan nggak ada susul-susulan," balasnya serak.
"Ck, nggak boleh!" tegas Karrel yang di balas delikan oleh Retha, "Pulang aja! Entar naik taxi, gue temenin. Gue sekalian bolos juga," katanya.
Retha ternganga.
"Yeee, itu sih maunya elo pele."
"Bodo. Gimana, balik aja ya!??"
"Nggak. Gue udah baikan kok. Cuma batuk doang lagian Rel...." sahutnya membela diri, "Nih-nih lihat, pilek gue aja udah sembuh," katanya songong.
Karrel memicingkan matanya tak percaya, "Masa sih? Berani cium gue nggak sebagai bukti kalau udah sembuh?" tantangnya maju.
"Setan!" umpatnya.
Karrel tersenyum miring. Tapi raut wajahnya kembali panik lagi setelahnya.
"Beneran nggak mau balik?"
"NO!!" tolaknya, dan setelah itu balik batuk lagi, sambil mengenduskan hidungnya yang memerah.
"Tapi ini lagi sakit loh," balas Karrel mencoba sabar, meraih jidat Retha lagi dan memegangnya.
"Halah, dah biasa."
Karrel mencibir saja. Menarik lengan Retha lagi, agar cewek itu merapat pada badan tegapnya.
"Jaga-jaga, kali aja lo pingsan," kata Karrel seolah mengerti tatapan tak suka Retha, saat di tarik-tarik olehnya untuk mendekat.
"Cih, modus!" cibir Retha.
"Biarin," balas Karrel tak peduli, dan kali ini dengan telapak tangan yang memegang puncak kepala Retha. Dia mulai memijatnya pelan.
Retha jadi mendelik.
"Kok lo mijitin gue?"
"Kenapa? Gantian lah. Waktu itu, lo juga rawat gue," kata Karrel, "Gue juga tau balas budi kali," lanjutnya.
"Lo kenapa bisa sakit?" tanya cowok itu, sambil menekan-nekan pelan kepala Retha dengan satu tangan.
Retha terbatuk kecil. Mendengus kecil sebelum akhirnya menjawab.
"Ketularan," balasnya enteng.
"Ketularan siapa? Temen lo?"
"Bukan. Tapi kak Artha," sahutnya.
"Kakak lo?"
"Hmm."
Retha jadi memejamkan mata, saat Karrel masih memegang kepalanya, memberikan pijatan pelan di sana. Tapi mendelik, saat sadar cowok itu terlalu menempel padanya.
"Nggak usah mepet-mepet juga!" kata Retha sewot kembali.
"Kenapa? Takut gue denger bunyi jantung lo ya?"
"Nggak lah," balas Retha cepat, "Gue nggak mau lo ketularan," katanya.
"Oh...gitu," Karrel manggut-manggut, tapi tak memperdulikan, lalu lanjut menata rambut Retha sekarang, dan menjadikannya mainan.
"Entar pas nyampe, kita langsung ke UKS aja ya, minta obat," kata Karrel, sambil mengepangi rambut Retha, walau yang ada jadi acak-acakan.
Retha mendecak menolak, "Gue tuh nggak bisa minum obat, kalau bukan sirup. Di UKS, obatnya tablet semua," jawabnya serak dengan wajah agak merenggut.
"Ck, gue beliin," kata Karrel ngotot.
"Dimana?"
"Apotek depan sekolah kan ada," seru Karrel menjawab.
"Oh...boleh deh," Retha mengangguk langsung menurut.
Sial.
Karrel terkesima, dan malah jadi gemas sendiri melihat Retha yang langsung menurut begitu.
"Tha!" panggil Karrel, yang masih sibuk sama rambut Retha.
"Apa?"
"Lo kalau lagi waras sama sakit, kok nggak ada bedanya ya? Biasanya kan orang sakit tuh lemes, atau manja gitu," katanya bingung, "Ayo dong manja! Lo mau apa?" tanyanya jadi menarik-narik hoodie Retha.
Retha melengos, merasa malu sendiri di buatnya. Nih cowok kesurupan apa sih? Kok perhatian gini? Kalau Retha jadi ambyar gimana?
Percakapan keduanya jadi terhenti, ketika bus tiba-tiba berhenti di depan halte sekolah mereka.
"Udah sampek," kata Karrel, yang segera melepas hoodie hitamnya, dan mengikatnya di kepala Retha, sampai membuat cewek itu melotot karena hampir tercekik.
Niatnya ingin memakaikan hoodie miliknya ke tubuh Retha saja.
Tapi cewek itu sudah pakai hoodie miliknya sendiri. Sehingga, Karrel berinisiatif, untuk mengikatkan hoodie-nya di kepala Retha saja, menjadikannya penutup.
"Lo mau ngapain gue monyet?" seru Retha tak tahan dengan kebegoan Karrel.
"Dah, ayo turun!" ajak Karrel sambil meraih bagian lengan hoodie-nya yang ada di leher Retha, kemudian menarik cewek itu seperti anak sapi.
"Karrel, lepas deh! Gue malu," pekik Retha merasa risih juga dengan hoodie di kepalanya.
"Ck, nggak usah bawel," kata Karrel melotot, "Nurut aja kenapa sih??"
"Elo narik gue yang bagusan dikit nggak bisa apa?" protesnya.
"Cot lo."
Karrel langsung merangkul bahu Retha. Menarik cewek itu mendekat dan merapat padanya, membuat gadis itu terseret pasrah. Tak peduli jika saat ini, keduanya jadi pusat perhatian.
Bahkan tak jarang, anak-anak kelas sepuluh yang memadati koridor, jadi merengek envy, terlanjur iri.
***
Sementara itu, dari belokan koridor, muncul sosok gadis berkulit putih, melangkah tenang sambil memegang kantong kresek berwarna putih, berisi nasi bungkus yang dia dapatkan dari kantin.
Cewek itu mengulum senyum ramah, pada beberapa orang yang dia lewati sepanjang koridor.
Niken--begitulah sederet kalimat pada nametag gadis itu.
Tercatat sebagai murid baru di jurusan IPS dari angkatan kelas sebelas sejak sebulan yang lalu, Niken yang memang pandai bersosialisasi, tentu saja tak merasa kesulitan untuk membaur dengan siswa siswi di sekolah ini.
Sesekali, dia akan melambaikan tangan, pada beberapa orang yang menyapanya terang-terangan. Sampai tidak lama, senyum cewek itu luntur, ketika dia tanpa sengaja menginjak ujung tali sepatunya sendiri.
Brukk
Tepat saat dia terjatuh, sosok Karrel dan Retha muncul dari belokan.
Dan tanpa sengaja, kaki Karrel, tau-tau sudah menginjak nasi bungkus Niken yang terlempar dari kantongnya.
"Aduhhh, dengkul gue!" Cewek di depannya meringis kesakitan.
Retha tersentak lantaran terkejut. Ikut meringis, saat melihat siswi dengan badan langsing tiba-tiba nyungsep di depannya tanpa permisi.
Sementara Karrel, mengumpat, dan naik pitam, ketika sepatunya sudah lengket karena menginjak nasi.
Keduanya belum sampai tertabrak.
"Lo--nggak papa, kan?" tanya Retha, tapi belum berniat membangunkan.
Akhirnya cewek itu bangun sendiri, sambil menggaruk pipinya yang tidak gatal. Sepertinya dia malu, karena terjatuh di depan Retha.
"Nggak kok, gue nggak---" Ucapan Niken jadi terhenti, saat bola mata cewek itu jatuh pada sosok jangkung yang tengah merunduk, melihat ke arah sepatu mahalnya.
Bola mata Niken melebar.
Perhatian cewek itu seketika tercuri sepenuhnya pada sosok Karrel, yang kini mendongak, menatap ke arahnya dengan tajam.
Ganteng banget, jeritnya tertahan.
"LO PUNYA MATA NGGAK??" sentak Karrel naik pitam pada cewek itu.
Niken langsung tersentak, menciut takut saat itu juga.
"Nggak lo lihat, nasi lo ngotorin sepatu gue?" semprot Karrel.
Retha di sebelahnya sampai meringis, karena telinganya sakit mendengar bentakan Karrel. Cewek itu, kini jadi agak menurunkan hoodie Karrel di kepalanya, karena malu di lihatin banyak orang.
"So-sorry, gue nggak sengaja. Sumpah gue nggak niat bikin sepatu lo kotor gitu," kata Niken panik.
"Anjing," desis Karrel, membuat Niken makin ketakutan.
"Udah sih Rel, dia nggak sengaja juga lagian," kata Retha membela.
"Ya tapi sepatu gue jadi kotor Retha," kata Karrel geram.
"Alay, tinggal di cuci apa susahnya?" seru Retha langsung sewot.
"Sebagai bentuk tanggung jawab, gue mau kok nyuciin sepatu lo. Gue bener- bener nggak ada niat bikin sepatu lo kotor gini," seru Niken memberi penawaran.
Yang kemudian melirik nametag pada seragam cowok itu.
Karrel Davian Andara???
Senyum tipis Niken tanpa sadar jadi terlukis di wajah manisnya.
"Gue nggak suka barang gue di sentuh sembarang orang," tegasnya.
Retha meneguk ludah. Diam-diam ingin mengetuk kepala Karrel, supaya mode bosgeng garang cowok itu segera sirna.
Niken merapatkan bibir, "Kalau gitu, gue gantiin sepatu lo, gimana?"
Karrel mendecih, "Sombong lo ya."
"Eh, bukan gitu. Gue cuma nggak enak aja bikin sepatu lo kotor gitu," bantah Niken segera.
"Sepatu gue enam juta harganya. Bisa ganti?" sinisnya.
Niken melebarkan mata.
ENAM JUTA???
Melihat ekspresi wajah Niken yang tegang begitu, membuat wajah angkuh Karrel makin tercetak jelas.
"Gimana? Katanya mau ganti?" kata Karrel menantang, "Nggak bisa kan?"
Niken makin mengkerut diam.
Retha jadi mendecak, melihat tingkah Karrel. Tak tega juga, melihat wajah ketakutan Niken.
"Ck, udah Rel! Ayo ah," ajak Retha sambil menarik Karrel.
"Dia sok kaya banget anj--" Karrel menahan u*****n, ketika Retha jadi melotot padanya.
"Sorry ya mbak, peliharaan gue lepas. Biar gue kandangin dulu," kata Retha meringis kecil, merasa malu sendiri.
"Lo kata gue--"
"Diem!" Retha melotot pada Karrel dan jadi tersenyum ke arah Niken, "Jangan di ambil hati yang ucapan Karrel! Dia emang agak gesrek."
Niken mengangguk, "Gue juga salah kok, udah bikin sepatu dia kotor gitu. Sekali lagi maaf ya," katanya halus.
"Maaf-maaf," sewot Karrel, "Lo kira, maaf lo bisa bikin sepatu gue bersih lagi???" tanyanya galak.
"Rel, udah!" tegur Retha.
Karrel mendengus. Mencoba untuk menguasai diri, "Ayo ke UKS. Darah tinggi gue lama-lama kalau di sini," gerutu Karrel, merangkul Retha lagi, dan menarik paksa gadis itu.
"Sekali lagi...maaf ya!" kata Niken saat keduanya beranjak pergi.
"Lo jangan galak-galak gitu lah jadi cowok! Kasihan kan cewek tadi, jadi ketakutan gitu," omel Retha sambil menyikut perut Karrel, yang masih bisa di dengar oleh Niken.
"Dih, gue? Dia yang cari masalah duluan sama gue," protes Karrel.
"Tetep aja--"
"Dah-dah, nggak usah bawel!" kata Karrel sambil memegang pelipis Retha lagi, memastikan suhunya, "Ck, tuh kan malah lebih panas dari yang tadi. Udah gue bilangin, pulang aja, ngeyel sih lo," semprotnya judes.
Retha mencuatkan bibirnya kecil. Tertarik pasrah, di seret oleh cowok itu, di sepanjang koridor. Diam-diam, cewek itu menahan senyum.
"Pusing nggak?" tanya Karrel sambil mendekatkan wajah, memastikan.
"Enggak."
Niken yang sejak tadi masih diam di tempatnya, memperhatikan keduanya dengan alis terangkat tinggi.
Dalam hati mencibir kecil, melihat kedekatan keduanya.
Mereka sepupuan ya, kok lengket banget gitu???
"WOY!!"
Niken terlonjak kaget, saat sosok mungil Shasa--sepupunya, tiba-tiba mengejutkannya begitu saja.
"Lihatin apa lo?" tanya Shasa.
Niken diam sebentar, "Lo kenal cowok itu?" tunjuk Niken pada Karrel yang masih merangkul Retha.
"Kenal lah. Dia kan temen sekelas kita Ken," balas Shasa enteng.
"Sekelas? Kok gue nggak tau?" balas Niken terkejut.
"Dua bulan terakhir ini, dia emang nggak pernah masuk sekolah sih."
"Kenapa?"
"Nggak tau juga," balas Shasa, "Oh ya, hati-hati loh! Jangan sampai lo bikin masalah sama dia, selama lo sekolah di Cendrawasih," katanya mulai gosip.
Niken mengeryit, "Kok gitu?"
"Ya iyalah, dia bosgeng utamanya sekolah ini njir," balasnya.
"Wah, keren dong?" ucap Niken malah jadi takjub.
"Iya sih. Dia temennya Azka. Satu geng malah dari kelas sepuluh," balas Shasa bisik-bisik heboh.
"Mantan lo?"
"Iyalah. Siapa lagi coba?"
Niken manggut-manggut.
"Terus...cewek yang sama dia tadi, siapa? Sekelas kita juga?"
Shasa mengerutkan kening, lalu teringat, "Oh, tadi mah Retha. Bukan, dia anak kelas IPA 1."
"Mereka sepupuan ya?"
"Bukan lah. Yang sepupunya Karrel tuh si Rika. Yang satu ekskul mading sama lo," kata Shasa yang memang tau kalau Niken masuk mading, satu minggu yang lalu.
"Kok deket banget gitu?" seru Niken yang tanpa sadar jadi ngomel.
"Jadian kali," balas Shasa dengan gaya enteng, "Waktu turnamen RIPU Cup aja, dia yang gendong Retha waktu Retha cidera. Sosweet banget," katanya tanpa sadar terpana.
"Jadian?" tanya Niken kaget.
"Muka lo lecek amat dah? Cemburu ya lo?" tebak Shasa curiga.
Niken merapatkan bibir. Diam-diam melihat ke arah Shasa, dan tersenyum malu ketika itu juga.
Shasa jadi ternganga. Paham betul apa maksudnya.
***