23 | Mutiara Yang Hilang

3588 Words
Nyaris menyentuh angka dua siang, Denta terbangun. Merasakan sekujur tubuhnya terasa menggigil dengan rasa sakit yang begitu hebat. Dia bahkan masih cukup sadar, untuk merasakan hantaman pada setiap inci tulangnya. Dia ingat jelas, setiap kepingan kejadian, semalam di Gotta Go Kafe. Air matanya kembali menetes, ketika ia mengingat pemuda itu tidak datang menemuinya. Pemuda yang di kagumi nya begitu banyak. Gasta. Sekali lagi, nama yang tidak akan pernah habis di cintainya. Bodoh sekali memang. Saat rasa cinta itu menutupi segala kebenciannya. Denta sudah terlalu lelah karena menangis. Dia bahkan hanya mampu untuk merintih. Terbujur kaku di ranjang rumah sakit. Kini, matanya sibuk memutari ruangan serba putih itu. Lalu, netranya jatuh pada sosok pemuda tampan dengan garis wajah pangeran yang memabukkan, kini tengah meringkuk nyaman di sisi ranjang nya. Dia tertidur nyenyak. Pemuda itu Karrel. Isakan Denta semakin terdengar keras. Bodohnya dia, mengapa sulit sekali untuk bisa jatuh cinta pada sosok di hadapannya ini? Pemuda yang melindunginya begitu banyak selama ini. "Karrel!" panggil Denta pelan, dengan tangan terangkat menyentuh kepala pemuda itu. Pemuda itu bergeming, sepertinya dia cukup sadar ada seseorang mengusap kepalanya. Mengucek matanya yang masih terasa lengket sebentar, lantas mengerjap-ngerjap pelan. Matanya memicing, memastikan dia tidak salah melihat. "D-Denta? Lo bangun?" tanya Karrel, garis wajahnya langsung berbinar. "Rel!!" "Ada yang sakit? Lo butuh sesuatu? Apa Nta? Cepet ngomong ke gue! Biar gue aja yang ngambilin. Mau gue panggilin dokter? Atau--gue panggilin nyokap lo?" Karrel memberondong Denta dengan segala pertanyaannya. "Nyokap lo lagi keluar, nyari makan bareng sama Vero. Kalau temen- temen lo, mereka udah pada balik tadi pagi, karena harus sekolah sekarang," sambungnya. "Oh ya, bokap lo lagi on the way ke sini. Dia habis ada jadwal terbang semalam. Dan baru sampek siang ini." Jelas Karrel tau, sebab bu Anggia--ibu Denta yang mengatakannya tadi. "Lo mau makan?" tawar Karrel sambil tersenyum begitu lebar. Karrel terlalu bahagia sekarang. Dia fikir, Denta tidak akan sadar secepat ini. Mengingat beberapa saat yang lalu, gadis ini sempat kritis, karena kecelakaan semalam. Denta menggeleng lemah, sambil mengulum senyum yang di paksakan. Karrel membasahi bibir bawahnya sebentar, "Kenapa? Lo nyari Gasta, ya? Di-dia belum dateng," ujar Karrel ragu. Denta merapatkan bibir sebentar. "Karrel!" panggil Denta lirih. "Ya?" "Apa lo percaya, tentang kehidupan berikutnya?" Karrel diam sebentar. Dan dengan lembut, tangannya membelai kepala Denta, teramat menenangkan. "Lo ngomong apa, sih?" ujar Karrel setengah menggumam. "Gue pengen percaya, Rel." Tetesan bulir bening dari netra Denta meleleh. Sedangkan matanya kembali terpejam, tidak kuasa menahan sakit pada kepala, juga tubuhnya. "Kalau ada--gue pengen kita ketemu lagi. Gue pengen bisa jatuh cinta sama lo. Karena di dunia yang sekarang, gue nggak bisa ngelakuinnya." Denta terisak pelan. Sedangkan Karrel, dia memilih membuang wajahnya. Dadanya berdentam sakit yang luar biasa, mendengar suara Denta yang begitu serak dan pelan. Nafasnya terputus- putus. Karrel tahu betul jika gadis itu, di hujam kesakitan. "Lo nggak cinta sama gue nggak papa, Nta. Demi Tuhan, gue nggak papa. Asal lo mau sehat! Udah itu aja," ujar Karrel memohon. "Rel, makasih karena udah mau cinta sama gue. Jadi pelindung gue--saat dia nyia-nyiain gue. Makasih ya!" "Iya, sama-sama!" ujar Karrel tulus. "Gue pengen kuat Rel--" Tangan Karrel kembali tergerak mengacak rambut Denta dengan sangat gemas, "Lo kuat, lo harus kuat! Lo itu hebat, Nta. Di mata gue, lo itu luar biasa. Lo bahkan satu-satunya cewek yang berani nampar gue pas tawuran." Karrel terkekeh geli, mengingat pada hari dimana Denta menamparnya dan mengatakan benci padanya. "Lo nggak lembek, tapi lo ganas kayak macan." Karrel terkikik geli, dengan bulir kristal keluar dari netranya tiba-tiba. Walau sebenarnya, dia ingat dengan gadis yang memiliki sifat tak kalah garongnya seperti Denta. Aretha Kazumi. Denta menggigit bibir tidak bersuara. Namun tidak lama, dia memaksakan diri untuk tersenyum. Sementara Karrel, dia semakin menguatkan genggaman tangannya pada tangan Denta. Dia tau, sekalipun Denta tengah tersenyum, tapi gadis itu sangat kesakitan. "Maaf belum bisa cinta sama lo." "Iya Nta, iya. Gue nggak papa, selama lo bahagia. Right?" Karrel menangis sekarang. Rasanya tidak kuat lagi melihat gadis yang di cintainya berada dalam keadaan seperti ini. Ingin sekali rasanya dia mengutuk Gasta yang bodoh sekali. "Gue lelah, Rel. Gue...pengen tidur!" Dan benar, Denta benar-benar tertidur setelah itu. Atau, dia masih terjaga hanya saja memejamkan matanya? Karrel sendiri tidak tau. "Denta, Nta...hey Denta!" Panik. Karrel semakin panik bukan main. Terus menerus menyerukan nama gadis yang matanya kini sudah terpejam selama beberapa detik lamanya. "Denta, bangun Nta! Jangan bikin takut gue kayak gini!" "Karrel..." Denta menggumam, pelan sekali. "Iya Nta, ini gue Karrel!" Karrel begitu frustasi mengatakannya. Dia semakin terlihat panik, dengan wajahnya yang sudah memerah. "Jangan tidur dulu, Nta! Gue masih mau ngobrol sama lo!" pekik Karrel sambil terus menangis. "Tolong Nta, jangan kayak gini! Karrel menggenggam tangan Denta, menyentuh seluruh tubuh Denta yang mulai dingin, dengan wajah pucat pasi seperti tidak teraliri darah. "Apapun yang terjadi..." suara Denta terbata, serak, susah payah dia ingin melanjutkan kalimatnya, "...jangan pernah sedih, Rel! Gue pengen lihat lo bahagia, meski bukan gue alasan dari kebahagiaan lo." "Iya, gue janji. Gue janji bakal selalu bahagia," sahut Karrel cepat, menyeka kasar air matanya yang menetes. "Rel...bisa lo le--lepas kalung yang gue pakek. Please, kasih ini ke Retha!!" Karrel melebarkan mata, buru-buru mengambil kalung perak dengan liontin koin itu dari leher Denta. "Gue...kasih ini ke---Denta! Bangun Nta! Lo cuma tidur, kan? Lo nggak papa, kan?" pekik Karrel nyaring, saat melihat Denta benar-benar memejamkan matanya. "DOKTER, SUSTER!!" teriak Karrel sambil terus menekan tombol di dekat ranjang, untuk memanggil perawat dan dokter. Karrel hendak melepaskan genggaman, berniat memanggil dokter dan tenaga medis lainnya, namun dia urungkan ketika Denta mencengkram jemarinya. Cowok itu berbalik, melihatnya. "Tolong Rel, bilang sama Gasta!" Bulir bening itu terus mengalir, entah dia sedang sadar atau tidak, Karrel masih tidak mengerti, karena matanya terus terpejam, "Maaf, karena nggak bisa..." "Nggak bisa apa, Nta?" Karrel masih menunggu, namun Denta sama sekali tidak menyahut. "Denta, nggak bisa apa? Lo mau ngomong apa, Nta?" Karrel terus mengguncang tubuh Denta, dan berusaha menyadarkan. Tubuh gadis itu kaku, dingin dan wajahnya benar-benar pucat. Kata- kata itu, menjadi kalimat terakhirnya siang ini. Karrel menunduk, menangis semakin tidak terkendali. Bahkan, saat tim medis masuk ke ruangan, dia tidak peduli. Dia terus menggenggam jari jemari tangan Denta. Masih berharap banyak, gadis itu hanya pingsan. "Detak jantung pasien semakin melemah!" ujar seorang doker setelah mengecek keadaan gadis itu. Tetapi, tidak berhasil membuat Denta bangun. "Tidak ada respon!" Denta koma. "DENTA, BANGUN NTA! GUE BOHONG TADI, NTA!" teriak Karrel sambil terus terisak, "GUE NGGAK BISA BAHAGIA KALAU BUKAN SAMA LO!!" "DENTA! JANGAN BEGINI, NTA! GUE HARUS APA BIAR LO BANGUN?" Karrel menangis. Dadanya terasa sesak, menghujam tanpa ampun. Menunduk, memandangi tangan keduanya yang sudah terlepas entah sejak kapan. "Dimana kelurganya?" tanya dokter tersebut, pada Karrel. Namun, sama sekali pemuda itu tidak merespon. "Kondisi pasien sudah sangat kritis." "PERIKSA LAGI DOK, SAYA MOHON PERIKSA ULANG DIA!!" teriak Karrel histeris, para tim medis sampai tidak berani menatap wajahnya. "Mohon maaf! Kita semua harus siap untuk kemungkinan terburuknya." "Dok, tolong dok, sekali ini saja, periksa ulang dia!!" Karrel masih bersikeras. Dokter muda tersebut, menggeleng lemah, menatap Denta yang sudah di pasangkan banyak alat oleh perawat. "Kita hanya bisa berdoa saja. Agar Tuhan memberi keajaiban untuknya." Bungkam. Pernyataan dokter itu berhasil membungkam Karrel yang kini meringkuk di lantai dingin ruangan putih itu. "Eh, rame banget ternyata," celatuk Ivon tiba-tiba, sesaat kakinya baru melangkah di ambang pintu kamar rawat Denta. Di susul di belakangnya, Azka, Dira, Gista dan juga ke-empat teman Gasta yang lain, kini masih bisa-bisanya rusuh ingin masuk ke dalam kamar Denta lebih dulu, tidak mau mengalah. Bahkan, Dira menyikut Gista, Sandy juga Nugraha, dan berhasil membawanya sampai di dalam lebih dulu. "Nta, gue bawa makanan kesukaan lo. Bakpow isi coklat, kan?" Azka dengan semangat menunjukkan apa yang di bawanya. "Kalau nanti lo udah bangun, cepet di makan ya! Keburu dingin." Azka mencoba tetap tegar, dia tau kabar ini dari Karrel semalam. Dan langsung kemari saat itu juga. Hanya saja pagi tadi dia pulang, karena harus berangkat sekolah, sama seperti Dira dan juga yang lain. "Denta udah sadar ya, Rel? Makanya di periksa sama dokter?" tanya Ivon, meski dia tidak yakin, terlebih saat melihat Karrel yang terisak di lantai kamar, dengan menyedihkan. "Denta, gue bawa nilai ulangan matematika lo minggu lalu, nih. Nilai lo sembilan puluh," Dira bercerita, namun bulir bening dari matanya tiba-tiba berjatuhan, saat melihat tubuh kaku Denta di atas ranjang. "Lo pasti nyontek ya, Nta? Gue aja yang pinter matematika cuma dapet delapan puluh," Gista menimpali sambil terkekeh, meski tidak memungkiri air matanya juga berjatuhan. "Oh ya, ulangan agama, nilai gue bagus loh. Selisih dikit sama punya lo. Waktu itu kan, lo pernah ngatain gue manusia nggak punya adab gara-gara remidi agama," ujar Gista lagi. "Denta, lo ngapain sih? Sadar dong woi, sadar! Minggu depan kita masih harus tampil dance, buat ujian praktek seni budaya," Dira menyeka air matanya cepat. "Nta, lo nggak mungkin lupa kan soal dance yang di suruh bu Cici itu?" Ivon menimpali, ikutan menangis. "Nggak mungkin, Von. Kan dia yang paling semangat. Sampai heboh bikin gerakan," sahut Gista, dengan terbata. "Nta, ini nilai matematika lo, cepet ambil! Jarang-jarang anjir, lo dapet nilai banyak begini," kata Dira. "Ayo Nta, ambil!!" suruh Alex. Sandy menggeram, "Nta, lo kenapa nggak bangun, sih?" "Nta, cepet bangun! Dance kita nggak akan bagus kalau nggak ada elo." "Elo center utamanya, Nta." "Denta kenapa sih, Rel? Kenapa dia nggak bangun juga?" Dira mengambil tangan Denta yang dingin, sambil terus terisak. Nugraha dan Leo yang sejak tadi bungkam pun, tak kuasa menahan air matanya, seperti yang lain. "Nta, lo nggak kasihan lihat gue nangis begini? Bangun elah," rengek Nugraha tiba-tiba. "Entar yang gue gendong sambil joget siapa Nta? Masa si Marwah, kan nggak mungkin?" Leo menyahut, "Dia mana doyan, joget-joget begitu." "Nta, kita baru aja baikan. Lo nggak mungkin ninggalin gue gitu aja kan?" kata Azka menangis juga. Saat tau tak ada jawaban dari gadis itu. "Please Nta, jangan bikin gue takut!!" isak Karrel bergetar hebat. Pertahanan mereka pun langsung runtuh, tangis mereka pecah secara bersamaan, saat Denta sama sekali tidak merespon apapun. Mereka semua menangis, bersamaan dengan Karrel yang tidak berhenti menitihkan air matanya sejak tadi. Tubuh cewek itu masih kaku, dengan alat medis terpasang di badannya. "Kak Aland!!" panggil seseorang tiba- tiba sukses membuat se-isi ruangan menoleh. Kecuali Karrel yang masih meringkuk di lantai, terus menangis. "Kenapa Tha?" Dokter muda itu jadi mendekat pada cewek yang kini sibuk melihat keramaian ruangan itu. "Di panggil sama mama di ruangannya. Mm...mereka kenapa kak?" tanyanya. Kini jadi melebarkan mata, saat dia melihat ada Azka dan Karrel di sana. Aland menipiskan bibir. Memandang ke arah para remaja yang sudah menangis hebat di sana. "Temen mereka kecelakaan semalem." Retha tersentak, terkejut setengah mati di buatnya, "Siapa? Cowok?" serunya, sambil melihat ke arah ranjang rumah sakit. Dia tak terlalu bisa melihatnya jelas, karena tubuh pasien terhalang yang lain. "Perempuan," balas Aland. Retha meneguk salivanya kesulitan. Melihat ke arah Karrel yang menangis sejadi-jadinya di sana. Tidak ada yang bisa membuat Karrel se-histeris itu, kecuali satu nama. Denta?? "Cowok itu kayaknya pacar pasien kakak. Dari semalem ada di sini buat nemenin. Dia yang paling kelihatan sedih dari semuanya," celoteh Aland sambil menunjuk Karrel dengan dagu. "Emang...parah kak?" tanya Retha, sambil melihat Karrel yang terus saja menangis. "Koma," balas Aland ragu, "Ini tinggal nunggu keputusan keluarganya. Mau pasien tetap di Jakarta, atau gimana." "Koma?" jerit Retha tertahan, "Apa nggak bisa di lakuin cara lain, selain di bawa ke luar negeri? Kakak udah sering kan, hadepin pasien yang kayak gini?" tanyanya memprotes. "Benturan di kepalanya sangat parah. Bagian kakinya juga terhimpit badan mobil. Kemungkinan terburuknya, kalaupun sadar, dia akan lumpuh." Retha ternganga. Merasa jantungnya seakan mencelos. Jari-jarinya gelisah, dia merasa panik. Memandangi kakak sepupunya, dengan sorot mata yang sulit di artikan. Belum sempat menjawab, Retha jadi tersentak, termundur spontan, ketika datang dua orang dewasa, memasuki ruangan itu, di susul Vero--sang adik kelas, yang seingat Retha adalah adik kandung dari Denta. Dua orang itu--kemungkinannya adalah orang tua Denta. Pria dewasa yang terlihat tampan itu, masih mengenakan seragam pilotnya. Terisak memeluk sang putri, dengan bu Anggia--gurunya yang juga setia memeluk putrinya dengan isak hebat. Retha menggigit bibir, melihat Karrel bangkit dari duduknya dengan mata yang memerah. Bergerak keluar saat orang tua Denta hadir di sini. Sempat menatap Retha saat manik- manik mata keduanya tanpa sengaja bertubrukan di depan pintu, ketika Karrel hendak lewat. Cowok itu tidak bicara banyak, hanya diam, kemudian menunduk, dan berjalan lesu menuju arah halaman belakang rumah sakit. Melihat itu, Retha merasa ikut sesak. Tentu saja dia merasakan, dan tau betul bagaimana di posisi Karrel. "Kamu kenal dia?" tanya Aland. Retha menoleh, "Temen satu sekolah." Aland ber oh ria, "Yang itu juga?" seru dokter muda itu menunjuk Azka, "Dia masih pakek seragam sekolah kamu." Retha mengangguk, "Iya." Aland menipiskan bibir, "Ya udah, ayo temuin mama kamu," ajaknya. Retha menggeleng, "Kakak pergi ke sana sendiri ya. Karrel...kasihan dia kalau sendirian," katanya pelan, dan segera berlari menyusul Karrel, yang mana membuat Aland terkejut. Adiknya itu tak pernah pedulian sama orang lain sebelumnya. Dan tiba-tiba jadi penyayang begini, tentu saja dia tak menyangka. *** Retha berjalan cepat, menyusul Karrel yang tadinya melangkah ke arah sini. Raut wajah Retha terlihat sulit untuk di deskripsikan. Antara khawatir, tapi wajah dingin dan judes itu masih saja tertata apik sedemikian rupa. Sampai tidak lama, dia menemukan sosok Karrel yang tengah duduk di kursi panjang. Merunduk sendirian, berusaha menahan tangis, walau dia gagal melakukannya. Retha belum berniat mendekat. Dia memilih mengintip dari balik dinding saat cowok itu mengangkat telepon. "Parah Mi keadaannya. Denta koma. Aku nggak tau harus apa sekarang. Tadi papanya juga dateng," ucapnya dengan bergetar hebat. "Aku nggak mau dia di bawa pergi. Mamanya kemarin udah bilang, kalau papanya dateng, kemungkinannya dia bakalan di bawa ke Belanda." Karrel diam, mendengarkan jawaban dari sebrang telepon. "Aku nyesel Mi, kenapa harus suruh Gasta buat jagain dia? Kenapa bukan aku aja? Dia nggak bisa di percaya," isaknya makin kencang. Karrel meneguk salivanya kesulitan. Mengangguk sekali saat mendengar suara lembut sang mama. "Harusnya bukan Denta yang kayak gitu. Aku yang nakal Mi, bukan dia," kata cowok itu menerawang lirih. Di tempatnya berdiri, Retha masih setia mengintip. Belum mengalihkan pandangan dari cowok yang begitu menyedihkan di sana. Kini, gadis itu meneguk salivanya kesulitan, dadanya merasa sesak luar biasa melihatnya. Sementara itu, Karrel merunduk dalam ketika panggilan sudah dia matikan. Pundak cowok itu bergetar hebat, terisak pelan. Kini merunduk mencoba menyembunyikan wajah sembabnya dengan menutupnya menggunakan telapak tangan. Entahlah, rasanya begitu kalut sampai dia tak bisa menahan diri. Hal itu lantas membuat Retha reflek menarik kedua sudut bibirnya ke bawah, ikutan ingin menangis, tapi terlalu gengsi melakukannya. "Ihhh, d**a gue ikutan sesek lihat tu cowok biadab nangis kejer banget kayak gitu," ujarnya sambil menyeka sudut matanya yang berair. Tidak tega melihat Karrel hancur sendirian begitu, Retha dengan cepat melangkah ke arahnya. "Karrel!!??" Karrel tersentak, perlahan cowok itu mengangkat wajahnya, melihat gadis cantik ber-hoodie pink mendekat ke arahnya. Mata cowok itu masih berkaca-kaca, bekas menangis tadi. "Kenapa?" tanyanya dengan suara serak, belagak sok biasa-biasa aja. Retha mencibir kecil, "Nggak usah sok kuat dan sok cool gitu deh! Gue tau, lo habis nangis kejer barusan," sahutnya sambil duduk jongkok di depan Karrel yang masih duduk di kursi. "Nih, ingus lo kemana-mana," ujar Retha, lalu mengelap air mata Karrel menggunakan tangannya sendiri. Karrel cuma diam saja, walau agak mendelik, melihat gadis itu yang tumben sekali perhatian. "Lo kenapa bisa di sini?" tanya Karrel dengan suara serak yang lemah. Tidak punya tenaga untuk adu bacot dengan cewek terpintar di sekolahnya ini. Retha yang masih duduk jongkok di antara kedua kaki Karrel, menarik nafasnya sesaat, "Mama kerja di sini. Gue tadinya mau langsung balik, tapi nggak sengaja lihat lo sama Azka yang ada di ruangan itu." Karrel mengangkat sebelah alisnya tinggi, "....oh," balasnya singkat, tidak ingin bertanya lagi. "Bukannya nyokap lo juga kerja di rumah sakit ini ya?" tanya Retha. Karrel mengangguk pelan, dengan pandangan merunduk. "Iya. Tapi jadwal prakteknya nanti sore," balasnya pelan, membuat Retha diam-diam meneguk ludahnya. Tidak seperti Karrel biasanya, yang selalu nge-gas sama dia. "Dokter mata nggak sih?" tanya Retha kembali mengelap air mata Karrel yang jatuh ke pipi. Dia tidak berani bertanya banyak soal Denta. Takut menyinggung cowok itu. Kecuali, kalau Karrel mau bercerita sendiri nanti. Karrel mengangguk pelan. Memilin ujung kaos hitamnya. Sampai tidak lama, yang tadinya merunduk, kini jadi mendongak menatap Retha tepat. Dia baru tau sisi lembut gadis itu. Karena setaunya, Retha itu cewek tukang garong, atau sok jaim di sekolah. "Elo nggak nanya...kenapa gue bisa ada di sini?" tanya Karrel serak. Retha merapatkan bibir, memandang cowok itu tenang. Membuat Karrel meneguk salivanya, merasa sesak kembali, mengingatnya. "Denta kecelakaan," lapornya sambil mengenduskan hidungnya. "Gue udah tau kok," balas Retha agak mendongak, memandang Karrel yang kini menerawang jauh. Suaranya jadi lebih melirih dari sebelumnya, makin terdengar serak. "Dia kecelakaan tepat di depan mata gue Tha," katanya lagi. Karrel mengertakkan gigi, mengingat kejadian semalam, "Gue yang keluarin dia sendirian dari mobil yang hampir meledak itu. Gue juga yang bersihin darah dia pakek baju gue waktu dia di bawa ke rumah sakit." Karrel masih berusaha untuk menguasai diri walau suaranya sudah bergetar hebat. Retha terpaku. Tanpa sadar, matanya ikut menghangat melihat Karrel jadi semenyedihkan ini. "Gue udah ikhlasin dia sama Gasta Tha. Tapi bukan ikhlasin dia buat pergi selamanya dari dunia ini," kata cowok itu kembali terisak. Karrel menarik nafasnya, mencoba untuk tenang kembali, "Dia sempet sadar tadi. Dia bilang, dia pengen ketemu sama gue di alam keabadian nanti," kata Karrel dengan mata berkaca, menyorot Retha teduh. "Gue tau, selama ini dia nggak cinta sama gue. Tapi Denta nggak pernah jahat dengan nyuruh gue pergi dari hidup dia," isaknya. Retha menggigit bibir, memandang cowok di depannya iba sekaligus sedih juga. "Dia minta buat gue selalu bahagia, meski bukan dia alasan dari itu semua," katanya lagi. Karrel menarik nafasnya panjang- panjang, berharap mengurangi sesak di bagian dadanya. Kini mengalihkan wajah, terlalu malu karena menangis seperti ini di depan Retha. Gadis yang beberapa waktu ini, berhasil menarik perhatiannya. Retha membawa hal itu. Dia seperti memiliki magnet tersendiri yang tanpa sadar berhasil membuatnya terus memikirkan. Tapi egonya mengatakan--belum. Dia tidak ingin buru-buru menyukai gadis ini, seperti saat dengan Denta dulu. Karrel tak ingin di kecewakan lagi. Sementara itu, Retha diam. Perlahan tangannya kembali bergerak, dan mengusap air mata cowok itu. Bibir cewek itu melengkung ke bawah, jadi ingin menangis juga, tapi di tahan. "Lo udah jadi cowok hebat kok selama ini," gumam Retha, membuat Karrel terperangah dan melebarkan mata. "Lo lindungin Denta, padahal lo tau, kalau hati dia nggak pernah tertuju sama lo," katanya lagi. Karrel diam. Memegang tangan Retha yang ada di wajahnya. Pemuda itu tersenyum pahit. Mendongak, dan membalas tatapan cewek itu tepat. "Lo sebenarnya siapa sih?" tanya Karrel membuat mata Retha spontan melebar begitu saja. "Kenapa lo bisa bikin gue ngerasain banyak hal, di satu waktu yang sama?" ujar Karrel lagi dengan mata yang memanas. Tersentak. Retha tak menyangka mendengar ucapan itu keluar dari mulut sang premannya sekolah. Tubuhnya jadi bergetar hebat, dengan mata yang melebar sulit di hindari. Karrel merapatkan bibir. Jika saat ini tidak sedang dalam keadaan berduka karena Denta koma, mungkin Karrel akan tersenyum gemas melihat wajah Retha jadi cengo begitu. Tapi, Karrel hanya bisa menahannya, dan menatap Retha kalem. "Mabok ya lo?" tanya Retha jadi sewot kembali. Karrel mendecak. Mengenduskan hidungnya yang memerah. "Gue nggak tau, apa yang salah sama diri gue. Tapi di sini..." kata Karrel sambil menunjuk dadanya, "Gue bisa rasain, ada yang aneh," gumamnya. Bukannya baper, Retha malah jadi mendecih sinis, "Beneran kobam nih kayaknya," katanya yang kemudian berdiri, membuat kepala Karrel jadi mendongak kini. "Tunggu sini, gue beliin minum dulu buat lo," katanya. Baru berniat untuk berjalan, Retha di kejutkan, saat tangan Karrel menarik tangannya, dan menyentakkan tubuh Retha ke arahnya. Tau apa yang terjadi? Karrel memeluk pinggang Retha, dan menenggelamkan wajahnya, di perut rata gadis itu. "Rel--" "Di sini aja, nggak usah kemana-mana dulu!!!" katanya dengan serak yang melirih, "Gue nggak butuh apa-apa sekarang," gumam cowok itu. "Ihhhh..." Retha menekuk bibirnya ke bawah, "Gue udah nahan nangis loh dari tadi. Kenapa lo nangis mulu sih, nular tau nggak?" katanya protes, jadi ikutan terisak pelan kini. Karrel makin terisak, memeluk pinggang cewek itu makin erat. "Sorry ya, kalau kakak gue belum bisa bangunin dia," cicit Retha pelan. "Hm??" gumamnya, masih dengan wajah yang di sembunyikan di perut gadis itu. "Dokter tadi...kakak sepupu gue." Karrel jadi mendongak kini, dengan isakan yang hebat. Retha menggigit bibir, mengusap lembut kepala Karrel. Harusnya, di posisi sekarang ini, Gasta yang lebih di khawatirkan. Cowok itu adalah pacar Denta. Tapi, dia kemana? "Iya, itu udah tugasnya." Sementara itu, Karrel makin bergetar. Tanpa sadar semakin merengkuh cewek itu, memejamkan matanya rapat, seakan tak mau lepas. Sampai tak sengaja, bola mata Retha bergerak dan jatuh pada kaki Karrel yang berdarah. "Loh Rel...kaki lo kenapa?" tanyanya dengan mata melebar, saat melihat kuku di jari itu ada yang lepas dan berdarah-darah. "Nggak sengaja jatuh semalem," kata cowok itu jujur. Dia memang sempat jatuh, saat membawa Denta keluar dari mobil. Kakinya tanpa sengaja terkena batu. "Kok nggak di obatin sih?" protesnya langsung sewot, "Sakit nggak?" "Sakit," lapornya dengan suara serak. "Gue ambilin kotak P3K kalau gitu. Bisa lepas dulu nggak meluknya?" seru Retha berusaha melepas diri. "Nggak mau..." kata Karrel kekeuh memeluk Retha. Jujur saja, Retha merasa gemas dan jengkel di waktu yang bersamaan. Gemas karena Karrel manja begini, dan jengkel karena cowok itu terlalu kuat memeluknya, sampai dia jadi kesulitan bernapas. Tapi, Retha tetap mengusap lembut kepala Karrel sambil sesekali mengusap air mata cowok itu. Hal itu membuat Karrel tanpa sadar. Semakin merengkuh dan menarik tubuh Retha mendekat. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD