Bab 3 - Kebenarannya

1873 Words
Sore ini, Arka kembali menuju ke lapangan basket umum favortinya, berharap Amanda juga datang. Karena Arka yakin, cewek itu jelas masih patah hati. Dan mungkin saja basket masih menjadi pilihannya untuk melampiaskan emosinya. Arka sendiri, basket adalah kegiatan utamanya untuk melampiaskan emosinya. Selain itu, kegiatannya hanya tidur atau main PS. Dan makan. Seperti dugaan Arka sebelumnya, Amanda kembali datang. Ia baru saja turun dari mobilnya, dan mobil itu kembali pergi. Amanda tersenyum kepadanya, lalu berjalan pelan menghampiri Arka. “Bener kan, tebakan gue. Lo pasti bakalan dateng lagi ke sini.” Kata Arka, ia duduk di pinggir lapangan setelah bermain sekitar tiga puluh menit tadi. Amanda masih tersenyum, ia duduk di sebelah Arka. “Gue juga nebak lo bakalan dateng lagi ke sini, soalnya kan ada gue. Hahahaha.” Ucapnya sambil tertawa. “Oh ya, lo udah berapa lama di sini?” “Sekitar tiga puluh menit,” jawab Arka, ia meneguk air minumnya. “Wah lama juga ya, sekarang giliran gue, deh.” Kata Amanda, ia mengeluarkan bola basketnya dari tas bolanya, lalu mendribblenya menuju ring, dan dalam sekejap, bola basket tersebut sukses lolos dari ring. Amanda tersenyum puas, dan ia melakukan gerakan-gerakan lainnya berulang kali, sekitar lima belas menit, semua bola sukses masuk ke dalam ring. Amanda pemain basket pemula yang cukup hebat. Sementara Arka, tidak berhenti tersenyum saat melihat permainan basket Amanda barusan. Cowok itu mengira Amanda tidaklah sehebat itu. “Efek patah hati, jadi main basketnya keren ya?” kata Arka sambil tertawa. Amanda mengatur napasnya, ia tersenyum lalu melempar bola basketnya ke arah Arka. Dan dengan sigap Arka segera menangkap bola basket tersebut. “Mau duel?” tanya Amanda. Arka tersenyum, ia dengan senang hati menerima tantangan dari Amanda. “Oke.” Ucapnya. Arka bangkit dari duduknya, ia mendribble bola basket ke arah ring milik Amanda, namun dengan cepat cewek itu merebut bola dari Arka dengan luwes. Setelahnya, Amanda langsung mendribble bola tersebut dan dengan cepat memasukkannya ke dalam ring milik Arka. “Masa segitu doang kemampuan lo, Ka?” tanya Amanda, meremehkan kemampuan Arka. Arka hanya tersenyum tipis membalas perkataan Amanda, ia sengaja tidak menunjukkan skillnya yang sebenarnya, lantaran ingin membuat Amanda merasa puas dan bisa terhibur. Toh, dirinya juga merasa terhibur dengan permainan Amanda barusan. Berkali-kali Arka sengaja membuat dirinya kalah, dan hal itu membuat Amanda jengkel. Ia berdecak sebal sambil membuang bola basket tersebut ke luar lapangan. “Ah lo sengaja ya!” pekiknya sebal, ia menghapus peluhnya di dahi. Arka tertawa, ia duduk di tengah lapangan sambil meluruskan kakinya. “Tuh kan, bener!” ujar Amanda tidak terima, ia melipat kedua tangannya di d**a, tidak ingin menatap Arka sedikit pun. “Abisnyaa, lo lucu banget. Gue jadi terhibur deh.” “Emangnya gue badut?” “Udah, sekarang gue pengen lo cerita tentang-“ Amanda menggeleng, “Gue masih belum percaya sama cowok rambut kribo yang baru tiga kali gue temuin.” Potongnya. “Gue juga akan cerita.” Kata Arka. Sementara Amanda mencoba menimbang-nimbang apa dia harus mempercayai Arka atau tidak. Bagaimana pun, ia belum kenal betul kan, dengan Arka? Apa lagi, ini menyangkut aib mantan pacarnya sendiri. Dan sepertinya tidak patut untuk dia ceritakan. Tapi... Bagaimana bisa ia menahan semua rasa sakit ini sendirian? “Oke deh.” Ucap Amanda yang akhirnya memutuskan, “Lo dulu, alasan lo putus dengan mantan pacar lo.” “Dia yang mutusin gue tanpa alasan, namanya Dea. Gue suka sama dia karena dia cantik, terus dia juga pinter banget. Dan waktu dia bilang putus, gue kayak gak ngerti apa-apa, terus nggak mencoba buat ngehubungi dia lagi. Gue takut sakit hati kalo tau alesannya.” “Mungkin ada sesuatu di dalam diri lo yang bikin dia nggak suka atau nggak nyaman? Udah berapa lama lo pacaran sama dia?” tanya Amanda, yang kini menjadi pendengar Arka. “Nggak, Amanda. Gue yakin banget dia sayang sama gue, bahkan dari banyaknya cowok yang ngejar-ngejar dia, dia cuma ngeliat gue. Sumpah.” Bantah Arka, “baru enam bulan, kayaknya.” “Ya kalo lo yakin sama diri lo dan yakin dia bukan tipe cewek yang mutusin tanpa alasan, kenapa lo nggak ke rumahnya untuk nanyain ini? Atau seenggaknya, lo ada usaha lah, buat bikin dia balik sama lo.” Arka terdiam. Sebenarnya, sempat terbesit dipikirannya untuk mendatangi rumah Dea. Arka ingin tau keadaannya, dan ingin tahu pula sebab Dea memutuskannya tanpa alasan. Apa yang dikatakan Amanda barusan ada benarnya, tidak mungkin Dea memutuskannya tanpa alasan. Dea bukanlah tipe cewek seperti itu. “Gue coba, deh, saran lo. Makasih ya,” kata Arka akhirnya, “sekarang, giliran lo yang cerita. Nggak boleh curang.” Amanda tertawa kecil, benar sekali, ia ingin berbuat curang, namun merasa tidak enak kepada Arka yang secara terang-terangan bercerita kepadanya tadi. “Gue diputusin lewat telepon dalam jangka waktu kurang dari tiga detik, Ka.” Amanda memulai ceritanya, “Tapi, sepulang dari arkade waktu itu, mantan gue dateng ke rumah buat ngejelasin apa alasannya.” “Apa?” tanya Arka, sekarang, giliran dirinya yang penasaran dengan cerita Amanda. Amanda mencoba menahan tangisnya ketika ia mengingat alasan Excel, ia masih belum bisa menerima apa yang telah dialami olehnya. “Dia ngehamilin cewek lain.” Jawab Amanda, ternyata, ia tidak bisa lagi menahan air matanya. Amanda menundukan wajahnya, gadis itu kini menangis. Arka juga sebenarnya terkejut, bagaimana bisa seseorang yang baru saja lulus dari SMP sudah berani melakukan hal itu? Apa ini tidak terlalu berlebihan? Arka berpikir bagaimana bisa tipe cowok seperti itu mendapatkan Amanda? Lihat, Amanda jelas bukanlah cewek nakal. Arka sangat yakin dengan hal itu. “Maaf ya, gue udah maksa lo.” Kata Arka, ia cukup menyesal dengan keputusannya tadi. Amanda menggeleng, “Nggak apa-apa, gue mau buru-buru ngelupain dia kok. Ini terakhir kalinya gue nangisin dia.” Ujarnya sambil memandang ke arah rumah berpagar putih yang merupakan rumah Excel. Arka mengikuti arah pandangan Amanda, “Dia nggak pernah keluar rumah ya? Gue sering main di sini tapi nggak pernah liat dia.” “Dia sering, kok. Kalo malem, dan subuh.” Arka mengerutkan dahinya, “Subuh?” tanyanya kebingungan. Amanda mengangguk, “Iya, dia jemput gue subuh-subuh buat main basket di sini. Kadang kita juga ke stadion buat olahraga.” Dari apa yang dikatakan Amanda, Arka meneliti bahwa mantan pacarnya tidak mungkin melakukan itu semua. Memang sih, kita tidak bisa menilai seseorang baik atau buruknya lewat kegiatan yang ia lakukan. Tapi, kan, apa yang dilakukan Amanda dengan mantan pacarnya merupakan hal yang baik. “Apa dia pernah melakukan hal yang tidak senonoh kepada lo? Maaf gue nanya gitu, gue hanya melihat kejanggalan di sini.” Amanda menggeleng, “Setahu gue yang selama tiga tahun dekat sama dia, dia bukan orang seperti itu. Makanya gue kaget, bahkan nggak bisa terima itu semua.” “Lo harus cari tau kebenarannya, Amanda.” Kata Arka.   *   Amanda duduk di hadapan meja belajarnya, ia memperhatikan sebuah foto yang terpajang di sana. Fotonya bersama Excel. Entah kenapa, ia memikirkan saran Arka tadi sore. Ya, memang, menurutnya Excel bukanlah tipe laki-laki seperti itu. Sudah tiga tahun ia mengenal Excel, dan cowok itu tidak pernah melenceng. Hidupnya lempeng aja seperti dirinya. “Nda!!!” Amanda terkejut saat kakak  perempuannya, membuka pintu kamarnya sambil berteriak. Cewek itu segera menutup telinganya, karena sebal dengan teriakan kakaknya itu. “Apaan sih, Kak?” tanya Amanda kepada Aria. Aria, kakak perempuan Amanda yang berumur sembilan belas tahun. Saat ini ia berkuliah di salah satu universitas swasta yang ada di Jakarta Timur. Cewek itu senang pergi ke klab malam, dan sering pulang dengan bau alkohol yang sangat menyengat. Berbeda dengan Azriel, kakak keduanya yang berumur tujuh belas tahun. Azriel merupakan manusia paling baik di rumah setelah Mama. Dia selalu mendukung apa pun yang sedang Amanda kerjakan. Ya, walaupun terkadang Azriel sering mengganggunya sih. Setidaknya, kakak laki-lakinya itu tidak menyebalkan. “Gue ketemu Excel di klab tadi malem!” kata Aria, ia mengatakannya dengan ekspresi yang kelewat heboh. Amanda mengerutkan dahinya, awalnya ia tidak tertarik dengan perkataan Aria, namun sekarang jika itu menyangkut tentang Excel, ia harus mendengarkannya. “Lo udah kenal dia berapa lama sih, Nda?! Masa Excel sering ke klab lo nggak tau?” tanya Aria, “temen gue bilang, Excel udah lama sering ke klab, tapi kemarin dia baru aja pindah ke klab langganan gue. Dia bayar mahal tuh, biar bisa masuk. Secara, dia masih dibawah umur.” Amanda mengerjapkan matanya, mencoba mencerna apa yang barusan dijelaskan oleh kakak perempuannya itu. “Dia ngapain kak?” tanyanya. Aria memutar bola matanya, tidak habis pikir dengan pikiran adiknya yang masih sangat polos. “Ya minum, dugem, main sama cewek lah! Emang orang biasanya ke klab mau ngapain sih, Nda?” “Terus, malem ini lo mau ke klab lagi, kak?” tanya Amanda, saking ruwet pikirannya. Padahal jelas-jelas Aria memakai baju penuh dengan bling bling sekarang, sudah dipastikan cewek itu pergi ke klab malam ini. Aria mengangguk. Amanda langsung menyamber jaket jeansnya, “Gue ikut lo kak.” Katanya. Ya, Amanda memutuskan mencari tahu apa yang sudah disembunyikan oleh Excel selama ini. Seperti yang dikatakan Arka, dirinya harus mencari tahu. Aria sontak menggelengkan kepala lalu merentangkan tangannya, melarang Amanda untuk datang ke klab. “Duh, nggak deh jangan sekarang! Gue ada acara penting di klab hari ini. Kapan-kapan aja yak! See you.” Amanda mendengus, ngapain sih ngasih info setengah-setengah? Kalau seperti ini ceritanya, ia tidak bisa mempercayai apa yang dikatakan Aria barusan kan?   *   Arka memutuskan untuk mengikuti apa yang telah disarankan oleh Amanda. Tidak, Arka tidak menelepon Dea. Melainkan Arka memutuskan untuk datang ke rumah Dea malam ini juga. Bagaimana pun, ia harus mengetahui kabar Dea dan juga alasan mengapa tiba-tiba cewek itu memutuskannya tanpa alasan. Arka duduk di ruang tamu rumah Dea setelah dipersilahkan masuk oleh Bundanya Dea. Ia duduk sambil memikirkan bagaimana jika cewek itu mengusirnya? Tiba-tiba Dea keluar dari kamarnya. Cewek itu kelihatan pucat, ia memakai sweater berwarna pink pastel yang diberikan oleh Arka saat cewek itu berulang tahun dua bulan lalu. Dea sedikit terkejut saat melihat kedatangan Arka, namun ia segera tersadar dengan sweater yang sedang ia gunakan saat ini. “Nggak usah salah paham, sweaterku yang lain lagi dicuci sama Bunda.” Katanya sambil duduk di sebelah Arka. Arka tersenyum, ia masih sangat berpikiran optimis bahwa Dea tidak mungkin melupakannya begitu saja. “Kamu ngapain ke sini?” tanya Dea sinis, ia tidak berani menatap Arka. Arka mengeluarkan sebuah kotak besar dari dalam tasnya, lalu memberikannya kepada Dea. Cewek itu menggeleng, enggan untuk menerima. “Nggak usah nyogok aku, deh, Ka.” “Siapa yang nyogok?” “Itu buktinya.” Arka menggeleng, “Namanya juga nyoba, siapa tau mau balikan, hehe.” Dea menggelengkan kepalanya kembali, “Keputusan aku udah bulat, Ka. Aku nggak sedang bercanda. Kenapa sih kamu selalu menganggap omonganku itu bercanda?” “Aku minta kejelasan kamu, Dey. Nggak mungkin kamu tiba-tiba mutusin aku tanpa alasan. Kamu pasti punya alasan, entah apa itu.” Dea menghela napasnya, ia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Terlihat bingung bagaimana cara ia menjelaskan kepada Arka, cowok yang memang masih sangat menyayanginya. “Aku nggak punya waktu untuk ngejelasin.” “Aku punya banyak waktu untuk menunggu kamu biar kamu jelasin ke aku.” “Arka!” Arka menghela napasnya, “Oke, kalo kamu mau jelasin aku janji nggak akan nemuin kamu lagi, dengan syarat alasan kamu masuk akal. Kalo alasan kamu nggak masuk akal, aku bakal tetep minta kamu buat balikan sama aku.” “Aku sakit, Ka.” “Aku nggak pernah nyakitin kamu, Dey. Itu nggak-“ “Aku sakit leukimia, Arka.” Arka dan Dea sama-sama terdiam. Arka masih mencerna perkataan Dea, sementara Dea merasa tidak percaya ia sudah mengatakan hal ini kepada Arka. Suara isak tangis Dea memecah keheningan, dan Arka bisa melihat Bundanya yang mengintip mereka dari pintu dapur, memasang wajah sedih. Dan saat ini, Arka merasa ia berada di titik paling rendah di hidupnya. Setidaknya, untuk saat ini. “Kenapa kamu nggak bilang sama aku dari awal?” tanya Arka, hatinya benar-benar hancur. Sejujurnya, jika dirinya bisa memilih alasan terburuk yang diberikan Dea, ia akan memilih alasan bahwa diam-diam Dea berselingkuh, atau apa pun. Asal bukan alasan yang baru saja Dea berikan kepadanya. “Kamu butuh aku, Dea..” kata Arka lagi, sementara Dea masih terdiam. “Kamu nggak bisa ngelewatin semua ini sendirian, aku bakal terus ada buat-“ “Arka, aku nggak mau nyakitin kamu dengan penyakit yang aku derita sekarang. Aku... Aku pengen kamu fokus aja masuk ke SMA, nggak usah mikirin aku lagi. Karena seandainya aku udah nggak ada, kamu nggak akan merasa kehilangan.” “Dea! Kenapa bisa kamu mikir begitu sih?” “Stop, Arka. Aku minta, sekarang kamu pulang dan lupain aku..”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD