Bab 2 - Sama-sama tersakiti

1054 Words
Hari ini, Dea meminta Arka untuk datang ke kafe favorit mereka. Seperti biasa, Arka selalu sampai duluan dan menunggu Dea dengan waktu yang cukup lama. Entah kenapa, sudah seminggu ini Dea bersikap sangat aneh. Sudah beberapa kali Arka mengajaknya untuk bermain arkade, namun ia selalu menolak. Dea juga selalu menolak juga jika Arka ingin meneleponnya. Arka mencoba untuk berpikir positif, dan memang selalu begitu. Arka tidak pernah menyulitkan dirinya pada pikiran-pikiran negatif yang sebenarnya belum tentu terjadi. Arka tersenyum saat melihat Dea memasuki kafe favorit mereka berdua. Dan di hadapannya, sudah terdapat minuman favorit Dea, Caramel Machiatto. Dea duduk di hadapan Arka, dan cewek itu tidak membalas senyumannya sama sekali. Namun, Arka tidak benar-benar meperhatikannya. "Tumben kamu telat sepuluh menit, Dey." Kata Arka, ia tersenyum lalu mencubit pipi Dea, seperti yang ia lakukan biasanya. Namun Dea dengan risih menepis tangan Arka dari pipinya, sementara Arka menatapnya dengan bingung. "Kamu kenapa?" tanya Arka. "Maaf kita putus, Ka." Ucap Dea tiba-tiba. Arka tertawa, meskipun hatinya sudah terguncang hebat. Ia tetap menganggap ucapan Dea tadi adalah prank. "Kamu jangan bercanda deh, Dey. Udahlah, abis ini ke toko buku yuk?" ajak Arka, ia kembali tersenyum kepada Dea. "Aku serius, Arka. Kita harus putus." Ujar Dea sambil menghela napasnya. Arka mematung di tempat, ia tidak pernah menyangka bahwa Dea akan memutuskannya secepat ini. Hubungan mereka berjalan belum sampai setahun, dan Arka sedang berada di fase –sayang banget- kepada Dea. Dan Dea merupakan cinta pertamanya. Arka menggeleng, "Kita nggak ada masalah apa-apa, kenapa tiba-tiba kamu minta putus?" tanyanya, tidak terima dengan keputusan Dea barusan. "Memang... Tapi.... Aku nggak bisa sama kamu lagi, maafin aku Ka." Setelah mengucapkan kata-kata itu, Dea pun bangkit dari kursinya lalu pergi meninggalkan Arka yang kini masih mematung di tempatnya. Hatinya mungkin sudah tidak terguncang lagi, namun hancur. Hancur berkeping-keping. Selamat tinggal, cinta pertama. * Arka mengayuh sepedanya menuju sebuah lapangan basket umum favoritenya yang bertempat tidak jauh dari rumahnya. Lapangan itu terletak di tengah-tengah komplek perumahan, dan terkadang sepi, namun tidak jarang juga lapangan itu ramai. Saat sampai, Arka mengerutkan dahinya saat melihat cewek yang sedang bermain basket di sana seorang diri. Saat mengetahui siapa dia, Arka buru-buru memakirkan sepedanya di pinggir pagar lapangan, lalu segera menghampiri cewek itu. Apa yang sedang dilakukan Amanda sendiriann di sini? Sementara Amanda menghentikan permainannya saat menyadari seseorang tengah menghampirinya, cewek itu menengok lalu mendapati Arka. "Lo bukannya si...." ujar Amanda sambil mengingat-ngingat di mana ia bertemu dengan Arka. "Arka, yang waktu itu lo maki-maki di arkade." Jawab Arka dengan wajah kecut. Amanda tertawa kecil, cukup terhibur dengan wajah Arka yang kecut. "Lo ngapain di sini?" tanyanya. "Mau main basket lah," jawab Arka sambil mengeluarkan bola basket dari tas bolanya. "Kok tumben, biasanya gue nggak pernah ngeliat lo main di sini." Sambungnya. Arka mendribble bola basketnya, dan dengan satu lemparan ia melakukan three point shoot dengan gerakan yang sangat lihai. Menurut Amanda, gerakan Arka tadi sangat bagus. "Kok bengong? Bukan jawab pertanyaan gue." Kata Arka yang cukup kebingungan melihat tingkah Amanda. Amanda segera tersadar. Barusan, cewek itu sibuk memperhatikan Arka sampai lupa menjawab perkataannya tadi. "Lo kenal Excel?" tanya Amanda, dan Arka terlihat berpikir sejenak. "Nggak kayanya, kenapa?" "Tuh, rumahnya di sana." Kata Amanda, sambil menujuk sebuah rumah berpagar putih yang tidak jauh dari pandangan mata mereka. "Oh, terus kenapa?" tanya Arka lagi. "Dia mantan gue, yang ngenalin basket ke gue. Dan dia juga yang bikin gue nangis-nangis di arkade waktu itu." Jawab Amanda, ia mendribble bola basketnya, lalu berhenti sejenak untuk duduk di pinggir lapangan. Arka sekarang mengerti, tebakannya waktu itu mengenai Amanda benar adanya. Cewek itu sedang patah hati. "Jadi, lo belom bisa move on sampe-sampe masih sempet dateng ke sini?" tanya Arka, ia duduk di sebelah Amanda. Amanda menundukkan pandangannya, ia mengangguk tanpa berkata apa pun. Arka menghela napasnya, "Sama kalo gitu." Amanda mengalihkan pandangannya kepada Arka, "Jadi, lo juga lagi patah hati karena baru aja putus?" tanyanya. Arka mengangguk, "Makanya gue main basket, soalnya enak buat dijadiin pelampiasan. Plus, sekalian olahraga juga kan. Emosi gue bisa keluar waktu main basket dan setelahnya gue lega." Amanda cukup terkejut saat mendengar ucapan Arka barusan, kebetulan banget, kan? "Gue juga begitu kok." Sahutnya. Sejenak, mereka berdua saling berpandangan. Merasa bingung karena semuanya merupakan sebuah kebetulan. Masalah yang sedang mereka hadapi hampir sama persis. "Terus, kenapa lo nggak keliatan lagi emosi sekarang?" tanya Amanda. "Kalo nggak ada lo, mungkin gue udah main basket kayak orang kesetanan. Gimana pun gue harus jaga imej juga kan." Amanda tertawa kecil, "Berarti waktu di arkade gue nggak jaga imej dong?" Arka ikut tertawa, "Mungkin aja." Arka kembali bangkit, ia kemudian kembali mendribble bola basketnya dan berkali-kali mencetak poin. Sementara, Amanda bergabung dengannya. Cewek itu benar-benar menunjukkan skillnya dalam bermain basket, yang memang tidak sebagus Arka. "Mungkin lo mau cerita kenapa lo bisa putus?" tanya Arka, di sela-sela permainan mereka. Amanda menghentikan permainan mereka, dan ia menggeleng. "Maaf, gue nggak gampang mempercayai seseorang. Karena udah sering kepercayaan gue dihancurin seseorang. Gue udah capek." Katanya. Arka menghela napasnya, "Terkadang dunia ini aneh, ya. Gue sama lo yang nggak sengaja kenal karena karcis waktu itu, ketemu lagi sekarang. Dan kita lagi sama-sama tersakiti gara-gara seseorang." "Ini cuma kebetulan kok." Kata Amanda, yang tidak terlalu mempedulikan soal acara kebetulan ini. "Lo juga baru lulus SMP nih, ceritanya?" Amanda mengangguk. "Tiga kali kebetulan bisa jadi jodoh, loh." Goda Arka. "Najis." Cibir Amanda, ia melirik Arka sinis. * Arka duduk di samping Adrian yang kini tengah sibuk dengan PSP miliknya, ia meletakkan kue pancong di hadapan sahabatnya. Karena sejak tadi, Adrian sibuk sendiri. Adrian menghentikan permainannya saat mencium bau makanan kesukaannya, ia segera menaruh PSP nya di meja, lalu beralih pada kue pancong yang dibawa oleh Arka barusan. "Ngomong dong kalo bawa pancong," kata Adrian yang langsung menyantap pancong tersebut. Arka berdecak, "Halah giliran gue ngeluarin pancong aja lo baru ngeh kalo ada gue di sini." Cibirnya. Adrian hanya tertawa lalu kembali menyantap pancong kesukaannya, lalu, bukannya mengobrol dengan Arka, cowok itu malah kembali sibuk dengan PSP nya. Padahal, kalau ada Fabian, Arka bisa mengobrol dengannya. Namun nyatanya Fabian sudah berangkat ke London kemarin. "HEH! Gue mau cerita anjir!" ucap Arka sebal, ia meninggikan suaranya. "Iya-iya cerita gidah, gue dengerin. Paling juga nggak penting." "Gue putus sama Dea," ujar Arka yang merasa kesal dan langsung mengatakannya to the point. "Hah?" Adrian kembali berhenti memainkan PSPnya, dan fokus kepada Arka. Cowok itu benar-benar tidak percaya apa yang dikatakan Arka barusan. "Apaan sih kayak tukang keong lo." "Lo serius?" tanya Adrian lagi yang masih terkejut. Arka mengangguk, "Makanya, dengerin gue dulu yang lagi patah hati ini." "Kok bisa?!" "Dia yang mutusin gue, dan dia nggak ngasih alasan." Adrian menghela napasnya, "Lagian, setiap awal pasti ada akhir dan setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Lo harus terima, udah jadi kodratnya." Ucapnya berusaha menghibur Arka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD